Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintamu Part 29

 Merenda Cintamu Part 29 

POV Hilya





***


Hidupku seperti roller coaster, kadang tiba-tiba menanjak atau menurun. Aku sering dipaksa begitu saja menjalani takdirku, tanpa sempat membuat persiapan. 

Bapak yang tiba-tiba meninggal di saat aku masih SMP. Saat itu aku melihat semua mimpi telah runtuh. Bapak dan ibu bekerja sebagai pembantu di rumah Tuan Purnama. Kami memiliki sebuah rumah yang lumayan jauh dari rumah majikan. Namun, bapak dan ibu sangat menikmatinya. Tidak masalah harus pagi-pagi berangkat dan pulang malam, asal dapat berkumpul dengan keluarga di rumah sendiri.

Aku seumuran dengan Hanif. Saat bekerja, ibu selalu membawaku sehingga kami akrab. Atas kemauan majikan, aku disekolahkan di sekolah yang sama dengan Hanif. Dengan kata lain, sejak kecil aku sudah diberi beban menjaga Hanif. 


Meski banyak hinaan yang kuterima karena anak seorang pembantu sekolah di tempat elit, Hanif selalu membelaku.

Kehidupanku kembali terusik saat SMA. Karena Ryu yang selalu bikin olah, dan Hanif yang selalu merespon. Padahal Hanif sering kuingatkan agar mengabaikan olah Ryu. Namun, ia selalu tidak bisa menahan diri dengan tindakan Ryu. Nahasnya kadang pertengkaran sampai ke wali kelas, dipanggilnya orang tua Hanif dan berujung aku yang dimarahi habis-habisan. 

Omelan Ryu tidak apa-apanya dibandingkan Nyonya Cintami. Ibu sering diam-diam menangis akibat mulut berbisa seorang Cintami. Ibu sering mengajakku pulang kampung, tetapi aku tahan mengingat kakak-kakakku yang sudah terlanjur kuliah. Itulah mengapa, aku sangat kecewa pada abang-abangku yang lebih mementingkan keluarga baru, padahal mereka berada di sekarang ini, karena air mata kami yang terus saja mengalir.

Waktu kuliah aku minta ibu berhenti bekerja. Selain itu, ibu memiliki sedikit tabungan, setidaknya mampu menghidupi dirinya sendiri selama beberapa tahun. Sedang kuliah, aku berjuang sendiri. Aku percaya dengan kemampuanku, selama bekerja keras, pasti bisa membiayai hidupku sendiri, tentu saja dengan doa ibu yang terus melangit.


Meski kadang kelelahan, aku berusaha menikmatinya, karena selalu ada ibu, teman, orang dan anak-anak yang tidak mampu selalu membuatku menjadi bersyukur.  

Aku merasa putus asa saat ibu harus segera dioperasi, sementara tidak mendapatkan dana sebanyak itu. Aku benar-benar putus asa. Beruntungnya, Ryu datang menawarkan bantuan bersyarat. Aku tau hidupku akan berat jika bersamanya, tetapi menolong ibu saat itu hal yang terpenting. Penderitaanku bersama Ryu tentu masih tidak sebanding dengan keringat dan air mata ibu.

Putus asa kedua di saat aku membayangkan akan tinggal serumah dengan laki-laki yang bukan mahram. Membayangkannya saja, terasa mengerikan. Bagaimana mungkin aku bisa menjalani semuanya dalam rentang waktu lima tahun? Aku tahu, diriku bukan tipe yang diinginkan Ryu, jadi tidak mungkin dia tiba-tiba datang merayuku. Yang kutakutkan, mengingatkan diriku perempuan biasa. Manusia normal.


 Selalu bersama, tidak aneh, suatu saat imanku yang hanya setipis bawang akan terkoyak akhirnya. Satu-satunya jalan lebih menyelamatkan hanya menikah, meski lima tahun ke depan statusku akan berubah janda. Tak apalah, yang penting saat itu hanyalah menyelamatkan imanku. 

Meski berharap diterima, kesediaan Ryu masih saja membuatku terkejut. Aku mengira akan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk menunggu jawaban, ternyata hanya beberapa menit. Alhamdulillah, proses pernikahan berjalan lancar, meski di mata pamanku aku sudah tidak perawan lagi. Ingin rasanya menonjok wajah tampan itu sampai penyok hingga ia tidak bisa lagi syuting.


Membayangkan balas dendam kepada Ryu saja membuatku ingin tertawa terbahak-bahak, bagaimana nanti jika aku berhasil melakukannya? Kenyataannya, itu tidak pernah terjadi. Karena semakin lama membersamainya, banyak dalam diri Ryu yang akhirnya kuketahui. Di balik sifat arogan, sebenarnya dia lemah dan sangat kesepian. Mungkin hanya padaku dia bersifat jujur, selebihnya semua palsu. Senyum hangatnya dan semua kebaikan yang terekam di kamera semuanya palsu. Bahkan ciuman romantisnya yang terkenal juga palsu. Aku melihat jelas, setiap kali melakukan akting itu, ia langsung mencari air untuk membilas mulutnya. 


Lalu tiba-tiba aku diserbu masa. Itulah yang paling terberat bagiku. Aku yang mendedikasikan sebagian hidup untuk membuat orang-orang tersenyum, kini malah disebut perebut kebahagiaan orang. Sebagian hidupku sibuk mencari ilmu dan share entah lewat pengajian ibu-ibu, seminar entah di luar atau di kampus dan  anak-anak yayasan, lalu tiba-tiba dituduh munafik, pengkhianat dan menjual agama. 


Ibu membesarkanku penuh dengan cinta, Hanif membersamaiku dengan kehangatan, lalu tiba-tiba ada yang melempariku dengan telur mentah disertai umpatan yang membuat setengah akalku terenggut. Susah payah aku hijrah dan merubah penampilan sesuai anjuran syariat, tiba-tiba ada orang yang menarik paksa kerudungku, lalu mengumpat munafik karena melihat rambut pirangku. 

"TUH LIHAT, RAMBUTNYA SEPERTI ORANG BARAT!"

Ada apa dengan rambut pirang? Rasulullah tidak melarang mewarnai selain warna hitam, karena seperti rambut asli pada umumnya. Kenapa dengan pirang, apa hanya karena itu kebanyakan rambut Barat, sehingga kiblatku juga ke sana? Sayangnya, saat itu aku tidak diberi kesempatan membela diri. 

Hilya satu-satunya orang yang berani melawan Ryu, beberapa detik yang lalu telah pergi. Bahkan keyakinan Allah selalu bersama hamba-Nya, tak sempat lagi aku eja, lebih separuh jiwaku telah pergi. Satu hal yang kuinginkan saat itu hanyalah bersembunyi. 


Satu hal yang tidak aku duga, Ryu sangat telaten merawatku. Sosok Ryu yang baru saja aku lihat. Ternyata Ryu mempunyai sisi lembut dan perhatian, tetapi dalam diriku seakan ada dinding yang sangat tebal, melindungiku dari orang-orang. Meski kesepian, aku merasa nyaman. Tidak lagi mendengar caci maki dan pandangan negatif orang lain. Aku ingin bersembunyi di sana selamanya. 

Ryu terus mengetuk pintu itu, sehingga mau tak mau perasaanku mulai terusik. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya, tapi ada bagian lain dalam diriku yang masih betah berdiam di tempat gelap itu, membuatku kesulitan mengekspresikan diri. 


Aku sedih saat dia mengantarkan ke depan rumah Hanif dan meninggalkanku sendirian di sana. Di sisi lain tersadar, aku betah berdiam di ruang gelap itu karena selalu ada suara dan ocehan Ryu yang menemani hari-hari gelapku.  Kecuali, saat mendengar bacaan Al-Qur’annya yang sangat hancur. 

Yusuf masih anak usia SD saja tidak separah itu. Bagaimana Ryu laki-laki dewasa masih tidak bisa mengaji dengan baik dan benar? Tanpa aku sadari, akalku keluar melesat, menembus dinding tebal itu hanya untuk membetulkan bacaan Ryu. Aneh, tapi nyata. 


Aku sudah dapat berbicara, tetapi gangguan kecemasan itu tidak sepenuhnya hilang. Aku tidak begitu mempedulikannya, karena Ryu selalu bersamaku. Perlakuannya yang sangat manis, membuatku terbuai dan melupakan kalau sebenarnya aku salah satu penderita gangguan jiwa. 

Aku baik-baik saja selama bersama dia. Namun, hatiku tidak bisa menerima kalau Ryu juga menderita gangguan jiwa. Ia juga sangat tergantung padaku. Semua yang dilakukannya semuanya untukku. Sebagai seorang perempuan, tentu saja aku sangat bahagia. Namun, sebagai seorang istri dan hamba Allah, sudah seharusnya aku mengembalikan Ryu kepada fitrahnya. Fitrah manusia itu hanya bergantung kepada kekuasaan Allah. 


Allah menciptakan manusia hanya untuk mengabdi, meminta dan berharap kepada Allah. Itulah fitrah manusia. Tidak ada yang bisa membantah. Karena setiap makhluk pasti mempunyai batas kemampuan. Sebesar apapun kami berusaha saling memberi yang terbaik, tetap ada batasannya. 

Setidaknya ada maut yang memisahkan. Bagaimana jika aku yang mendahuluinya? Ryu akan mengalami goncangan besar yang kedua kalinya, setelah kepergian ibunya. 


Karena itulah, aku berpikir akan berusaha menyembuhkan ketergantungannya dan memanfaatkan momen itu agar bisa dekat dengan ayahnya. Meski dia tidak mengakui, aku melihat jelas, Ryu sangat mengharapkan pengakuan ayahnya. Mungkin ia hanya berharap, memanggil ayah satu kali saja dalam hidupnya. 

Namun, siapa sangka usahaku ternyata membuahkan petaka. Ia menuduhku mengikuti Akram. Bagaimana ia bisa berpikir aku mendekati Akram, dengan hanya tahu laki-laki itu juga mendapatkan beasiswa? Bagiku itu sulit diterima. Tak kalah menyakitkan, perlakuanku selama ini dianggapnya karena kasihan. Jadi selama ini, dia tidak pernah melihat cinta dan ketulusanku? Lalu semudah itu dia menuduhku menginginkan Akram? Aku tidak tahu lagi, di antara kami siapa yang memiliki penyakit kejiwaan paling parah. Sayangnya, cerai telah terucap. Tidak mungkin lagi bisa saling membantu.


 Esoknya Tuan Purnama bersama orang suruhannya  datang menemuiku. Kembali menawarkan beasiswa dengan segala fasilitasnya, termasuk perawatan untuk ibuku. Ia juga menawariku jalan-jalan, selagi menunggu kelas dimulai. Heh, begitu tidak sabar beliau ingin aku pergi jauh dari putranya. 

Menunggu beberapa bulan lagi, inilah kesempatanku merawat ibu. Aku berjanji pada beliau untuk tidak mendekati Ryu dan jika Ryu datang aku akan menjauh. Sejujurnya, aku merasa tidak adil kepada Ryu, tapi apa boleh buat. 

Pengalaman tinggal di rumah Tuan Purnama, mengingatkan bahwa beliau tidak akan berhenti mengusik kalau tidak tercapai. Tuh, keinginan beliau juga demi kebaikan finansial Ryu, sayangnya dengan cara yang menghancurkan. Ironis. 


Kinanti mengabariku kalau ia dan Akmal akan ke Bogor, untuk memperdalam bahasa Arab, selama menunggu kelas dimulai. Aku putuskan akan mengantar mereka ke Bogor, sekalian silaturahmi ke Baarak, kakak tertuaku. Saat keluar dari halaman yayasan, dari kaca pintu aku melihat mobil Ryu yang memarkir tak jauh dari yayasan.

Senang tentu saja ada, ingin sekali aku meminta sopir berhenti dan menyapa Ryu, meski hanya sebentar. Sayangnya egoku masih terlalu tebal. Saat itu juga aku menyadari mengapa Ryu mengetahui keberadaan. Saat itu juga aku hapus aplikasi pelacak yang ada di ponselku. 


Ibu berkali-kali menasihatiku agar membuang semua ego, dan kembali kepada Ryu, jika memang aku mencintainya. Ibu yakin, Ryu tidak bermaksud menceraikanku. Itu hanya kalimat sindiran yang tentu harus dibarengi dengan niat sungguh-sungguh, sedang saat itu ia sedang emosi. Akan beda, Ryu memang mengucapkan kalimat talak langsung. 

Sayangnya, tuduhan yang ia torehkan benar-benar menancap ke hati. Aku perlu menyendiri dan kurasa dia pun perlu menyendiri. Jika sifatnya tidak berubah, tidak hari ini, esok atau lusa, kalimat itu akan keluar juga dari mulutnya. 


Tiba waktunya aku harus pergi ke negara yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan sedikit pun, yaitu India. Aku tidak memilih Maroko, takut Ryu berpikir akan mencariku karena itu dulu kesempatan pertamaku. Sedang menjauhi Mesir karena tidak ingin disangka mengikuti Akram. Ambigu bukan? Tidak ingin ditemukan, tapi masih peduli dengan pandangan Ryu. 

Tidak ada komentar