Detak Cinta Shafura
Part 46: Ya Alllah Beri Aku Mahram
“Belum tidur, Silmi? Ini sudah larut malam, nanti masuk angin lagi!” kata Kak Saada yang penuh di lumuri kecemasan.
Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
“Belum tidur, Silmi? Ini sudah larut malam, nanti masuk angin lagi!” kata Kak Saada yang penuh di lumuri kecemasan.
“Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri menuduh ana mengkhianati Aisyah."
Gamis Remaja Kekinian |
Alhamdulillah beberapa hari program tes berjalan lancar. Tes Fadia dan Habibah juga lancar, in sya Allah mereka akan lulus. Nadhirah melakukan beberapa kali kesalahan.
“Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Banjarku sambil menoleh Zaid. Aku tak mengerti kenapa dia terlihat begitu santai.
Hari ini, hari hantaran Aisyah. Sejak kemarin di rumah Aisyah sudah mulai sibuk. Dan hari ini juga jadwal tes hafalan 30 juz. Ada 30 santri putri, yang terdaftar. Di bentuk 6 team penjaga. Tiap team terdiri dari 4 orang. Dua orang ustadzah dan dua santri.
"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"
"Entah. Itulah sebabnya ana ingin merenung di sini. Memikirkan dengan jernih semua apa yang telah Allah atur untuk ana."”
"Maafkan, ana. Tak seharusnya ana ke sini."
"Bukan begitu. Ana malah senang dengan perhatian anti. Jujur, mungkin saat ini, hanyalah anti yang bisa memahami perasaan ana. Ana sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan perasaan ana. Perasaan ana benar-benar kacau."
"Sabar, ya. Ikhlas." Syifa memegang tanganku.
Aku mengangguk.
"Oh, iya, bagaimana dengan anti?"
"Maksudnya?"
"Maulana Harits??"
"Oh itu..., dia sudah menolak," jawab Syifa sendu.
Aku jadi merasa bersalah menanyakannya. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku tak menyangka Maulana Harits benar-benar menolaknya.
Apa yang kurang dari Syifa. Cantik, pintar dan berkelas, masih sekufu dengan Maulana Harits, yang katanya anak seorang kyai. Jodoh. Aku benar-benar tidak mengerti.
"Sabar, ya. Mungkin belum jodohnya,"” kataku lembut.
Syifa tersenyum pahit.
"Bukannya ana sangat memimpikan pernikahan, tapi… ."
Aku diam saja, menunggu kelanjutannya.
"Ana cuma merasakan kepahitan dalam menjalani ketidakberuntungan persoalan cinta. Dulu ana menyukai teman kakak ana, tapi laki-laki itu sedikit pun tak menaruh perhatian pada ana. Karena tak tahan memendam rasa cinta, ana menyatakan terus terang perasaan ana padanya. Tapi, apa balasannya?" Syifa menatapku. Aku tetap tak bergeming. Aku bisa menebak dari keketiran kata-katanya.
“Dia menolak cinta ana. Dan, kemarin? sempat bertunangan dengan laki-laki yang dijodohkan Kyai Ibrahim. Entah kenapa, tanpa alasan yang jelas, dia memutuskan pertunangan. Dan sekarang ana lagi-lagi ditolak oleh seorang laki-laki."
“Ya, mungkin dengan berbagai alasan yang tidak kita ketahui, tapi pada intinya mereka memang belum berjodoh dengan anti?" kataku hati-hati.
Saat ini dia sedang terluka, aku sangat takut perkataanku malah menambah lukanya.
"Iya, ana sadari itu. Pada hakikat memang belum berjodoh. Tapi segala sesuatu pasti ada sebab. Kenapa mereka menolak ana? Apa yang kurang dalam diri ana?"
"Mungkin masalahnya, bukan permasalahan ketertarikan pada kecantikan, keindahan, atau kelebihan lainnya. Tapi pada persoalan hati, persoalan cinta." Aku menjiplak perkataan Farah kemarin.
Aku juga teringat cerita Aisyah, tentang Zaid menolak seorang gadis Yaman yang cantik. Cinta. ya, cintalah alasannya. Siapa pun tak bisa memaksakan untuk jatuh cinta atau menghindar dari cinta.
"Mungkin."
"Jadi persoalannya, bukan mereka tidak menyukai anti, hanya saja mungkin dalam hati mereka ada orang lain," ujarku sambil merenung.
Aku membayangkan, bagaimanakah Zaid bersikap penuh cinta pada Aisyah? Sedangkan dalam hatinya ada orang lain. Aku telah bersalah dalam hal ini. Tidak. Kelebihan Aisyah akan menghapus semua sosokku dalam kehidupan Zaid. Masalahnya aku tak bisa menjauh dari Zaid. Ya, Allah tuntun hati-hati kami.
Kupandangi Syifa, sepertinya hatinya masih galau.
“Ayolah, laa tahzani! Ana yakin, ada seorang laki-laki yang mencintai anti, hanya saja saat ini kalian masih belum bertemu. Ibtasimi1," kataku berusaha menyemangatinya.
Syifa tersenyum tipis, “nti, Silmi bisa saja. Syukran. Barakallahu fiik.
"Wa iyyaki."
Aku kembali menatap bintang. Indah sekali. Apa yang dilakukan Zaid saat ini, ya? Apakah dia masih menyukai menatap bintang? Makan keripik kentang?
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Terlalu banyak kenangan indah yang kami lalui. Terlalu banyak sejarah, yang mengikat hati kami.
"Ehmm.. Senyum-senyum sendiri, ingat apa hayoo?”
"Kita shalat tahajud dulu, yuk,” kataku tanpa menghiraukan godaannya.
***
Sekitar jam delapan pagi, setelah sarapan kami memulai membentuk halaqah. Fadia, Nadhirah, Habibah dan aku. Hasil undian yang keluar adalah nama Habibah.
Jam 12, kami berhenti, persiapan shalat Zuhur, setelah shalat Zuhur, kami mulai lagi. Begitulah seterusnya, kami berhenti, ketika persiapan shalat, makan dan keperluan masuk WC.
Pada awal-awalnya, Habibah membaca dengan sangat lancar, ada kesalahan sedikit-sedikit, tapi setelah 15 juz ke atas mulai lambat, terlebih lagi 20 ke atas, dia sudah kurang lancar. Berkali-kali dia lupa, bahkan ketika diingatkan pun, Habibah tidak bisa melanjutkan. Sampai akhirnya dia selesai.
Catatan kuberikan padanya, disertai dengan keterangan. Aku memberi pesan pada agar menjaga stamina. Karena sepertinya dia sangat kelelahan, sehingga konsentrasinya buyar, selain itu juga melancarkan bacaan 15 juz ke atas, sampai benar-benar lancar. Agar lidah benar-benar terbiasa, karena adakalanya, walaupun kita tidak bisa konsentrasi seratus persen, tetapi jika benar-benar lancar, bisa saja kita membacanya di luar alam sadar. Karena sudah benar-benar hafal. Seperti halnya, berjalan menuju sebuah jalan yang sering kita lalui. Walau berjalan sambil mengkhayal, kaki tetap saja melangkah ke arah tujuan, tanpa harus selalu di ingatkan oleh akal.
Sedangkan Nadhirah, bermasalah pada ayat-ayat mutasyabbihat. Dia sering terjungkal, ketika berhadapan dengan ayat mutasyabbihat. Mungkin waktu pengulangan hafalan, Nadhirah kurang cermat membedakannya. Allahu a'lam.
Aku hanya bisa menyuruhnya mencatat ayat-ayat mutasyabbihat yang sulit baginya, atau melanjutkan ke ayat berikutnya. Terus mencatat sampai benar-benar lancar, menulis tanpa ada kesalahan, menulis sampai betul-betul hafal. Memang benar-benar memerlukan kesabaran. Namun, jika dia benar-benar menaruh perhatian, insya Allah dia bisa.
Sedangkan Fadia, dia berjanji akan sam’an dengan temannya, yang kebetulan lagi haid. Jadi temannya bisa fokus membantunya. Alhamdulillah satu pekerjaan selesai. Semoga Allah memudahkan langkah mereka.
Selanjutnya aku menaruh perhatian, anak-anak ku tes per tiga juz. Setidaknya aku punya waktu tiga hari untuk mereka. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, dengan hasil yang memuaskan. Dan malam ini, aku ingin membaca surat balasan dari Hans. Sudah berapa hari yang lalu kuterima surat ini, melalui Helena. Namun, baru sekarang aku bisa membacanya. Lagi-lagi di tempat biasa. Tempat yang menjadi saksi bisu, aku merenung, berpikir, dan sesekali ditemani Syifa.
Assalamu ‘alaikum warahmatullah.
Alhamdulillah, kabarku baik. Semoga anti juga baik-baik di sana. Aamiin.
Alhamdulillah, ana terima surat anti dengan lapang dada. Awalnya ada sedikit goncangan, tapi ana yakin, ini semua adalah kehendak Allah. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.
Iya Ukhti, ana memahami, bahkan ana senang, Ukhti lebih memilih bakti kepada orang tua, daripada mendahulukan perasaan sendiri. Dan ana pun tidak akan senang, bila anti mendahulukan pilihan anti dari pada orang tua. Keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua.
Terima kasih Ukhti, atas doanya. Semoga anti juga mendapatkan pasangan, yang selalu menyayangi dan membimbing anti dalam agama. Aamiin.
Andai boleh meminta. Ana minta, sepeninggalan ana nanti, ana minta tolong perhatikan Helena. Dia telah ditinggalkan ibu, dan sekarang ana terpaksa meninggalkannya lagi untuk sementara. Ini akan membuatnya sedih lagi. Insya Allah, dengan kehadiran anti, Helena akan terhibur dan merasakan kasih sayang. Helena sangat menyukaimu.
Sebelumnya, ana ucapkan Terima kasih. Maafkan, jika ada kesalahan ana dan adik ana.
Barakallahu fiikum. Jazakumulah khairan katsira.
Hans.
Alhamdulillah. Betapa besar hatimu. Semoga kamu berjodoh dengan gadis cantik nan shalehah.
Setelah menemui Fadia, Nadhirah, dan Habibah tadi, langsung teringat pekerjaanku yang belum selesai. Hari ini harus selesai. Menyalin nilai santri ke buku raport, memeriksa catatan laporan tahfiz, memberi jawaban kepada Hans. Ah, pekerjaan ini rasanya berat sekali. Betapa aku masih ingin ikut bersamanya. Walaupun hatiku telah terpaut kepada Zaid, tapi aku merasa pergi bersama Hans adalah jalan yang terbaik.
Astaghfirullah, bukankah Allah lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya?
Setelah selesai menyalin nilai ke raport santri, terbersit mendahulukan menulis surat dulu kepada Hans, tapi di sisi lain, aku khawatir akan melibatkan emosi lagi, alih-alih nanti malah menelantarkan pekerjaan lainnya. Maka kuputuskan memeriksa catatan tahfiz santri dulu.
Ada kebahagiaan lagi yang menyusup ruang hati, ketika menatap satu persatu catatan-catan tahfiz santri. Ada yang baru 3 juz, 6, bervariasi, bahkan yang sudah 15, 20, bahkan 21 juz. Anugerah yang sangat indah buatku. Betapa aku bahagia melihat hasil ini, dan aku tak ingin kebahagiaan hilang karena kelalaianku.
Langsung saja aku catat nama-nama santri disertai dengan berapa hafalan mereka. Mereka akan kuberi tugas, menguatkan hafalan dulu, setelah itu mereka akan ikut tes hafalan halaqah 3, juz, 6, juz, 9, 12, 15, 21, 24, dan 27 juz.
Sebenarnya sistem di sini menggunakan sistem kelas perlima juz. Kelas satu mereka yang hafalannya di lima juzz pertama. Begitu seterusnya perlima lima juzz, puncaknya di kelas enam.
Tapi berbeda denganku. Aku dikhususkan memegang santri yang mempunyai banyak masalah dalam proses menghafalnya, atau dengan kata lain, mereka paling terlambat dalam menghafal.
Dengan fokus memerhatikan mereka maka akan menemukan kelemahan mereka. Seperti Helena, ia kesusahan beradaptasi dengan lingkungannya sehingga perasaannya selalu buruk hingga akhirnya juga berpengaruh pada kesehatannya. Kesehatan buruk juga akan berdampak pada kinerja fisik dan otak.
Beda lagi dengan Cahya. Cahya ternyata memang daya ingatannya sangat lemah, tapi ia antusias dalam ilmu. Karena itulah, aku pinjamkan buku tafsir yang telah diberikan Zaid padaku. Alhasil, ternyata hasil luar biasanya. Ia menghafal dengan pemahaman. Tahun pertama dia sangat kesulitan, ia sempat menyerah. Alhamdulillah, setelah dengan memakai metode ini, dua tahun ia bisa ikut tes untuk tahun ini.
Alhamdulillah. Semoga Allah mudahkan.
Mereka tak kuizinkan menambah hafalan, sebelum mereka lulus dalam halaqah-halaqah tes tersebut, sesuai hafalan yang mereka miliki. Aku tak ingin apa yang menimpa padaku, terjadi pada santri-santri bimbinganku juga. Cukup satu kali kehilangan tongkat.
Dulu aku terlalu bernafsu menyelesaikan hafalan. 3 tahun sudah kuselesaikan setoran 30 juz, tapi giliran persiapan tes, ternyata hafalanku berantakan. Fokusku, saat itu hanyalah menambah dan menambah, sehingga aku keteteran dalam menjaganya. Alhasil, hampir dua tahun kemudian, baru aku bisa menyempurnakan 30 juz. Satu tahun mengabdi, tahun berikutnya baru aku mengikuti program alim. Program menelaah kitab-kitab.
Aku sangat menyesali kerakusan dalam menghafal, kini kurasakan hikmahnya. Setidaknya tidak akan terjadi pada anak bimbinganku, selama mereka mau patuh dengan petunjuk yang kuatur. In sya Allah.
Lima orang 3 juz, dua orang 9 juz, dua orang 12 juz, tiga orang 15 juz, sisanya lima orang, belum mencapai 3 juzz.
Dibanding Ustadzah yang lain, aku yang paling sedikit memiliki murid. Tapi, Alhamdulillah.
Terima kasih, Ya Allah, semoga semua pahala ini mengalir kepada semua orang yang telah ikut membantuku berada di sini.
Sekarang tinggal menulis surat untuk Hans. Aku tersanjung dengan perhatian Hans padaku. Gadis mana yang tidak tersanjung dengan perhatian seorang Hans? Hans, yang sempat menjadi tempat harapanku. Membawaku pergi ke Mesir. Namun, Allah berkehendak lain. Semoga Hans memahami dan tidak terluka dengan jawaban yang akan kukirim padanya.
"Assalamu ‘alaikum warahmatullah.
Kaifa hailuk, ya Akhi? Semoga Allah selalu menjaga dan merahmatimu selalu. aamiin.
Pertama, ana ucapkan Terima kasih atas segala kebaikan dan perhatian yang antum berikan padaku. Ana sangat tersanjung. Ana tersanjung dengan lamaranmu, tersanjung dengan ajakanmu ke Mesir. Sungguh, ana sangat tersanjung sekali. semoga Allah juga menyenangkan hati antum.
Sebelumnya ana minta maaf, karena tidak bisa menerima lamaran antum. Bukan ana tak menaruh perhatian pada antum, hanya saja ibu ana telah menerima laki-laki lain untuk ana. Maka tiada jalan lain, selain mentaatinya. maafkan atas kelemahan ana. Semoga antum tidak terluka dan dapat memahaminya.
Semoga antum menemukan gadis shalehah yang cocok untukmu, yang bisa menemanimu belajar ke mana pun. Gadis yang taat pada Allah, Rasul-Nya, dan padamu.
Baarakallahu fikum. Jazakallah khairan katsira.
Wassalam.
Silmi.
Tanpa sadar, air mataku menetes. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaan ini, ketika menulis surat, dan aku sendiri bingung kenapa begitu. Ada rasa haru, tapi ada juga rasa sedih. Sedih kenapa? Bukankah aku tak mencintai Hans? Bahkan, niatanku menerima hanyalah aku ingin Hans membawaku sejauh mungkin. Lantas kenapa aku sedih atas apa yang terjadi? Apakah aku mulai menyukai Hans? Entahlah. Kurasa aku normal, bila aku mulai menyukai laki-laki seperti Hans.
***
"Belum tidur, Silmi?"
Aku mengangkat kepalaku, memandang ke arah suara. Syifa.
"Belum ngantuk. Anti sendiri?"
"Tadinyaa sudah tidur. Barusan terjaga, dan kulihat anti tidak ada di kamar. Jadi ana ke sini. Ana yakin betul, anti ada di sini."
Syifa ikut bersandar di dinding, tempat yang biasa aku kunjungi untuk berbagi kisah.
Tanpa sadar aku melirik pergelangan. Aku lupa. Arlojiku sudah tidak bersamaku lagi.
"Sudah jam berapa?" tanyaku lirih.
Syifa memandangku sesaat, beralih ke pergelangan, lalu berucap, "Hampir jam 12. Arlojinya mana? Sudah dimuseumkan?"
Nada mengejeknya membuatku tersenyum.
Syifa bersandar di dinding dengan mata terpejam. "Kenapa belum tidur? Masih belum move on?"
"Tidak. Ana cuma ingin merenung, setidaknya untuk malam ini, ana ingin menatap langit. Besok-besok, ana akan sibuk. Persiapan tes untuk Fadia, Habibah dan Nadhirah. Dan ana sudah meminta anak-anak ana tes halaqah per lima juz. ”
Syifa membuka matanya, lalu menghadapi.
"Silmi, bukankah setelah tes selesai, kita menyiapkan persiapan acara khataman? Dan itu bisa juga melibatkan santri, tak terkecuali anak-anak yang ada di bawah pengawasanmu?"
"Iya, ana sadar itu. Semuanya sudah ana catat, rencananya sesudah selesai mendengarkan hafalan Fadia, Nadhirah dan Habibah. Ana sudah mengkonfirmasi, siapa-siapa yang siap menjadi penjaganya."
"Kenapa, anti begitu berambisi mengatur semua ini? Bukankah anak-anak bisa tes halaqah, setelah mereka istirahat liburan dan masuk kelas lagi?"
“"Ana tak yakin, apakah ana masih di sini setelah itu," sahutku berusaha menahan gelombang di hati.
"Apaa?" Syifa mengangkat alis, “"apa, anti mau keluar dari sini, setelah pernikahan Ustadzah bAisyah?"
"Mungkin begitu. Bukan karena pernikahan Aisyah dengan Zaid."
"Lantas?"
"Karena ana sudah ditunangkan."
"Masya Allah… ."
Mata Syifa berbinar. Mendadak binaran matanya pun turun seketika, karena melihat sikap sayupku, "dengan siapa?"
“Fahri, Kakaknya Zaid."
"Apa???" Syifa menjerit tak percaya, "Fahri, kakaknya Zaid? Apalagi ini, Silmi?"
Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini kenyataan, Syifa," tegasku.
"Bagaimana dengan anti? Maksudku..., ana sendiri tidak tahu harus ngomong apa. Anti mencintai Zaid, tapi anti menikah dengan kakaknya. Ini, sulit dimengerti."
"Beginilah yang realitanya, Syifa," sahutku. Pandanganku kosong, menerawang entah kemana. Seakan-akan menembus angkuhnya dinding yang ada di depanku.
"Andai..., andai ana bisa. Ana pun tak ingin seperti ini. Bahkan sebelumnya, ana ingin pergi dari sini, ikut Hans. Tapi, tanpa ana ketahui, Ibu telah menerima lamaran Fahri.”
“Hans?" Syifa memiringkan kepalanya.
"Iya, Hans sempat melamar ana, dan dia mengajak ke Mesir karena dia ingin kuliah di sana. Kupikir inilah jalan yang ditawarkan Allah untukku, agar bisa jauh dari Zaid. Ternyata tidak, malah semakin dekat."
"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"
"Silmi," pekik Fitri ketika melihat kedatanganku. Sesaat Fitri mengumpat, dia kecolongan, Hilma lebih dulu memelukku. Mata fitri memelotot, Hilma menjulurkan lidahnya. Tingkah mereka menciptakan tawa.
"Antunna ini terlalu lebay, kaya berpisah sekian tahun saja," kataku sambil tertawa.
"Bukan sekian tahun, Ukhti, seperti puluhan tahun malah," balas Fitri.
"Oya, berarti ana sangat dirindukan dong?!" godaku.
"Sangat," sahut Fitri mantap.
"Alah, Fitri. Palingan rindu oleh-olehnya," celetuk Hilma.
"Ana memang rindu, kok. Anti jahat, Hil, bikin malu saja. Walaupun beneran ya jangan dibilang-bilang!” Fitri cemberut, pipinya semakin bulat. Spontan kami tergelak.
"Ga apa-apa, Fit, sekali-sekali jujur untuk masalah itu. Kalau seandainya ana ga paham, terus semua oleh-oleh ana kasih ke anak santri bimbingan ana semuanya, gimana? Hayoo… ."
"Ah, Silmi. itu ga mungkin. Ana tahu, Silmi itu teman ana yang paling baik."
Aku mencibir, sambil menyerahkan kantong plastik berisi oleh-oleh padanya. Sudah kusiapkan untuk mereka. Setelah meletakkan tas di dekat lemariku, aku mendekati Syifa dan mengulurkan tangan.
"Apa kabar, Syifa?"
Rinduku menyerbu hingga tak kuasa untuk tidak memeluk. Syifa sudah seperti kakakku sendiri. Umur kami memang selisih tiga tahun. Dia tiga tahun lebih duluan dariku di pondok ini. Hanya saja setelah khataman, dia keluar dari pondok ini.
Pondok ini adalah pesantren non formal, sehingga lulusan pondok ini tak bisa melanjutkan ke sekolah formal atau kuliah misalnya. Selain ikut menempuh pendidikan di pondok ini, Syifa tetap menjalankan pendidikan formal, bahkan ia sempat kuliah di universitas umum. Tetapi ternyata Syifa tak cocok dengan dunia luar yang menurutnya terlalu bebas. Ia risih saat mengetahui ada di antara siswa yang pacaran sambil menunggu kedatangan dosen. Akhirnya Syifa memutuskan kembali lagi ke pondok. Mengambil program alim, satu kelas denganku.
"Alhamdulillah, baik. Anti?" Aku senang sekali melihat binaran kebahagiaannya.
"Alhamdulillah, sudah baikan," sahutku dengan memberikan senyum yang tak kalah indahnya.
"Aku memang bahagia sekali hari ini. Bertemu teman-teman seperjuangan, bukankah sangat membahagiakan? Persahabatan itu menjadikan semuanya menjadi indah. Begitu juga persahabatanku dengan Aisyaj. Walaupun ada cinta membentang merah dalam persahabatan kami, aku yakin persahabatan itu akan tetap indah.
Aisyah, sudah pagi tadi aku menjenguknya, sekalian mengantar oleh-oleh, dodol asli dari Kandangan. Wajah semringah menularkan senyum di bibirku. Tak lupa dia mengabariku, hari hantarannya, pernikahan, resepsi di sini dan di rumah Zaid.
Aku manggut-manggut saja, pura-pura serius mendengar. Sebenarnya hatiku menerawang entah kemana, lagi pula Tante Kurnia sudah memberitahukan itu. Aisyah memintaku menemani di hari hantaran nanti, tapi aku tak bisa menjanjikan dengan alasan sibuk sekali. Sebenarnya jika mengingat dia sahabat karibku, sudah semestinya aku akan berusaha meluangkan waktuku. Hanya saja..., aku ingin menghindar.
Kini sudah tertumpuk di depanku kertas-kertas jawaban santri dan catatan perkembangan tahfiz santri asuhanku. Ada rasa jengah ketika menghadapinya, di sisi lain, ini cukup buatku untuk menyibukkan diri. Melupakan sesaat apa yang telah terjadi.
Lega, senang, inilah yang kurasakan, hasil nilai jawaban anak-anak pelajaran yang diamanahkan kepadaku. Semuanya membuatku puas dan bersyukur. Rata-rata di atas tujuh, kalau ada di bawah dari nilai itu, hanyalah beberapa orang saja. Artinya mereka memahami apa yang kusampaikan.
"Syifa, kapan tes 30 juz, apa sudah ditentukan harinya?"
Aku mengalihkan pandangan kepada Syifa. Kelihatan dia sudah santai. Mungkin pekerjaannya sudah selesai.
"Senin ini."
Syifa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari menelaah buku.
"Senin ini? Dimajukan, ya?"
“Iya. Soalnya, khatamannya mau dibarengkan dengan hari pernikahannya Aisyah. Pada hari khataman kan banyak wali santri, bahkan ibu-ibu pengajian yang datang, jadi sekalian saja. Setelah tes waktunya cuma dua minggu buat persiapan acaranya, juga para santri menyiapkan segalanya."
Kepalaku mengangguk. Teringat bagaimana khataman dulu. Lulus tes 30 juz suatu hal yang sangat menggembirakan. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama, karena aku harus berhadapan dengan pembiayaan khataman. Bukan biaya sedikit buatku, aku ke sini pun karena kebaikan Om Herman dan Zaid. Untunglah, Kak Saada menyanggupi semuanya.
Syifa terlonjak akibat pekikanku yang tiba-tiba. Aku panik ketika diingatkan akan tiga anak didikku. Apakah mereka sudah siap?
"Anti kenapa, Silmi? Koq panik begitu?"
"Aku teringat Fadia, Nadhirah, dan Habibah. Apa mereka sudah siap? Aku mencari mereka dulu," seruku sambil berlalu, tanpa memperhatikan responnya.
"Fadia, Nadhirah dan Habibah mana?"
Aku memanggil Fadia saati ia berjalan di lorong kelas. Ia tak langsung menjawab, mengedarkan pandangannya ke sekitar.
"Itu mereka, Ukht!" tunjuk Fadia ke pintu kelasnya. Terlihat Nadhira dan Habibah, berjalan ke arah kami.
“Ukhti mencari kami?" tanya Nadhira, setelah dia dan Habibah, mencium tanganku. Aku benar-benar tak suka hal ini. Aku sama halnya seperti mereka, namun aku harus menghargai posisiku, sebagai pembimbing mereka.
"Katanya Senin depan, jadwal tes. Apa antunna sudah siap?"
"Wajah Nadhirah dan Habibah berubah mendung.
"Ada apa, Nadhirah, Habibah?" Aku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku.
"Kami tak menyangka, jadwalnya dipercepat, Ustadzah. Kami tidak punya keberanian untuk maju," jawab Habibah dengan wajah memprihatinkan.
"Belum lancar betul, Ustadzah. Belum lagi, pada ayat-ayat mutasyabbihat. Jika bertemu ayat-ayat itu kadang malah membuat bacaan semakin kacau. Ana tak yakin, apakah bisa lancar dalam seminggu ini. Jadi ana pikir, ikut tahun depan aja, Ustadzah. Daripada dipaksakan, takutnya tidak lancar, malah membuat kami harus menanggung malu," kata Nadhirah.
"Kenapa berpikiran begitu? Gagal dalam berusaha, adalah hal yang biasa. kenapa harus malu? Lagi pula, kalau tahun depan, takutnya karena waktu semakin longgar, dan antunna berleha-leha, maka hafalan antunna… ."
Aku tak bisa meneruskan ucapanku, begitu melihat wajah bergidik mereka. Aku sendiri tak bisa membayangkan, hafalan yang ditanam, dipupuk dan dirawat sekian tahun, tercerai berai gara-gara kesalahan sendiri. Kesalahan yang dibuat-buat. Berleha-leha.
"Tapi," lirih Nadhirah.
"Bagaimana, kalau antunna simaan dulu sama ana? Nanti ana catatkan apa-apa kesalahannya, dan juga kesulitan-kesulitan lainnya. Setelah itu antunna coba memberbaiki kesalahan yang ana catatkan dan menaruh perhatian pada kesulitan antunna yang ana catatkan.
Gimana? Masing-masing mendapat waktu dua hari buat bergiliran. Kita berempat, sama-sama saling menjaga. Bisakan? Mau kan Fadia membantu kami?" Tanyaku sambil memalingkan pandangan ke arah Fadia. Fadia mengangguk pasti.
“Nah, sekarang bagaimana dengan antunna? Mau kan mencobanya? Ada waktu tiga hari untuk memperbaiki kesalahan dan mengatasi, mencermati ayat-ayat mutasyabbihat. Mau kan? Ayolah, ini kesempatan! Tak apa kita berlelah-lelah seminggu ini, ya."
Nadhirah dan Habibah saling berpandangan, tatapan-tatapan mereka seakan-akan pinta pendapat satu sama lain. Beruntungnya mereka memang sangat akrab, setidaknya mereka bisa saling menguatkan.
"Baiklah Ustadzah, akan kami coba," balas Nadhirah dan Habibah berbarengan, spontan juga melahirkan tawa yang menggelitik.
"Oke, hari ini boleh istirahat. Besok kita mulai, siapa yang duluan?" tanyaku penuh semangat.
"Nadhirah."
"Habibah."
Dua sahabat ini saling menodong satu sama lain membuat kami tertawa.
"Baiklah, kalau begitu nanti kita undi, ya? setuju?”
"Setuju." Koor tiga sahabat itu. Lagi-lagi kami tertawa. Ah, rasanya, aku ingin selamanya mengabdi di pondok ini.
***