Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Detak Cinta Shafura Part 6

 Detak Cinta Shafura

 Part 6: Kabar Mengejutkan






Aku hanya mendesah. "Lalu, ana harus bagaimana?"

Semuanya diam. 

"Sudahlah. Untuk sementara tidak ada yang dapat kita lakukan. Selama  tak ada bukti, ana kira lama-lama isu itu akan mereda. Jadi janganlah dibuat pusing. Kita harus konsentrasi pada ulangan yang akan kita hadapi nanti."

Mereka mengangguk. Sebenarnya aku sendiri, tak yakin dengan ucapanku. Aku tak suka  diisukan yang bukan-bukan. Apalagi setelah bertemu dengan Ummu Kultsum kemarin, sudah membuatku lelah.


 حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ


“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.”*


🌹🌹🌹🌹


"Eh, kalian tahu tidak? Akhi Abdurrahman datang, lho." 

Aku yang sedang minum tersedak saat Fitri menyebut nama Abdurrahman. 

"Silmi, kenapa sih?" Fitri dan yang lainnya kaget begitu pula diriku sendiri. 

Aku terbatuk-batuk. Kupandangi wajah teman-teman bergantian. Aku tak bisa langsung menjawab. Aku butuh waktu untuk mencerna apa yang terjadi. Abdurrahman? Benarkah omongan Fitri tadi? Benarkah Abdurrahman datang? 

“"Mungkin, ana minumnya tergesa-gesa tadi, maaf," ucapku asal-asalan, berusaha sedatar mungkin. "Eh, apa tadi anti bilang? Akhi Abdurrahman datang?"

Aku tak bisa menutupi rasa keingintahuanku. 

"Anti, Fit, sejak kapan anti jadi corong gosip?" ledekku. 

"Apa anti bilang, Silmi? Corong gosip?"

Fitri melotot ke arahku. Membuatku tak kuasa menahan tawa, ekspresi yang marahnya membuat pipinya benar-benar chubby. 

"Iya, maaf, habis dari tadi anti  membuat ana kaget terus. Mana ana yang jadi bahan gosip lagi."

Aku memasang tampang penyesalan digabung dengan  kekesalan, batinku tetap saja ingin tertawa melihat tingkah Fitri.

Indahnya mempunyai banyak teman. Di sini aku bisa melihat macam-macam karakter. Syifa gadis cantik, pendiam, berpikiran dewasa, sangat anggun dipadu dengan tubuhnya yang tinggi berbalut pakaian-pakaian yang bagus-bagus dan bermerk. 

Sedangkan Fitri, juga anak yang orang mampu, mempunyai badan subur alias gendut, pipinya yang chubby bikin gemes. Bisa dibilang kekanak-kanakan, tapi dia sangat baik, dermawan pula. Hilma, anak orang biasa, sedikit lebih beruntung dari padaku. 

Dia sangat suka menggoda Fitri. Fitri sering kesal dibuatnya, tapi anehnya mereka sangat dekat. Walaupun sering perang mulut, mereka tak bisa bertahan lama saling diam. 

"Tapi, bener lho. Ana melihatnya pagi tadi," kata Fitri pelan.

"Apa? Iih, Fitri, mulai deh ngintip-ngintip pondok santri laki-laki.” Fitri  mencubit Hilma.

"Ana bukan ngintip, Hilmaaaa. Ih, amit-amit deh, nanti ana cantik cantik matanya bintit. Kebetulan hari ini ana piket bersih-bersih halaman rumah Ustadzah Aisyah. Coba deh tanya Cahya?”  

Aku tersenyum kecut. Jangan tanya Cahya kalau soal itu. Tu anak kalau lagi sibuk, mungkin badai lewat pun ga sadar. Kalau pun  melihat, ia mungkin lupa namanya. Entah mengapa santriku yang satu itu tidak bisa mengingat nama orang. 

“Terus, Fit?"” Aku tidak sabar menunggu kelanjutan cerita dari Fitri. 

“Waktu ana menyapu halaman, ana lihat Pak Kyai datang bersama seorang laki-laki. Begitu melihat mereka, ana kabur lewat pintu samping. Tapi ana yakin itu santri yang berangkat ke Yaman waktu itu, ana juga mendengar Pak Kyai memanggilnya Abdurrahman. Begitu," jelas Fitri panjang lebar. 

Abdurrahman datang? Sejak kapan? Apakah belajarnya sudah selesai? Bagaimana keadaannya? Lama sekali tak bertemu dengannya. Mungkin dia sudah menjadi pemuda dewasa yang tampan?

"Dia tampan sekali, lho. Wajahnya bersih, tinggi, tapi dia kelihatannya kurus. Ah ana tak suka itu,"  kata Fitri.

"Yeeeyyyy..., Fitri!!!"” seru teman-teman kompak.

"Fitri, mulai ngelantur,"”kata Syifa sambil tertawa kecil. "Silmi, bukankah dia sekampung dengan anti? Benarkan?"

"I—iya. Kami sekampung." Sahutku sambil mengalihkan pandangan. Ketika mengangkat muka, aku rasakan Syifa memandangku dengan penuh selidik. 

"Sudah ah, cuci tangan dulu. Tanganku sudah kering." 

Aku berdiri dengan memperlihatkan tanganku yang kotor. Setidaknya bagus juga dijadikan alasan untuk menghentikan pembicaraan. “"Siap-siap shalat, yuk.”

        

***

Flashback
_____


"Kak, jangan terlalu kencang mengayunnya, aku takut,"” seru Farah.

Zaid tertawa saja, tangannya terus mengayun-ngayun tali ayunan yang kami duduki.  Sebenarnya aku juga takut, tapi perkataan Farah sudah mencukupi. 

"Kak Zaid, hentikan! Farah takut! Kakak!"

Zaid berhenti mendorong tali ayunan, tapi dia masih tertawa, sepertinya puas ia membuat kami takut. Farah langsung turun  begitu ayunan benar-benar terhenti. 

“Eh, Farah, mau kemana?” tanya Zaid begitu melihat Farah berlari meninggalkan kami.

"Mau jajan, perutku jadi lapar," teriak Farah, tak lama sosoknya sudah hilang. 

Zaid terkekeh-kekeh sambil duduk di sebelahku, menempati ayunan Farah tadi. Entah kenapa aku senang sekali dia duduk di sampingku. Kepalanya mendongak menatap langit yang indah penuh bintang. Aku terus menatapnya. 

Aku bersahabat dengan Farah, adik Zaid dan Fahri.  Ia baru saja tamat SMP. Sedang aku dan Farah baru tamat SD. Ini tahunnya dan Farah masuk pondok. 

Tiba-tiba aku merasa takut, mereka akan meninggalkanku lebih jauh dan lebih lama. Aku akan kehilangan dua teman sekaligus.

"Kak."

“Ya?”

"Setelah Kakak menyelesaikan hafalan Al-Qur'annya, Kakak mau ke mana?" tanyaku.

Zaid mendesah pelan. "Entahlah. Aku belum tahu."

"Oh, iya, inikan bulan Ramadhan," seru Zaid tiba-tiba. “Bulan Ramadhan, bulan yang makbul. Siapa saja yang berdoa di bulan Ramadhan, maka doanya akan dikabulkan. Kita doa sama-sama, ya.”

“"Gimana caranya? "

“"Begini saja," jawab Zaid memejamkan matanya. 

Aku sangat suka melihatnya seperti itu.

"Sudah," katanya seraya memandangku, “sekarang giliranmu!"

"Aku?" tunjukku pada diri sendiri.

“Iya.”

Pelan-pelan aku memejamkan mata, sambil menimbang-nimbang sebaiknya apa yang aku minta.

"Kamu minta apa?" tanya Zaid setelah aku membuka mata.

"Kakak juga minta apa?" aku malah balik bertanya.

"Hmm...," dia mengalihkan pandangannya ke langit, “aku minta dua permintaan. Pertama, aku ingin belajar keluar negeri. Dan yang kedua…."

“Yang kedua apa?" tanyaku penasaran.

“Itu rahasia," jawab  Zaid sambil tertawa kecil.

“Ahh..., Kakak! Bikin penasaran saja."  sungutku kesal. 

“Nah, kamu tadi minta apa?"

“Aku juga punya dua permintaan. Pertama, aku  ingin terus belajar." Tiba-tiba sedih menyergapku. 

"Permintaan yang bagus, tapi kenapa sedih?” 

"Sepertinya aku tak melanjutkan sekolah. Ibuku  bukanlah orang yang mampu. Kedua kakakku juga sudah bekerja keras. Aku tak ingin menambah beban mereka.”

"Kamu berdoa saja, dan sungguh-sungguh belajar. Kamu harus buktikan pada Allah, bahwa kamu pantas memintanya."

Kata-kata Zaid yang penuh semangat menularkan semangat pula kepadaku. Aku mengangguk penuh dengan keyakinan.  “Aku akan membuktikannya.”

Zaid mengangguk, "Bagus, sekarang katakan, apa permintaanmu yang kedua?"”

Aku hanya menunduk dan menggeleng,

"Itu rahasia."

"Ya, sudah. Rupanya kita sama-sama punya permintaan rahasia," kata Zaid, tangannya mengusap-ngusap dagu. “Malam ini jadi saksinya, nanti beberapa tahun kedepan, kita akan lihat permintaan kita dikabulkan atau tidak. Dan.. mengenai permintaan rahasia itu, ah, sudahlah... kita lihat saja nanti."


*****


"Anti di sini rupanya.”

Aku kaget bukan kepalang. Ternyata Syifa, ia tiba-tiba muncul.. 

“Syifa. Jangan mengagetkan begitu. Ana bisa mati,"  gumamku kesal. 

Sejak selesai sholat subuh tadi aku memilih langsung ke kamar agar lebih mudah menyiapkan perlengkapan bimbingan anak-anak hari ini. Memang yang lain masih di mushola, rencananya aku bertilawah sebentar, tapi akhirnya malah termenung.

Syifa hanya tertawa. Dia sudah duduk di sampingku.

"Ada apa dengan anti? Dari tadi, ana perhatikan anti sedang melamun." 

Syifa melirik tanganku yang meremas-meras arloji. 

“Arloji itu dari seseorang, ya? Barang yang selalu disayang-sayang, dibelai-belai, biasanya itu dari seseorang yang istemewa. Benarkan?"

Aku hanya tersenyum. Kutatap arloji yang sudah tua di tanganku. 

"Dari siapa?" tanya Syifa. 

Lagi-lagi aku hanya diam.

"Biar kutebak," kata Syifa, dahinya berkerut. “Dari orang tua, ayah… atau ibu?"” 

Aku hanya menggeleng.

"Hmmm..., dari seseorang. Laki-laki." 

Aku tersenyum mendengarnya. Lucu sekali, dia rela menguras otaknya demi rasa penasarannya. 

“Hey.. anti tersenyum, benarkah?" Syifa girang. 

"Tapi dia bukan siapa-siapa?” selaku cepat.

"Hei, ana kan cuma bilang dari seorang laki-laki," sahut Syifa. Tiba-tiba saja wajahnya berubah, menatap penuh dengan curiga, "sikap anti mencurigakan."

“Maksud anti?"

“Sudahlah, katakan saja! Dia spesial banget buat anti? Anti menyukainya?”

Pertanyaan Syifa membuat mataku membelalak. Aku benar-benar tak menyangka.

"Kenapa anti terkejut begitu? Cinta bukanlah sesuatu yang aneh dan memalukan."

"Tidak, ana menganggapnya seperti kakak ana sendiri. Dia terlalu baik," jelasku sambil menerawang.

Ulurkan tanganmu."

"Kenapa?"

“"Sudah, ulurkan saja."

“Bagus kan?" 

Mataku melebar melihat arloji yang indah melingkar di tanganku.

“Ini untukku, Kak?" Aku masih belum bisa mempercayainya.

Zaid mengangguk. 

"Sebentar lagi, kamu akan ke pondok. Aku yakin kamu anak yang sungguh- sungguh. Untuk itulah aku membelikan ini untukmu. Agar kamu bisa mengatur waktu. Jangan sampai karena terlalu bersemangat menghafal sampai-sampai  melupakan segalanya. Kamu harus pandai mengatur waktu. Selain kewajibanmu menghafal, kamu juga harus menjaga makan, istirahat, dan penampilanmu. Jangan sampai begitu keluar dari pondok, kamu jadi anak yang jorok."” 

"Yah,… melamun lagi."

Suara Syifa menyeretku kembali dari alam sadar. Syifa memandang penuh arti. Aku tak mengerti. Aku hanya bisa tersenyum, terserah mau menilaiku seperti apa.

 "Kalau boleh tahu, siapa namanya?"”

“Zaid." Bodohnya aku, kenapa lidah ini tak aku cegah dulu.  

“Ohh.”

“Ya?”

“Tidak apa-apa. Tadinya ana mengira laki-laki itu Abdurrahman, soalnya sore tadi anti terkaget-kaget ketika mendengar nama ikhwan itu. Kebetulan Abdurrahman sekampung denganmu kan? Jadi ana mengira dia yang sesuatu banget buatmu."

Aku hanya menatap Syifa tanpa memberi jawaban apa pun.


🌹🌹🌹


Sahabat kecil Silmi adalah Zaid. Lalu ada apa dengan reaksi Silmi, ketika disebut Abdurrahman?



*QS. Ali Imran : 173









Tidak ada komentar