Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Cerpen Religi"
El Nurien

 





“Ri, aku sahabatmu. Tidak ada yang kupikirkan selain untuk kebaikanmu.”
Aku menghempaskan napas yang terasa sakit. Andai waktu bisa diulang, aku ingin seperti dulu, saat masih bersahabat erat dengan Alila. Tapi mungkinkah itu terjadi? Sedangkan semuanya telah berubah.

“La, terima kasih banyak. Terlalu banyak ketar ketir yang kujalani. Lalu, apa salahnya jika aku ingin menikmati hidup.”

Kulepaskan genggaman tangannya. “Aku pergi dulu, La.”

“Ri! Ri!” Aku terus berlalu tanpa menghiraukan panggilannya. Sekuat tenaga, aku menahan diri agar tidak menoleh. 

        Maafkan aku, La.
**
Kenapa tiba-tiba ada Toni di sini? Kemana kedua temanku tadi? Aku panik bukan kepalang. Toni mendekatiku dengan seringai senyuman yang menakutkan.
“Ton, apa yang ingin kau lakukan?”
Ia tak menjawab. Dari matanya, terlihat ia telah dikuasai nafsu. Aku menghindar. Secepat kilat tanganku sudah berada dalam genggamannya. Aku berusaha keras untuk melepaskan diri, namun usahaku justru membuat pegangannya semakin kuat.

Aku berteriak meminta tolong. Ia semakin berang. Sebelah tangannya membekap mulutku, sebelah tangannya lagi menyeret tubuhku ke pinggir jalan.
Aku terus berontak. Usahaku sia-sia. Tubuhku ambruk ke tanah. Tenagaku semakin melemah.

Bruk...
Aku menjerit keras. Tubuh Tino oleng ke tanah. Ia mengerang kesakitan. Ada yang memukulnya. Aku menjauh sambil membetulkan pakaian yang berantakan. Isakku pecah.
**
“Assalamu ‘alaikum, Ri.”
“Wa ‘alaikum salam,” sahutku, sambil cepat-cepat mengusap wajah. Alila tak boleh tahu kesedihanku. “Masuk, La.”

Tanpa kuduga, Alila datang tidak sendiri. Ia datang dengan kakak laki-lakinya. Pemuda penyelamatku malam itu.

“Aku dengar kamu sakit. Sekarang gimana keadaanmu?” tanya Alila sambil duduk di tepi ranjang. Sedangkan kakaknya hanya berdiri di dekat jendela.

“Tadinya. Sekarang sudah agak baikan,” sahutku sambil berusaha tersenyum, lalu mengalihkan pandangan kepada kakak Alila. “Kak Irsan, terima kasih ya atas pertolongannya malam itu. Aku terlalu syok, sehingga lupa mengucapkan terima kasih.”

Irsan tersenyum tipis lalu mengangguk. "Sama-sama. Tapi, lebih bersyukurlah kepada Allah. Karena Allah yang menghendaki aku ada di sana.”
Aku mengangguk dalam. Selarik luka kembali menganga. Allah telah menyelamatkanku, tapi sampai kapan aku terus berpaling dari perintah-perintah-Nya.

"Pertolongan?" Alila berseru heran, "Apa yang terjadi?"

Aku hanya bisa menunduk dalam. Mungkinkah aku bisa menceritakannya pada Alila, sedangkan aku sendiri merasa malu mengingatnya. 

"Sudahlah, La. Riana sedang sakit, tak baik banyak bertanya," sela Irsan.

"Aah, Kakak dan Riana bikin aku kepo. Tapi, ga papa deh, yang penting kamu cepat sehat  Riana," seru Alila. 
"Terima kasih, La."
"Sama-sama."

Sejenak menetap kedua kakak beradik itu. Mereka baik sekali. Alila penuh perhatian, dan Irsan telah menutupi aibku. 
Ya Allah, mudahkan aku mengikuti jejak mereka. 

**
“Aku ingin memakainya, La. Mau kan kau membantuku?” kataku sambil memperlihatkan selembar gamis dan kerudung lebar pemberiannya, pada saat hari lahirku yang ke delapan belas. Sampai sekarang aku tidak pernah memakainya. 

Alila tersenyum semringah. Tidak pernah aku melihat kilatan matanya sebahagia ini. “Ini surprise, Ri. Aku senang sekali. Tentu aku akan membantumu. Kita sama-sama saling menguatkan.”
Aku mengangguk penuh keterharuan akan kebaikannya. Ia memang sahabat yang paling baik yang pernah kutemui.

Ia mengambil kerudung lalu membentangkannya. Entah kenapa lengannya menyentuh kantong kertas yang ia letakkan di ujung ranjangku. Kantong kertas itu jatuh, dan berhamburan isinya.

“Foto-foto siapa?” tanyaku sambil membantu memunguti foto-foto yang berserakan dan meletakkan di atas ranjang.

“Oh, ini foto-foto temanku di kampus. Kak Irsan mau menikah, tapi katanya masih belum ada gadis yang cocok di hatinya. Jadi aku coba saja, memperlihatkan foto-foto ini, siapa tau kakakku tertarik.”

Aku mengambil selembar foto. Seorang gadis berkerudung berwajah teduh. Di belakang foto itu tertulis data singkat gadis itu. Tiba-tiba saja aku ingin berada di antara foto-foto itu.
**

Tanpa sengaja, kantong kertas itu tertinggal di atas ranjang. Aku tak habis pikir kenapa Alila jadi melupakannya. Ia pasti kebingungannya mencarinya. Ia pasti balik lagi ke sini.

Aku mendekati kantong kertas itu. Irsan ingin menikah? Beruntung sekali gadis yang ia pilih. Ia yang telah menyelamatkanku dari cengkeraman Toni. Ketika menyadari bajuku koyak, ia rela melepaskan jaket dan menyampirkan ke bahuku. Ia juga telah menutupi aib kejadian malam itu dari adiknya sendiri. 

Tiba-tiba saja terbersit ide gila di benakku.
Aku membuka album foto-fotoku. Sampai akhirnya aku menemukan fotoku yang berjilbab. Hanya satu-satunya. Itu pun saat ada pesantren kilat di waktu SMA.

Kumasukkan foto itu ke dalam kantong kertas. Walaupun tanpa dibubuhi biodata, jika Irsan mengambil foto itu pasti ia mengenalinya.
'Ya Allah, Engkau tahu, aku hanya ingin dia membawaku pergi dari rumah ini dan menempatkan di rumah yang penuh naungan-Mu. Ya Allah, yang membolak-balikkan hati. Kumohon, bukakan hatinya untuk menerimaku.'

**
Tiba-tiba saja perasaanku jadi hampa, seiring dengan hilangnya Alila dari pandanganku. Ia telah membawa kantong kertas itu dan fotoku tidak ada di dalam kantong itu.

Aku telah mengeluarkan foto itu, setelah tersadar tidaklah pantas orang sehinaku mengharapkan orang sebaik Irsan.
Orang yang baik berjodoh dengan orang baik, sedang aku siapa?


**
“Riana?” Kedua temanku syok melihat penampilanku “Riana, kenapa kau seperti ini?”
Aku hanya tersenyum kecut. Setelah apa yang telah mereka lakukan, mereka menjebakku dan sekarang masih berani datang ke sini.

“Ada apa?” tanyaku dengan sekuat tenaga menahan luapan emosi di hati.
“Tidak apa,” sahut Nirah ketus. “Tadinya, kami mau mengajakmu jalan-jalan, tapi ....”
“Tidak jadi,” potongku cepat. “Karena penampilanku yang kalian anggap aneh?”
“Ya, begitulah,” sahutnya sambil mengerdikkan bahu. Ia beralih kepada Mila di sampingnya, “Yuk, Mil, kita pergi. Orang berpenampilan seperti ini tidak bisa diajak senang-senang.”

Mila mengekori Nirah. Syok di wajahnya masih belum hilang.

Aku tak bisa membohongi perasaan sedih  karena kehilangan mereka. Namun, di sisi lain, hati juga lega. Setidaknya aku terselamat dari pengaruh buruk mereka.

“Mereka kenapa?”
Tiba-tiba saja ibu ada di sampingku dengan wajah kecewanya.
“Mereka tidak mau berteman denganmu? Karena penampilanmu? Ibu bilang juga apa, dengan penampilan seperti itu, jangankan jodoh, teman pun bisa menjauh.”

Hanya dengan air mata aku menumpahkan segala sesak dalam jiwa. Aku tau, jalan yang kuambil cukup berat. Selain teman-teman, aku juga harus berhadapan dengan keluarga yang tidak mendukung.

Kembali aku teringat tentang Irsan. Andai aku tidak mengeluarkan fotoku, mungkin aku punya kesempatan untuk menjadi pendampingnya.

Ah, kata andai hanyalah menambah peluang bagi setan. Aku tak boleh menyesali dan tak boleh berharap pada orang lain. Hidayah itu datang dari kemauan diri sendiri. Selamatnya aku malam itu, sudah cukup buatku untuk tegar dalam menaati Allah.

Ya Allah, istikamahkan aku dalam agama-Mu. 

***
“Apa yang membuatmu jadi menikahiku? Bukankah banyak gadis yang lebih layak mendampingimu? Dan kau juga tau masa laluku.”

Dia hanya tersenyum tipis dengan cecaran pertanyaanku.
“Namamu selalu muncul ada dalam setiap doa istikharahku. Dan berkali-kali. Akhirnya aku yakin, kau lah perempuan yang akan membuatku kuat.”

Tanpa sempat kucegah, seketika air mata merembes deras. Dia tidak tau, sebenarnya akulah yang berharap, tapi kenapa justru dia mengatakan aku yang membuatnya kuat? Apa pun itu, Allah yang bukakan hatinya untukku.

  “Ri, aku sahabatmu. Tidak ada yang kupikirkan selain untuk kebaikanmu.” Aku menghempaskan napas yang terasa sakit. Andai waktu bisa diulan...
El Nurien
El Nurien

 Cerpen: Ada Berkah Dalam Bakti


ilustrasi




Aida mengembuskan napas lelahnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya yang terasa kaku. Baru saja ia menyelesaikan tumpukan cuciannya. Setelah itu, ia meluncur ke dapur untuk mengambil semangkok bubur dan segelas air putih.

“Ibu, makan ya,” bujuk Aida pada ibu mertuanya yang terbaring dalam kamar, Zubaidah. 
Dengan pelan Aida membantu Zubaidah duduk, lalu meletakkan bantal untuk dijadikan sandaran Zubaidah.
Aida menatap Zubaidah yang sedang menikmati bubur buatannya. Hari ke hari, kondisi Zubaidah semakin memprihatinkan. Obat-obatan tidak lagi memberikan dampak yang signifikan. Aida hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Allah memberi kesehatan pada ibu mertuanya itu. 

**
Baru saja Aida mencuci beberapa buah piring, tiba-tiba ia mendengar erangan Zubaidah dari kamar.
Ia bergegas menuju ke kamar. Terlihat Zubaidah mengerang kesakitan sambil memegang perut. Aida meringis melihatnya, ia segera memijit telapak kaki ibu mertuanya. Aida tahu, pijitannya tidaklah memberikan pengaruh apa-apa, tapi setidaknya bisa membuat perasaan Zubaidah merasa lebih nyaman.

Zubaidah telah tertidur pulas.  Sejenak Aida menoleh kalender, sekarang ia tak bisa lagi membuang kekhawatirannya.


***


Sebuah panggilan yang membuat Aida tersentak. Irsyad, suaminya masuk ke dalam kamar Zubaidah.

“Salamku tidak kamu jawab,” kata Irsyad, sambil menghampiri Aida, lalu mencium kepala Aida sekilas.

“Waalaikumussalam,” ucap Aida sambil menampakkan wajah permohonan maaf.

Irsyad tersenyum tipis. Ia memang sudah menduga Aida tidak mendengar salamnya. Irsyad menatap tangan kanan Aida yang memegang mushaf, sebelah kirinya memijiti kaki ibunya. Pandangan Irsyad beralih ke wajah ibunya yang terpejam. 




“Bagaimana keadaan, Ibu?” tanya Irsyad pelan.

Aida hanya bisa membalas dengan helaan napas. 

“Sepertinya ibu sudah tidur, kamu bisa murajaah di luar.” 

“Ibu memang seperti tidur, tapi ia akan terbangun jika ditinggalkan,” bisik Aida.

Irsyad menatap wajah ibunya yang sepertinya sudah terlelap. Ia memahami ibunya memerlukan perhatian lebih, dan ia tak mempermasalahkan sepanjang Aida bisa melakukannya. Hanya saja, Irsyad mengkhawatirkan Aida karena berapa hari lagi Aida harus tes hafalan 30 juz. Aida tidak akan bisa berkonsentrasi penuh jika harus melayani ibunya dan melakukan banyak kesibukan sebagai ibu rumah tangga. 

“Kamu murajaah saja di luar, biar aku yang jaga ibu,” ucap Irsyad sambil menyentuh telapak kaki ibunya.
“Mas, mandi dulu, lalu makan. Saya sudah siapkan makanan di atas meja,” sahut Aida sambil mengambil alih kaki Zubaidah yang tadinya sempat dipegang Irsyad.



***


Aida keluar dari kamar Zubaidah setelah memastikan ibu mertuanya benar-benar terlelap. Langkahnya terhenti ketika di depan pintu kamarnya.

“Tolonglah, Kak!” Irsyad sedang berbicara dengan kakak perempuannya di telpon. “Kak, hanya berapa ini saja. Setelah Aida selesai tes, kami akan ke sini lagi. … Kak … Tapi… Kak!”  

Aida terpaku menatap Irsyad yang menahan kesal. Sebulir air mata jatuh di pipinya. Tadinya ia ke kamar juga untuk membicarakan hal itu. Ia ingin meminta izin beberapa hari saja untuk fokus persiapan tes hafalannya. Ternyata Irsyad pun memiliki pemikiran yang sama. Tapi….

Aida terkesiap melihat Irsyad yang kaget melihatnya. Ia segera mengusap wajah, lalu menampilkan senyuman. 

“Mas, belum tidur?” tanyanya mengalihkan perhatian. “Jangan terlalu larut malam, Mas harus jaga kesehatan.”

Irsyad menghampirinya, lalu mendekapnya. Irsyad meletakkan wajahnya di atas kepala Aida. “Kamu pasti dengar pembicaraanku tadi.”
Aida mengangguk pelan.

“Maafkan, aku.”

Aida merenggangkan pelukan suaminya, “Mas tidak perlu minta maaf. Saya justru sangat berterima kasih, karena Mas telah berusaha berbuat untuk saya.”

Irsyad menatapnya gamang. 

“Sudahlah! Kita sudah berusaha, selebihnya kita serahkan semuanya pada Allah. Yang penting ibu jangan sampai terlantar. Saya akui, saya juga khwatir bagaimana tes hafalan saya nanti, tapi kita harus tetap memprioritaskan ibu.”

“Tapi jika kesibukanmu terus-terusan seperti ini, bisa-bisa kamu tidak lolos. Dan kamu harus menunggu setahun lagi untuk ikutan tes seperti ini. Sementara ibu adalah tanggung jawabku dan saudara-saudaraku.”

Aida memegang kedua tangan Irsyad. “Tanggung jawab Mas juga tanggung jawabku. Sudahlah, saya tak apa. In sya Allah, saya bisa melewatinya,” ucapnya dengan senyuman dibuat meyakinkan. “Saya juga tak menyesal jika harus menerima kegagalan karena saya sudah berbakti pada ibu. Jadi Mas jangan khawatir.”

Irsyad kembali memeluknya. Tanpa suara. Aida pun tak bisa membohongi dirinya. Ia pun ingin lolos tahun ini. Tetapi, jika memang harus seperti ini yang dilaluinya, ia akan belajar ikhlas.



***

Hingga tiba harinya. Habis shalat Subuh Aida dikelilingi empat orang ustazah yang siap menyimak hafalannya. Awalnya ia gugup. Persiapan yang tidak matang, ditambah kondisi fisiknya yang terlalu lelah membuatnya semakin khawatir. 

Ia mengucapkan bismillah sambil memejamkan mata. Baginya ia sudah berusaha berbuat maksimal sekemampuannya, apakah berhasil atau tidak, semua itu adalah urusan Allah. 

Di juz sepuluh pertama, bacaan hafalan Aida sangat lancar. Di juz sepuluh juz kedua, ia mulai ragu-ragu karena konsentrasi mulai pecah. Beruntungnya ada berapa kali jeda untuk shalat sehingga waktu yang sebentar itu, ia gunakan merelaksasikan kepalanya. Meski tidak menghilangkan lelah sepenuhnya, ia tetap bersyukur.

 Sehabis Isya, ia menyelesaikan juz sepuluh ke tiga. Tubuhnya benar-benar ingin roboh, kepalanya pun sudah terasa berat sekali, dan perutnya sudah semakin melilit. Namun, pantang baginya mundur. Baginya gagal adalah lebih baik daripada menyerah. 

Ia membaca dengan agak lambat, dan entah sudah berapa kali ia diingatkan. Aida tak bisa berharap lagi, tapi ia berazam untuk menyelesaikan 30 juz hari ini.

***

Aida membuka matanya yang masih terasa berat. Senyum Irsyad langsung menyapanya. “Bagaimana keadaanmu, Sayang? Masih cape?”

Aida tak langsung menjawab. Terlebih dahulu ia menyandarkan punggungnya ke sandaran ranjang. Badannya masih terasa remuk.
“Bagaimana keadaan ibu?” 

Irsyad menjentik halus hidungnya. “Di saat seperti ini, kamu masih memikirkan ibu?! Ibu masih seperti itu. Tapi, jangan khawatir, ada kakak yang menemani.”

Irsyad tersenyum geli melihat napas lega Aida. 

“Berapa jam saya tertidur?” tanya Aida sambil meraih ponselnya, namun keburu disambar Irsyad.

 Aida menatap heran.

“Itu tidak penting. Yang penting kamu lihat ini!” Irsyad memperlihatkan sebuah gambar di ponsel Aida. Aida meluruskan badannya begitu mengetahui bahwa gambar itu adalah pengumuman kelolosan. Jantungnya berdetak hebat ketika menyusuri deretan nama.

“Saya lolos?!” seru Aida, seakan tidak percaya dengan penglihatannya atau mungkin ada Aida yang lain.

Irsyad mengangguk. Aida masih terdiam bengong.

“Selamat, ya, Sayang,” bisik Irsyad.
“Alhamdulillah,” serunya sambil menghamburkan diri ke pelukan Irsyad.

Aida tak bersuara. Ia masih belum percaya, tapi kenyataannya ia mendengar ucapan selamat dari suaminya.

Saat itu juga ia tersadar, kalau semua itu adalah karena pertolongan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan orang yang berbakti pada orang tuanya, tak terkecuali kepada mertua.


 Cerpen: Ada Berkah Dalam Bakti ilustrasi Aida mengembuskan napas lelahnya. Ia menggerak-gerakkan lehernya yang terasa kaku. Baru saja ia me...
El Nurien