Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Drama Rumah Tangga"
El Nurien

 Mendadak Talak 
Part 10. Bermain Siasat


Ia berdiri, dengan menopang kedua tangannya di atas meja. “Bu, sebenarnya kami ….”

“Wahda!” seru Bagus cepat. “Mumpung ingat, ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Wahda menghela napas beratnya. Ia tidak menyangka kalau Bagus melakukan siasat licik ini. Mempertahankan dengan memanfaatkan kelemahannya. 

Ia menurut saja, mengikuti Bagus hingga sampai ke kamar. 

“Please, jangan katakan sekarang! Kamu tau, Ibu sangat menyayangimu. Ia pasti sangat bersedih jika mengetahui perceraian kita.” 

Wahda menyunggingkan sebelah bibirnya. 

“Aku terpaksa. Aku hanya ingin selalu bersamamu. Aku percaya, jika kita bersama lagi, hatimu pasti terbuka lagi untukku. Beri aku kesempatan ya.” 

“Bukankah aku sudah bilang padamu, beli rumah, datang padaku. Tidak perlu melakukan hal seperti ini.”

“Soal rumah, aku akan mengusahakannya. Tapi, tetap saja aku selalu ingin melihatmu setiap saat. Aku benar-benar gila, bila sehari saja tanpa melihatmu.”

Wahda tersenyum mengejek. “Dengan cara seperti ini kamu pikir aku care?!”

“Aku tahu. Aku terpaksa.” Ia meraih kedua tangan Wahda. “Aku tau, kamu tidak akan menyakiti Ibu. Aku janji, akan mulai mencari rumah untuk kita dengan hasil usahaku sendiri.”

Wahda menghela napas, lalu mengangguk saja. Ia memang malas membuang tenaga untuk berdebat.

Bagus tersenyum semringah. Sesaat Wahda terkesiap. Betapa ia sangat merindukan reaksi seperti itu. Tapi kenapa ia melihat reaksi itu saat mereka bukan siapa-siapa lagi?

Bagus menggamit tangannya hingga sampai ke meja makan. Gudeg sudah tersedia di atas piring lengkap dengan sendok, nasi bahkan segelas air minum. Wahda menghela napas. Ia semakin terjepit di situasi sulit.

Wahda duduk, lalu langsung menyuap gudeg itu. Rasanya tetap seenak dulu, tetapi ia tidak bisa menikmatinya dengan hati yang berdenyut-denyut. 

“Bagaimana? Enak tidak?” tanya Rusma yang sejak tadi menunggu reaksinya. 

Wahda memaksakan senyum. “Enak, enak sekali, Bu.”

Rusma tersenyum bahagia. “Syukurlah.”

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Bagus yang tengah memainkan ponsel. Mendadak muncul ide di benaknya.

“Gus, tolong ambilkan obatku di kamar,” ucap Wahda dengan memasang wajah memelas.

“Apa?” tanya Bagus. Bukan ia tidak mendengar dengan permintaan Wahda, tetapi mana mungkin ada obat Wahda di dalam kamar. Ia ingin bertanya lagi, tetapi ibunya menatapnya dengan wajah penuh tanya padanya. 

“Mmm, baiklah,” ucap Bagus pasrah. Ia berdiri sambil membawa ponselnya. 

"Gus, minjam ponselmu dong. Aku kehilangan no kontak teman. Semoga masih ada di ponselmu."

Bagus mengerutkan kening, menatap curiga. Wahda mengerling ke arah ibu mertuanya. Bagus mengiringi kerlingan mata Wahda, terlihat ibunya menatap penuh selidik. 

"Gus, jangan katakan kamu mempunyai rahasia dengan istrimu sendiri?!” tuduh Rusma. 

“Bukan begitu, tapi ….”  Bagus kebingungan hendak berucap apa. Ia tau, Wahda pasti mau melakukan sesuatu dengan ponselnya, meski ia tidak tahu itu apa. 

“Tak apa, Bu. Nanti aku bisa cari nomornya ke teman yang lain,” ucap Wahda. 

“Gus, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dari tadi Ibu merasa ada yang aneh denganmu,” selidik ibunya. 

“Aneh gimana, Bu. Perasaan ibu saja mungkin.”

“Lihat dirimu, cuma mengambil obat sebentar ke kamar harus bawa ponsel. Memangya ada apa dengan isi ponsel itu?” cecar ibunya.

“Tidak ada apa-apa, Bu. Percaya deh! Ini,” jawab Bagus sambil meletakkan ponselnya ke hadapan Wahda.

“Terima kasih, Sayang,” ucap Wahda dengan memberikan senyuman semanis mungkin. 

Bagus bergegas ke kamarnya. Ia tahu, ini hanya siasat Wahda untuk mengambil ponselnya.

Sementara itu, wahda dengan cepat membuka aplikasi berwarna hijau, beruntungnya nama yang ia cari ada di urutan paling atas. Ia segera mengetik pesan singkat dan menghapus kembali supaya tidak dilihat Bagus. 

“Tidak ada, Sayang.” 

“Tidak ada? Masa sih?” tanya Wahda sambil mencatat nomor sebuah nama. Wahda mengerutkan kening, pura-pura mengingat sesuatu. “Oh mungkin aku salah ingat.”

“Coba cari deh,” usul Bagus pura-pura. 

Wahda memainkan bibirnya. Ia berdiri, dan melangkah ke kamar. Bagus mengikuti. 

“Apa yang kau rencanakan?” 

Wahda tersenyum miring. “Jangan khawatir. Seperti yang kau duga, aku tidak akan menyakiti ibumu. Tenang saja,” jawab Wahda santai, lalu keluar kamar. 

“Ketemu?” tanya Rusma ketika Wahda sudah kembali ke meja makan. 

“Nggak ada, Bu. Oh iya, saya lupa, kalau obat itu aku bawa ke mana-mana,” jawab Wahda sambil membuka tasnya lalu mengeluarkan pil box kecil. 

Rusma menghela napasnya. “Belum tua, sudah bisa lupa. Kurangilah aktifitasmu di luar. Tidak bekerja juga tidak apa. Bagus masih sanggup membiayaimu. Benar kan, Gus?”

“I … iya, Bu,” jawab Bagus. 

Wahda tersenyum tipis, sedang dalam hatinya terbahak ria. “Baiklah, Bu. Akan saya pertimbangkan.  Hanya saja, jika tidak bekerja akan sangat membosankan nantinya, karena Bagus jarang di rumah, Bu. dia sibuk terus. Rumah sakit sudah menjadi rumah keduanya, Bu,” seru Wahda sambil memasang wajah sedih.

“Tidak baik begitu, Gus. Seberapa pun pentingnya pekerjaan itu, keluarga tetap utama.”

“Iya, Bu. Akan saya ingat,” sahut Bagus dengan wajah tertunduk. 

“Sudahlah, Bu. Kita nikmati gudeg ini. Nasiku sudah dingin.”

“Waduh. Ibu ganti ya.”

“Tidak usah, Bu. Gudeg buatan Ibu tetap enak, meski disantap dengan nasi dingin.”

Acara makan berjalan baik. Rusma bercerita banyak tentang di kampungnya. Wahda menyimak dengan baik, sedang Bagus terlihat gusar. Ia masih tidak tahu apa yang telah direncanakan Wahda di balik semua ini. 

Setelah selesai makan, wahda membersihkan peralatan makan, sedang mertuanya melap kompor. 

"Wahda, apa sebaiknya kalian memiliki pembantu saja?!" 

Wahda menghentikan gerakannya. "Maksud Ibu?" 

"Begitu ibu datang, rumah ini sangat berdebu, dapur berantakan. Ibu tau, Kamu pasti sibuk sekali, mana sempat mengurus rumah. Dengan adanya pembantu, kamu juga bisa beristirahat lebih banyak." 

Begitulah Rusma. Kepada Wahda ia tidak pernah sungkan, meski hanya sebagai mertua. Mertuanya lebih aktif dan sering memberi nasihat dibanding ibunya sendiri.

Baru saja Wahda membuka mulutnya, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Sesaat mereka saling bersitatap. 

"Biar saya yang buka," ucap Wahda sambil mencuci tangannya. 

Ternyata Bagus sudah membuka pintu terlebih dahulu. 

"Angel? Kenapa kamu ke sini?" tanya Bagus dengan panik.

"Katanya kamu sakit?" jawab Angel sambil menyentuh dahi Bagus dengan wajah cemas. "Tidak panas.  Nih, aku bawakan bubur." 

Wahda bergegas keluar, sebelum Angel diusir Bagus. 

"Angel," seru Wahda dengan disengajakan nyaring.

Bagus menoleh ke belakang. "Ini ulahmu 'kan?"

Wahda hanya menjawab dengan senyum tertahan. 

"Wahda, kenapa kamu di sini?" tanya Angel sambil masuk ke rumah. 

"Ini rumahku, suka-sukaku dong!" tukas Wahda. 

"Bukannya kalian sudah cerai?!"

"Apa? Wahda dan Bagus bercerai?" 

Sontak Bagus dan Angel terkejut dengan kemunculan Rusma, sedang Wahda berjuang keras menahan senyum.

Bagus bergegas mendekati ibunya. "Tidak, Bu. Ibu salah dengar."

"Ibu tidak tuli, Gus. Dan lagi kenapa perempuan ini ada di sini? Jangan katakan, kalian cerai gara-gara perempuan ini!" tunjuk Rusma pada Angel. 

"Bukan beg …."

"Iya, Bu," potong Wahda cepat. "Dan dugaan Ibu juga benar."

Wahda menghela napasnya. 

"Karena Ibu sudah tahu bagaimana pernikahan kami, saya tidak perlu lagi pura-pura menjadi istri yang baik." 

"Wahda!" Bagus menggelengkan kepala dengan wajah memelas. 

Wahda mendekati Rusma. "Saya sudah tidak tinggal di sini lagi, Bu. Terima kasih atas gudeg dan perhatian Ibu  Gudeg buatan Ibu memang selalu enak. Maafkan saya kalau ada salah sama Ibu selama menjadi istri Bagus selama ini." 

Air mata Rusma mulai berderai. "Kenapa jadi seperti ini? Apa yang terjadi?" 

"Nanti Mas Bagus akan menjelaskan pada Ibu. Saya pulang dulu, Bu." Wahda menyalami dan mencium punggung tangan mertuanya. 

"Wahda!" Bagus bergegas ingin mencegat, tetapi segera ditepis Wahda.

"Selesaikan saja sendiri dengan masalah yang kamu buat. Jangan bawa-bawa aku."

Tangis Rusma makin menderu, ketika melihat punggung menantunya semakin menjauh dan  melewati pintu rumah. 

"Maaf, jadi tadi yang ngirim chat itu …?" tanya Angel dengan wajah merasa bersalah. 

Tiba-tiba darah Rusma melonjak tinggi. Ia menderap mendekati Angel. "Dasar perempuan tidak tahu diri. Kalau pergi, pergi saja sana, kenapa kembali lagi?!"

Rusma menarik rambut Angel. "Setelah kau sakiti dia, sekarang hancurkan rumah tangganya. Maumu apa hah, perempuan jal*Ng?!"

Bagus bergegas melerai. Bagus berusaha keras menarik tangan ibunya, tetapi cengkeraman ibunya semakin kuat. Angel mengaduh kesakitan.

"Bu, lepaskan, kita bisa kena tuntutan!" teriak Bagus. 

Seketika Rusma melepaskan cengkramannya. Napasnya masih memburu.

Angel masih meringis kesakitan. Ia mengelus rambutnya yang telah berantakan. Seketika matanya membelalak ketika melihat banyaknya rambut di tangan Rusma. Rusma yang menyadari hal itu langsung melempar rambut itu ke lantai.

"Angel, kamu pulanglah dulu. Maafkan Ibu ya," bujuk Bagus.

Angel mengangguk pasrah. Ia pun masih memendam amarah karena rambut yang dirawatnya tiba-tiba rusak. Namun, bertengkar sekarang bukanlah cara yang tepat. 

"Kalau begitu aku pulang. Permisi, Bu." Angel sedikit menunduk pada Rusma. 

Rusma masih saja memperlihatkan wajah yang memerah dan napas memburu.

Bagus memegang kedua tangan. "Bu, tenanglah. Akan aku jelaskan, ya." 

Rusma mengibas tangannya. "Jelaskan bagaimana, jelas-jelas Ibu dengar, kalian bercerai dan karena perempuan itu kan?! Bodoh sekali kamu, Gus! Dia telah meninggalkan kamu, masih saja kamu mau dekat dengannya."

"Bukan begitu, Bu! Dengarkan aku dulu!" melas Bagus. 

"Jangan panggil aku Ibu, sebelum Wahda kembali jadi menantu Ibu."


***

Cuplikan part 11. 


“Aku masuk ya,” ucap Arsa lagi sambil masuk, lalu meletakkan map yang dipegangnya ke atas meja. Namun, betapa terkejutnya ketika berbalik, terlihat Fatima terkulai di lantai, di samping sofa tidak sadarkan diri. 

“Tante?!!" 

***

Untuk menghindari plagiat, saya hanya bisa menshare sampai di sini. 

Silakan dukung author dengan berkunjung ke kbm App (KLIK LINK)

Karya Karsa (Klik Link)


sebelumnya, saya ucapkan Terima kasih atas dukungannya.

 Mendadak Talak  Part 10. Bermain Siasat Ia berdiri, dengan menopang kedua tangannya di atas meja. “Bu, sebenarnya kami ….” “Wahda!” seru Ba...
El Nurien
El Nurien

 Mendadak Talak Part 9
Akar Permasalahan



“Jangan mendadak lupa. Kamu membuatku perutku menjadi mual. Kamu bermain dengan siapa saja, aku tak peduli. Tapi jangan bawa dia ke rumahku!”

“Ke rumah? Ooh, jangan salah paham dulu. Pagi tadi aku bangun kesiangan, padahal kami ada janji meeting di laboratorium. Jadi dia ….”

“Dia mau apa bukan urusanku lagi,” tukas Wahda dengan mengangkat kedua tangannya. “Aku tidak ingin peduli.”

Bagus meraih tangan Wahda, tetapi perempuan itu keburu menarik tangannya. 

“Wahda, percayalah. Aku sangat membutuhkanmu. Tanpamu hidupku sangat berantakan, termasuk pagi tadi. Percayalah, Angel ke rumah cuma menjemputku, itu pun kami telat sampai dimarahi profesor. Kembalilah padaku. Hidupku sangat berantakan. Setiap saat aku selalu memikirkanmu.” 

Wahda menghela napas. “Baiklah.”

Mata Bagus berbinar cerah. 

“Aku memberimu kesempatan untuk berjuang.”

Bagus terhenyak. “Terima kasih," ucapnya pasrah. 

“Tapi rumah itu dari pernikahan kita  yang sekarang sudah kandas, jadi aku mau rumah itu dijual. Kalau memang kamu ingin kembali bersamaku, belilah sebuah rumah sebelum mengajakku datang padaku.”

Bagus mengernyit. “Apa bedanya rumah itu dengan rumah baru?!"

“Beda lah. Perlu kamu ingat berapa persen rumah itu berdiri atas hasil keringatmu dan keringatku.”

Bagus terdiam. Ia tersadar rumah itu dibangun saat ia konsentrasi studi spesialis. Ia lupa apakah pernah berkontribusi atas rumah itu. Secara materi, materinya telah habis ia gunakan untuk biaya studi. 

“Sudah ingat? Aku ingatkan rumah itu tidak ada hasil keringatmu? Tepatnya rumah itu 50 persen lebih dari keringatku, sisanya atas bantuan ayah yang saat itu masih hidup.”

“Aku akui salah. Saat itu aku terlalu fokus studi waktu itu.”

“Tepatnya, aku tidak ada di hatimu saat itu. Di hatimu hanya ada karir dan karir. Dulu aku coba memancingmu dengan bertanya kamu mau desain seperti apa? Mau warna apa, furniture apa aja? Tetapi jawabanmu selalu terserah dan terserah. Sejujurnya saat itu, aku berharap kita memiliki perbedaan pendapat, lalu bertengkar kecil.” Wahda tersenyum, lalu menelan ludahnya yang terasa pahit.

Bagus menunduk dengan menunjukkan wajah bersalah. “Maafkan aku. Aku memang salah, beri aku kesempatan satu kali lagi. Aku akan belajar banyak menjadi suami yang baik. Cukup satu kali aku kehilanganmu,” lirih Bagus tanpa  berani mengangkat wajahnya.

“Sudah aku bilang, aku akan memberikanmu kesempatan.”

“Lalu kenapa kamu bersikukuh ingin menjual rumah itu, pada akhirnya kamu juga akan menempati rumah itu.”

Wahda tersenyum mengejek. “Aku memang bilang memberimu kesempatan, tapi aku tidak akan memberi pada diriku sendiri untuk berjuang lagi demi cinta yang mungkin suatu akan kandas. Aku perempuan, apa salahnya jika aku menjadi ratu dalam rumahku.” 

“Wahda?!”

“Belilah rumah, baru datang padaku,” ucap Wahda lalu berdiri meninggalkan Bagus yang tercenung. 


*** 

Wahda masuk ke rumah ibunya ketika lampu rumah telah mati. Namun, tiba-tiba menyala yang membuat jantungnya terasa mencelos. 

“Ibu belum tidur?” tanyanya sambil mengelus dadanya. 

“Bagaimana Ibu bisa tidur di saat anak perempuannya belum pulang ke rumah?!” jawab ibunya. 

Wahda mendekat, lalu memeluk ibunya dari belakang. “Bukankah aku sudah dewasa, tidak perlu Ibu khawatirkan lagi.”

“Bagaimana Ibu tidak mengkhawatirkanmu. Kamu menikah dengan Bagus, tetapi pulang malam-malam dengan Arsa?!”

Wahda tersentak. Ia melepaskan pelukannya, lalu duduk di sofa. “Bukankah dia sepupuku, keponakan ayah, kenapa Ibu repot soal itu?” 

“Tapi apa tetangga berpikir sampai ke sana? Bagi masyarakat, agama, ia laki-laki yang boleh kau nikahi,” sahut Mauriyah sambil duduk di sofa yang satunya.

“Aku capek, Bu. Kenapa Ibu mengingatkan soal itu? Dia sepupu yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Dia teman sekaligus kakakku. Dia sangat berarti bagiku. Tidak ada rahasia antara aku dan dia.” 

“Bagaimana dengan Ibu?”

Wahda mengernyit. “Maksud Ibu?”

“Kamu tidak percaya dengan Ibu, sampai masalah rumah tanggamu tetap kamu sembunyikan dari Ibu?”

Wahda tersentak, beberapa detik kemudian ia menunduk. “Jadi Ibu sudah tahu.”

“Bagaimana tidak tahu, video itu viral sampai ke grup keluarga kita. Yang Ibu sedihkan, Ibu tahu dari orang lain, bukan langsung darimu.”

Wahda bersimpuh di kaki ibunya. “Bu, aku tidak bermaksud menyembunyikan semua ini dari Ibu. Kejadian itu mendadak begitu saja. Aku tidak tahu harus bagaimana menceritakannya pada Ibu. Aku sendiri kaget, bagaimana dengan Ibu.”

“Ibu tidak akan kaget, kalau dari awal kamu tidak menutupi masalah rumah tanggamu kepada Ibu. Laki-laki memakai logika, beda dengan perempuan. Mereka tidak akan mengucapkan begitu saja kalau hanya sekadar terlintas saja. Ucapan itu tidak akan meledak kalau dari awal kamu tidak menutupi dan berusaha menyelesaikannya. Tidak akan terlalu mengejutkan atau tidak akan sehancur ini, kalau dari awal kamu cerita ke Ibu.”

Wahda kembali menunduk. “Maafkan aku.” 

Mauriyah menghela napasnya. “Sudahlah, semua telah terjadi. Percuma disesali. Lalu apa rencanamu selanjutnya. Apa dia masih mengejarmu?”

Wahda mengangguk.

 “Lalu apa kamu masih mencintainya dan mau memaafkannya?”

“Sejujurnya aku masih mencintainya.” Ia meraih kedua tangan ibunya. “Tapi, aku janji tidak akan semurah dulu lagi. Aku juga berhak diperjuangkan, bukan?”

“Kamu sudah dewasa, tentu sudah bisa menentukan pilihan. Pesan ibu, pilihlah laki-laki masa depanmu berdasarkan pertimbangan, bukan berdasarkan cinta mati.”

Wahda kembali menunduk. Ia sendiri merasa malu, membayangkan betapa bucin dirinya dulu kepada Bagus. 

“Ada saatnya cinta tidak lagi berarti untuk bahtera yang terus menghadapi lautan luas beserta segala ujiannya. Pernikahan yang awalnya dibentuk karena sama-sama saling mencintai pun, sering kandas karena berbagai ujian dan cobaan.”

Wahda mengangkat wajahnya. 

“Pilihlah karena dia mampu melindungimu, dan membimbing menjadi lebih baik. Kematangan itu tidak berdasarkan usia, melainkan cara berpikir. Jika dari awal, kalian sama-sama terus berbenah bersama, saling introspeksi diri. Jika suatu saat kalian menerima ujian dan cobaan, ibu percaya saat itu kalian sudah sama-sama matang emosi dan cara berpikir.”

“Akan selalu aku ingat, Bu.”

Mauriyah mengangguk. “Ibu hanya bisa mendoakanmu, kamulah yang menjalaninya.”

Wahda berdiri, lalu memeluk Ibunya. “Beruntungnya, saat ini aku masih memiliki Ibu. Terima kasih, Bu.”


***

Wahda melangkah pelan, memasuki halaman rumah yang mencetak banyak kenangan bersama Bagus, tetapi sekarang menjadi torehan luka. Keningnya mengernyit ketika menyadari tidak ada lagi banner di depan rumahnya. 

“Mungkinkah Bagus melepasnya?” tanyanya pada angin kosong.  

Ia membuka pintu dengan kunci yang dipegangnya. Namun, pintu tak kunjung terbuka. 

"Bagus ada di dalam?" tanyanya dalam hati. Ia memperhatikan jam di pergelangannya. Jarum besarnya sudah menunjukkan angka sebelas. 

Bagus belum berangkat kerja? Kesiangan lagi? 

Ia berbalik, memutuskan pulang. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba pintu terbuka. 

"Wahda?!"

Wahda berbalik. "Ibu? Kapan Ibu datang?” cecarnya sambil menyalami tangan mertuanya, Rusma.

“Baru saja. Bagus bilang, kamu keguguran. Rasanya Ibu ingin langsung berangkat ke sini,” sahut mertuanya, sambil membimbingnya memasuki rumah hingga sampai ke meja makan. “Ibu tau, kamu pasti sedih sekali. Sabar, ya. Begitulah ujian dalam rumah tangga.”

Wahda mengangguk. Tak lama Bagus keluar dari kamarnya dengan wajah manisnya.

“Kamu sudah datang?” tanya Bagus sambil mendekati Wahda, lalu mencium rambutnya. Wahda merapatkan gerahamnya. 

“Sebentar.” Rusma berdiri ke dapur, membuka beberapa toples yang masih dalam kardus. “Ibu bawa gudeg. Ibu sengaja memasak ini, karena tau ini kesukaanmu.”

Wahda menatapi gudeg dalam toples itu dengan perasaan ngilu. Gudeg itu makanan kesukaannya. Mertuanya memang sangat baik padanya. Tidak tega rasanya, ia jujur kepada wanita yang sudah lansia.”

Rusma kembali berdiri buat mengambil piring di dalam rak piring.

Wahda berdiri, dengan menopang kedua tangannya di atas meja. “Bu, sebenarnya kami ….”








 Mendadak Talak Part 9 Akar Permasalahan “Jangan mendadak lupa. Kamu membuatku perutku menjadi mual. Kamu bermain dengan siapa saja, aku tak...
El Nurien
El Nurien

 Mendadak Talak Part 8
Cinta Arsa

"Kalau boleh tahu, detik apa yang kamu inginkan? Kembali atau putus saja," tanya Teratai tegas. 

Wahda menghela napas, melipat lutut lalu mendekapnya. "Sejujurnya aku masih ingin bersamanya. Bagaimana sikapnya padaku, aku sudah menerimanya dari lima tahun yang lalu. Tapi ….” Kembali suaranya tercekat begitu mengingat apa yang dilihatnya pagi tadi. 

“Aku tau tidak mudah bagimu move on. Tapi hargai dirimu sendiri, jangan biarkan dirimu selalu berkorban dan terluka hanya untuk cinta,” sahut Teratai. Adeena mengangguk. 

“Hanya?!” ulang Arsa dan Wahda. 

“Memangnya di dunia ini yang membuat kita bahagia hanya cinta?! Ya, cinta memang bisa membuat orang bahagia dan mendorong kita berkorban lebih banyak. Tapi siapa dulu yang kita cintai? Orang tua yang melahirkan dan membesarkanmu? Selama bukan tanah air, tidak ada hubungan darah, kita harus melihat dulu siapa yang kita cintai? Layak tidak dia mendapatkan segala perhatian dan pengorbanan. Hidup hanya sekali, dibanding berbakti pada orang yang selalu menyakiti, aku lebih setuju pada Adeena yang mengabdikan hidupnya pada tanaman.” 

Adeena yang sedang menelan es krim terbatuk dengan ujung kalimat yang diucapkan Teratai. 

Wahda menunduk. Ia mengambil mangkuk es krim milik Adeena lalu menyuapnya tanpa permisi. Adeena melongo. Arsa mengelus punggung Wahda. 

“Mungkin aku terlalu kasar, dan aku sok tahu, padahal aku tidak tahu bagaimana kedalaman perasaanmu. Namun, hargailah dirimu. Jika memang kamu ingin memberi kesempatan padanya ujilah dia. Buktikan kalau dia memang memperjuangkanmu. Jika tidak, di dunia ini masih banyak laki-laki yang pantas mendapatkan dirimu. Kamu berhak dicintai dan bahagia."

Sesaat hening. Wahda menatap Adeena yang sejak tadi diam. Gadis  di depannya terlihat misterius, atau mungkin karena baru pertama kali mereka bertemu Adeena. Pikir Wahda. 

 "Bagaimana menurutmu, Deen?" tanya Wahda. 

Teratai yang mengetahui siapa Adeena seketika membelalak.

 "Yakin ingin mendengar pendapatku?"

Wahda mengangguk yakin. Teratai menelan ludahnya. 

"Buanglah sampah pada tempatnya," ucap Adeena dingin sambil menarik mangkuk es krim yang telah kosong. 

Mata Wahda dan Arsa membelalak. Teratai mengulum senyum. 

"Soal asmara jangan bertanya pada Adeena." Teratai terkekeh. 


***


"Masuklah!" ucap Arsa setelah cukup lama mobil sampai di halaman rumah bibinya, tetapi Wahda tidak kunjung keluar.  

Wahda menggeleng. "Baru jam sepuluh," sahutnya setelah melihat jam di layar ponsel. 

Arsa menghela napasnya. "Tapi aku butuh istirahat. Pekerjaanku akhir-akhir ini jadi tidak karuan," omel Arsa. 

Wahda hanya terdiam. Bayangan sulitnya tidur membuatnya malas masuk ke rumah. Bunyi mobil jadi terasa nyaring di telinga mereka. 

"Sekarang aku mengerti mengapa kamu menyukai Teratai," lirih Teratai. 

Arsa tersentak. Ia menoleh ke Wahda yang masih  betah duduk di kursi sampingnya

"Dari dulu kamu menyukai Sanad," sambung Wahda.

Arsa mendesah pasrah. Ia mematikan mesin mobilnya lalu menyandarkan punggung. 

"Dari kecil aku memang sangat menyukai Sanad. Ia tegas, cerdas dan rupawan. Aku sangat berkebalikan dengannya. IQ terbatas, kurang gizi, miskin, tidak menyandang gelar gusti, ditambah ejekan  membuatku semakin tidak percaya diri bila berada di kalangan keluarga Ibu.

Sanad yang terlihat cuek, diam-diam sering membelaku. Aku semakin menyukainya. Lalu Tante Fatima sangat baik padaku, terlebih lagi setelah ayah meninggal. Beliau selalu membelikan satu untukku jika membelikan untuk Sanad. Baik pakaian, peralatan lainnya, bahkan mainan. Aku sangat puas dan bahagia dengan pemberian itu."

"Lalu, karena itu juga kau menyukai Teratai?" ejek Wahda sambil tertawa. 

Arsa menggeleng. "Aku mulai memerhatikannya, saat ia marah pada Sanad akibat Sanad mempermaknya. Itu pertama kali aku melihat ada orang yang berani marah pada Sanad. Tapi pada saat itu aku baru bekerja di perusahaan Tante Fatima, aku ingin memfokuskan pada pekerjaan dulu. Aku ingin memberikan kinerja yang baik pada Tante. Itulah kesempatanku untuk membalas budi."

"Lalu bagaimana kamu bisa jadi cinta setengah mati padanya?" 

"Suatu saat Tante ingin menjodohkanku dengan Teratai, saat itulah aku mulai serius memikirkan Teratai." 

Sudut bibir Arsa menyungging senyum. "Tapi sainganku anak kecil saat itu, Evan. Rasanya konyol sekali kalau memikirkan itu. Saat aku berusaha memikirkan celah untuk mendekatinya, sayangnya dia kembali ke desanya. Aku mencari informasinya pada pegawai di kantor yang ternyata iparnya. Dia mengatakan kalau Teratai sudah bertunangan. Pupuslah harapanku. Aku tidak berminat mengejarnya, apalagi kalau sampai merebut tunangan orang."

"Lalu cintamu bersemi kembali ketika telah menjadi istri Sanad?"

"Mengapa kau terdengar selalu mengejekku," protes Arsa. 

"Ini penyakit kejiwaan aneh sekali. Kamu selalu menyukai apa yang disukai Sanad. Jangan-jangan dulu kau juga menyukai Kayat?"

Arsa menggeleng. "Sudah aku katakan aku mulai memerhatikan Teratai saat dia berani marah pada Sanad, sedang Kayat aku bertemu dengan saat dia sudah jadi istri Sanad."

"Oke, aku salah soal Kayat. Lalu Teratai?"

Arsa kembali menghempaskan napas beratnya. "Aku tak mengerti, benih perasaanku yang sempat layu kembali bersemi saat dia kembali. Dia semakin cantik di mataku. Kepribadiannya juga semakin menarik. Dia yang dulunya bar-bar, sekarang menjadi anggun, cerdas dan tegas," jawab Arsa sambil tersenyum.

"Arsa, dia istri sepupumu." Wahda mengingatkan." 

"Aku tau itu. Asal kamu tahu, yang membuatku bertahan di sini hanyalah ingin membalas budi pada Tante Fatima. Di sini tidak ada siapa-siapa lagi yang aku lihat selain Tante."

Wahda terdiam. Ia baru sadar kalau Arsa sekarang yatim piatu. Meski masih ada beberapa saudara ibunya, kesenjangan ekonomi dan sosial membuat Arsa membatasi diri. 

Arsa memiliki keturunan bangsawan hanya dari ibunya karena itu ia tidak menyandang gelar gusti sebagaimana Sanad dan Gilang. Ibunya menikah dengan laki-laki sederhana, siapa sangka ini dapat memberikan tekanan mental jika tengah berada di keluarga ibunya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa di era modern ini masih ada yang memikirkan  darah keturunan.

Wahda baru menyadari hal ini. Arsa yang selalu terlihat ceria, ternyata menyimpan ketidakpercayaan diri. 

Berkat bantuan Fatima, Arsa bisa kuliah di universitas yang sama dengan Sanad, bahkan sekarang menduduki kursi direktur di perusahaan Fatima. Sayangnya, semua itu tidak dapat mengembalikan kepercayaan diri Arsa yang terlanjur layu. 

"Waktu di Amrik, ada seorang teman yang menawari pekerjaan di perusahaan ayahnya. Sejujurnya aku tergiur dengan tawaran itu. Namun aku pikir setidaknya lima tahun aku di sini, meski tidak bisa membalas sepenuhnya, setidaknya aku sudah berusaha."

Wahda menoleh. Ia menatap dengan berbagai rupa. 

"Jadi jangan khawatir. Aku nggak akan merebut istri idolaku sendiri."

Wahda merengut. "Aku percaya kamu. Aku cuma tak suka kamu menghabiskan waktu dengan terus menatapnya. Coba kamu menjauh, cari gadis lain."

Arsa tertawa. "Jangan khawatir. Hanya tinggal beberapa tahun lagi. Kurasa aku tidak terlalu tua untuk menyandang seorang bujangan."

Wahda mencebik. 

"Lalu rencanamu selanjutnya? Mau saran Teratai atau Adeena?" ungkit Arsa.

"Lebih manusiawi Teratai." Wahda memutar badannya. Menghadap lurus pada Arsa. "Kamu tau siapa Adeena? Dia misterius sekali."

Arsa menggeleng. "Aku sering mendekatinya dengan merawat tanamannya, tapi dia benar-benar gunung es." 

"Teratai tidak pernah cerita tentangnya?"

Arsa menggeleng. Wahda mendengus kecewa. 

"Sepertinya dia juga mempunyai masa lalu yang buruk," tebak Wahda.


****

Bagus memerhatikan panggilan tanpa nama di ponselnya. Ia mengangkat dengan mala, tatapannya kembali menekuri dokumen di layar desktop. 

"Pak Bagus, saya Andi."

"Andi … di," eja Bagus. 

"Sekomplek dengan Bapak."

"Oh iya ya, ada apa, Pak?" tanya Bagus. Kenyataannya ia masih belum ingat yang mana Andi. 

"Begini tadi saya lihat banner di depan rumah Bapak. Rumahnya mau dijual berapa, Pak?"

"Apa?!" Bagus tersentak.


****


Kening Wahda mengernyit begitu melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ia menjawab panggilan itu dengan menghidupkan speaker. 

“Ya, Hallo,” ucapnya sambil menaruh es krim warna pink dengan scoop ke dalam mangkuk kecil. 

“Wahda, kamu di mana?” tanya orang di seberang. 

“Aku? Aku di kafe Teratai,” sahut Wahda. Ia kembali mengambil es krim warna putih di wadah yang lain, setelah itu ia menambah dengan hijau.

“Aku akan ke sana.”

“Kamu tahu tempatnya?” 

“Kamu share saja lokasinya.”

***

Tak butuh waktu lama, Bagus sudah ada di halaman kafe. Wahda langsung keluar dari dapur begitu mengenali bunyi mobil yang dikendarai Bagus. 

“Mengapa kamu lakukan itu?” berondong Bagus begitu memasuki kafe. Seorang pelanggan yang berkutat dengan desktop di ruang ujung jadi mengalihkan perhatian pada mereka. 

Wahda mengerutkan kening. 

“Rumah kenapa mau dijual tanpa dibicarakan dulu denganku?!” tegas Bagus.

“Ooh ….” Wahda mempersilakan duduk dengan isyarat tangan. “Kalau begitu kita bicarakan saja sekarang. Rumah itu milik kita, sekarang sudah pisah, jadi rumah itu harus kita bagi dong!”

Bagus menggeleng. “Tidak. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Oke sekarang kita telah cerai, tapi aku akan berusaha memperjuangkanmu.”

Wahda tersenyum sinis. “Memperjuangkan? Kau ingin memperjuangkanku?”

Bagus mengangguk. 

Mendadak perutnya terasa mual. “Kau ingin memperjuangkanku, di saat yang sama kamu sedang main-main dengan Angel. Jahat sekali kamu, Gus.”

“Bermain dengan Angel? Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Jangan mendadak lupa. Kamu membuatku perutku jadi mual. Kamu mau bermain dengan siapa saja, aku tak peduli. Tapi jangan bawa dia ke rumahku!”


*** 







 Mendadak Talak Part 8 Cinta Arsa "Kalau boleh tahu, detik apa yang kamu inginkan? Kembali atau putus saja," tanya Teratai tegas. ...
El Nurien