Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Teratai Kedua Part 5

 Teratai Kedua

 Part 5: Penyesalan



"Kalau sudah, kita pulang sekarang," ucap Hayati. 

Evan mengulurkan tangannya. Tera tertawa kecil. Ia menyambut uluran tangan kecil itu, lalu turun dari ranjang. 

***

Tera ternganga, rumah mewah modern kini di depan matanya. Halaman luas, hamparan rumput dengan potongan sangat rapi, tanaman di sana sini, dan tersedia kursi taman. Tidak pernah terbayangkan, kalau suatu saat ia akan menginjakkan kaki ke rumah semewah ini. Terlihat orang berlalu-lalang. Dari pakaiannya, Tera menerka mereka itu pembantu di rumah ini.


“Inilah, rumah sederhana kami. Buatlah dirimu nyaman. Anggaplah rumah sendiri,” ujar Fatima. 


Rumah sederhana? Ternyata setiap orang berbeda nilai standar. Baginya ini terlalu mewah, seperti mimpi. Namun bagi Fatima dibilang sederhana?

Tera mengangguk sedikit. “Iya, terima kasih, Bu.”


“Setiap kerjaan sudah ada petugasnya, jadi kamu jangan sibukkan dirimu. Tugasmu hanya menjaga Evan,” intruski Fatima.

“Inggih, Bu,” sahut Tera dengan wajah menunduk. 


“Kalau begitu, aku antar ke kamarmu.” 

Belum melangkah, Evan menariknya. 

“Evan, biarkan Mama ke kamarnya dulu,” seru Fatima. 


Evan menggeleng. Ia menarik lengan Tera. Tera menurut saja, hingga sampai ke sebuah kamar dengan dominan merah. Dari dekorasi di dinding mobil merah, rak gantung, lemari, kursi dan meja belajar, rak buku, nakas, bahkan ranjang sprei dengan motif si mobil merah, Mcqueen.


“Ini kamar Evan?” tanya Tera, meski ia tahu, itu pasti milik Evan.

Evan mengangguk. Ia mengambil pulpen dan note warna warni  yang selalu tersedia dalam tas selempangnya. Ia menulis sesuatu, lalu menyerahkan pada Tera. 


“Mama tidur di sini?” baca Tera.

Fatima yang sejak tadi mengikuti mereka terkejut. “Ranjangmu terlalu kecil untuk berdua, Evan.” 


Evan menggeleng. Ia menarik Tera hingga terduduk di ujung ranjang. 

Tera bertanya ke Fatima dengan isyarat.

“Kalau kamu tidak keberatan, saya sih tidak masalah,” jawab Fatima. 

Evan tersenyum cerah. Deretan gigi halusnya, selalu menggoda Tera hendak mencubit.


“Baiklah kalau begitu. Saya tidur di sini.” 

Evan meloncat kegirangan. Ia berdiri lalu memeluk Tera. Tidak peduli dengan wajah Tera yang selalu kebingungan. Fatima menatapnya haru. 

“Kalau begitu, kita ke pasar sekarang saja. Beli buat keperluanmu,” ucap Fatima.

“Tapi saya tidak mempunyai uang, Bu,” sahut Tera.


“Jangan pikirkan itu. Kamu bersiap-siaplah!”

Evan turun dari ranjang, lalu menarik tangan Tera. 


*** 

"Ini semua bukumu, Van?" tanya Tera. Tera berbalik karena tidak mendapat respon Evan. "Van?"

Evan masih bergeming. Tera mengerutkan kening. 


"Ooh," pekik Tera sambil menepuk dahinya. Ia mendekati Evan yang di ujung ranjang. "Jadi kamu biasa dipanggil Evan ya?"

Evan mengangguk. 


Tera berdecak. Ia menatap rak buku milik Evan yang hanya membaca beberapa sampul buku sudah membuatnya pening.

 "Kaku sekali," batinnya.

Ia menjongkok di depan Evan. "Mulai sekarang Mama akan memanggil nama singkatanmu Van."


Evan bergeming Tera naik, duduk di sisi Evan. "Dengar, ini khusus Mama. Tidak ada yang boleh memanggil Van selain Mama! Iya?"

Evan tersenyum, lalu mengangguk.

"Pinter." Tera segera menghadiahinya dengan ciuman. 


Sebuah ketukan, lalu muncul Asih dari balik pintu. “Saatnya makan.”


***

Sudah ada Fatima, Sanad dan Hayati saat Tera membawa Evan ke meja makan. Tera menarik sebuah kursi yang didekati Evan.

“Evan bisa makan sendiri 'kan? Mama mau ke dapur dulu,” ucap Tera sambil memasangkan celemek untuk Evan yang sudah tersedia di meja. Evan menarik lengan Tera. Sesaat Tera menatap Fatima yang juga menatapnya. 


Fatima mengangguk. Hampir saja ia duduk, andai saja tidak melihat wajah datar Sanad. Ia mengelus rambut Evan.

“Van, dengarlah. Setiap orang sudah punya tempatnya masing-masing. Evan di sini, Mama bersama-sama Tante Asih dan lainnya,” ucapnya lembut. 


Evan menggeleng. 

“Evan, anak patuh. Patuhlah sama Mama,” bujuk Tera. Ia menjauh tanpa menunggu reaksi Evan.


“MA!” panggil Evan dengan setengah menangis. 

Tera berbalik. Hunjaman mata Sanad membuatnya kembali berpaling. 

“Ma!” Evan kali ini mendekat, lalu memegang kain baju Tera.


“Tera!” panggil Sanad, lalu menyuruhnya duduk dengan gerakan dagu.

Tera mencebik. “Apa susahnya ngomong,” gerutu Tera, tetapi seketika mengatupkan bibirnya begitu melihat tatapan tajam Sanad. 


Tiba-tiba di meja, Tera kebingungan caranya makan? Ia bisa menebak bagaimana cara makan mereka, dari sinetron yang ia lihat di televisi. Masalahnya ia tidak pernah latihan. 

“Buatlah dirimu nyaman, Tera,” seru Fatima setelah melihatnya kebingungan. Tera hanya mengangguk dengan wajah meringis. 


“Oh, iya. Aku punya sesuatu buat Mama.” Sanad meletakkan sendok garpunya ke atas piring. Ia mengeluarkan dua bungkus kerupuk dari kantong kertas. Sebungkus dalam kemasan plastik biasa, sedang satunya kemasan standing pouch. “Ini kesukaan Mama kan?” 


Tera tersentak melihat warna putih dengan merah di tepinya pada kemasan itu. 

Sanad tersenyum sinis. Ujung retinanya menangkap keterkejutan Tera. 

“Sepertinya iya. Namanya juga sama. Tapi, beda kemasan ya?” Fatima membanding dua kemasan di tangannya.


“Iya. Dari nama dan produksinya sama, hanya beda kemasan. Produk ini sudah masuk ke minimarket kita beberapa hari yang lalu.”

Mata Tera membulat. Ia mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak bereaksi.

“Woah, bagus tuh, kalau sudah masuk ke minimarket. Dijamin laris. Rasanya enak, gurih dan renyah,” ucap Fatima sambil membuka kemasan standing pouch.


“Dicoba dulu, baru berkomentar,” sergah Sanad. 

“Mama sering memakan ini,” sahut Fatima sambil menyuap sepotong kerupuk. Tiba-tiba keningnya mengerut. “Kok seperti beda, ya? 


Sanad mengangguk. “Orang bilang juga gitu. Coba Mama coba yang satunya itu.”

Fatima menyobek kemasan yang satunya lagi, lalu menyuapnya. “Nah kalau ini, memang iya,” ujar Fatima sambil mengangguk-ngangguk. Ia kembali menyuap kerupuk itu. “Mama suka banget kerupuk ini.” 


Tera termangu. Tiba-tiba ia rindu dengan Teratai Produksi beserta karyawannya.

“Tapi kenapa beda rasanya ya? Padahal kemasannya sudah bagus.” Suara Hayati menembus lamunan Tera.


Sesaat Sanad memperhatikan air muka Tera yang berubah mendung. 

“Entahlah! Karyawan bilang, Supplier ke minimarket memang beda dengan orang-orang yang mengedarkan ke pasaran,” sahut Sanad. 

“Maksudmu ini tiruan?” tanya Fatima.


Sanad hanya menjawab dengan kedikkan bahu, lalu menyuap makanannya. 

“Sudah,” seru Evan. 

Tera sedikit linglung. “Oh, iya.” Ia mengambil teko berisi air. Sesaat semua mata di sana menatapnya, karena gelas milik Evan masih penuh.


Maaf,” ucapnya dengan wajah menunduk 

Sanad mengeluarkan selembar kartu, lalu meletakkan ke arah Tera. “Ini untuk keperluan Evan.” 

Tera memerhatikan kartu itu. Tiba-tiba ia teringat barang-barang yang ingin dibeli untuk Evan. “Untuk Evan? Selama untuk Evan, saya bebas menggunakannya?” tanya Tera.


Sanad mengangguk. “Tapi itu memengaruhi penilaian kinerjamu. Jangan sampai belum genap seminggu kamu sudah dipecat.” 

Tera terkesiap. Fatima menggelengkan kepalanya.


“Kalau begitu kami permisi dulu.”

Fatima mengangguk lembut. 

“Haruskah kamu berkata begitu?!” 


Pertanyaan Fatima masih terdengar di telinga Tera. Sanad tidak terdengar menyahut.

“Pembantu memang harus begitu, Ma. Kadang mereka bisa melonjak, jika dibiarkan.” Hayati bersuara. 


“Pembantu?!” protes Fatima. 

“Iya, terus apa dong? Dia kan memang pembantu. Sama saja dengan Asih dan lainnya,” sahut Hayati. 


“Tapi, dia merawat Evan. Aku tidak suka orang yang merawat cucuku disebut pembantu,” tukas Fatima. “Pengasuh, baby sister.”

“Tetap saja kan orang upahan?”

Sanad berdiri. “Aku sudah.”


*** 

Di Bangkau.

Bastiah bersandar di dinding dengan menjulurkan kaki. Kembang memijat kaki ibunya. Sudah berapa hari Bastiah sakit-sakitan. 


“Kembang, apa tidak ada kabar dari Tera?” Kedua matanya kembali mengalir. 

“Ibu  masih mau cari dia? Suami adiknya masih mau diembat? Itu kurang ajar banget, Bu!” debat Kembang. 


“Sejahat-jahatnya dia, dia masih kakakmu. Ingatlah, kita hidup sampai sekarang karena dia.”

“Tetap saja. Apa ibu mau, aku menderita gara-gara dia.” Spontan Kembang berdiri karena emosi. 


“Siapa yang ingin membuatmu menderita? Kita bisa mengingatkan dia? Kembang, dia tulang punggung kita. Kita masih memerlukan biaya untuk Elang dan Lilac. Kamu mau membiayai mereka? Dari mana? Gajimu? Kamu pasti ingat, sampai sekarang kita belum mendapatkan resep aslinya.”


“Ibu tidak percaya pada kemampuanku?! Bu, aku dan Mas Arbain sarjana, Ibu masih tidak percaya pada kami? Oke, aku memang belum bisa membuat kerupuk seenak punya Tera, tapi dengan masuknya produk kita ke minimarket dan tersebar-sebar di mana, apa  Ibu masih meragukannya?"


"Kembang!"

“Mas, MAS,” teriak Kembang.

Arbain keluar dengan tergopoh-gopoh dari kamarnya. “Iya, Dek?”


“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.


“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”



Tidak ada komentar