Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Novel Romance Religi"
El Nurien


Detak Cinta Shafura

 Part 46: Ya Alllah Beri Aku Mahram



 “Belum tidur, Silmi? Ini sudah larut malam, nanti masuk angin lagi!” kata Kak Saada yang penuh di lumuri kecemasan. 


Aku menoleh sesaat lalu tersenyum. “Ini malam terakhirku di sini, Kak. Ibu sudah tidur?”

Kak Saada mengangguk, lalu duduk di sampingku. Kami sama-sama terdiam. Mungkin Kak Saada ingin berbicara, tapi takut salah bicara. Terlebih lagi jika mengingat kondisi perasaanku sekarang ini. 

Besok pernikahan Aisyah dengan Zaid. Ibu datang ke sini untuk menghadiri pernikahan mereka, sekaligus perpisahan kami. Setelah menghadiri pernikahan Aisyah, harus kembali mencek persiapan keberangkatanku. Aku harus memastikan tidak ada barang penting yang ketinggalan. Sebelum subuh aku sudah harus berangkat dari rumah. 

Awalnya ibu tidak setuju aku mukim di Bandung. Tetapi, berkat bantuan Kak Saada dan Paman, akhirnya hati ibu luluh. Ibu juga sudah diberitahu bahwa pertunanganku dengan Fahri dibatalkan. Ibu berjanji akan datang ke rumah Tante Kurnia untuk meminta maaf, demi menjaga baiknya hubungan kekerabatan. 

Yang kupikirkan bagaimana besok aku bertemu dengan Tante Kurnia? Aku tidak tahu, apakah Fahri sudah memberitahu orang tuanya. Aku mengira, Fahri akan menyimpannya sementara waktu, sampai acara pernikahan Zaid sudah selesai. 

Jika belum, tentu aku bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. tapi bagaimana jika Tante sudah tahu? Sanggupkah aku memperlihatkan wajah ini?

***


Semalaman aku tidak bisa terlelap. Meski enggan membuka mata, tetapi hatiku terus saja berbicara. Atau otakku yang terus memutar kenangan-kenangan masa kecilku bersama Zaid. Aku meraih ponsel, kunyalakan layarnya. Widget jamnya menunjukkan jam dua. Kuseret tubuh ini menuju kamar mandi, lalu berwudhu. 

Pada shalat Tahajud, aku hanya bisa membaca surah-surah pendek. Entah kenapa, tidak ada hafalan yang bisa kuingat. Mungkin karena moodku yang buruk, sehingga konsentrasiku jadi melemah. 

Ironis. 

Saat menengadahkan tangan, aku teringat rencana perjalananku besok ke Bandung. Dari rumah ke Bandara Syamsudin Noor diantar ibu dan Kak Sakti, Mumtaz akan menunggu Di Bandara Husein Sastranegara. In sya Allah. 

Aku mendesah keras. Ini pertama kalinya aku  melakukan perjalanan cukup jauh dan sendirian. Bukan sendirian yang membuat pikiranku jadi terasa berat, tetapi perjalanan yang tanpa mahram. 

Sebuah riwayat hadits menjelaskan perempuan mukmin dilarang bepergian tanpa adanya mahram. Dan juga ada beberapa hadits lainnya yang serupa. Para ulama pun berbeda pendapat mengenai jauh jaraknya sehingga harus ditemani laki-laki mahram. Sebuah hadits memang ada yang menjelaskan tiga hari perjalanan. 

Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa tiga hari perjalanan di zaman Rasulullah yang hanya memakai kendaraan binatang, seperti unta, kuda atau kedelai. Tentu tidak bisa disamakan dengan jaman sekarang yang sudah memiliki transportasi cepat, bahkan dengan pesawat hanya beberapa jam sudah mampu menempuh ribuan kilometer. 

Akhirnya, banyak ulama sepakat, bahwa perjalanan wanita yang disertai mahram sejauh dibolehkannya meringkas shalat fardhu.

Namun, ada juga yang berpendapat, melihat keamanan di zaman sekarang ini, alangkah baiknya perempuan tidak keluar sendirian meski hanya jarak tiga kilometer. 

Lalu berapa jaraknya perjalananku dari Banjar, Bandung sampai ke tempat Paman? Aku tidak tahu. Pastinya perjalananku sudah diwajibkan disertai laki-laki mahram. 

Di sinilah yang membuat hatiku miris. Aku tidak mampu membelikan tiket juga tidak tega meminta pertolongan Kak Sakti untuk menemaniku. Juga tidak mungkin aku meminta Paman membelikanku dua tiket.

Apakah perjalananku ini terhitung maksiat? Termasuk mengindahkan sebuah hadits? Bisakah kondisiku dikatakan darurat? Lalu selamatkah perjalananku sampai ke tujuan? Berita hilangnya pesawat membuat hatiku jadi bimbang. Seandainya itu terjadi, bisakah kematianku digolongkan husnul khatimah? 

Rentetan pertanyaan membuat napasku terasa sesak. Tubuh semakin lelah, tapi pikiran semakin melalang buana. Tiba-tiba aku ingin menginginkan seorang mahram. 

‘Ya Allah, berilah aku seorang mahram. Jangan Engkau biarkan perjalananku tergolong maksiat.’

Aku tau, tidak mungkin tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mau menikahiku. Terlalu naif jika berharap demikian dengan waktu sangat singkat ini. Air hujan saja butuh proses, bagaimana lagi seorang suami. 

Aku hanya berharap, Allah membuka hati Kak Sakti untuk mengantarku sampai ke Bandung. Atau tiba-tiba Paman datang ke sini menjemputku. Dengan begini, permintaanku lebih logis.


***


Setelah selesai shalat Isya, aku dengan ibu langsung berangkat ke tempat pernikahan Aisyah diantar Kak Hilman. 

Begitu sampai ke lokasi parkir, Kak Hilman pergi ke masjid karena akad diadakan di masjid. Sedang kami meluncur ke kediaman Aisyah, tempat khusus tamu undangan perempuan. 

Aku dan ibu langsung memasuki halaman rumah Aisyah, melalui pintu depan. Dari luar terlihat beberapa orang sudah berkumpul di ruang tengah. Pelaminan berdiri di dinding, menghadap ke pintu. 

Sebagian orang duduk di meja makan yang telah disediakan untuk tamu di halaman samping kanan, halaman asrama ruang ustadzah bahkan kamarnya pun sudah disulap untuk tamu. Pintu yang biasanya sebagai pembatas antara halaman kediaman dengan halaman asrama kini dibiarkan terbuka.

 Sedang di halaman samping kiri sudah tersusun sajian  dengan beberapa menu yang dijaga oleh beberapa santriwati. Melihat santriwati dadaku berdebar hebat. Terlebih lagi menangkap tatapan jijik mereka. 

Kurasakan kehangatan menjalari di pergelanganku. Kulihat tangan ibu sedang memberikan kekuatan untukku. Kuberikan senyum terindah kepada ibu, aku ingin mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja.

"Silmi!" Syifa muncul entah dari mana. 

"Syifa."

Syifa langsung mendekat dan memelukku. 

"Senang bisa melihatmu lagi," ujar Syifa wajah cerianya. 

"Aku juga senang melihatmu." 

Ia melepaskan pelukannya, lalu menyalami ibu. "Saya Syifa, temannya Silmi." 

"Iya, Nak. Senang bisa bertemu denganmu. Silmi pernah cerita tentangmu." 

"Wah, Bu. Silmi cerita apa saja pada ibu tentang saya. Jangan-jangan keburukan saya," canda Syifa. 

Ibu tertawa. "Enggak kok. Silmi bilang, kamu teman terbaiknya."

Syifa tersenyum cengengesan. Sangat berbeda dengan yang kesehariannya terlihat anggun dan tenang. Mungkin ia berusaha mengakrabkan diri dengan ibu. 

"Ustadzah Aisyah pesan, kalau kamu datang, aku disuruh membawamu ke kamarnya."

Sesaat aku menatap ibu. 

Ibu mengangguk. Ibu akan masuk ke dalam. Aku mengangguk setuju. 

Dadaku kembali berdebar, ketika Tante Kurnia duduk di samping kiri Nyai Ummu Kultsum, setelah itu Farah. Meski takut-takut, aku menyalami Nyai, juga Tante Kurnia. Terlihat jelas Tante tidak senang ketika berhadapanku. Dari sikap beliau, aku menduga Fahri sudah menceritakan batalnya pertunangan kami. 

Beliau menyambut uluran tanganku dengan setengah terpaksa dan tanpa suara. Lalu aku beralih ke Farah. Farah menyambut uluran tanganku dengan sedikit canggung. 

"Duduklah sini." Farah menepuk tempat kosong di sampingnya.

"Aku dipanggil Ustadzah Aisyah." Farah tersenyum memaklumi. Dari sikapnya membuatku sedikit lega. Setidaknya Farah tidak terlalu menyalahkanku. 

Setelah mendapatkan izinnya, aku berlalu, menyalami seorang perempuan paruh baya yang duduk di samping kanan Nyai. Sedang ibu duduk di samping Tante Kurnia. Diam-diam aku mengagumi ibu. Dengan berani ibu duduk di dekat Tante Kurnia, setelah keributan yang dibuat putrinya. 

"Assalamu alaikum." Syifa mengetuk pintu. 

"Wa alaikum salam." Terdengar suara dari dalam. 

Tak lama pintu dibuka.

"Ustadzah, masuklah!" ucap Cahya. 

Kamar pengantin yang sangat cantik dan lembut langsung menyambut matanya. Kamar Aisyah dihiasi gorden warna putih kombinasi baby blue membuat mata tak ingin beralih menatapnya. Ranjangnya juga beralaskan sprei putih dengan motif amor warna biru. Di sisi kiri kanan ranjang dihiasi bunga plastik putih, sedang di atas ranjang bertengger buket bunga putih. 

"Kemarilah!"

Kami berdua mendekati Aisyah. Cahya berdiri di samping Aisyah. 

Aisyah sudah terlihat sangat cantik, dengan pakaian pengantin putih yang terlihat sangat sederhana, berkerudung biru dilapisi kain tolak motif bunga-bunga. Sangat mencerminkan karakter Aisyah yang sederhana, tetapi tetap anggun. Bahkan aura keanggunan lebih dominan terlihat. 

Tiba-tiba aku merasakan mataku menghangat. Sahabatku akan menikah dengan laki-laki sebaik Zaid. Zaid juga sangat beruntung memiliki Aisyah. 

Aisyah berdiri, lalu duduk di atas ranjang. Ia menarik tanganku juga Cahya. Mengisyaratkan agar duduk di sampingnya.

"Duduklah!" perintah Aisyah. 

Mungkin karena melihat keseganan kami. 

"Syifa, anti duduklah di kursi itu." tunjuk Aisyah dengan dagu ke kursi yang tadinya didudukinya. 

"Senang kalian ada di sini. Besok-besok mungkin tidak akan seperti ini lagi."

Kami hanya membalas dengan senyuman, lalu mengangguk. 

Aku meraih tangan Aisyah lalu menggenggamnya. Senang melihatnya dalam kondisi baik. Setidaknya aku bisa pergi dengan hati yang lapang. 

Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara dari masjid, pertanda acara akan dimulai. 

Sebuah ketukan terdengar dari pintu, lalu pintu terbuka. 

"Aisyah, keluarlah!" ucap Nyai Ummi Kultsum. 

Aisyah mengangguk. 

"Kita keluar, ya. kalian jangan jauh-jauh dariku," titahnya.

Kami mengangguk.  

Aku kira ia duduk di pelaminan. Ternyata ia duduk di atas permadani di kaki pelaminan. 

Aisyah memegang tanganku saat keluar. Dan ia menolak melepas, saat aku coba menarik tanganku.

"Duduklah di sampingku."

Aku terperangah. Ia mengangguk. Aisyah kembali menarik kembali tanganku, saat aku ingin duduk di lantai. 

Ia menepuk di sampingnya, di atas permadani. Perasaanku semakin tidak nyaman. Sesaat aku menatapi tamu yang juga menatapku. Aku semakin canggung. Aku menatap Nyai, sayangnya Nyai malah mengangguk, menyetujui. Akhirnya aku pasrah duduk di atas permadani. Satu permadani denganya. Entah bagaimana dengan mukaku. Aku tidak menatap ke depan. 

"Jangan canggung! Anggaplah kau pengiring pengantin," bisik Aisyah. 

Mana ada pengiring duduk berdampingan dengan pengantin. 

Akhirnya aku tidak bisa konsentrasi mendengar rentetan acara hingga sesi nasihat telah berakhir. Tak ada ada satu pun yang nyantul di otakku. 

Aku bisa mulai fokus ketika mendengar suara Kyai, pertanda akad nikah dimulai. Aku benar-benar ingin jadi saksi mereka. 

"Saya nikahkan engkau ananda Gusti Hans."

Aku tersentak. Ada yang salah dengan pendengaranku? 

"... Syahriansyah bin Syahriansyah Aman Hasan dengan Aisyah Nur Fadhilah … ."

Aku bertanya kepada Aisyah dengan tatapan. Aisyah balas dengan mengangguk disertai senyuman. Di matanya jelas sekali pancaran kebahagiaan. 

Aku tak mendengar lagi ucapan Kyai selanjutnya. Aku menatap Tante Kurnia. Wajah beliau diliputi kesedihan. Tante mengusap matanya dengan tisu  Apa yang terjadi? Bagaimana dengan Zaid? 


Detak Cinta Shafura  Part 46: Ya Alllah Beri Aku Mahram  “Belum tidur, Silmi? Ini sudah larut malam, nanti masuk angin lagi!” kata Kak Saada...
El Nurien
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 41: Dendam Terpendam





“Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri menuduh ana mengkhianati Aisyah."



“Ana tidak, Silmi. Ana tahu semuanya, dan ana percaya sama anti. Dan Nadhirah pun insya Allah, tidak.” 

Syifa beralih pandangannya ke arah Nadhirah. Dan menceritakan semua yang terjadi. Tentang persahabatanku dengan Kak Zaid, tentang permintaanku, kepada Zaid agar menerima lamaran Kyai Ibrahim, dan menceritakan pertemuan yang tidak direncanakan kemarin.

“Sabar, ya, Ustadzah. Semoga Allah, akan memudahkan jalannya.”

“Terima kasih Nadhirah. Untuk sementara, jika ada yang bertanya kepadamu tentang kejadian ini, cukup katakan pada mereka, ini hanya kesalahpahaman. Ana tak pernah mengkhianati Aisyah. Apa pun demi kebahagiaan Aisyah, akan ana lakukan, jadi tidak mungkin ana mengkhianati Aisyah.”

“Iya, Ustadzah. Insya Allah,” balas Nadhirah.

“Terima kasih, ya,” 

Nadhirah hanya mengangguk.

“Sabarlah, kita serahkan semuanya pada Allah. Nanti kita temui Aisyah, kita bicarakan secara baik-baik.”

“Anti mau menemani ana?” tanyaku penuh harap.

“Ana akan menemani anti, kalau perlu ana juga ikut menjelaskan semua yang ana ketahui.”

“Terima kasih Syifa. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan dan pengertianmu selama ini. Jazakillah khairan katsiran.”

“Wa iyyaki,” balas Syifa dengan senyum mengambang. Memberi secercah cahaya di pikiranku yang sedang berkabut.

“Assalamu ‘alaikum.” Cahya di depan pintu. 

“Wa ‘alaikum salam,” sahut kami serentak. Aku hanya bisa menjawab dengan suara lirih. Melihatnya sontak tanganku mengusap wajah. 

“Ustadzah, apa yang terjadi?” Cahya mendekatiku dengan wajah cemas. 

“Maksud anti?” Pertanyaan yang tidak  faedah. 

Memang Cahya terbiasa memojok, tetapi jika ia ke sini, berarti ia telah mendengar kabar itu. Hanya saja aku tidak tahu apa yang ia dengar. 

“Ana dengar… .” 

Aku tersenyum. “Ana tidak tahu apa yang dengar. Kalau anti dengar keributan yang barusan terjadi, iya. Tapi percayalah, ini hanya kesalahpahaman. Jangan khawatir, jika marah Ustadzah Aisyah sudah reda, ana akan menjelaskannya,” ucapku ragu-ragu. 

Aku tak yakin kemarahan Aisyah reda secepat itu. Terlebih lagi ini menyangkut masalah pernikahannya. Aisyah pasti sangat kecewa padaku, yang berstatus sahabatnya. Hanya saja, aku tidak ingin konsentrasi Cahya terganggu. 

Cahya masih menatapku cemas. “Bagaimana kalau ana jelaskan kepada Ustadzah Aisyah?”

“Maksud anti?”

“Ana percaya dengan Ustadzah. Ustadzah tidak mungkin mengkhianati Ustadzah Aisyah. Seharusnya Ustadzah Aisyah tahu ini bentuk pengorbanan Ustadzah kepadanya.”

Aku menatap Cahya lekat. Bagaimana ia begitu mempercayaiku? Apa ia tahu hubunganku dengan Zaid?

“Ana tahu siapa Ustadzah. Dan tunangan Ustadzah Aisyah itu laki-laki yang memberi Ustadzah buku tafsir itu kan? Namanya yang Ustadzah hapus di sampul tafsir itu.” 

Cahya memegang tanganku. “Ustadzah memang tidak pernah cerita itu, tapi Ustadzah adalah panutan ana. Setiap gerak-gerik Ustadzah selalu jadi perhatian ana. Bahkan tatapan Ustadzah saat ini pun ana tahu.”

Keningku mengerut. 

“Saat ini Ustadzah memikirkan tes ana kan?”

Aku tercengang.

“Ana akan jelaskan semua ini kepada Ustadzah Aisyah,” ucapnya seraya bergerak hendak berdiri. Tetapi, aku segera menarik tangannya. 

“Cahya, terima kasih atas  perhatiannya. Ana bangga pada anti. Tapi, masalah ana dengan Ustadzah Aisyah, ana akan tangani sendiri. Anti fokuslah pada persiapan tes anti. Ya."

“Tapi ... .”

“Cahya,” potongku. 

Cahya menunduk. “Baiklah,” ucapnya pasrah. “Kalau begitu ana pamit dulu.”

Aku mengangguk. “Konsentrasilah! Masalah ana, serahkan semuanya pada Allah.”

Cahya mengangguk. 


        ***

Sudah tiga kali, aku berusaha menemui Aisyah. Dia tak juga berkenan menemuiku. Mungkin ia terlalu marah. Sementara desas-desus berita tak nyaman mulai berkeliaran di daerah pondok. 

Banyak santri yang memandangku penuh kebencian, ada yang bersikap dingin, bahkan ada bersikap lancang, mencibir, bahkan tak segan-segan mencercaku. Sekarang aku lebih sering berdiam di kantor, karena jarak ruangan tes lebih dekat. Setidaknya, mengurangi tangkapan indra penglihatan, dari mata-mata kebencian. 

Hanya kepada Allah kusandarkan hati.

“Silmi, Silmi.” kata Syifa dengan terengah-engah.

“Ada apa, Syifa? Kenapa panik begitu?” tanyaku tak kalah panik.

Akhir-akhir jiwaku cenderung sensitif. Setiap orang yang berbicara di dekatku, seakan-akan akan menghinaku. 

Jika mereka memandang, bagiku seakan mau menerkamku. 

Jika ada teriakan, seakan sebuah ketuk palu hakim yang akan menyiapkan hukuman mati buatku. Dunia menjadi mengerikan. 

“Ada kabar. Pernikahan Aisyah dibatalkan.” 

“Apa? Ini tidak mungkin! Pernikahannya tinggal berapa hari lagi? Ya, Allah ini tidak boleh terjadi.” Aku tak yakin tinggal berapa hari lagi pernikahan Aisyah. Semuanya jadi jadi kacau, bahkan hari ini hari apa aku pun tidak tahu. 

“Bagaimana kita temui lagi Ustadzah Aisyah. Apa dia mau menerimaku?” tanyaku ragu.

“Entahlah. Tapi, tidak salah jika kita mencoba.”

Aku mengangguk, “temani aku, Syifa.”

        

***


“Apa Aisyah mengizinkan kami, untuk menemuinya?” tanyaku kepada Dewi dan Eka dengan tidar sabar---santriwati yang sedang piket. 

Eka menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?” Pertanyaan yang bodoh.

“Katanya masih sibuk,” jawab Dewi dengan nada sinis. 

Dewi tetangganya Zaid, itu artinya aku dengan Dewi juga sekampung. Tapi sepertinya itu tak berlaku lagi. Mungkin di matanya aku sudah benar-benar jahat. 

Jangankan sekampung, kesalahan bahkan tidak memandang hubungan. 

“Begitu, ya? Terima kasih, ya, kami ke sebelah dulu,” kataku lemah sambil menarik pergelangan Syifa. Putus asa sudah menjalar ke seluruh urat nadiku. 

“Wi, ada kabar, katanya pernikahan Ukhti Aisyah dibatalkan, apa benar?” tanyaku hati-hati. Aku bertanya lagi padanya sambil berharap ia memandangku sebagai teman sekampung. 

“Tidak. Tidak benar. Kenapa anti bertanya begitu?” tanya Dewi, penuh selidik. Matanya menusuk ke arahku. 

“Tidak apa-apa, Ukhti. Syukurlah jika begitu, kami pergi dulu. Assalamu ‘alaikum.”

“Tunggu dulu. Jangan katakan, anti berharap pernikahan ini batal?!”

Tuduhannya benar-benar menyengatku. Mataku mulai berkaca-kaca. “Kenapa anti berkata begitu?”

“Iya, bisa saja. Bukankah anti juga mengharapkan Abdurrahman?! Oh bukan Zaid ya? Zaid juga memanggilmu Shafura kan?!” Dewi memandang pergelanganku. “Mana arlojinya. Jangan-jangan dia sudah gantikan yang baru?!”

Aku terperangah. 

“Heh? Asal kalian tau, dia seorang hafizhah munafik. Mondok, berhijab, padahal diam-diam hatinya berkhalwat. Busuk.”

Aku tidak berniat untuk membantah ucapan, bahkan membiarkannya melepaskan semua kalimat yang terpendam di benaknya. Barangkali itu akan membuatnya puas. 

Dari dulu, aku sudah mengira yang menyebarkan desas desus fitnah padaku itu  Dewi. Aku berusaha diam, karena aku mengerti kebenciannya padaku. 

Dari dulu ia sangat ingin berteman dengan Farah, karena dengan begitu ia juga akan dekat dengan Zaid. Tapi, aku tak mengerti mengapa Farah sangat tidak menyukainya. 

Dia ke pondok ini pun demi mendekati Zaid. Ia ingin Zaid memandangnya. Hanya saja di mata Zaid hanya ada dua gadis. Aku dan Farah. 

Usahanya sudah sejauh ini, maka wajarlah jika ia sangat membenciku. 

“Dewi!” sergah Syifa. “Istighfar, Wi. Tak baik menuduh saudara sendiri, itu keterlaluan.”

“Keterlaluan? Akhirnya terbongkar juga kan kebusukan dia selama ini. Selama ini Aisyah menyangkal tentang kelakuannya. Tapi temanmu ini yang keterlaluan, menikam teman sendiri dari belakang, berkali-kali pula.  Itu yang namanya keterlaluan!”

Syifa melotot, tubuhnya seketika menegang, gerahamnya merapat. Aku menarik tubuhnya ketika mulutnya terbuka untuk membalas Dewi.

“Sudahlah, Syifa! Dewi tak tahu duduk perkaranya. Cukuplah Allah sebagai penolongku. Yuk kita pergi, jangan buat kekacauan di sini.” seruku seraya menarik lengan Syifa. 

“Heh, masih saja bersikap alim.”

Aku menarik lengan Syifa meninggalkan tempat itu. Umpatan Dewi dan tatapan kebencian mengiri langkah kami hingga keluar dari gerbang pondok lama. 

    ***


  Detak Cinta Shafura  Part 41: Dendam Terpendam “Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri m...
El Nurien
El Nurien


Detak Cinta Shafura

 Part 40: Diterpa Badai 


Gamis Remaja Kekinian 



 Alhamdulillah beberapa hari program tes berjalan lancar. Tes Fadia dan Habibah juga lancar, in sya Allah mereka akan lulus. Nadhirah melakukan beberapa kali kesalahan. 


Beruntungnya kesalahannya tidak melampaui batas maksimal yang ditentukan. Aku berharap ia juga lulus, kecuali memang ada yang luput dari perhitunganku. Tinggal menunggu giliran Cahya. Semoga Allah memudahkannya. 

Tim persiapan khataman sudah mulai sibuk. Keluarga Aisyah juga mulai sibuk mempersiapkan pernikahan. Meski demikian, kami tim penyimak hafalan santri tetap fokus pekerjaan kami. Yang kena shift berusaha melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. sedang yang tidak giliran berusaha memaksimalkan istirahat sebaik mungkin. Seperti yang kulakukan saat ini. Aku hanya duduk santai sambil membaca buku, meski di sekitarku sibuk berlalu lalang.

 Aku tak peduli. 

 Rencananya, rangkaian acara khataman di mulai jam sembilan pagi dan akad nikah setelah shalat Zuhur. Resepsi berakhir sampai malam. Semoga semuanya berjalan lancar.

Semua orang, sepertinya tak sabar menunggu detik-detik penantian. Aisyah deg-degan dengan pernikahannya, santri tak sabar menunggu detik-detik yang sangat penting bagi mereka, yaitu khataman. 

Khataman memang hanya diikuti oleh beberapa santri, namun semua santri merasakan senangnya. Bagi yang khataman, saat itu sangat penting. Sekian tahun mereka berkutat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, akhirnya mereka dinyatakan lulus, dan dapat memberikan persembahan pada orang tua. 

Acara sambutan, nasehat, dan khataman bilghaib, lantunan nasyid, adalah rangkaian –rangkaian acara yang menggetarkan jiwa.

 Nasehat yang menyentuh kalbu, bagai air hujan turun di tanah gersang. 

Khataman bilghaib dilantunkan dengan merdu, menerbitkan rasa keterharuan, sekaligus juga rindu, kapan diri-diri mereka bisa juga melantunkan surah-surah khataman?

Nasyid-nasyid memotivasi sering melahirkan semangat-semangat baru, kepada santri yang belum khatam. Melahirkan sebuah janji. 

Sedang aku, yang kutunggu bukanlah detik-detik khataman, atau Aisyah menunggu sebuah janji sang pangeran. Tapi aku menunggu, hari kebahagiaan Zaid. 

Dari hati yang paling dalam, aku bahagia Zaid mendapatkan jodoh seperti Aisyah. Bersamaan itu pula ada rasa ketakutan, seakan-akan aku akan berhadapan dengan sebuah badai besar yang akan menelanku. 

Aku akan berhadapan di antara dua kejadian penting, kebahagiaan keluarga karena pertunanganku dengan Fahri satunya lagi aku akan kehilangan Zaid. 

“Silmi, temani ana ke kantor, ya. Ana mau ngirim email ke teman-teman ana, mau ngasih undangan.”

Aisyah dengan kebahagiaannya yang luar biasa, membuatnya semakin memesona. Badan kini tak lagi terlihat subur. Puasa Nabi Daud yang dijalani menambah pesona dirinya. 

“Ana lagi … .”

“Ayolah, Silmi. Sebentar saja.”

Akhirnya aku menuruti kemauannya

“Muka anti, Silmi, lucu sekali,” Aisyah terkekeh melihat muka manyunku. 

“Setidaknya aku dapat pahala karena berhasil membuatmu tertawa,” sahutku asal. Bahu Aisyah semakin bergoncang. 

Sementara Aisyah sibuk di depan komputer, aku menyibukkan diri dengan membaca buku yang diberikan Zaid.

Aku tersenyum geli melihat Aisyah senyum-senyum sendiri di depan komputer. Selalu ada desir haru bila melihatnya tersenyum. Kuharap Zaid memahami keputusanku, mengapa aku memilih Aisyah.

“Assalamu ‘alaikum.” Kepala Fitri muncul dipintu. "Afwan, mengganggu. Silmi, kami ada perlu sebentar sama anti sebentar, bisa?”

Aisyah pun mengizinkan, setelah aku meminta izin lewat isyarat. 

“Terima kasih, Ustadzah,” seru Fitri. 

“Ada sih, Fit? Kok kaya penting banget sampai ke aku yang bukan tim kalian?” tanyaku ketika kami sudah di luar ruangan kantor. Fitri hanya cengengesan. 

“Engga begitu penting, cuma ga salahnya nanya ke anti. Kita kekurangan dua orang, untuk senandung nasyid.”

“Anti, nih, ada-ada aja. Masalah nasyid kan anti jagonya, jadi anti kan lebih bisa memilih personilnya, soal begituan ana agak blank.”

“Iya, ana paham. Ada beberapa santri yang menurut ana bagus, tapi mereka ga mau. Katanya mereka tak siap tampil di depan orang banyak. Kalau belajar sih mereka mau aja.”

“Santri yang lain?”

“Yah, anti Silmi. Anti kan tahu untuk menampilkan nasyid, paling tidak kita memilih beberapa kriteria. Suara bagus, bisa bersenandung, dan kalau bisa sih wajahnya juga nyenengin. Nah kalau itu kan susah dicari. Ayolah, Silmi siapa tahu, anti ada bayangan, kira-kira siapa yang cocok menurut anti?”

“Aku mengingat-ngingat anak didikku, siapa yang dikira bisa dan cocok untuk hal ini, “Helena, Rahma. Hmm, ana rekomendasikan Helena aja deh, satunya cari sendiri.”

“Yah, anti,” protes Fitri, “tapi, ga papa. Helena, bagus juga, terima kasih ya.”

“Ya, sudah. Kalau begitu, ana ke kantor dulu, ya!”

“Eh, eh, tunggu, Silmi! Sebaiknya anti yang meminta kepada Helena, kalau ana khawatirnya dia ga mau. Kalau anti, ana yakin Helena akan siap.”

Tampang Fitri memelas membuatku ingin tertawa, tapi keburu aku tahan, takut dia tersinggung.

“Iya, deh. Ayo.”

Awalnya Helena tidak bersedia. Siapa pun paham tampil bersenandung di depan orang banyak, bukanlah hal yang gampang. Namun, dengan terus kubujuk, akhirnya dia bersedia juga memenuhi permintaan kami. 

Setelah selesai urusan dengan Helena, aku tak perduli, bagaimana Fitri mencari seorang lagi. 

Lalu aku pun segera kembali menemui Aisyah di kantor. Betapa aku terkejut ketika masuk ke ruang kantor, kudapati Aisyah berdiri tegang, wajahnya memerah.  Pandanganku tertuju pada buku yang dia pegang. 

Kecerobohan sendiri membuat nyaliku ciut sampai titik nadir. 

“Katakan, apa ini, Silmi?”

Aisyah menunjukan sapu tangan yang bertuliskan Silmi dan Zaid. Sapu tangan itu memang aku gunakan sebagai pembatas bacaanku.

 Aku sadar Zaid bukan jodohku, tapi aku tak bisa begitu saja melepaskan keterikatan perasaanku begitu saja. Seperti akhir-akhr ini, kesibukan benar-benar membuatku sangat kelelahan. 

Karena itu, aku pegang saja sapu tangan Zaid, berharap muncul sedikit kekuatan. Nahas, Aisyah menemukannya. 

Tiba-tiba emosiku pun mencuat. Aisyah lancang, telah memakai barangku tanpa seizinku.

“Kenapa anti memakai barang ana tanpa seizin ana? Bukankah anti tahu, itu tidak dibolehkan dalam agama?” kataku dengan sedikit ketus. 

Sesaat Aisyah terdiam. Dari wajahnya tersirat ada rasa bersalah, tetapi itu hanya sesaat. Amarahnya kembali muncul.

“Naam, ana salah. Ana akui itu. Sekarang katakan apa ini?”

Mulutku tiba-tiba terkunci. Aku ingin menjelaskan kami hanya sebagai sahabat, tapi sulaman dua nama dan dua ekor burung terbang? Apa yang harus aku jelaskan?

“Katakan, Silmi! Anti dan Zaid, saling mencintai kan? Bisakah anti jelaskan semua ini?” Mata Aisyah berkaca-kaca, terlihat sekali dia menahan emosinya. 

“Tidak, Ukhti. Aku dan Kak Zaid tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya sahabat,” Sikapku benar-benar tidak mendukung, suaraku terdengar gugup sekali. Aku ketakutan. 

“Kakak? Anti memanggilnya Kakak. Dan, anti bilang hanya teman. Sapu tangan ini membantahnya.”

“Tolong dengarkan penjelasan ana, Ukhti!” 

Aisyah memberikan sapu tangan dan juga buku bersamaan.

“Jangan-jangan buku ini juga darinya? Kalian saling mencintai dari dulu. Lalu pertemuan kalian kemarin apa maksudnya? Kalian masih mencintai. Bisa ana lihat dari bahasa cara bicara kalian. Jelas sekali!” 

Aisyah hampir saja berteriak. Berisik-berisik santri sudah mulai terdengar di luar. 

“Ana … ." 

Kemana suaraku? Semuanya seakan-akan terkunci. Otakku mendadak lumpuh. Begitulah jika dia marah-marah padaku. Aku selalu ketakutan. Terlebih lagi saat ini aku memang bersalah. 

“Apa kalian berencana poligami?” tuduh Aisyah.

“Apa?” Aku tak hampir tak percaya dengan tuduhannya, namun tatapan matanya meyakinkan itu. “Tidak. Kami tak pernah berencana seperti itu. Dan pertemuan kami kemarin tidak disengaja, sungguh.”

“Lalu, kenapa memberimu buku? Memesankan makanan untukmu? Dan anti menyimpan semua pemberiannya kan? Kenapa? Anti masih berharap padanya!” teriak Aisyah, diikuti dengan kemunculan Syifa, Fitri, Hilma dan entah siapa lagi.

“Ana… .”

“Anti mengkhianati ana. Ana benci anti, Silmi.” Aisyah keluar menerobos kumpulan yang sejak tadi menyaksikan pemandangan seru. 

“Syifa, Syifa, kumohon jelaskan sama Aisyah, Syifa, Syifa, aku tidak berkhianat, aku … .” kepanikan hanyalah membuat kata-kataku semakin tidak jelas. Syifa memandang ke arah luar, Aisyah telah hilang. 

Syifa merangkul pundakku, “Sabar, ya. Saat ini Aisyah sedang dibakar amarah, nanti kita bicarakan kalau semuanya agak reda.”

Aku hanya mengangguk, tubuhku terasa lemah, tungkai-tungkai kakiku terasa lepas semua. Air mata semakin menguras tenagaku. Syifa dan Nadhirah menuntunku. 

“Sudah, semuanya bubar!” perintah Syifa. 

Santri-santri bubar sambil berbisik-bisik. Sementara teman-teman sekamar masih bengong. Mungkin tak percaya apa yang mereka lihat. Aku dan Aisyah yang sangat akrab seperti saudara, kini bertengkar karena laki-laki. 

Detak Cinta Shafura  Part 40: Diterpa Badai  Gamis Remaja Kekinian   Alhamdulillah beberapa hari program tes berjalan lancar. Tes Fadia dan ...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 39: Berteman Malam



  “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Banjarku sambil menoleh Zaid. Aku tak mengerti kenapa dia terlihat begitu santai.


“Bukan teman lagi, bahkan lebih dari sahabat. Bahkan dulu aku mengira mereka itu berjodoh. Ternyata aku salah, Zaid berjodoh denganmu, dan Silmi untukku,” sahut Fahri sambil tertawa kecil dan sedikit terkesan sinis. 

Kening Aisyah mengerut tajam. Aku semakin tidak nyaman. 

“Silmi, anti bilang dulu, tidak begitu mengenal Zaid.” lirih Aisyah seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Mungkin dia berusaha mengingat-ngingat.

“Ana pernah bilang begitu?” Aku benar-benar lupa kapan mengucapkan itu. 

“Iya, ana yakin itu,” tukas Aisyah. 

“Mungkin anti nanya ke ana, saat itu ana lagi sedang sibuk. Anti kan tahu, kalau ana lagi sibuk, andai ada yang minta izin menceburkan diri ke laut pun mungkin akan ana izinkan,” kilahku gugup. 

Kulirik Zaid, laki-laki itu acuh tak acuh, dia asik menyedut minumannya.

“Mungkin juga.” gumam Aisyah.  “Oia, sejak kapan kalian berteman?" kali ini pertanyaan kepada Zaid. Laki-laki itu jadi kikuk. 

“Sejak kecil. Tepatnya kapan, aku tidak menyadari hal itu. Silmi teman adikku --- Farah.”

“Oh, ya. Kakak apa kabar?” tanyaku tiba-tiba sambil menatap Fahri. Kening Fahri mengkerut, tatapan matanya membuatku jadi serba salah. 

“Maaf, baru bertanya sekarang. Setidaknya  aku sudah berusaha menunjukkan perhatian pada Kak Fahri, walau terlambat," ujarku dengan wajah manyun. 

Kenyataannya aku memang hanya ingin mengalihkan pembicaraan.

Fahri tertawa kecil, “Alhamdulillah, aku baik. Kamu sendiri gimana?”

Aku merentangkan kedua tangan, “Seperti yang kakak lihat. Bagaimana pekerjaan Kakak? Kakak sepertinya tipe pekerja keras?” 

Akhirnya terjadi pembicaraan yang mengasyikkan antara aku dan Fahri. Karena memang sudah saling mengenal sejak lama. Fahri orang terbuka, mudah akrab. Bahkan sesekali dia melucu, yang membuatku tak tahan menahan tawa. Sepertinya kami sangat menikmati kebersamaan ini. 

Beda dengan Zaid dan Aisyah. Mereka diam saja. Sesekali Zaid mengerling ke arah kami.  Entah apa yang dipikirkan Zaid, pastinya mereka memang belum pernah saling kenal, walaupun sama-sama lulusan Yaman. 

Sedangkan Aisyah, aku tahu dia tak mungkin  yang memulai pembicaraan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. 

“Waktu kuliah, aku sering sekali ke sini. Bahkan kadang cuma minum segelas Cappucino,” kata Fahri.

“Oya?” tanyaku perhatian.

“Aku sangat menyukai tempat ini. Menurutku … entahlah, apalagi jika pengunjungnya sunyi. Ah nyaman sekali. Nanti aku ajak lagi ke sini, kalau kita sudah menikah. Aku tahu kapan tempat ini sepi.”

Tiba-tiba Zaid berdiri. Kami terkejut akibat tingkahnya. Ada apa dengannya? Laki-laki itu sepertinya sedang marah. Terlihat dari mata dan dagunya yang merapat.

 Ia pun terkesiap. Seperti baru menyadari dari perbuatannya. 

“Sebaiknya kita pulang sekarang!” ucapnya melembut. 

"Kenapa? Lagi pula ini tidak terlalu malam," kening Fahri berkerut, matanya menatap Zaid dengan emosi dan penuh selidik. Perasaanku semakin tak nyaman. Aku tahu, pasti kejadian tadi sedikit banyak mempengaruhi perasaan Fahri. 

Zaid menolehku. Aku menekuk wajah karena ketakutan. 

“Maaf, mengejutkan kalian. Mungkin aku terlalu cape. Aku pikir Mama, Bibi dan Syifa sudah lama menunggu.”

“Baiklah kalau begitu, sebaiknya kita pulang sekarang,” tukas Fahri pasrah tetapi tetap menatap tajam ke arah Zaid. Ketegangan di antara mereka dapat kurasakan. Entah dengan Aisyah. 

            ***

Cinta Dalam Diam. 

Berapa kali aku membaca judul buku yang diberikan Zaid. Apa maksudnya memberiku seperti ini? Ingin menyampaikan perasaannya? Meski tak terucap, aku rasa kami sudah memahami perasaan kami masing-masing. Kami sudah berjanji menyalurkan rasa kepada pasangan-pasangan kami nantinya.

Cinta dalam Diam. 

Aku tersenyum-senyum sendiri di tempat biasa. Di tempat sunyi ditemani bintang-bintang. 

“Ga istirahat dulu, Silmi? Besok siang kita ada tugas lagi, nanti kamu sakit lagi,” celoteh Syifa sambil duduk bersandar di sampingku. “Sepertinya menyendiri di sini, di malam hari, semacam ritual penting saja bagimu.”

Aku tersenyum datar mendengar celoteh Syifa. Dia tak tahu betapa malam  mempunyai arti dalam kehidupanku. 

Dalam sendiri, di malam hari, aku sering merenung. Memikirkan semua lika-liku kehidupan yang kujalani. Hingga aku banyak mendapatkan hikmah di balik semua kejadian. Dan satu titik yang paling mendasar dari semua kejadian adalah semua ini karena Allah sayang padaku. Maka aku pun berjanji untuk selalu mentaati-Nya. 

Sendiri, di malam hari, sering aku mengobati kerinduan dengan mengenang kenangan-kenangan indah kulalui dengan Zaid. Malam harilah aku dan Zaid berdoa, memanjatkan mimpi-mimpi yang indah. Satu doa kami, sama-sama telah terkabul. Mimpi Zaid terkabul, belajar keluar negeri. Dan mimpiku pun terpenuhi, bisa melanjutkan sekolah.

Sedangkan doa rahasia kami? Zaid tidak tahu doa rahasiaku. Aku ingin selalu bersamanya. Itulah doaku di malam itu. Sepertinya doaku yang satu ini tidak terkabul. Hanyalah Allah yang tahu apa hikmahnya. 

Sedangkan doa Zaid, sampai sekarang aku tidak tahu apa doanya. Mudahan Allah juga mengabulkan doanya.  

“Ini buku dari Zaid tadi ya?” Syifa mengambil buku yang ada di tanganku.

“Cinta Dalam Diam. Mm ..., apa ini mewakili perasaannya?”

“Entahlah?” 

“Oh, ya, bagaimana pertemuan kalian tadi? Pasti seru.”

Aku tak langsung menjawab. Pandanganku jatuh ke arah dinding yang bisu. 

“Lumayan, tapi ada sedikit kejadian kurang menyenangkan.”

“Maksudnya?”

“Awalnya karena aku dan Zaid tidak dapat menjaga sikap. Tingkah sempat mengundang perhatian Aisyah dan Fahri. Selanjutnya aku mengobrol dengan Fahri. Saat aku dan Fahri asik ngobrol, tiba-tiba Zaid berdiri dan mengajak pulang dengan nada emosi.”

Mata Syifa membulat.

“Aku sempat takut, terlebih lagi saat Fahri menatap Zaid penuh dengan selidik. Sepertinya Fahri juga terbawa emosi. Beruntungnya Zaid cepat reda emosinya, karena memang tak ada alasan untuknya. Jadi, kami pulang dengan kebisuan.”

Syifa mendesah keras. 

“Mungkin Zaid cemburu dengan keakraban kalian. Bagaimana nanti jika kalian sama-sama menikah dan saling berhadapan. Terlebih lagi jika kalian sama-sama masih memendam cinta. Kalian akan cemburu dengan keromantisan satu sama lain.”

“Jika sudah sama-sama menikah, masihkah memendam rasa cinta dan cemburu? Sedangkan kami sudah sama-sama memiliki, dan punya orang yang kami salurkan rasa cinta dan rindu?”

“Masalahnya tidak semudah itu. Apalagi cinta kalian, anti dan Zaid sepertinya cinta sudah mengakar kuat. Itu terlihat dalam bahasa tubuh dan cara berbicara kalian. Saling perhatian, saling menggoda. Padahal kalian sama-sama tahu, bahwa itu tidak dibolehkan dalam Islam.”

Aku menatap kosong dinding yang kokoh di depanku. Namun pikiranku menerawang, menembus, membentuk kepingan-kepingan bayangan masa silam. 

“Kak, ini untukmu,” kataku sambil menyerahkan sebungkus keripik kentang kepada Zaid. 

“Untukku?” 

Aku mengangguk. “Kakak, suka kan?”

Zaid mengangguk sambil mengambil keripik kentang yang kusodorkan padanya, “Terima kasih, ya, Silmi. Kamu baik sekali.”

“Zaid…”

Bersamaan kami menoleh arah suara. Tante Kurnia.

“Ibu Kakak memanggil. Sana!”

“Iya, sebentar, ya. Mau kan, pegangkan keripikku dulu?”

“Iya, Kak. Sini.”

“Terima kasih.”

Zaid berlari mendekati ibunya.

“Silmi!”

“Eh… Farah. Mau kemana?” tanyaku sambil mendudukkan pantat di ayunan papan di bawah pohon, di halaman rumah Zaid.

“Mau ke rumah sepupuku, disuruh mama mengantar ini.” sahut Farah sambil menunjukkan benda yang dipegangnnya, “mau ikut?”

Aku menggeleng. Farah memerhatikan keripik kentang yang kupegang dua sekaligus. 

“Kamu mau?” 

“Beneran nih, Silmi?” tanya Farah sumringah. 

“Eee....” sebenarnya aku bingung, apa mau kuberikan atau tidak. Jika diberikan, maka aku tak punya keripik lagi. Yang satu ini, sudah kuberikan kepada Zaid. Tapi, sepertinya Farah sangat menginginkannya. “Iya, ini.” seruku sambil menyerahkan keripik kentang punyaku.

“Terima kasih ya, Silmi.” 

Farah mengambil keripik kentangku. “Aku pergi dulu, ya.” Aku mengangguk, sambil menelan ludah. Aku belum memakannya. Aku mulai merutuki perbuatanku.

“Silmi.”

“Eh, Kak Zaid. Ini.”

Zaid mengambil keripik kentang yang kuserahkan, sambil duduk di sampingku.

“Punyamu mana?”

Aku tak menjawab. Mataku memandang ke arah Farah berjalan. Ternyata Farah tak terlalu jauh, masih terlihat sosoknya sambil bungkusan keripik kentang.

“Kamu berikan pada Farah?” tanya Zaid.

Aku mengangguk sambil menunduk. 

“Silmi, Silmi ..., ya sudah. Sekarang keripik ini kita makan bersama ya,” kata Zaid.

“Tapi, Kak … .” Zaid membuka bungkusan keripik kentang itu dan meletakkannya di tengah-tengah kami duduk. 

“Ayo,” Zaid mengambil satu potong dan langsung memasukkan ke mulutnya. Aku hanya memperhatikan bungkusan itu. “Kenapa? Kok masih diam? Kalau tidak mau, sini aku suapi.”

“Kakak, jangan bikin Silmi malu.”

"Kamu sih, dari tadi hanya liatin bungkusannya!”

Akhirnya dengan ragu-ragu kumasukkan tangan ke bungkusan keripik kentang itu. Setelah itu kami sama-sama diam. Sibuk dalam pikiran kami masing-masing. 

Sesekali kulirik Zaid. Mulutnya mengunyah keripik  sedangkan matanya tertuju ke depan. Entah apa yang dipikirkannya. Aku menyukai moment itu. 

Detak Cinta Shafura  Part 39: Berteman Malam   “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Ban...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 38: Api Cemburu




Baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar merdu nasyid Hafizal Qur’an dari Haitsam Al Halby. Sambil berjalan Zaid memasukkan tangannya ke kantong celana, mengeluarkan ponsel dan menjawabnya setelah memperhatikan layarnya.

“Assalamu ‘alaikum. Ya? ... aku di Duta Mall, bersama … ” Sejenak Zaid menatap kami, “Silmi dan temannya. Kamu di mana? ... apa?  Oh, baiklah begitu, kami tunggu di sana, Ya … wa’alaikum salam warahmatullah.”

“Fahri mau ke sini. Jadi kita harus menunggunya dulu. Ikuti aku,” kata Zaid sambil berjalan menuju deretan tempat-tempat makan. 

“Fahri?”

“Iya? Katanya sekarang dia sudah ada di Banjar dan sedang menyusul ke sini.” Zaid tersenyum tipis, “pagi tadi dia ingin sekali ikut, tapi ayah melarangnya karena pekerjaan di pasar masih banyak. Mungkin, dia sudah merindukanmu, sehingga dia memaksakan diri ke sini.”

Aku hanya terdiam mengikuti langkahnya. Terlihat sekali dia cemburu, dari nada bicaranya. Entah kenapa. Yang pasti, aku suka. Tiba-tiba saja aku ingin menggoda.

Sesaat suasana menjadi senyap. Sampai akhirnya kesenyapan itu dipecahkan oleh suara pelayan yang menanyakan pesanan kami. 

Zaid dan Syifa langsung menyebutkan pesanan mereka. Sedangkan aku masih bingung harus pilih apa.

“Kamu pesan apa, Silmi?” tanya Zaid.

“Entahlah! Aku bingung,” sahutku sambil memandangi nama-nama di daftar menu. “Kamu saja yang pilihkan, ya.”

"Aku?” sahut Zaid setengah terkejut. 

“Iya. Sepertinya kamu kenal sekali tempat ini. Jadi aku yakin kamu pasti tahu makanan apa yang paling enak di sini," seruku sambil menatapnya. 

“Bagaimana kalau tidak cocok di lidahmu?” 

“Apapun yang kamu pilihkan untukku, akan kunikmati sepenuh hati,” sahutku dengan sungguh-sungguh. Lelah karena berkeliling membuatku enggan memilih menu.

Sesaat Zaid hanya terdiam sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Baiklah kalau begitu. Mbak, satu porsi rawon, minumannya jus buah naga,” katanya santai kepada pelayan itu. 

Aku dan Syifa membelalak mendengar pesanannya. Aku lebih kaget lagi. Bagaimana mungkin dia memesankan makanan yang tidak kusuka. Syifa saja tahu aku tidak suka makanan yang bercampur daging. 

“Silmi, Zaid, kalian di sini?”

Sontak kami menoleh ke arah suara. Tante Kurnia, Bibi Sarah dan Aisyah menuju ke arah kami. 

Perasaanku tiba-tiba tak karuan. Gugup, takut dan cemas. Seakan-akan aku telah kedapatan mencuri sesuatu. 

“Mama!” seru Zaid sambil berdiri menyambut kedatangan mereka. “Kami menunggu Fahri, Ma.”

“Fahri?” Kening Tante Kurnia mengkerut.

“Iya, katanya sedang menuju ke arah sini. Jadi kami menunggunya di sini. Mama, Tante, Aisyah mau makan-makan dulu? Sambil menunggu Kak Fahri, biar kita pesan lagi.”

“Fahri ke sini? Mau apa?” tanya Tante Kurnia, tanpa perduli dengan pertanyaan Zaid.

“Ah, Mama. Kaya ngga paham saja. Sepertinya, mereka harus cepat-cepat dinikahkan,” sahut Zaid sambil mengerling ke arahku. 

Kepalaku jadi tertunduk.

“Oh, gitu, baiklah kalau begitu. Iya, nanti kita bicarakan itu. Sebaiknya Mama dengan Sarah, jalan-jalan dulu, ya. Siapa tahu ada yang menarik, bagaimana, Sarah?” Tanya Tante Kurnia sambil memandang Bibi Sarah.

“Betul juga, Nia,” sahut Bibi Sarah, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Aisyah, “Aisyah, kamu mau tinggal di sini atau ikut kami?”

“Mmm … .” Aisyah memandangi kami bergantian. 

“Maaf, telah menunggu!” Fahri datang dengan napas terengah-engah.

“Bibi, Tante! Boleh saya ikut?” sela Syifa, sambil berdiri. 

“Syifa!” sergahku. Aku memegang pergelangannya.

“Tante, ya?” Syifa memelas. Peganganku terlepas.

“Boleh.” Sahut Tante Kurnia.

 Aku mendelik, Syifa tak peduli. 

Sekarang hanya tinggal kami berempat. Aku hanya bisa pasrah memandangi punggung Syifa. Aku mengerti perasaannya. Andai aku bisa, aku pun tak ingin seperti ini. 

Pelayan mendekati kami mengantar makanan. Langsung saja Fahri menyebutkan pesanannya. Lalu dia duduk dengan bersandar sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali dia sangat lelah. 

“Kamu pesan apa, Aisyah?” tanya Zaid. 

“Hmm ... tidak usah, Kak. Aku makan pesanan Syifa saja. Sayang, mubazir jika tidak dimakan.” 

Zaid mengangguk dengan senyuman khasnya. Walaupun wajahnya tertutup, aku yakin Aisyah membalas dengan senyuman terbaiknya. 

Tiba-tiba ada setitik lahar menerpa hati. Cemburu?  Mungkinkah?

Ya Allah, mengapa aku harus cemburu pada mereka? Bagaimanapun mereka akan menjadi pasangan halal. 

Tiba-tiba saja semangatku melorot. Terlebih lagi ketika makanan yang dihidangkan untukku. Kenapa Zaid memesankan ini? Apakah dia sudah lupa, kalau aku tak bisa menyantap makanan bercampur dengan daging? Ya, tentu saja Zaid sudah lupa. 

Kulirik minumanku. Dalam benakku, buah naga adalah buah untuk pengobatan. Aku sering membikinkan jus buah naga untuk Ummi, waktu beliau sakit-sakitan. Kenapa Zaid memesankan minuman ini? Memangnya aku pesakitan? Zaid tak peduli padaku. Lengkaplah penderitaanku.

“Kamu kenapa, Silmi?” tanya Fahri sambil memperhatikan gayaku mengaduk rawon.

“Tidak apa-apa, Kak,” sahut lemas. 

“Tidak apa, apanya? Tampangmu jelek begitu.”

Tawa Zaid pecah. Aku semakin jengkel. Fahri mencelaku, Zaid menertawakanku di depan pelayan. Emosiku melesat. 

“Tertawalah terus atau aku akan pergi,” ancamku ketika pelayan sudah menjauh. 

Spontan Zaid menghentikan tawanya. Badannya masih bergerak-gerak. Sedangkan Fahri bertambah bingung. 

“Ada apa sih dengan kalian?” tanya Fahri. Aku tak menyahut. Mataku masih memelototi Zaid. Mukanya memerah menahan tawa.

“Tidak apa, Fahri. Silmi cuma tidak bisa menyantap makanan yang bercampur daging,” kata Zaid sambil tertawa-tawa kecil.

“Lantas kenapa kamu pesan itu, Sil?”

Aku tak menjawab, aku masih jengkel pada Zaid. 

“Sudah, jangan marah begitu,” bujuk Zaid sambil menatapku. “Maafkan aku. Aku memang  keterlaluan. Aku ingat kok, kamu tak suka daging. Sini kita tukar?” Zaid langsung menukar piringnya dengan piringku. 

“Tapi … ." cegahku.

“Sudah. Aku memang sengaja. Ini  soto banjar kesukaanmu. Sekalian nih, jus alpukat milonya.”

 Dari dulu aku selalu gila dengan coklat. Biscuit, wafer, cake, minuman, apapun asal bernuansa cokelat. Aku terpana dengan kenyataan ini. Zaid masih ingat makanan dan minuman kesukaanku dan yang tidak aku sukai. Mataku tak bisa berpindah dari menatapnya. Zaid juga masih menatapku dengan tersenyum. 

“Ehmm!” Fahri berdeham. 

Spontan aku dan Zaid tersadar. Kami telah melupakan di sekeliling kami. Fahri mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, membuat hatiku rasa bersalah. Tak seharusnya aku dan Zaid begini di depan Fahri. 

Hatiku semakin tak karuan, ketika menyadari keberadaan Aisyah di sisiku. Ini gawat. 

“Ehm ... Aisyah kita ganti tempat duduk, ya,” kataku sambil berdiri.  Aku gagal menekan perasaan ketika mengucapkan di ujung kalimat. 

“Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik

Detak Cinta Shafura  Part 38: Api Cemburu Baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar merdu nasyid Hafizal Qur’an dari Haitsam Al Halby. Samb...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 36: Bisik-bisik Kecemburuan 



 Hari ini, hari hantaran Aisyah. Sejak kemarin di rumah Aisyah sudah mulai sibuk. Dan hari ini juga jadwal tes hafalan 30 juz. Ada 30 santri putri, yang terdaftar. Di bentuk 6 team penjaga. Tiap team  terdiri dari 4 orang. Dua orang ustadzah dan dua santri. 


Tak lupa juga, disiapkan orang cadangan, jika yang bertugas ada keperluan mendadak atau sakit. Setiap dua team bergantian shift. Waktu estimasi sepuluh hari akan selesai. In sya Allah. Aku kebetulan kena tugas dengan Ustazah Wahidah. Dua santri bimbinganku kena jadwal pada hari 7, sedang Cahya meminta hari ke sepuluh. 

Jauh hari Aisyah sudah memintaku agar menemaninya pada hari ini. Aku mengelak dengan alasan bertepatan jadwal tes santri. Walaupun dengan berat hati, Aisyah tak memaksaku. Aku bersyukur akan hal ini. Sehingga aku bisa fokus pada tugasku. 

Sesekali kudengar juga, bisik-bisik santri ketika menunggu antrian di kamar kecil.

Aisyah tampil sangat cantik. Ada rasa lega, menyusup dalam rongga dada. Zaid, laki-laki yang kucintai akan mendapatkan istri yang cantik dan salehah.

Mereka sangat cocok. Cantik dan tampan. Ada rasa yang tak bisa kubohongi. Aku iri. Ya, Allah ampuni aku. 

Syukurnya, semua rasa tak mampu lama bergejolak, lebih baik aku fokus mendengarkan bacaan santri. 

Silmi, sebuah panggilan diikuti kemunculan Aisyah di pintu. Aisyah memberi isyarat, menyuruhku mendekatinya. Langsung saja aku memberi isyarat kepada teman untuk menggantikanku. 

"Maaf, Silmi, ana mengganggu anti. Tapi ana perlu dengan anti. Malam ini, Ibunya Abdurrahman mengajak ke mall,  mencari gaun sudah jadi. Mumpung ada Abdurrahmannya di sini, sekalian mencocokkan gaun dengan pakaian laki-lakinya  Dan ibunya Abdurrahman tadi minta untuk mengajak anti."

Alisku mengerut. "Tante Kurnia mengajakku, untuk apa?"

"Ah, Silmi. Sok tidak mengerti segala. Kenapa anti tidak cerita ke ana, kalau anti sudah bertunangan dengan kakaknya Abdurrahman? Fahri. Anti, Sil, masa kebahagiaan ini tidak berbagi dengan ana.  Ana senang sekali, kalau akhirnya kita jadi keluarga," oceh Aisyah.

"Akhir-akhir ini, kita sama-sama sibuk. Tak ada waktu lagi buat kita untuk saling bercerita,"  sahutku asal. 

"Iya, benar juga. Sayang sekali, waktu khataman bertepatan dengan pernikahan ana. Padahal saat-saat seperti ini, ana semakin ingin dekat dengan anti. Berbagi cerita, ingin mengenal Abdurrahman lebih jauh, ah … sudahlah ... Anti siapkan ikut?!"

Otakku berputar keras, mencari alasan untuk menolak. Sibuk? Shift tugasku akan selesai, diganti shift tugas malam."

“Fahri ikut?" tanyaku.

"Yey, sudah rindu ya?"  goda Aisyah.

"Huss hati-hati ngomong. Kedengaran anak santri."

Aisyah hanya cekikikan.

"Bukan begitu, kalau ga ada Fahri atau Farah, maka ana akan mengajak Syifa."

"Hmm … kenapa begitu?" alis Aisyah mengkerut.

"Ana cuma tak mau dikacangin," tukasku asal.

"Yey … memangnya kita pacaran. Sudah ah. Anti siapkan? Habis Isya langsung kesebelah ya, jadi ana ga perlu manggil-manggil anti," seru Aisyah, sambil berlalu tanpa menunggu jawabanku. 

"Sepeninggalannya, mendadak napasku terasa berat. 

Hari yang berat. 

    ***    


Sekitar jam 8 kami berangkat, dengan mobil Om Herman. Zaid yang mengemudi. Fahri ternyata tidak ikut. Tante Kurnia, Aisyah dan Bibi Sarahadik Tante Kurniaduduk di jok tengah, aku dan Syifa di jok paling belakang. Dengan posisi seperti ini, lumayan membuatku sedikit nyaman.

Sepanjang jalan, hanya Tante Kurnia dan Bibi Sarah yang berceloteh. Mereka saling bercerita banyak hal. Tentang anak-anak mereka, makanan khas masing-masing daerah, dan juga sempat-sempatnya diselipi fasyion. Ah, perempuan, memang gila fashion. 

Tante Kurnia menyampaikan salam titipan Fahri untukku. Katanya Fahri sangat sibuk di pasar, sehingga tak bisa ikut. Padahal dia sangat ingin.     

Begitu sampai, memasuki Mall, Tante langsung mendekatiku. Memang begitulah sikap beliau padaku. Penuh kasih sayang. Bahkan sekarang volume bertambah semenjak aku bertunangan dengan Fahri. 

"Silmi, kenapa kamu kelihatan pucat? Kamu tidak apa-apa kan? Tadi waktu acara hantaran kamu ke mana?" Tante memberondongku dengan banyak pertanyaan.

"Ah, tidak apa-apa, Tante. Kemungkinan karena Silmi cuma terlalu cape. Kebetulan lagi sangat sibuk. Kaena itulah, Silmi tak bisa membantu di acara hantaran Aisyah tadi."

Aku jadi kikuk. Aku benar-benar tak nyaman, dengan sikap Tante, terlebih lagi di dekat Aisyah.

"Oh, begitu. Paling tidak, tetap jaga makan, dan luangkan waktu istirahat! Lihat mukamu pucat sekali, dan kelihatan agak kurusan dari kemarin," kata Tante Kurnia sambil mengangkat pergelangan tanganku.

"Insya Allah, Tante," sahutku sambil mengerling ke arah Aisyah. Sepertinya dia tak apa-apa. Ah, ternyata aku saja yang berlebihan.

"Nah, ini dia butiknya," seru Bibi Sarah sambil menunjuk, ke arah sebuah butik,  dari luar sudah terlihat beberapa gaun pengantin muslimah terpajang. 

"Tante, Silmi mau ke sana dulu, ya. Ada yang mau Silmi cari," kataku sambil menunjuk ke arah aksesoris. Tante Kurnia mengizinkan dengan anggukan. 

    ***


"Banyak sekali, Silmi?”

Syifa keheranan, karena aku membeli bros dan gantungan kunci yang cukup banyak. 

"Ana mau ngasih hadiah ke anak-anak, Syifa, dan kalau yang ini, untuk anti." 

Aku memasukkan sebuah gelang ke pergelangannya. 

Dari tadi aku perhatikan Syifa melirik-lirik gelang ini. Aku tak mengerti, kenapa ia tidak membelinya.

"Ini untuk ana, Silmi?"

Syifa mengguncang tangannya dengan binaran surprise.

"Terima kasih banget."

"Iya. Ana beli dua, satu untukku, satu untukmu. Kita memakai gelang yang sama, ini akan menjadi kenangan dalam persahabatan kita. Terima kasih ya, Syifa atas kebaikannya selama ini," mataku rasanya berkaca-kaca, menahan rasa keterharuan.

"Sudah ah, kita jangan melowan di sini. Malu kelihatan orang. Yuk kita ke mana lagi?" seru Syifa sambil mengalihkan pandangannya.

Aku tahu dia hanya ingin menyembunyikan matanya. 

"Beberapa langkah, dari toko kami membeli aksesoris tadi. Tiba-tiba ada yang menarik perhatianku. Boneka. Langsung saja, aku masuk toko boneka itu. Setelah melihat-lihat, akhirnya kuputuskan membeli boneka beruang pink. Sepertinya cocok untuk Helena. Mudahan dia suka. 

"Anti perhatian sekali sama anak-anak anti, terlebih lagi pada Helena. Boneka itu untuk  Helena kan? Ana tahu, anti bukan pencinta boneka."

Aku tersenyum tipis, "ana cuma mau ngasih kenang-kenangan pada mereka. Seperti yang ana katakan pada anti, ana sudah bertunangan. Jadi tak kan lama lagi di sini."

Syifa mengangguk. "Kita kemana lagi?"

"Kita ke toko jam tangan, ya."

"Baiklah, tak masalah."

"Jazakumullah khair."

Kami memasuki sebuah toko jam tangan, deretan jam tangan tersusun rapi dalam etalase. 

"Anti yakin, beli jam di sini? Di sini kan jamnya mahal-mahal."

Aku hanya menepis kekhawatirannya dengan senyuman tipis. 

"Aku bingung, Syifa, mau pilih yang mana. Semuanya bagus-bagus.

Mataku tak bisa lepas dari melihat arloji-arloji  yang berjejer. 

"Kamu beli untuk siapa, Silmi? Ini kan jam tangan laki-laki!"

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba ada yang memanggil namaku.

"Shafura."

Sontak kami menoleh ke arah suara. 

"Kak Zaid?"


Detak Cinta Shafura  Part 36: Bisik-bisik Kecemburuan   Hari ini, hari hantaran Aisyah. Sejak kemarin di rumah Aisyah sudah mulai sibuk. Dan...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 35: Penolakan 



"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"

"Entah. Itulah sebabnya ana ingin merenung di sini. Memikirkan dengan jernih semua apa yang telah Allah atur untuk ana."”

"Maafkan, ana. Tak seharusnya ana ke sini."

"Bukan begitu. Ana malah senang dengan perhatian anti. Jujur, mungkin saat ini, hanyalah anti yang bisa memahami perasaan ana. Ana sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan perasaan ana. Perasaan ana benar-benar kacau."

"Sabar, ya. Ikhlas." Syifa memegang tanganku.

Aku mengangguk.

"Oh, iya, bagaimana dengan anti?"

"Maksudnya?"

"Maulana Harits??"

"Oh itu..., dia sudah menolak," jawab Syifa sendu. 

Aku jadi merasa bersalah menanyakannya. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku tak menyangka Maulana Harits benar-benar menolaknya.

 Apa yang kurang dari Syifa. Cantik, pintar dan berkelas, masih sekufu dengan Maulana Harits, yang katanya anak seorang kyai. Jodoh. Aku benar-benar tidak mengerti. 

"Sabar, ya. Mungkin belum jodohnya,"” kataku lembut. 

Syifa tersenyum pahit. 

"Bukannya ana sangat memimpikan pernikahan, tapi… ."

Aku diam saja, menunggu kelanjutannya.

"Ana cuma merasakan kepahitan dalam menjalani ketidakberuntungan persoalan cinta. Dulu ana menyukai teman kakak ana, tapi laki-laki itu sedikit pun tak menaruh perhatian pada ana. Karena tak tahan memendam rasa cinta, ana menyatakan terus terang perasaan ana padanya. Tapi, apa balasannya?" Syifa menatapku. Aku tetap tak bergeming. Aku bisa menebak dari keketiran kata-katanya. 

“Dia menolak cinta ana. Dan, kemarin? sempat bertunangan dengan laki-laki yang dijodohkan Kyai Ibrahim. Entah kenapa, tanpa alasan yang jelas, dia memutuskan pertunangan. Dan sekarang ana lagi-lagi ditolak oleh seorang laki-laki."

“Ya, mungkin dengan berbagai alasan yang tidak kita ketahui, tapi pada intinya mereka memang belum berjodoh dengan anti?" kataku hati-hati.

Saat ini dia sedang terluka, aku sangat takut perkataanku malah menambah lukanya. 

"Iya, ana sadari itu. Pada hakikat memang belum berjodoh. Tapi segala sesuatu pasti ada sebab. Kenapa mereka menolak ana? Apa yang kurang dalam diri ana?"

"Mungkin masalahnya, bukan permasalahan ketertarikan pada kecantikan, keindahan, atau kelebihan lainnya. Tapi pada persoalan hati, persoalan cinta." Aku menjiplak perkataan Farah kemarin. 

Aku juga teringat cerita Aisyah, tentang Zaid menolak seorang gadis Yaman yang cantik. Cinta. ya, cintalah alasannya. Siapa pun tak bisa memaksakan untuk jatuh cinta atau menghindar dari cinta.

"Mungkin."

"Jadi persoalannya, bukan mereka tidak menyukai anti, hanya saja mungkin dalam hati mereka ada orang lain," ujarku sambil merenung. 

Aku membayangkan, bagaimanakah Zaid bersikap penuh cinta pada Aisyah? Sedangkan dalam hatinya ada orang lain. Aku telah bersalah dalam hal ini. Tidak. Kelebihan Aisyah akan menghapus semua sosokku dalam kehidupan Zaid. Masalahnya aku tak bisa menjauh dari Zaid. Ya, Allah tuntun hati-hati kami. 

Kupandangi Syifa, sepertinya hatinya masih galau. 

“Ayolah, laa tahzani! Ana yakin, ada seorang laki-laki yang mencintai anti, hanya saja saat ini kalian masih belum bertemu. Ibtasimi1," kataku berusaha menyemangatinya.

Syifa tersenyum tipis, “nti, Silmi bisa saja. Syukran. Barakallahu fiik.

"Wa iyyaki."

Aku kembali menatap bintang. Indah sekali. Apa yang dilakukan Zaid saat ini, ya? Apakah dia masih menyukai menatap bintang? Makan keripik kentang?

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Terlalu banyak kenangan indah yang kami lalui. Terlalu banyak sejarah, yang mengikat hati kami. 

"Ehmm.. Senyum-senyum sendiri, ingat apa hayoo?” 

"Kita shalat tahajud dulu, yuk,” kataku tanpa menghiraukan godaannya. 

        ***

Sekitar jam delapan pagi, setelah sarapan kami memulai membentuk halaqah. Fadia, Nadhirah, Habibah dan aku. Hasil undian yang keluar adalah nama Habibah. 

Jam 12, kami berhenti, persiapan shalat Zuhur, setelah shalat Zuhur, kami mulai lagi. Begitulah seterusnya, kami berhenti, ketika persiapan shalat, makan dan keperluan masuk WC. 

Pada awal-awalnya, Habibah membaca dengan sangat lancar, ada kesalahan sedikit-sedikit, tapi setelah 15 juz ke atas mulai lambat, terlebih lagi 20 ke atas, dia sudah kurang lancar. Berkali-kali dia lupa, bahkan ketika diingatkan pun, Habibah tidak bisa melanjutkan. Sampai akhirnya dia selesai.

Catatan kuberikan padanya, disertai dengan keterangan. Aku memberi pesan pada agar  menjaga stamina. Karena sepertinya dia sangat kelelahan, sehingga konsentrasinya buyar, selain itu juga melancarkan bacaan 15 juz ke atas, sampai benar-benar lancar. Agar lidah benar-benar terbiasa, karena adakalanya, walaupun kita tidak bisa konsentrasi seratus persen, tetapi jika benar-benar lancar, bisa saja kita membacanya di luar alam sadar. Karena sudah benar-benar hafal. Seperti halnya, berjalan menuju sebuah jalan yang sering kita lalui. Walau berjalan sambil mengkhayal, kaki tetap saja melangkah ke arah tujuan, tanpa harus selalu di ingatkan oleh akal. 

Sedangkan Nadhirah, bermasalah pada ayat-ayat mutasyabbihat. Dia sering terjungkal, ketika berhadapan dengan ayat mutasyabbihat. Mungkin waktu pengulangan hafalan, Nadhirah kurang cermat membedakannya. Allahu a'lam. 

Aku hanya bisa menyuruhnya mencatat ayat-ayat mutasyabbihat yang sulit baginya, atau melanjutkan ke ayat berikutnya. Terus mencatat sampai benar-benar lancar, menulis tanpa ada kesalahan, menulis sampai betul-betul hafal. Memang benar-benar memerlukan kesabaran. Namun, jika dia benar-benar menaruh perhatian, insya Allah dia bisa. 

Sedangkan Fadia, dia berjanji akan sam’an dengan temannya, yang kebetulan lagi haid. Jadi temannya bisa fokus membantunya. Alhamdulillah satu pekerjaan selesai. Semoga Allah memudahkan langkah mereka.

Selanjutnya aku menaruh perhatian, anak-anak ku tes per tiga juz. Setidaknya aku punya waktu tiga hari untuk mereka. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, dengan hasil yang memuaskan. Dan malam ini, aku ingin membaca surat balasan dari Hans. Sudah berapa hari yang lalu kuterima surat ini, melalui Helena. Namun, baru sekarang aku bisa membacanya. Lagi-lagi di tempat biasa. Tempat yang menjadi saksi bisu, aku merenung, berpikir, dan sesekali ditemani Syifa. 

Assalamu ‘alaikum warahmatullah

Alhamdulillah, kabarku baik. Semoga anti juga baik-baik di sana. Aamiin.

Alhamdulillah, ana terima surat anti dengan lapang dada. Awalnya ada sedikit goncangan, tapi ana yakin, ini semua adalah kehendak Allah. Alhamdulillah ‘ala kulli hal. 

Iya Ukhti, ana memahami, bahkan ana senang, Ukhti lebih memilih bakti kepada orang tua, daripada mendahulukan perasaan sendiri. Dan ana pun tidak akan senang, bila anti mendahulukan pilihan anti dari pada orang tua. Keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua. 

Terima kasih Ukhti, atas doanya. Semoga anti juga mendapatkan pasangan, yang selalu menyayangi dan membimbing anti dalam agama. Aamiin. 

Andai boleh meminta. Ana minta, sepeninggalan ana nanti, ana minta tolong perhatikan Helena. Dia telah ditinggalkan ibu, dan sekarang ana terpaksa meninggalkannya lagi untuk sementara. Ini akan membuatnya sedih lagi. Insya Allah, dengan kehadiran anti, Helena akan terhibur dan merasakan kasih sayang. Helena sangat menyukaimu. 

Sebelumnya, ana ucapkan Terima kasih. Maafkan, jika ada kesalahan ana dan adik ana. 

Barakallahu fiikum. Jazakumulah khairan katsira. 

Hans. 

Alhamdulillah. Betapa besar hatimu. Semoga kamu berjodoh dengan gadis cantik nan shalehah. 

        

 Detak Cinta Shafura  Part 35: Penolakan  "Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?" "Entah. Itulah sebabnya ana ingin merenu...
El Nurien
El Nurien


Detak Cinta Shafura

 Part 34: Realita 



 Setelah menemui Fadia, Nadhirah, dan Habibah tadi, langsung  teringat pekerjaanku yang belum selesai. Hari ini harus selesai. Menyalin nilai santri ke buku raport, memeriksa catatan laporan tahfiz, memberi jawaban kepada Hans. Ah,  pekerjaan ini rasanya berat sekali. Betapa aku masih ingin ikut bersamanya. Walaupun hatiku telah terpaut kepada Zaid, tapi aku merasa pergi bersama Hans adalah jalan yang terbaik. 

Astaghfirullah, bukankah Allah lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya? 

Setelah selesai menyalin nilai ke raport santri, terbersit mendahulukan menulis surat dulu kepada Hans, tapi di sisi lain, aku khawatir akan melibatkan emosi lagi, alih-alih nanti malah menelantarkan pekerjaan lainnya. Maka kuputuskan memeriksa catatan tahfiz santri dulu. 

Ada kebahagiaan lagi yang menyusup ruang hati, ketika menatap satu persatu catatan-catan tahfiz santri. Ada yang baru 3 juz, 6, bervariasi, bahkan yang sudah 15, 20, bahkan 21 juz. Anugerah yang sangat indah buatku. Betapa aku bahagia melihat hasil ini, dan aku tak ingin kebahagiaan hilang karena kelalaianku.

Langsung saja aku catat nama-nama santri disertai dengan berapa hafalan mereka. Mereka akan kuberi tugas, menguatkan hafalan dulu, setelah itu mereka akan ikut tes hafalan halaqah 3, juz, 6, juz, 9, 12, 15, 21, 24, dan 27 juz. 

Sebenarnya sistem di sini menggunakan sistem kelas perlima juz. Kelas satu mereka yang hafalannya di lima juzz pertama. Begitu seterusnya perlima lima juzz, puncaknya di kelas enam. 

Tapi berbeda denganku. Aku dikhususkan memegang santri yang mempunyai banyak masalah dalam proses menghafalnya, atau dengan kata lain, mereka paling terlambat dalam menghafal. 

Dengan fokus memerhatikan mereka maka akan menemukan kelemahan mereka. Seperti Helena, ia kesusahan beradaptasi dengan lingkungannya sehingga perasaannya selalu buruk hingga akhirnya juga berpengaruh pada kesehatannya. Kesehatan buruk juga akan berdampak pada kinerja fisik dan otak. 

Beda lagi dengan Cahya. Cahya ternyata memang daya ingatannya sangat lemah, tapi ia antusias dalam ilmu. Karena itulah, aku pinjamkan buku tafsir yang telah diberikan Zaid padaku. Alhasil, ternyata hasil luar biasanya. Ia menghafal dengan pemahaman. Tahun pertama dia sangat kesulitan, ia sempat menyerah. Alhamdulillah, setelah dengan memakai metode ini, dua tahun ia bisa ikut tes untuk tahun ini. 

Alhamdulillah. Semoga Allah mudahkan. 

Mereka tak kuizinkan menambah  hafalan, sebelum mereka lulus dalam halaqah-halaqah tes tersebut, sesuai hafalan yang mereka miliki. Aku tak ingin apa yang menimpa padaku, terjadi pada santri-santri bimbinganku juga. Cukup satu kali kehilangan tongkat. 

Dulu aku terlalu bernafsu menyelesaikan hafalan. 3 tahun sudah kuselesaikan setoran 30 juz, tapi giliran persiapan tes, ternyata hafalanku berantakan. Fokusku, saat itu hanyalah menambah dan menambah, sehingga aku keteteran dalam menjaganya. Alhasil, hampir dua tahun kemudian, baru aku bisa menyempurnakan 30 juz. Satu tahun mengabdi, tahun berikutnya baru aku mengikuti program alim. Program menelaah kitab-kitab. 

Aku sangat menyesali kerakusan dalam menghafal, kini kurasakan hikmahnya. Setidaknya tidak akan terjadi pada anak bimbinganku, selama mereka mau patuh dengan petunjuk yang kuatur. In sya Allah.

Lima orang 3 juz, dua orang 9 juz, dua orang 12 juz, tiga orang 15 juz, sisanya lima orang, belum mencapai 3 juzz.

Dibanding Ustadzah yang lain, aku yang paling sedikit memiliki murid. Tapi, Alhamdulillah. 

Terima kasih, Ya Allah, semoga semua pahala ini mengalir kepada semua orang yang telah ikut membantuku berada di sini.

Sekarang tinggal menulis surat untuk Hans. Aku tersanjung dengan perhatian Hans padaku. Gadis mana yang tidak tersanjung dengan perhatian seorang Hans? Hans, yang sempat menjadi tempat harapanku. Membawaku pergi ke Mesir. Namun, Allah berkehendak lain. Semoga Hans memahami dan tidak terluka dengan jawaban yang akan kukirim padanya. 

"Assalamu ‘alaikum warahmatullah. 

Kaifa hailuk, ya Akhi? Semoga Allah selalu menjaga dan merahmatimu selalu. aamiin. 

Pertama, ana ucapkan Terima kasih atas segala kebaikan dan perhatian yang antum berikan padaku. Ana sangat tersanjung. Ana tersanjung dengan lamaranmu,  tersanjung dengan ajakanmu ke Mesir. Sungguh, ana sangat tersanjung sekali. semoga Allah juga menyenangkan hati antum.

Sebelumnya ana minta maaf, karena tidak bisa menerima lamaran antum. Bukan ana tak menaruh perhatian pada antum, hanya saja ibu ana telah menerima laki-laki lain untuk ana. Maka tiada jalan lain, selain mentaatinya. maafkan atas kelemahan ana. Semoga antum tidak terluka dan dapat memahaminya.

Semoga antum menemukan gadis shalehah yang cocok untukmu, yang bisa menemanimu belajar ke mana pun. Gadis yang taat pada Allah, Rasul-Nya, dan padamu.

Baarakallahu fikum. Jazakallah khairan katsira.  

Wassalam. 

Silmi.

Tanpa sadar, air mataku menetes. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaan ini, ketika menulis surat, dan aku sendiri bingung kenapa begitu. Ada rasa haru, tapi ada juga rasa sedih. Sedih kenapa? Bukankah aku tak mencintai Hans? Bahkan, niatanku menerima hanyalah aku ingin Hans membawaku sejauh mungkin. Lantas kenapa aku sedih atas apa yang terjadi? Apakah aku mulai menyukai Hans? Entahlah. Kurasa aku normal, bila aku mulai menyukai laki-laki seperti Hans. 

***

"Belum tidur, Silmi?"

Aku mengangkat kepalaku, memandang ke arah suara. Syifa. 

"Belum ngantuk. Anti sendiri?"

"Tadinyaa sudah tidur. Barusan terjaga, dan kulihat anti tidak ada di kamar. Jadi ana ke sini. Ana yakin betul, anti ada di sini."

Syifa ikut bersandar di dinding, tempat yang biasa aku kunjungi untuk berbagi kisah. 

Tanpa sadar aku melirik pergelangan. Aku lupa. Arlojiku sudah tidak bersamaku lagi.

"Sudah jam berapa?"  tanyaku lirih. 

Syifa memandangku sesaat, beralih ke pergelangan, lalu berucap, "Hampir jam 12. Arlojinya mana? Sudah dimuseumkan?"

Nada mengejeknya membuatku tersenyum.

Syifa bersandar di dinding dengan mata terpejam. "Kenapa belum tidur? Masih belum move on?"

"Tidak. Ana cuma ingin merenung, setidaknya untuk malam ini, ana ingin menatap langit. Besok-besok, ana akan sibuk. Persiapan tes untuk Fadia, Habibah dan Nadhirah. Dan ana sudah meminta anak-anak ana tes halaqah per lima juz. ”

Syifa membuka matanya, lalu menghadapi. 

"Silmi, bukankah setelah tes selesai, kita menyiapkan persiapan acara khataman? Dan itu bisa juga melibatkan santri, tak terkecuali anak-anak yang ada di bawah pengawasanmu?"

"Iya, ana sadar itu. Semuanya sudah ana catat, rencananya sesudah selesai mendengarkan hafalan Fadia, Nadhirah dan Habibah. Ana sudah mengkonfirmasi, siapa-siapa yang siap menjadi penjaganya." 

"Kenapa, anti begitu berambisi mengatur semua ini? Bukankah anak-anak bisa tes halaqah, setelah mereka istirahat liburan dan masuk kelas lagi?"

“"Ana tak yakin, apakah ana masih di sini setelah itu," sahutku berusaha menahan gelombang di hati.

"Apaa?" Syifa mengangkat alis, “"apa, anti mau keluar dari sini, setelah pernikahan Ustadzah bAisyah?"

"Mungkin begitu. Bukan karena pernikahan Aisyah dengan Zaid."

"Lantas?"

"Karena ana sudah ditunangkan."

"Masya Allah… ."

Mata Syifa berbinar. Mendadak binaran matanya pun turun seketika, karena melihat sikap sayupku, "dengan siapa?"

“Fahri, Kakaknya Zaid."

"Apa???" Syifa menjerit tak percaya, "Fahri, kakaknya Zaid? Apalagi ini, Silmi?"

Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya. 

“Ini kenyataan, Syifa,"  tegasku.

"Bagaimana dengan anti? Maksudku..., ana sendiri tidak tahu harus ngomong apa. Anti mencintai Zaid, tapi anti menikah dengan kakaknya. Ini, sulit dimengerti."

"Beginilah yang realitanya, Syifa," sahutku. Pandanganku kosong, menerawang entah kemana. Seakan-akan menembus angkuhnya dinding yang ada di depanku. 

"Andai..., andai ana bisa. Ana pun tak ingin seperti ini. Bahkan sebelumnya, ana ingin pergi dari sini, ikut Hans. Tapi, tanpa ana ketahui, Ibu telah menerima lamaran Fahri.”

“Hans?"  Syifa memiringkan kepalanya.

"Iya, Hans sempat melamar ana, dan dia mengajak ke Mesir karena dia ingin kuliah di sana. Kupikir inilah jalan yang ditawarkan Allah untukku, agar bisa jauh dari Zaid. Ternyata tidak, malah semakin dekat."

"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"

Detak Cinta Shafura  Part 34: Realita    Setelah menemui Fadia, Nadhirah, dan Habibah tadi, langsung  teringat pekerjaanku yang belum selesa...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 34: Indahnya Persahabatan 




"Silmi," pekik Fitri ketika melihat kedatanganku. Sesaat Fitri mengumpat, dia kecolongan, Hilma lebih dulu memelukku. Mata fitri memelotot, Hilma menjulurkan lidahnya. Tingkah mereka menciptakan tawa. 

"Antunna ini terlalu lebay, kaya berpisah sekian tahun saja,"  kataku sambil tertawa.

"Bukan sekian tahun, Ukhti, seperti puluhan tahun malah,"  balas Fitri. 

"Oya, berarti ana sangat dirindukan dong?!" godaku.

"Sangat,"  sahut Fitri mantap.

"Alah, Fitri. Palingan rindu oleh-olehnya,"  celetuk Hilma. 

"Ana memang rindu, kok. Anti jahat, Hil, bikin malu saja. Walaupun beneran ya jangan dibilang-bilang!” Fitri cemberut, pipinya semakin bulat. Spontan kami tergelak. 

"Ga apa-apa, Fit, sekali-sekali jujur untuk masalah itu. Kalau seandainya ana ga paham, terus semua oleh-oleh ana kasih ke anak santri bimbingan ana semuanya, gimana? Hayoo… ."

"Ah, Silmi. itu ga mungkin. Ana tahu, Silmi itu teman ana yang paling baik."

Aku mencibir, sambil menyerahkan kantong plastik berisi oleh-oleh padanya. Sudah kusiapkan untuk mereka. Setelah meletakkan tas di dekat lemariku, aku mendekati Syifa dan mengulurkan tangan. 

"Apa kabar, Syifa?"

Rinduku menyerbu hingga tak kuasa untuk tidak memeluk. Syifa sudah seperti kakakku sendiri. Umur kami memang selisih tiga tahun. Dia tiga tahun lebih duluan dariku di pondok ini. Hanya saja setelah khataman, dia keluar dari pondok ini.

Pondok ini adalah pesantren non formal, sehingga lulusan pondok ini tak bisa melanjutkan ke sekolah formal atau kuliah misalnya. Selain ikut menempuh pendidikan di pondok ini, Syifa tetap menjalankan pendidikan formal, bahkan ia sempat kuliah di universitas umum. Tetapi ternyata Syifa tak cocok dengan dunia luar yang menurutnya terlalu bebas. Ia risih saat mengetahui ada di antara siswa yang pacaran sambil menunggu kedatangan dosen. Akhirnya Syifa memutuskan kembali lagi ke pondok.  Mengambil program alim, satu kelas denganku.

"Alhamdulillah, baik. Anti?" Aku senang sekali melihat binaran kebahagiaannya. 

"Alhamdulillah, sudah baikan," sahutku dengan memberikan senyum yang tak kalah indahnya. 

"Aku memang bahagia sekali hari ini. Bertemu teman-teman seperjuangan, bukankah sangat membahagiakan? Persahabatan itu menjadikan semuanya menjadi indah. Begitu juga persahabatanku dengan Aisyaj. Walaupun ada cinta membentang merah dalam persahabatan kami, aku yakin persahabatan itu akan tetap indah. 

Aisyah, sudah pagi tadi aku menjenguknya, sekalian mengantar oleh-oleh, dodol asli dari Kandangan. Wajah semringah menularkan senyum di bibirku. Tak lupa dia mengabariku, hari hantarannya, pernikahan, resepsi di sini dan di rumah Zaid. 

Aku manggut-manggut saja, pura-pura serius mendengar. Sebenarnya hatiku menerawang entah kemana, lagi pula Tante Kurnia sudah memberitahukan itu. Aisyah memintaku menemani di hari hantaran nanti, tapi aku tak bisa menjanjikan dengan alasan sibuk sekali. Sebenarnya jika mengingat dia sahabat karibku, sudah semestinya aku akan berusaha meluangkan waktuku. Hanya saja..., aku ingin menghindar. 

Kini sudah tertumpuk di depanku kertas-kertas jawaban santri dan catatan perkembangan tahfiz santri asuhanku. Ada rasa jengah ketika menghadapinya, di sisi lain, ini cukup buatku untuk menyibukkan diri. Melupakan sesaat apa yang telah terjadi. 

Lega, senang, inilah yang kurasakan, hasil nilai jawaban anak-anak pelajaran yang diamanahkan kepadaku. Semuanya membuatku puas dan bersyukur. Rata-rata di atas tujuh, kalau ada di bawah dari nilai itu, hanyalah beberapa orang saja. Artinya mereka memahami apa yang kusampaikan. 

"Syifa, kapan tes 30 juz, apa sudah ditentukan harinya?"

Aku mengalihkan pandangan kepada Syifa. Kelihatan dia sudah santai. Mungkin pekerjaannya sudah selesai. 

"Senin ini."

Syifa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari menelaah buku. 

"Senin ini? Dimajukan, ya?"

“Iya. Soalnya, khatamannya mau dibarengkan dengan hari pernikahannya Aisyah. Pada hari khataman kan banyak wali santri, bahkan ibu-ibu pengajian yang datang, jadi sekalian saja. Setelah tes waktunya cuma dua minggu buat persiapan acaranya, juga para santri menyiapkan segalanya."

Kepalaku mengangguk. Teringat bagaimana  khataman dulu. Lulus tes 30 juz suatu hal yang sangat menggembirakan. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama, karena aku harus berhadapan dengan pembiayaan khataman. Bukan biaya sedikit buatku, aku ke sini pun karena kebaikan Om Herman dan Zaid. Untunglah, Kak Saada menyanggupi semuanya. 

Syifa terlonjak akibat pekikanku yang tiba-tiba. Aku panik ketika diingatkan akan tiga anak didikku. Apakah mereka sudah siap?

"Anti kenapa, Silmi? Koq panik begitu?"

"Aku teringat Fadia, Nadhirah, dan Habibah. Apa mereka sudah siap? Aku mencari mereka dulu," seruku sambil berlalu, tanpa memperhatikan responnya. 

"Fadia, Nadhirah dan Habibah mana?"

Aku memanggil Fadia saati ia berjalan di lorong kelas. Ia tak langsung menjawab, mengedarkan pandangannya ke sekitar. 

"Itu mereka, Ukht!"” tunjuk Fadia ke pintu kelasnya. Terlihat Nadhira dan Habibah, berjalan ke arah kami. 

“Ukhti mencari kami?" tanya Nadhira, setelah dia dan Habibah, mencium tanganku. Aku benar-benar tak suka hal ini. Aku sama halnya seperti mereka, namun aku harus menghargai posisiku, sebagai pembimbing mereka. 

"Katanya Senin depan, jadwal tes. Apa antunna sudah siap?"

"Wajah Nadhirah dan Habibah berubah mendung.

"Ada apa, Nadhirah, Habibah?" Aku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku. 

"Kami tak menyangka, jadwalnya dipercepat, Ustadzah. Kami tidak punya keberanian untuk maju," jawab Habibah dengan wajah memprihatinkan.

"Belum lancar betul, Ustadzah. Belum lagi, pada ayat-ayat mutasyabbihat. Jika bertemu ayat-ayat itu kadang malah membuat bacaan semakin kacau. Ana tak yakin, apakah bisa lancar dalam seminggu ini. Jadi ana pikir, ikut tahun depan aja, Ustadzah. Daripada dipaksakan, takutnya tidak lancar, malah membuat kami harus menanggung malu," kata Nadhirah.

"Kenapa berpikiran begitu? Gagal dalam berusaha, adalah hal yang biasa. kenapa harus malu? Lagi pula, kalau tahun depan, takutnya karena waktu semakin longgar, dan antunna berleha-leha, maka hafalan antunna… ."

Aku tak bisa meneruskan ucapanku, begitu melihat wajah bergidik mereka. Aku sendiri tak bisa membayangkan, hafalan yang ditanam, dipupuk dan dirawat sekian tahun, tercerai berai gara-gara kesalahan sendiri. Kesalahan yang dibuat-buat. Berleha-leha. 

"Tapi,"  lirih Nadhirah.

"Bagaimana, kalau antunna simaan dulu sama ana? Nanti ana catatkan apa-apa kesalahannya, dan juga kesulitan-kesulitan lainnya. Setelah itu antunna coba memberbaiki kesalahan yang ana catatkan dan menaruh perhatian pada kesulitan antunna yang ana catatkan.


Gimana?  Masing-masing mendapat waktu dua hari buat bergiliran. Kita berempat, sama-sama saling menjaga. Bisakan? Mau kan Fadia membantu kami?" Tanyaku sambil memalingkan pandangan ke arah Fadia. Fadia mengangguk pasti. 

“Nah, sekarang bagaimana dengan antunna? Mau kan mencobanya? Ada waktu tiga hari untuk memperbaiki kesalahan dan mengatasi, mencermati ayat-ayat mutasyabbihat. Mau kan? Ayolah, ini kesempatan! Tak apa kita berlelah-lelah seminggu ini, ya."

Nadhirah dan Habibah saling berpandangan, tatapan-tatapan mereka seakan-akan pinta pendapat satu sama lain. Beruntungnya mereka memang sangat akrab, setidaknya mereka bisa saling menguatkan.

"Baiklah Ustadzah, akan kami coba," balas Nadhirah dan Habibah berbarengan, spontan juga melahirkan tawa yang menggelitik. 

"Oke, hari ini boleh istirahat. Besok kita mulai, siapa yang duluan?" tanyaku penuh semangat. 

"Nadhirah."

"Habibah."

Dua sahabat ini saling menodong satu sama lain membuat kami tertawa.

"Baiklah, kalau begitu nanti kita undi, ya? setuju?”

"Setuju." Koor tiga sahabat itu. Lagi-lagi kami tertawa. Ah, rasanya, aku ingin selamanya mengabdi di pondok ini. 

***



 Detak Cinta Shafura  Part 34: Indahnya Persahabatan  "Silmi," pekik Fitri ketika melihat kedatanganku. Sesaat Fitri mengumpat, di...
El Nurien