Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Novel Inspirasi"
El Nurien

Teratai Kedua


Part 10: Teratai Kedua

 



[Jika ada waktu pulanglah! Ada hal penting yang harus kamu ketahui.]

Spontan Rudi menoleh ketika ibunya muncul di balik pintu.

“Rud, bagaimana kalau kita juga bikin kerupuk Teratai?” 

*** 

Tera menghempaskan bokongnya ke ujung ranjang Evan. Mengapa ia tidak bisa bebas dari mimpi buruk laki-laki. Dulu Arbain, sekarang Sanad. Ia mengerang frustasi.

Tiba-tiba tatapannya tertuju pada sebuah cermin besar yang menempel di dinding. Ia mendekati cermin itu, lalu mematut diri. Benarkah dirinya seperti Putri Marino? Ia tersenyum mengejek. Namun, ia mengakui dirinya memang banyak berubah. Ah, mungkin telah berubah seratus persen. 

Kulitnya sudah pasti bukan kulit gosong lagi. Rambut pendeknya menjadi panjang, lalu dikasih warna brown black. Penampilannya jadi feminim, karena sebelumnya terbiasa memakai celana, bahkan sering mengenakan celana tiga perempat. 

Ia bertanya-tanya seandainya dulu seperti ini, mungkinkah Arbain setia padanya? Atau dengan penampilannya sekarang, mungkinkah ia mendapat perhatian dari seorang laki-laki? 

Ia tersenyum miris. Meski mendapatkan itu, pada akhirnya mereka menyukainya karena penampilan. Fakta yang tidak bisa dibantah, tetapi ia membencinya.

Evan keluar dari kamar mandi dengan lagi-lagi tersenyum. Kali ini ia tersenyum penuh arti. Melihatnya Tera menjadi geram. Ia mengangkat tubuh kecil itu, lalu menaruhnya di atas ranjang dengan sedikit menghempas. Kasur empuk membuat anak itu sedikit melambung. Evan malah tertawa.

“Hari ini senang banget menertawakan Mama,” protesnya setelah mencubit pipi Evan. 

Anak itu masih saja tersenyum. Ia merangkak sebentar ke arah nakas, lalu mengambil kertas. Ia menyerahkan pada Tera setelah menulisnya. 

[Mama cantik]

Tera mendelik. 

[Benar. Mama cantik, juga baik.]

“Ish … pintar merayu. Sudahlah. Evan sudah sikat gigi kan?”

Evan mengangguk. 

“Kalau begitu, bersiap-siaplah tidur. Mama mau ke kamar mandi dulu.”

***


"Tadi kamu bilang sama Mama mau tidur," protes Hayati ketika melihat suaminya kembali berjibaku di ruang kerja yang berdampingan dengan kamar mereka, hanya diberi pembatas dinding dan pintu kaca. 

Sanad mengernyit. "Perasaan, aku tidak bilang mau tidur sama Mama. Aku cuma bilang mau istirahat."

Hayati mendesah. "Oke, aku salah. Apa bedanya? Istirahat artinya melepaskan diri dari pekerjaan. Sekarang?" 

Sanad tak bersuara. Ia kembali menekuri layar laptopnya. 

"Kamu ingin menghindari membicarakan Tera, iya kan?" tuding Hayati sambil menyandarkan bokongnya ke tepi meja.

Sanad menghentikan gerakannya. 

"Kenapa? Aku juga tidak boleh tau?"

Sanad mendesah. "Hay, kamu tau, ada hal yang bisa kuceritakan pada orang dan ada pula tidak bisa aku ceritakan."

"Aku istrimu, bukan orang lain. Kenapa kamu masih tidak bisa berbagi denganku?" sahut Hayati. 

Sanad memutar kursinya. Menatap lurus ke arah Hayati. "Kenapa kamu jadi menyinggung ini sekarang?"

"San, aku capek. Sebagai istri, aku pun ingin menjadi orang kamu percaya."

"Dari dulu aku mempercayaimu," jawab Sanad. "Hanya saja, ada yang bisa aku bagi dan tidak."

"Itu artinya kamu mau menyembunyikannya dariku. Aku masih belum apa-apanya di hatimu." Kenyataannya hanya terucap di hati Hayati.

Hayati tertunduk. Menelan salivanya yang terasa pahit. "Mengapa kamu masih belum membuka hatimu untukku."

Sanad mengerutkan kening. "Aku makin tidak mengerti apa hubungannya dari semua ini. Hay, kamu mengenalku telah lama, seharusnya kamu tau siapa aku. Tak perlu lagi aku menjelaskan, aku memang begini. Kedua, bukankah dari awal sudah kujelaskan padamu, hatiku hanya untuk Kaayat."

"Dia sudah meninggal." Hayati mengingatkan.

"Tapi di hatiku dia tetap ada. Dan mungkin sampai kapanpun akan tetap ada."

"Aku?"

Ia berdiri. "Hay, aku paling benci mengulang ucapan. Dari awal, aku sudah bilang padamu. Aku bisa memberimu tubuh ini dan harta, tapi tidak untuk hatiku."

"Mengapa?"

Sanad mengerang frustasi. "Harus dijelaskan lagi?" tanyanya, lalu keluar dari ruang kerjanya. 

"Ke mana?" tanya Hayati ketika melihatnya tidak merebahkan ke atas ranjang. 

"Lihat Evan!" sahut Sanad setengah berteriak. 

Hayati mengembuskan napasnya. Ia merutuki dirinya, mengapa bertanya lagi? Padahal seharusnya ia tahu Sanad akan kemana. Mengapa bertanya, padahal sudah tahu, Sanad paling tidak suka mengulang-ulang kata yang sama.

*** 


Tera dan Evan sudah terlelap saat ia masuk ke dalam kamar Evan. Lagi-lagi ia melihat pemandangan indah. Tera memeluk putranya dari belakang. Sanad terkekeh sendiri. Ia bertanya-tanya, mungkinkah mereka tidur selalu dengan posisi seperti itu? 

Ia membetulkan selimut yang menutupi keduanya. Tiba-tiba keningnya mengernyit. Menyadari putranya selalu melakukan hal yang sama. Meletakkan wajah di telapak tangan Tera. Ini kedua kalinya ia melihat hal ini, mengapa? Putranya menyukai tangan Tera? 

Ia menatap wajah Tera. Menatap wajah itu setiap incinya. Mencari tau apa yang disukai putranya pada gadis bar-bar itu. Ia menyingsing pelan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Tera. Siapa sangka, tiba-tiba mata gadis itu terbuka. Sontak Tera terlonjak, tak terkecuali dirinya. Hanya saja, ia berusaha menutupinya. 

“Apa yang kamu lakukan?!” Gadis itu terlonjak duduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Mata itu terbelalak. Napasnya memburu. 

Sanad mendehem. Dadanya masih bergemuruh hebat. Terlebih lagi saat melihat mata Tera yang membelalak. “Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya ingin membetulkan selimut kalian. Jangan geer!” 

Tera menghempaskan napasnya. Ia mengelus dadanya yang terasa mencelos. “Lain kali, jangan masuk ke sini kalau jam tidur!” pinta Tera, dengan suara masih bergetar. 

“Ini kamar anakku.”

“Tapi aku tidur di sini. Sangat mengerikan, tiba-tiba membuka mata ada laki-laki asing di kamar, apalagi posisimu yang sangat dekat tadi.” Tera menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam. Terlihat jelas napas gadis itu masih memburu.  Tindakannya benar-benar membuat Tera ketakutan. 

“Apa kamu pernah mengalami trauma?” Tiba-tiba ia tak kuasa menahan rasa penasaran. Terlebih lagi jika mengingat info yang sudah didapatkannya, seharusnya tak mengapa jika melihat ada laki-laki di kamar.

Tera tidak menjawab. Ia masih memejamkan mata dengan berusaha menetralkan napasnya. 

“Ya sudah, kalau kamu tidak mau cerita. Aku keluar dulu,” ucap Sanad. Beberapa lama Sanad masih berdiri, menunggu respon Tera, tetapi gadis itu masih saja bergeming, hingga akhirnya ia memutuskan keluar dari kamar itu. 


*** 

Tera mengernyit melihat sikap Keane belakangan ini. Sekarang ia tidak bisa lagi berjalan sendirian. Keane tidak melarangnya ke mana-mana, tapi selalu mengikutinya. Seperti sekarang ini, Keane rela berdiri lama, tidak jauh darinya yang sedang menunggu Evan.

“Aku kadang mikir, kamu itu menjaga Evan atau aku sih?” sindir Tera sinis.

“Dua-duanya,” sahut Keane singkat.

Tera mengerang frustasi. Satu pria lagi yang membuatnya kesal. Ada apa dengannya? Apakah ia mempunyai kesalahan di masa lalu, sehingga harus mengalami karma ini? Saat tubuhnya memutar, ia melihat Rudi yang sedang menatapnya dari jauh. Ia segera bergeser, lalu bersembunyi di balik badan Keane yang besar. Tak lama pintu gerang dibuka, berhamburan anak-anak keluar. 

“Mama!” teriak Evan.

Tera tersenyum. Berharap Rudi mendengar teriakan Evan.


*** 


“Keane?!” tanya Sanad heran ketika melihat Keane memasuki kantornya. “Tera dan Evan sudah kamu antar?” 

“Iya, Tuan. Mereka sudah di rumah,” jawab Keane.

“Lalu? Ada perkembangan baru?” 

Keane mengangguk. Sanad berdiri dari kursi kerjanya, lalu duduk di sofa. 

Keane mengikuti. Ia mengeluarkan sebungkus kerupuk di kantong kertas, lalu meletakkan di atas meja, di depan Sanad. 

Sanad mengambilnya lalu mengeja. “TERATAI KEDUA.” seketika keningnya mengernyit. “Ini?”

"Sekarang telah beredar di pasaran juga warung-warung, tempat biasanya kerupuk milik tera yang diedarkan oleh Rudi. Sewaktu milik Tera, ia mempunyai dua tem pemasar. Satu tem diketuai oleh Rasid memasarkan ke arah kanan dari simpang tiga Gambah, yaitu Kandangan dan sekitarnya sampai ke Sungai Raya, sempat merambat ke Tapin.”

“Arah kiri itu tem Rudi?!” 

Keane mengangguk. “Kerupuk ini didapatkan dari pangsa pasar tem Rudi.”

“Dengan kata lain, Rudi dengan ibunya, si pemegang resep memproduksi Teratai Kedua ini? Itu artinya mereka juga mengkhianati Tera?!”

“Iya, yang memproduksi Teratai Kedua itu Rudi dengan ibunya, tapi kalau mengkhianati, saya tidak berani berspekulasi. Terlihat beberapa hari ini, Rudi mengintai Tera. Entah apa maksudnya. Kemungkinan dia ingin mendekati Tera, tapi tidak berani karena ada aku."

Sanad terdiam. Ia terus menatap kerupuk Teratai Kedua dengan entah apa yang dipikirkannya. “Ada lagi?” 

“Tidak ada, Tuan.”

Sanad berdiri. “Kamu pantau terus mereka. Aku yakin adik ipar Tera tidak akan diam saja.”

“Baik, Tuan.”

***


Kembang menghempaskan sebuah plastik hitam di atas meja. Bastiah yang duduk memotong sayur menatap heran. 

“Coba Ibu lihat deh!” ucap Kembang dengan amarah yang ditekan.

Bastiah membuka plastik itu. Ia terkejut, ketika melihat beberapa bungkus kerupuk Teratai Kedua dalam plastik itu.

“Ini ….” Bastiah mengeluarkan satu bungkus.

“Iya. Acil Nurul edarkan dengan mengambil pasaran yang sebelumnya milik Rudi." Seringai senyum licik terbit di bibir Kembang. "Ceritanya setia, mana? Malah bikin produk sendiri. Awas saja, kamu Rud! Kamu pikir aku bisa diam?!”



***

Mohon dukungannya dengan berkunjung ke aplikasi dengan mengklik link di bawah ini. Di sini rawan plagiasi. 🙏

KBM 

Karya Karsa 

Joylada





Teratai Kedua Part 10: Teratai Kedua   [Jika ada waktu pulanglah! Ada hal penting yang harus kamu ketahui.] Spontan Rudi menoleh ketika ibun...
El Nurien
El Nurien

 Teratai Kedua

Part 9: Putri Marino


“Nanti aku beritahu,” sahutnya Sanad tanpa menoleh. “Keane, kita harus pergi ke suatu tempat. Evan, sini!”

***

Tera terperangah, ketika mereka memasuki sebuah gedung bertuliskan Spa Health. 

'Entah berapa tahun lagi aku harus beradaptasi dengan keluarga ini? Benarkan kataku, ketampanannya karena salon.'

Tanpa sadar, Tera cekikikan sendirian, tetapi seketika berhenti ketika mendapatkan tatapan tajam dari Sanad. 

Ia mendehem. "Kamu ingin spa di sini?" 

Keane membelalak. “Kamu?”

"Kenapa membawa kami? Coba kalau kami dibiarkan pulang, bisa istirahat. Ya 'kan, Van?" celoteh Tera, lalu beralih ke Evan meminta pembelaan. 

Evan hanya tersenyum. Ia menatap Tera dan ayahnya silih berganti 

"Kamu yang akan di-spa," jawab Sanad dengan wajah serius.

"APA?!" pekik Tera. "Yang benar saja. Ngapain aku ke sini?! Orang kaya bukan, istri orang kaya apalagi. Sudahlah, jangan bua …."

"Kamu pengasuh anakku. Jangan kamu permalukan anakku dengan kulit dekilmu itu!" potong Sanad tanpa ampun.

Tera mengernyit. Apa yang salah dengan kulit hitamnya? Tuh selama bersama Evan, kulit hitamnya mulai bersih karena tak lagi bersinggungan dengan sinar matahari. Kalau hitam, itu pembawaan. Ironisnya hanya dirinya yang mewarisi kulit ayahnya. 

Mau dibawa salon luar negeri juga tetap hitam. 

"Sudahlah, jangan kebanyakan mikir. Tuh tidak menggunakan duitmu juga." Sanad beralih ke karyawan. "Mbak, bawa dia."

"Tapi …."

"Mari, Mbak. Saya antar."

Sesaat Tera menatap Evan kembali meminta pembelaan, tetapi anak itu hanya tersenyum nyengir.

*** 

Keane membuka ponselnya setelah terdengar pesan masuk. 

"Itu alamat salon langganan Hayati juga butiknya. Permak dia, pastikan mereka tidak mengenali dia lagi."

"Iya, Tuan."

"Mulai sekarang aku tugaskan kamu menjaga dia dan Evan. Siapa namanya? Rasid? Aku tak percaya dia. Mungkin suatu saat pihak Arbain akan mendapatkan informasi dari dia. Oh iya, kamu sudah tahu siapa Rudi?"

"Dia …."

“Bentar,” potong Sanad. Terlebih dahulu ia mendudukkan Evan di sofa ruang tunggu. “Evan, tunggu di sini dulu ya. Papa mau ngomong sama Om Keane.”

Evan mengangguk. 

Sanad mengusap rambut keriting anaknya. “Anak pintar.” 

Sanad langsung kembali ke keane.

“Iya, Tuan. Dia sahabatnya Teratai dari kecil. Putranya Acil Nurul, pemegang resep kerupuk Teratai. Dia menyukai Teratai, tapi Teratai hanya menganggapnya sahabat dan menjalin hubungan dengan Arbain.”

“Gadis dekil itu ternyata ada juga yang menyukainya,” gumam Sanad.

“Ya, Tuan?”

Sanad tergagap. “Tidak apa. Lalu bagaimana dengan perkembangan Teratai Produksi?” 

“Mulai memburuk, Tuan. Sepertinya pembeli pertama karena mengira itu Teratai sebelumnya. Setelah mencoba, mereka tidak kembali lagi, hanya segelintir yang kembali mengonsumsi. Padahal suppliernya baru saja memasukkan produk ke minimarket dalam jumlah yang banyak, karena respon awalnya bagus.”

“Biarkan saja mereka. Kita pantau saja. Tapi mengapa Tera sendiri tidak terlihat bertindak?! Ini aneh.”

“Bahkan dia berusaha menghindar. Mungkin karena dia sudah menyayangi Evan,” imbuh Keane.

“Dengan meninggalkan kekayaannya?”

Keane hanya menjawab. “Kalau itu saya tidak berani berpendapat, Tuan.” 

“Katakanlah!” titah Sanad.

“Dilihat di mobil tadi, Tera memang sangat menyayangi Evan. Tera juga berusaha mendidik Evan dengan baik. Meski Tuan sering membuatnya kesal, di depan Evan ia selalu membela Tuan.”

Tanpa sadar Sanad menganggukka kepala. Ia memperhatikan jam di tangannya. “Aku balik ke kantor dulu. Kamu jaga mereka, setelah itu mereka ke tempat alamat yang aku kirim.”

“Iya, Tuan.”

Tak jauh dari mereka, Hayati bergegas menjauh, sebelum dirinya tertangkap basah. 

***

"Aku terenyuh sekali, pas Evan memberiku hadiah permen," singgung  Hayati sambil membantu Sanad mengenakan jasnya. 

"Iya, syukurlah. Sudah mulai ada perkembangan. Kedatangan Tera lumayan membawa perubahan. Aku jadi tidak terlalu memikirkannya lagi," sahut Sanad sambil merapikan bagian pergelangannya. 

Gerakan Hayati terhenti. 

"Aku membersamai Mas sudah hampir dua tahun, tapi masih belum bisa mengambil hatinya. Tera baru datang, Evan langsung menyukainya? Mas tau apa yang dia sukai dari Tera?  Biar aku coba, siapa tau hubunganku dengan Evan bisa membaik." 

"Entahlah, tapi Evan memang tidak suka didekati orang, apalagi jika ada maunya."

Hayati tersentak. Sanad berjalan keluar. Tak peduli dengan wajah kesal Hayati. Ia mengikuti langkah Sanad sambil membawa koper kecil yang berisi map. 

"Iya, aku ngerti. Mungkin dia tidak menyukaiku karena dulunya aku mendekatinya, tapi aku tulus. Aku ingin menjadi bagian dari dirinya. Aku ingin menjadi ibu sambung yang baik buat dia," gumam Hayati ketika mereka berada di dalam lift. 

Sanad tidak bersuara. Ia kembali memerhatikan jam di tangan.

"Tadi kalian ke mana?" tanya Hayati. Ia menarik napasnya mencoba bersabar dengan sikap Sanad yang abai.

"Cuma mempermak Tera.” Sanad mendesis, aku tak habis pikir bagaimana gadis itu tidak peduli dengan penampilan," gerutu Sanad.

"Permak?"

"Oh." Seketika Sanad tergagap. Tanpa sadar ia telah  mengucapkan sesuatu. 

“Mengapa?” lirih Hayati sendu. 

Sanad menoleh. 

“Mengapa kamu masih saja tertutup padaku?”

Sanad membuka mulutnya, tetapi keburu tertutup akibat ponsel di dalam saku jasanya bergetar. “Ya …. Paksa, kalau perlu seret.”

Hayati mengerutkan keningnya, melihat geraham suaminya yang mengeras.


*** 

“Namamu siapa tadi? Keane?” 

Dari penampilan, Tera tahu Keane lebih tua darinya. Sikap Keane dari awal yang terus memaksanya, membuatnya hilang rasa segan.

“Gini, Keane! Untuk apa ke sini? Aku hanya seorang pembantu. Mau dipoles pakai porselen juga tetap pembantu. Tetap saja tempat ngumpulnya sama pembantu, makannya di emper atau pojokan. Rekreasinya paling mentok ke kebun. Ngapain coba habisin banyak uang? Mendingan kita sedekahkan uangnya?”

Keane menghempaskan napasnya. “Tolong! Jangan mempersulit saya! Mari!”

Tera melongo. Ia menoleh ke arah Evan yang lagi kecanduan memamerkan gigi-gigi putihnya. 


*** 

Brakk  ….

Sanad yang sibuk membaca koran mengangkat wajahnya. Arsa yang menyesap kopinya terkejut. Fatima dan Hayati di dapur bergegas keluar. 

“Tera?” seru Fatima dengan sedikit pangling. 

Terlihat Tera yang mengenakan rok sampai bawah lutut berpadu dengan kemeja warna senada dengan rahang mengeras.

“Wow.” Arsa tidak bisa memalingkan tatapannya. 

“Cantik, Tera. Kayak … Siapa itu?” seru Fatima sambil duduk di samping Arsa. Hayati duduk di lengan sofa yang diduduki Sanad.

“Putri Marino,” imbuh Arsa. 

Fatima menyetujui.

Sanad menoleh santai. “Keane, bawa Evan ke kamarnya.”

“Baik, Tuan.” Keane menggendong Evan lalu membawa ke kamar. 

Sanad berdiri. “Bukankah ini lebih bagus?! Mama dan Arsa saja memujimu.”

“Aku tidak menginginkan itu. Apa hakmu mengubahku?” seru Tera setengah berteriak. Keinginannya untuk membuat wajah hasil salon itu semakin meningkat. 

“Apa hakku? Tera, aku ini Tuanmu. Aku berhak mengubahmu. Aku berhak melakukan apa pun, terlebih lagi untuk kenyamanan anakku.”

“Apa hubungannya dengan penampilan? Aku ini pembantu! Semua orang tau, aku ini hanya seorang pembantu! Kenapa kamu ribut dengan penampilan?”

“KAMU?!”

“Kenapa? Aku tidak akan menghormati orang tidak menghormatiku.”

“Terserah. Aku pun tidak mau dihormati orang sepertimu.”

Tera mengernyit. Bukankah tadi Sanad protes kaya kamu? Ia baru tahu, ternyata pria arogan ini plin plan.

“Dengar! Apa salahnya jika kamu merawat diri?! Mama dan Arsa memujimu. Salahnya dimana coba?” tanya Sanad. 

“Tapi bukan begini caranya! Ini pemaksaan!” Tera memajukan wajahnya. “Dengar, tugasku hanya menjaga Evan dan kamu menggajiku. Hanya sebatas itu, selangkah pun jangan coba mengusikku, kamu akan tanggung akibatnya!” ancam Tera, lalu ia berbalik, meninggalkan ruangan itu. Berpapasan dengan Keane yang baru saja keluar dari kamar Keane. 

“Tuan!”

“Hari ini cukup. Besok ke sini lagi, jemput mereka. Setelah kelas Evan selesai jemput aku. Besok jadwal Evan bertemu psikiater," beber Sanad.

“Iya, Tuan.” Keane mengangguk, lalu pamit undur diri.


*** 

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Fatima setelah Keane pergi. “Kenapa Tera sampai diubah begitu? Lalu sampai mempekerjakan Keane untuk menjaga mereka? Bukankah Keane security perusahaan, kenapa harus menjaga mereka? Apa yang terjadi?”

Sanad menghela napasnya. “Aku istirahat dulu, Ma. Selamat malam.” 

***


Di Bangkau

"Mama lihatkan, pengelolaan kami lebih baik daripada Tera. Berkat Mas Arbain, kerupuk Teratai sudah masuk ke supermarket. Duduk manis di rak berdampingan dengan produk berkualitas lainnya," ucap Kembang Ilung setelah meletakkan seikat duit berwarna biru. 

Bastiah menghela napas. Tanpa kehadiran Tera, barulah ia menyadari dirinya yang terlalu memanjakan Kembang Ilung. Kembang Ilung satu-satunya anaknya yang berhasil menjadi sarjana dan bekerja di tempat yang bagus, tentu membuatnya bangga. Sayangnya telah membuatnya gelap mata. 

Air matanya kembali mengalir jika mengingat Tera. Tera anak sulungnya, tentu ia berharap banyak pada gadis itu. Ia memperlakukan Tera sangat keras dengan harapan anak itu kuat, mandiri dan dapat diandalkan. Kesalahan fatal yang sering ia lakukan adalah sering mengusir Tera dengan ucapan, tak jarang dengan tindakan. Karena ia tahu, Tera tidak akan berani menjauh beneran. Siapa sangka sikap itu menjadi kebiasaan, dan terulang saat Tera sudah dewasa.

“Nangis lagi!” seru Kembang kesal. Ia masuk ke kamarnya meninggalkan dentuman pintu.


*** 


Di Sei Jarum


Rudi duduk di teras. Sesekali wajahnya menengadah, menatap bintang. Kebiasaan yang sering ia lakukan bersama Tera waktu remaja. Tera bercerita banyak padanya. Tentang perlakuan ibunya, mimpi, bahkan Arbain. Dari sekian cerita Tera, Arbain yang paling menyakitkan hatinya, tapi ia tidak berani bersuara. Ia tahu Tera hanya menganggapnya sebagai teman. 

Setelah Arbain hendak menikah, barulah ia mengungkapkan perasaannya. Sayangnya, hati Tera terlanjur sakit. Dengan dalih tak ingin menghancurkan persahabatan, Tera menolak perasaannya. 

Ia menghidupkan ponselnya, lalu mengetik pesan kepada seseorang. 

[Jika ada waktu pulanglah! Ada hal penting yang harus kamu ketahui.]

Spontan Rudi menoleh ketika ibunya muncul di balik pintu.

“Rud, bagaimana kalau kita juga bikin kerupuk Teratai?” 

****

Terima kasih ♥️ 
Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen ya. 🙏





 Teratai Kedua Part 9: Putri Marino “Nanti aku beritahu,” sahutnya Sanad tanpa menoleh. “Keane, kita harus pergi ke suatu tempat. Evan, sini...
El Nurien
El Nurien

 Teratai Kedua

Part 8: Melindungi


Hanya perlu beberapa detik, panggilan Hayati langsung terjawab. Seakan yang dipanggil sedang menunggunya.

"Dia ke mana?" tanya di seberang setelah mendengar desah napasnya. 


"Ke rumah sakit, bawa anaknya."

"Oh."

"Oh?" protes Hayati. 

Laki-laki di seberang tertawa. "Terus?"

"Iya, apa kek," rajuk Hayati. 


Laki-laki di seberang kembali tertawa. "Kamu tau, aku selalu menunggu ceritamu, meski kamu tidak mau mendengarkan saranku."


"Kamu tau, aku sangat mencintainya. Aku lebih dulu mengenal Sanad dari Kaayat. Meski hanya mendapatkan jasadnya, inilah kesempatanku."


Terdengar helaan panjang dari seberang sana. "Terserah lah." 

"Maaf. Aku serakah, Gilang. Dulu aku pikir dengan mendapatkan jasadnya, aku cukup bahagia. Ternyata tidak, aku menginginkan lebih. Aku menginginkan hatinya."


"Dan sampai sekarang kau belum mendapatkannya," tukas Gilang.

"Aku akan mendapatkannya." 

"Selalu begitu. Kamu selalu mengeluh, tapi pada akhirnya tetap dengan pendirianmu." 


"Menurutmu bagaimana lagi, supaya aku mendapatkan hatinya? Setiap hari membersamainya, sepertinya tidak mengubah perasaannya."

"Dekati anaknya," usul Gilang.


"Sudah kucoba. Tetapi anak itu selalu menjauh. Malah sekarang anaknya semakin jauh semenjak bertemu perempuan itu."

"Seharusnya kamu semakin aktif," cecar Gilang. 


Hayati kembali mendesah. "Kamu tidak tau bagaimana sikapnya. Aku sendiri tidak mengerti apa yang dimiliki perempuan itu?"

Gilang hanya tertawa. 

"Tertawa lagi. Beri ide baru dong!" protes Hayati. 


Sesaat hening. 

"Gimana kalau kamu menjauh?!" 

"Maksudmu?" 


"Mungkin saja dia tipe nggak suka dibuntuti. Selama ini kamu selalu mengikutinya ke mana-mana, dia mulai terikat dengan kamu. Dengan menjauhnya kamu, siapa tau dia mulai menyadari berartinya kamu."


Kembali hening. 

"Bagaimana kalau jarak kami semakin jauh? Kamu tau, aku paling takut kehilangannya."

Kembali terdengar desah napas. "Terserahmu lah. Aku tutup saja kalau begitu."

"Ee … tunggu … tunggu!"



***

“Kaayat!!” Sanad terlonjak dari tidurnya. Mimpi buruk kembali datang menghantuinya. Sampai sekarang ia tidak bisa melupakan kejadian buruk itu. Terlebih lagi jika melihat Evan, ia selalu teringat kejadian nahas yang merenggut nyawa Kaayat, istrinya. Separuh jiwanya telah pergi. Beruntung Evan selamat dari kecelakaan maut itu. Evan yang membuatnya kuat selama ini. 


Ia mengalihkan pandangannya ke ranjang Evan. Tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan yang membuatnya bangun dari sofa. Tanpa sadar bibirnya menyungging senyum. Melihat Tera dengan putranya tidur saling berpelukan. Evan tidur dengan posisi membelakangi Tera. Ia meletakkan kepalanya di tangan Tera. Tera memeluknya dari belakang. 


Sanad mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. 

Ia ingin mengabadikan momen itu.


*** 



Pagi hari Evan sudah bisa langsung pulang. Saat mereka sampai sudah di rumah, ada Arsa _sepupu Sanad, yang duduk di sofa ruang tengah. 

"Arsa? Ngapain ke sini?" tanya Sanad.

"Assalamualaikum, Evan. Apa kabar? Lama tak jumpa."


Evan menjauh. Ia menempel ke kaki Tera. 

Arsa memasang wajah sedih. "Padahal Om kangen sama Evan." Tiba-tiba ada hal yang menarik perhatian Arsa. “Masya Allah, Evan sudah punya teman. Alhamdulillah. Kenalkan, Mbak. Saya …."


"Kalian masuklah. Siap-siap sekolah,” potong Sanad.

Evan mengangguk. Tera membawanya menjauh. 

Arsa tersenyum lebar "Perempuan itu siapa? Bagaimana Evan bisa dengan dekatnya?" tanyanya sambil duduk. 


"Ceritanya panjang. Kamu ngapain ke sini?"

Arsa berdecak. "Basa-basi kek. Tanya kabar kek." 

Sanad berdiri. "Aku tidak punya waktu."

"Iya … iya. Sabarlah. Ibumu menawariku bekerja di salah satu August Market."


"Jadi?" 

"Ya, aku terima. Sambil cari-cari pekerjaan."

"Ya sudah. Selamat datang. Aku mau mandi dulu," ucap Sanad berdiri tanpa menunggu kawab Arsa.

Arsa berdecak. "Dasar, sepupu kejam."



*** 

“Yakin dia ada di sini?” tanya Rudi sambil memutar-mutar kepalanya. Mencari sosok yang dirindukan, sekaligus dikhawatirkannya. Ia mengusap keringatnya untuk kesekian kali.

 

“Tidak yakin sih. Tapi kemarin dia mendatangiku di minimarket itu. Jadi aku kira dia tidak jauh dari sini, atau setidaknya sering berkeliaran di sini,” jawab Rasid sambil mencari-cari sambil mengenali orang-orang yang ditangkap matanya. 


“Nah itu dia, di depan sekolahan!” tunjuk Rasid.

“Benar! Ayo kita ke sana!”

“MAMA!”

Langkah Rasid dan Rudi seketika terhenti. “Mama?”



***

“Mama!” Evan berteriak ketika keluar dari gerbang sekolahan. 

Tera berjongkok sambil merentangkan tangan. Ia menciumi pipi Evan begitu sampai dalam pelukannya. “Senang sekali? Dapat bintang lagi ya?”

Evan mengangguk. 


“Alhamdulillah. Anak pintar. Nanti Mama lihat kalau sudah di rumah.” Tera berdiri. Lalu mengulurkan tangannya yang langsung disambut Evan.


Belum jauh mereka melangkah. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Sesaat mereka saling bersitatap. Keluar seorang laki-laki mengenakan setelan jas. Laki-laki itu menganggukkan kepala.

Tera termundur. Spontan ia mendorong Evan ke belakang, tetapi Evan malah merangsek ke depan.


“Saya disuruh Tuan menjemput kalian,” ucap laki-laki itu setelah membukakan pintu. 

“Tuan?” tanya Tera.

“Tuan Sanad Gandaria.” 

Meski laki-laki menyebut nama lengkap Sanad, tetap saja ia menaruh curiga. 


“Ei, tunggu Evan! Jangan main tarik aja. Kamu kenal siapa dia?” Tiba-tiba Evan menarik lengannya.

Evan mengangguk. Ia kembali menarik lengan Tera, hingga masuk ke dalam mobil. 

Meski Evan terlihat tenang, Tera tidak bisa membuang kekhawatirannya. Sesekali ia melirik laki-laki itu yang sudah duduk di kursi pengemudi.


***


“Ya?”  Sanad setelah menyentuh ikon panggilan berwarna hijau, tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen. 

“Tuan benar!” 

Seketika Sanad tersentak. “Mereka sekarang di mana?”

“Mereka bersama saya,” jawab Keane.

“Bawa mereka ke sini!” perintah Sanad. 

“Baik, Tuan!”


*** 



“Tuan menyuruh saya membawa kalian ke kantornya,” ucap Keane setelah mematikan panggilannya. 

Sesaat Tera dan Evan saling bersitatap. Tera menatap cemas, tetapi Evan tersenyum lebar. 

“Yakin dia anak buah Papamu?” Tera tidak bisa membuang kecemasannya. Sekali lagi Evan mengangguk. Tera memeluk badan mungil Evan. “Ya sudah! Sepertinya kamu sangat menyukainya? Kenapa?”


Evan melepaskan pelukannya. Ia mengambil kertas dalam tas lalu menulisnya. 

{Aku suka kita main be ….] Tera menghentikan bacaannya mengingat ada orang lain di mobil. 


Ia membisiki Evan. “Tak baik begitu. Nanti Papa sama Mama Hayati berantem.”

Evan kembali menulis di kertas dan menyerahkan ke Tera. Tera membacanya tak berani lagi bersuara. 

[Dia bukan mamaku]


Tera menghela napas. Ia merengkuh kepala Evan. “Dengar, Papamu sudah bekerja keras untuk Evan dan masa depan Evan. Sukailah apa yang disukai Papa. Mama Hayati istri Papa. Papa pasti sangat senang kalau Evan juga menyukai Mama Hayati.”

Evan mengangkat wajahnya. Menatap Tera. Matanya mengerjap


“Dengar, kemarin malam Papa sangat mengkhawatirkan Evan. Papa sangat menyayangi Evan. Jadi buatlah Papa senang, ya?” 

Mata Evan mengerjap. Seketika Tera tertawa. “Evan belum paham ya? Maafkan Mama.”

Evan kembali menulis di atas kertas. [Evan ngerti]


“Bagus. Bagaimana kalau Mama Hayati kita kasih hadiah?!”

Evan mengangguk dengan ciri khasnya. Memamerkan gigi-gigi kecilnya.

“Mmm … apa ya? Evan ada ide?” pancing Tera. 


Beberapa saat Evan hanya terdiam, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan satu permen kaki. Ia menyerahkan permen itu ke Tera.

“Ini? Mama Hayati mau dikasih permen kaki?” tanya Tera tidak percaya. 


Evan mengangguk. Lalu menampilkan wajah sedih. 

“Iya, baiklah. Ini juga bagus. Mama cuma khawatir, Evan dilarang makan permen nantinya. gimana ?”

Evan menggeleng. 


“Ya sudah. Evan kasih ini saja.”

Evan mengangguk, tak ketinggalan senyuman khasnya. Tera kembali meraih badan Evan. “Anak baik.” 

Diam-diam Keane merekam percakapan mereka.



*** 


Di kantor Sanad tersenyum mendengar rekaman yang dikirim Keane. Tera rupanya bidadari yang dikirim Tuhan untuk anaknya. Tiba-tiba saja ia teringat Teratai Produksi. Ia bertanya-tanya, mungkinkah suatu saat Tera akan kembali ke Teratai Produksi dan meninggalkan anaknya. Membayangkannya saja sangat menakutkan baginya. Baginya Evan segala-galanya. Ia harus melindungi Tera sebagaimana kepada Evan, dan berusaha membuat Tera tidak pulang. Apa pun caranya.


*** 



Sanad dengan Hayati membicarakan sesuatu di sofa ketika pintu kantor diketuk.

“Masuk!” seru Sanad. 

Hayati mengerutkan kening. Tidak seperti biasanya. Biasanya dia yang selalu membuka pintu, minimal Sanad bertanya siapa di luar. 


Keane muncul di balik pintu. Ia menyingkir, lalu muncul Evan dengan berlari. 

“Evan?” seru Hayati.

“Hei, Jagoan Papa!” Sanad merentangkan tangan. Evan tidak seperti anak umumnya. Dia hanya mengetahui suasana hati Evan dari matanya. Kali ini, Sanad melihat putranya berbinar sangat indah.


Tera berjalan di belakang, lalu berhenti di samping Keane. 

“Sepertinya anak Papa bahagia sekali,” ucap Sanad sambil mendudukkan putranya. 

“Tuan,” sela Keane. 


“Tunggulah di sini dulu!” titah Sanad. 

“Baik, Tuan.” 

“Evan.” Hayati merentangkan tangannya. “Sini sama Mama, Sayang.”


Evan terdiam. Ia menatap ayahnya.

“Evan sudah besar. Ayo. Salim sama Mama,” suruh Sanad.

Evan meragu. Sesaat ia menoleh ke arah Tera. Tera yang sejak tadi memperhatikannya mengangguk.


Evan turun dari pangkuan Sanad. Ia mengambil permen kaki dalam tasnya, lalu menyerahkannya pada Hayati.

Mata Hayati memebelalak. “Ini buat Mama?” tanya Hayati tidak percaya.


Evan mengangguk. Ia kembali menggerakkan permen kaki itu. Hayati menyambutnya. “Wah, terima kasih, Evan. Mama senang sekali.”


Evan tersenyum malu, lalu kembali menoleh ke arah Tera. Tera memberikan jempol padanya.

“Mama bahagia sekali. Boleh Mama peluk?” tanya Hayati sambil merentangkan tangannya. Evan langsung berbalik, dan berlari ke arah Tera. 


“Kenapa, Evan? Malu ya?” tanya Tera. Evan hanya menundukkan wajah. “Ya sudah nanti kita coba lagi, ya.”

Evan mengangguk. 

“Anak pintar."


Sanad berdiri. Ia mengambil jas yang tersampir di sandaran kursi. “Hayati jam berapa kita meeting?”

“Jam sembilan malam, Pak.”

“Baiklah! Akan aku usahakan kembali sebelum jam itu. Aku pergi dulu,” ucap Sanad sambil mengenakan jasnya. 


“Mau ke mana?” tanya Hayati heran, sedikit cemas. Terlebih lagi mengingat ada Tera di sana. Ia curiga, sebelumnya Tera dengan Sanad sudah ada janjian.

“Nanti aku beritahu,” sahutnya Sanad tanpa menoleh. “Keane, kita harus pergi ke suatu tempat. Evan, sini!”



Terima kasih ♥️

Jangan lupa like dan komen ya😍🙏









 Teratai Kedua Part 8: Melindungi Hanya perlu beberapa detik, panggilan Hayati langsung terjawab. Seakan yang dipanggil sedang menunggunya. ...
El Nurien