Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintamu Part 8


Pandangan Orang-orang

Merenda Cintamu Part 8






 "Ya wajarlah, kan dia asisten Ryu."

"Wajar? Bayangkan bagaimana laki-laki dan perempuan satu atap!"

Hilya mendengar jelas tukang gosip itu menahan napas. 

Dua orang penggosip itu tiba-tiba tersentak, melihat Hilya yang baru saja keluar dari toilet. 


***

“Ryu, aku ingin bicara denganmu,” ucap Talita ketika telah selesai dari syuting. 

“Katakanlah!” sahut Ryu sambil mengambil air minuman yang diserahkan Hilya. 

Talita menoleh ke arah Hilya yang tak jauh dari Ryu, juga beberapa orang dari team Ryu. 

“Bisa bicara di lain tempat? Ini penting, mengenai karir kita.” 

Ryu terdiam. Ia ingin menolak, tetapi Fadli tak jauh darinya sudah memberi perintah. 

"Baiklah." Ryu beralih ke Hilya. "Kamu pulanglah duluan!"

"Siap!" sahut Hilya cepat. 

"Cepat sekali?! Ada apa?" tanya Ryu penuh selidik. 

"Bukan apa-apa. Setiap pasti orang pasti senang lah kalau ada waktu bonus," kilah Hilya. 

Ryu mengacak pinggangnya, lalu memajukan wajah. "Makin mencurigakan!"

"Sudahlah!" Hilya memutar bahu Ryu. "Pergi saja. Tak baik curigaan. Nanti cepat tua."

Ryu makin kesal melihat Irfan dan makeup artistnya cekikikan. 

"Sudahlah, kalian pergi saja. Biarkan Hilya bebas." Fadli menengahi. 

"Daah!" Hilya melambaikan tangan dengan ceria. 

Sebelum masuk ke mobil, Ryu masih sempat menoleh ke arah punggung Hilya yang menjauh. 


*** 


Ryu dan Talita memasuki sebuah restoran mewah di kawasan elit. Restoran yang mengambil konsep suasana Eropa dengan furnitur dari kayu yang disusun secara cantik, lampu gantung chandelier mini yang tergantung di setiap meja. 

"Ryu, tadi aku dengar gosip miring kamu yang tinggal serumah dengan Hilya," ucap Talita ketika pencatat pesanan telah menjauh. 

"Hilya itu asistenku. Ya wajar kalau kami tinggal serumah. Secara dia melayaniku dari bangun tidur sampai tidur kembali," sahut Ryu. 

"Semua baik-baik saja, kalau kamu tidak gendong Hilya kemarin. Itu meninggalkan kecurigaan buat netizen, terutama para haters. Ini kesempatan mereka untuk menyerangku, kamu atau malah kita berdua."

"Biarin ajalah! Selama tidak mengganggu penjualan. Lama-lama juga akan hilang sendiri, berganti dengan berita baru. Lagi pula  bukankah berita negatif itu bisa dibilang promosi tidak berbayar?" tukas Ryu. 

Talita menghela napas. "Mengapa kamu selalu tidak peduli dengan hal ini. Ini sangat berarti bagiku. Harga diriku hancur, jika mereka memandangmu selingkuh dengan gadis biasa."

Ryu mengernyit. "Bukankah dari awal hubungan kita ini settingan? Tentu apa pun reaksi publik kita tidak boleh ambil hati."

"Itu bagimu. Aku serius menganggap hubungan ini. Aku serius mencintaimu." 

Ryu terdiam, lalu beberapa detik kemudian mendesah keras. "Jangan bawa-bawa hati dalam urusan profesionalisme ini, Ta!"

"Mengapa? Bukankah sebelumnya kamu bisa menjalin hubungan dengan pasangan settingan sebelumku?"

Ryu tertawa kecut. "Seumur hidupku tidak pernah jatuh cinta dan aku tidak ingin terlibat dalam urusan merepotkan itu. Tapi bagaimana kamu bisa berpikir begitu dan percaya dengan pemberitaan padahal kamu sendiri sedang menjalani?" 

Talita memasang wajah sendu. "Isabella pernah cerita kalau kalian memang pernah menjalin hubungan beneran. Kalian berpisah karena sama-sama dalam kesibukan."

Ryu tertawa. "Dan kamu percaya. Oh iya, dia temanmu ya. Oke. Aku tidak akan membela diri." 

"Kalaupun Talita membohongiku, tidak kan kamu rasakan kebersamaan kita lebih dari setahun? Siang dan malam? Bahkan kadang kita bersama di lokasi syuting 24 jam. Mengapa tidak sedikit merasakan getaran itu?"

"Aku memang laki-laki tak punya hati."

Talita meraih tangan Ryu. "Ryu, berilah aku kesempatan, ya. Kita jalin hubungan ini, aku akan berusaha meraih hatimu. Jika memang waktunya habis, aku janji, aku akan undur diri."

"No no." Ryu menarik tangannya. "Aku tidak ingin terlibat hubungan apa-apa lagi. Hubungan settingan ini saja sudah merepotkanku. Sudah kubilang, aku tidak ingin berurusan hubungan yang rumit itu. Jadi jangan bawa dirimu lebih jauh lagi."

"Please, sebagai teman kerja, berilah aku kesempatan!" Talita kembali meraih tangan Ryu.

Ryu menggeleng. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada dua orang yang baru saja masuk, lalu menduduki sebuah meja yang tak jauh dari mereka. Emosinya tiba-tiba mencuat. Lebih mengesalkan lagi, melihat mereka saling tertawa bahagia. 

Dengan amarah, ia berdiri mendekati pasangan itu. Pandangan Talita mengikuti langkah Ryu. 

"Ooh, pantesan tadi senang sekali! Jadi memang ada janji?!" sungut Ryu. 

Hilya terdiri. "Ryu, kok ada di sini? Kebetulan sekali," seru Hilya tanpa merasa bersalah. 

"Disuruh pulang malah main. Dengan dia lagi?" tunjuk Ryu pada Hanif. 

Hanif mengernyit. 

"Memang kenapa aku makan bareng dia? Tuh ini waktu kosong kan?" sahut Hilya. 

Talita mendekat. 

Hanif berdiri. "Kalian pergi bareng? Kenapa kita tidak kumpul saja. Kebetulan sekali kan?" Hanif buka suara. 

Ryu berpaling ke arah Hanif, lalu menyuguhkan senyuman sinis. Tanpa suara ia mendekati Hilya, lalu menarik tangan gadis itu. 

"Ayo pulang!"

Hilya menyentak tangannya, sehingga pegangan Ryu terlepas.

Hanif merangsek. "Dia cewek, tidak bisa bersikap lembut sedikit?!"

Ryu memajukan wajahnya. "Dia pembantuku, lo mau apa?!"

"Pembantu?" ulang Hilya. Ia menghempaskan napasnya. Ia mengambil tasnya, lalu memasang ke bahunya. 

"Nif, aku duluan. Maaf, malam ini jadi berantakan," ucap Hilya, lalu menjauh tanpa menunggu jawaban dari siapapun. 

"HIL!" teriak Ryu. Namun Hilya terus berlalu tanpa menoleh. 

Hanif menarik kerah Ryu. "Jadi cowok tidak bisa bersikap gentle sedikit? Apalagi dia telah melayanimu." Hanif mendorong tangannya, sehingga Ryu termundur sedikit. 

Hanif berlari keluar.  Melihat Hanif bakal menyusul Hilya, Ryu pun ikut menyusul. Tidak akan ia biarkan Hilya pulang dengan musuh bebuyutannya. 

Sayangnya, sampai di tepi jalan, ia juga Hanif tak lagi menemukan Hilya. 


***

Hilya tidak menampakkan batang hidung ketika Ryu sampai di rumah. Sesal menjalari hati Ryu. Sedih ikut mendominasi. Biasanya Hilya selalu menyambutnya, jika sudah duluan di rumah. 

"Siapa suruh pergi dengan cecengok itu," gerutu Ryu. Ia mengetuk pintu kamar Hilya. "Hilya,"

Tidak ada jawaban. Ia memegang gagang pintu. Terkunci dari dalam. Ia dapat bernapas lega. Setidaknya Hilya ada di dalam. 

"Hilya," panggilnya dengan sengaja nada ditinggikan. "Masakan sesuatu, perutku lapar! Gara-gara kamu, dinnerku jadi gagal! HIL!" ketuknya lebih keras. 

Tak butuh banyak ketukan, Hilya keluar dengan wajah masam. "Mau makan apa?" tanyanya judes. 

"Terserah. Yang penting cepat masak," sahutnya sambil berlalu. 

"Yakin? Tidak nyesel dengan pilihan pembantu?" tanya Hilya dengan penuh penekanan di ujung kalimatnya. 

Ryu tidak merespon. Ia terus berlari menaiki anak tangga, menuju kamarnya. 

"Dasar makhluk pribadi ganda!"


***


"Cuma mie?" tanya Ryu ketika melihat dua buah mangkuk mie instan di atas meja. 

"Tadi kamu bilang terserah, yang penting cepat masak. Ya mie instan yang paling cepat," sahut Hilya ketus. 

Ryu hanya bereaksi dengan wajah merengut. Ia duduk di sebuah kursi, lalu mengambil mangkuk mie itu. 

Hilya menggigit bibirnya. Menahan senyum melihat wajah sepet Ryu.

Tanpa suara Ryu menyuap mie itu, sesekali menghirup kuahnya. Hilya menahan kupu-kupu yang terus menggelitik perutnya. Kalau ditanya, biasanya Ryu akan meminta mie goreng. Ia sengaja membuatkan mie kuah, untuk mengerjai Ryu. 

Hilya duduk, memakan mie yang satunya. "Sadar nggak, kamu makan semeja dengan pembantu?" 

Ryu mengangkat wajah sesaat, lalu kembali menyuap mie. Terakhir ia menyeruput kuah mie langsung dari mangkuknya. 


*** 

Waktu istirahat, Ryu menggunakannya untuk membaca script skenario. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Hanif yang sedang berbicara dengan seorang sutradara. 

Ia mengedarkan pandangannya, berhenti pada sebuah pojokan, tempat Hilya asik memainkan ponselnya. Tiba-tiba ide nakal terbersit dalam benaknya. 

Ia berjalan mendekati Hilya. "Hil!" 

Hilya mengangkat wajahnya. Tiba-tiba bulu romanya merinding. Sejak kapan Ryu mendekatinya jika ada keperluan? Biasanya makhluk itu akan langsung berteriak, tidak peduli sedang berada di mana 

Ia berdiri waswas. "Ada apa?"

"Bawaannya curigaan mulu," tukas Ryu. "Bantu aku latihan. Sini!"

Hilya berdiri, mengikuti ke mana Ryu bergerak. 

"Berdiri di sini saja!" perintah Ryu sambil memegang kedua bahu Hilya. Sengaja ia mendirikan Hilya di lokasi terlindung, supaya tidak melihat Hanif ada di sekitar situ.

"Kamu cuma bilang, 'aku' seakan-akan kamu kehilangan kata-kata," instruksi Ryu sambil memperlihatkan naskah sekilas. Bahkan tak sempat ditangkap Hilya meski satu huruf. 

"Oke?"

Hilya mengangguk saja. Meski masih curiga  dengan sikap Ryu. 

Ryu meletakkan naskahnya di atas meja, lalu berdiri, berhadapan dengan Hilya. 

Sesaat dia berdeham dengan cukup nyaring. Ekor matanya melirik. Hanif terpancing. Hilya mengernyit. 

"Sayang, percayalah padaku, aku sangat mencintaimu," ucap Ryu lembut.

"Aku …." 

Ryu mendekat. Memegang kedua bahu Hilya.  Kedua manik matanya mengunci mata Hilya. Gadis itu tak berani bergerak, meski sekadar mengerjap.  Ryu mendekatkan wajahnya, lalu mencium dalam pucuk kepala Hilya.

Hilya masih bergeming. Seakan gadis itu telah melayang rohnya. Ryu menjentikkan ujung telunjuk dengan ujung jempolnya sehingga mengeluarkan bunyi. Hilya mengerjap. 

"Kamu tidak apa?" tanya Ryu dengan memasang wajah cemas. 

Hilya menggeleng, meski dapat dilihat kesadaran gadis itu tidak sepenuhnya pulih. 

Ryu menoleh ke arah Hanif yang mematung, lalu berbalik. 

Ryu tersenyum penuh kemenangan. 

***

"Hilya mana?" tanya Fadli dengan napas terengah-engah.

"Tau, ada yang mau dibeli katanya," jawab Ryu santai tanpa mengalihkan pandangannya dari naskah. 

"Ryu, gawat. Kita harus temukan dia!" Napas Fadli masih memburu.

Ryu melepaskan naskahnya. "Ada apa?"

"Ini gara-gara, lo. Mencium dia kemarin. Video telah beredar. Ia akan mendapatkan serangan fans Talita."


***


 Terima kasih ♥️ 

Minta doa dan dukungannya, semoga bisa konsisten menulis cerita ini. 

Tidak ada komentar