Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintamu Part 23

 Merenda Cintamu 

Part 23 Kecemasan







"Hilya, ni aku Pak Purnama. Aku ingin bicara denganmu. Datanglah besok pagi jam delapan ke kantor Bu Irna.  Sendiri."

Suara itu pelan, tetapi sukses membuat wajahnya pucat. 

***


“Siapa yang nelpon?” tanya Ryu penasaran, ketika melihat perubahan sikap Hilya. Ia mengambil ponsel yang ada di tangan Hilya. Terlihat nama Bu Irna paling atas di daftar panggilan. 

“Memangnya dia ngomong apa?” 

Hilya tergagap. “Oh, nggak apa. Dia cuma minta aku ke kantor beliau besok.”

“Tidak bilang apa yang mau dibicarakan atau keperluan apa?” cecar Ryu.

Hilya menggeleng.


“Tapi kenapa kamu seperti cemas begitu?” sebelah tangan Ryu merengkuh bahunya. 

“Begitukah?” Hilya  memegang pipinya, "perasaan biasa saja."

“Jadi kapan ke sana? Aku antar ya.” 

“Jam delapan,” sahutnya. “Kita istirahat yuk! Supaya besok bisa bangun lebih awal. Awas lo bila susah dibangunin. Siap-siap aku seret ke kamar mandi!”

Ryu tergelak. “Iya, Nyonya,” sahut Ryu sambil mengambil beberapa kemasan kosong dan membuangnya ke sampah. 


Hilya tersenyum melihat sikap Ryu yang telah berubah banyak. Kembali ia teringat telpon Pak Purnama. Ada keperluan apa tiba-tiba memanggilnya? Sendirian? Tanpa ia sadari, Ryu ada di sampingnya dan mengangkat tubuhnya. Spontan ia melingkarkan tangannya ke leher Ryu. 

“Berat badanmu mulai bertambah. Syukurlah!” 

“Tidak capek? Apalagi naik tangga?”

“Capek. Tapi sepertinya aku kecanduan mengangkat badanmu,” sahut Ryu sambil terus menaiki anak tangga.


Hilya mengerutkan keningnya. “Mana ada orang kecanduan seperti ini?”

“Di dunia banyak kegilaan yang tidak sempat diprediksi dan tidak bisa disembuhkan.”

Kening Hilya makin mengerut tajam. 

“Seperti aku yang terlalu mencintai gadis jelek sepertimu.”

“Jelek?!” Hilya menghentakkan kakinya sehingga pegangan Ryu terlepas. 

“Awas! Hati-hati, jangan main di anak tangga. Berbahaya.” 

“Kalau kenapa-napa, salahkan dirimu,” ketus Hilya sambil berlalu. 

Ryu tertawa. Ia segera naik dan meraih tangan Hilya. Gadis itu ingin menarik, tetapi ia mengeratkan genggamannya. 


*** 

Purnama meletakkan ponsel Bu Irna ke atas meja. “Terima kasih, Bu.”

Bu Irna meletakkan jus yang baru saja diminumnya. Ia menatap heran. “Sebenarnya apa maksud Bapak  mengajak saya ke sini malam-malam? Cuma untuk menelpon Hilya?” 

“Ibunya dulu bekerja di rumah kami. Dia anak baik, tumbuh bersama Hanif. Sudah seperti bodyguard Hanif. Saya cuma berpikir untuk membalas kebaikan dia. Menurut Ibu, kira-kira apa yang dibutuhkannya?”


Bu Irna mendesah. “Anak malang. Benar, dia anak baik. Baik sekali. Berprestasi di sekolah, sempat mendapatkan beasiswa keluar negeri. suka membantu, eh tiba-tiba menghilang. Tau-tau terdengar berita dia menikah dengan seorang aktor. Entah apa yang terjadi? Aku tidak percaya kalau dia silau dengan kekayaan atau ketampanan. Tapi kenapa dia menikah dengan Ryu? Tadinya aku sempat kecewa, padahal ada pemuda baik agamanya yang menyukainya. Tapi syukurlah, ternyata Ryu memperlakukannya dengan baik. Mungkin Ryu yang terbaik buat dia.”


“Iya, Bu. Soal jodoh, kita bisa apa. Kata Ibu tadi, dia sempat dapat beasiswa keluar negeri?”

"Iya. Pengajuan dia diterima, di Maroko. Temannya telah berangkat, dia tiba-tiba saja hilang." 

"Menurut Ibu, apa dia mau jika saya tawari beasiswa untuknya?" tanya Purnama.

"Kalau soal semangat, saya yakin dia pasti mau. Tapi dia telah menikah, tentu harus seizin suaminya."

"Benar. Tapi saya lihat Ryu orang modern, seharusnya tidak menghalangi istrinya untuk menggapai cita-cita. Apalagi sekarang komunikasi mudah, pulang pergi juga tidak terlalu sulit."


"Benar juga, Pak. Seharusnya Ryu tidak menghalanginya pergi. Oh iya, ada satu hal lagi, ibunya sudah bisa dibilang uzur. Akram bilang, sebelah kaki ibunya diamputasi. Meski sekarang, Hilya juga tidak bisa merawat ibunya sepenuhnya, setidaknya masih di kota yang sama, tentu tidak menghalangi untuk menengok. Kalau di luar negeri, tentu tidak bisa sering lagi. Bahkan saat kritis pun, tetap tidak bisa langsung pulang. Sebagai seorang ibu, saya tidak menyarankan Bapak menawarkan itu."

Purnama terkekeh. "Iya, saya mengerti. Nanti kalau bertemu, kita bicarakan lagi, siapa tau ada solusinya. Sayang dia masih muda, jika semangatnya masih ada, kenapa tidak kita bantu." 

***



"Kemarilah, biar aku keringkan rambutmu," ucap Ryu sambil meletakkan ponselnya begitu melihat Hilya keluar dari kamar mandi. 

Hilya menurut saja. Ia duduk di depan Ryu. "Tapi pakai handuk saja ya." 

"Iyaa. Tapi kenapa tidak pakai hairdryer?" tanya Ryu sambil mengusap pelan. 

"Tidak suka saja. Aku juga tidak suka mengeringkan badan dengan handuk. Biar segarnya lebih lama.”

“Maaf, aku tidak tahu itu. Tapi selama ini aku belum pernah mengeringkan badanmu.”

“Iyaa, aku tau.” 


"Kalau begitu, sekarang aku boleh mengeringkan badanmu?"

Hilya mencebik. "Ada maunya."

"Boleh dong!"

Hilya tidak merespon. Ia menyandarkan badannya ke dada Ryu. Kedua tangan Ryu spontan merengkuh tubuh mungilnya. Ia menyandarkan kepalanya ke lengan kokoh Ryu. 

“Kenapa?” tanya Ryu pelan.

“Heh?” 


“Aku rasakan tubuhmu berbeda. Kamu … seperti sedang cemas, meski masih samar, tapi aku mengenalinya. Ada yang membuatmu takut?” 

Hilya menoleh sesaat. Ia ingin bertanya, tetapi urung. Ia kembali meletakkan kepalanya di lengan Ryu. “Entahlah. Tiba-tiba saja aku takut kehilanganmu.”

Ryu mengeratkan pelukannya. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Selama kamu memilihku, aku akan tetap bersamamu.”

“Memang aku punya pilihan selain dirimu?”

“Hanif, Akram atau kebebasan.”

Hilya terkekeh. “Aku sudah menjadi istrimu, bagaimana mungkin kamu masih berpikir seperti itu.”


Hilya kembali memejamkan mata. Samar bayangan hinaan dan cacian masih ada. Sekarang Purnama telah menelponnya. Mengapa ingin bertemu dengannya? Adakah hubungannya dengan Ryu? 

Ia kenal sekali, Purnama seorang pendiam. Namun, kadang melakukan tindakan yang mematikan. Tidak jauh berbeda dengan istrinya. Bedanya, istrinya lebih terlihat. Kadang ia bertanya-tanya bagaimana mungkin Hanif bisa memiliki hati yang hangat?

“Hil, kamu berencana semalaman begini?” bisik Ryu. 

*** 


Halaman gedung yayasan terlihat lenggang. Hanya seorang laki-laki tua yang sibuk menyapu daun-daun kering. Ryu memasukkan mobilnya ke halaman gedung yayasan. 

“Kamu tinggal di sini saja. Aku mau masuk ke dalam?” pinta Hilya saat mereka sudah berdiri di halaman gedung.

“Kenapa? Bukankah kamu sekarang milikku, seharusnya tidak masalah dong, aku tahu urusanmu,” sahut Ryu. 

“Iyaa, aku pun tidak ingin menutupi apapun darimu. Tapi kali ini berhubungan dengan Bu Irna. dia memintaku sendirian yang masuk, mungkin saja ada suatu hal yang tak boleh diketahui laki-laki. Ayolah, jangan membuat  dia lama menunggu,” rengek Hilya sambil menggoncang kedua tangan Ryu.


“Iya iya. Aku antar sampai ke pintu, ya.”

“Tak perlu. In sya Allah, aku berani kok. Dulu ini sudah kuanggap rumah keduaku. Aku pergi sekarang ya,” bujuk Hilya. 

Ryu memberikan izin dengan anggukan kepala, meski ia tidak melepaskan kecemasannya. Hilya memberikan ucapan terima kasih dengan sebuah ciuman sekilas. Ryu langsung menyambarnya, tetapi langsung ditutup Hilya dengan tangan sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki tua yang tak jauh dari mereka. 



*** 

“Assalamu 'alaikum, Pak.” Hilya mengucapkan salam dengan sedikit membungkukkan badanya kepada Purnama yang duduk di sofa dengan bertopang kaki sebelah, sedang Bu Irna duduk di sofa dudukan satu. 

“Wa alaikum salam, Hilya. Bagaimana kabarmu?”

“Alhamdulillah baik, Pak,” jawab Hilya tanpa berani mengangkat wajah.

Ia segan, setengah takut bukan karena mantan majikan, melainkan sebagai mertua, jika Purnama mengakui Ryu sebagai putranya. Fakta itu semakin membuat tubuhnya menciut, mengingat banyaknya drama hubungan yang tidak direstui akibat jauhnya perbedaan tingkat sosial. 


“Bu Irna, bisakah tinggalkan kami sebentar,” suara Purnama menembus alam pikirannya. 

Hilya menoleh ke arah Bu Irna. Terlihat perempuan itu sedikit kaget. Bu Irna bertanya kepada Purnama dengan mimik wajah, tetapi lelaki itu hanya membalas dengan wajah datar.

“Baiklah kalau begitu. Saya keluar dulu,” ucap Irna sambil berdiri.

“Bu, maaf. Di halaman ada Ryu, dan saat ini saya belum tau apa yang ingin dibicarakan Pak Purnama dengan saya. Saya haraaap ….”

“Iya, saya mengerti. Saya akan menghindarinya.”

“Terima kasih, Bu.”


*** 



Purnama mempersilakan Hilya duduk dengan isyarat tangan. Hilya menempati bekas duduk Irna. Sesaat Purnama melirik kedua tangannya yang saling meremas. 

“Saya dengar dulu kamu sempat mendapatkan beasiswa, tapi kamu tinggalkan. Benar?” 

“Iya, Pak.”

“Kenapa?” cecar Purnama.

“Karena suatu hal, Pak,” sahut Hilya tanpa berani mengangkat wajah. 

“Menikah dengan Ryu, putraku?”

Hilya terdiam. Penekanan di ujung kalimat, membuat instingnya mulai menerka kemana arah pembicaraan mereka.


Hilya menggeleng. “Saat itu ibu saya di rumah sakit. Tak lama saya dan Ryu menikah."

“Bagaimana jika saya kembali menawarkan beasiswa kepadamu?”

Spontan Hilya mengangkat wajahnya. 

“Saya lihat kamu gadis energik. Sangat disayangkan, kalau mimpimu terhenti begitu saja,” imbuh Purnama. 

Hilya menelan ludahnya. 

“Saya juga sudah cari informasi tentang ibumu. Saat ini dia sedang uzur akibat menderita diabetes dan sedang dirawat oleh seorang kerabat. Jika kamu menerima tawaran ini, saya akan menjadwalkan seorang tenaga kesehatan yang memeriksanya secara rutin. Jadi saya pastikan kamu bisa belajar dengan tenang di sana.”

“Katakan saja jika Bapak ingin saya pergi dari Ryu!"  

*** 


Terima kasih ♥️

Tidak ada komentar