Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Cerpen Religi"
El Nurien

Dendam Itu Tidak Baik

By: Yufi ria


🍒🍒🍒

Matahari bersinar terik, cahayanya menyilaukan. Bahkan saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi, kulit sudah terasa terbakar jika berada di tempat panas. Angin pun seperti sedang merajuk karena kini ia menghilang dan tidak menyapa memberi sedikit kesejukan.


Dalam suasana menjelang musim kemarau ini, aku dan anakku tetap menikmati sebagaimana hari biasa. Anakku, Rangga keluar rumah untuk bermain sedangkan aku menyelesaikan pekerjaan ibu rumah tangga. Kali ini, aku sedang menjemur pakaian di depan rumah.


Tak jauh dari keberadaanku, terlihat Rangga bersama beberapa temannya. Mereka sedang memainkan mobil remot. Ada empat anak dengan usia sepantaran Rangga yaitu tujuh tahun.


Mereka berlima bermain di halaman depan sebuah rumah yang sedang ditinggal pemiliknya keluar kota. Letaknya berhadapan dengan rumahku, hanya dipisahkan sebuah jalan yang cukup ramai oleh laju kendaraan bermotor.


Kegiatanku menjemur baju yang biasanya cepat, kini sedikit menyita waktu. Semua itu karena aku bolak-balik melihat aktivitas anak-anak yang gaduh di seberang sana. Saat aku memilih untuk lebih fokus menyelesaikan pekerjaanku, terdengar suara tangisan anak.


Segera aku berlari setelah melihat arah asal suara. Di sana, anakku sedang bertengkar dengan temannya. Anak yang tadi menangis, kini masih dalam aksinya. Semantara Rangga, terlihat marah dan adu mulut dengan teman yang lain.


"Ya Allah, mataku meleng dikit aja, langsung pada berantem gini." Aku menggerutu kesal.


Setelah aku melihat anak yang kulahirkan seperti sedang dikeroyok, hatiku bertambah dongkol. Mereka menyalahkan Rangga. Itu yang sepintas kudengar saat aku sampai di lokasi tujuan.


"Kenapa kalian bertengkar?" Aku bertanya sembari memindai satu per satu wajah polos bocah-bocah itu.


Semua anak terdiam dan menyisakan satu temannya yang masih sesenggukan. Aku sabar menunggu sampai ada yang membuka suara. Karena tak kunjung mendapat jawaban, aku beralih bertanya langsung pada Rangga.


"Rangga, kenapa tadi bertengkar?" Aku memasang wajah garang dengan mata menatap tajam ke arah Rangga.


Anakku menunduk dan menautkan jari tangannya. Sekilas ada penyesalan dalam tindak tanduk bocah itu. Namun, hal tersebut tak cukup bagiku. Masalah ini harus diselesaikan saat ini juga.


"Tadi Wahyu mukul aku, Bu! Terus aku pukul balik dia!" Rangga lantang berteriak.


"Tapi aku enggak sengaja tadi, lagian aku sudah minta maaf, kan?" Wahyu membela diri setelah tangisnya mereda.


Aku diam sambil mempertimbangkan langkah apa yang harus kuambil. Lalu, kutanyakan kebenarannya pada anak yang lain.


"Bener tadi seperti itu, Bagas, Rino, Adit?" Aku tatap para bocah itu bergantian, semuanya memberi jawaban dengan anggukan kepala.


"Tadi Wahyu tidak sengaja dan sudah minta maaf. Seharusnya tadi Rangga maafkan, bukan malah memukulnya. Sekarang, minta maaf, Nak!" Aku berkata lemah lembut pada anakku.


Rangga bukannya mengikuti apa yang aku katakan tapi malah berlari menuju rumah. Aku diam terpaku hingga suara pintu ditutup dengan kencang mengagetkanku.


"Astaghfirullahaladzim." Aku menghirup oksigen hingga memenuhi paru-paru lalu mengembuskannya perlahan. Hati ini sakit melihat tingkah anakku yang mulai jadi pemarah.


"Kalian lanjutkan dulu mainnya. Budhe mau bujuk Rangga dulu, ya?" ucapku pada anak-anak yang sudah kembali mulai asyik bermain.


Aku berjalan kembali ke rumah tanpa menunggu jawaban mereka. Dalam pikiranku berkecamuk banyak hal. Emosi menguasaiku kini. Ada gejolak amarah yang membuncah hingga sesak dalam dada. Rasa ini seperti akan meledak, hanya tinggal mencari sasaran.


Namun, aku menghentikan langkah kala tanganku hendak membuka pintu. Aku tidak boleh melampiaskan amarah pada Rangga. Akhirnya aku urungkan niatku masuk ke rumah dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku berkutat dengan cucian di jemuran.


Kulampiaskan emosi lewat baju-baju basah di tangan. Aku pelintir hingga tak menyisakan air dan menjemurnya dengan sedikit dibanting. Cara ini sangat efektif. Buktinya aku sekarang menjadi lebih tenang.


Rangga pasti merasakan sama halnya yang kurasa. Hanya saja sedikit berbeda karena dia masih bocah. Anak itu mungkin tidak terima jika aku menyalahkannya sehingga ia memilih marah.


Tak apa jika anakku marah, karena bagaimanapun dia butuh untuk meluapkan emosi yang dirasakannya. Yang perlu kulakukan hanyalah memberi sedikit waktu untuk meredakan emosi tersebut.


Aku memutuskan menyusul Rangga begitu selesai. Kurasa sudah cukup waktu yang kuberikan untuknya menyendiri.


Aku mengetuk pintu kamar Rangga yang tidak terkunci dan segera masuk begitu pintu kubuka. Kulihat anakku sedang meringkuk di kasur sambil memeluk guling. Segera kuhampiri dan kuelus rambut hitamnya.


"Nak, tahu tidak kalau zaman dulu nabi dan para sahabat pernah hloh disakiti?" ucapku sesaat setelah duduk di pinggir ranjang. Posisiku tepat di samping kanan anakku berada.


Aku sengaja tidak menyinggung masalah pertengkaran tadi dan memilih menceritakan kisah teladan dengan tujuan agar Rangga bisa mendapat hikmah dan pelajaran.


Anakku menatapku perlahan. Tampak air mata yang sudah mengering di kedua pipinya.


"Ahh … Rangga, jagoan kecilku bisa menangis juga," bisikku dalam hati.


"Benarkah, Bunda? Siapa yang berani melakukannya?" tanya Rangga penasaran. Ia pun mulai membenahi posisinya dan duduk di sampingku.


"Banyak, Nak. Bahkan Aisyah istri nabi pernah difitnah. Tapi, Rangga tahu tidak apa yang mereka lakukan terhadap orang yang sudah jahat itu?"


Aku biarkan anakku berpikir sejenak. Akankah ia bisa memberi jawaban yang sesuai inginku?


"Rangga salah ya, Bund?" kata Rangga mengagetkanku. Pertanyaannya sungguh diluar perkiraanku.


"Salah kenapa, Nak?"


"Tadi Rangga mukul Wahyu?"


"Bunda boleh tanya enggak, Nak? Tadi kenapa Rangga mukul temannya?" ucapku setelah beberapa saat terdiam.


"Aku diajari Toni, Bund. Dia bilang kalau ada yang nakal kita harus bales!"


Toni adalah teman sekolah Rangga dan ia terkenal dengan kebandelannya. Anak yang berperawakan tinggi dan besar itu sering berkelahi di dalam maupun di luar sekolah.


Sekarang masalah tentang perubahan Rangga menjadi pemarah terjawab sudah. Ia meniru teman sekelasnya.


"Memang benar kalau ada yang nakal kita enggak boleh diam saja. Tapi dilihat dulu, ya, Nak! Kalau Wahyu tadi enggak sengaja dan sudah minta maaf. Jadi Rangga harus memaafkan. Kalau ada teman yang mukul Rangga, boleh dibalas. Tapi akan lebih baik kalau Rangga berbesar hati mau memaafkan.


Kita tiru Nabi Muhammad dan para sahabat. Mereka ikhlas memberi maaf pada orang yang sudah zalim bahkan tetap berbuat baik pada orang tersebut. Rangga mau, kan?" tanyaku.


"Iya, Bund, Rangga mau. Em … Bunda enggak marah, kan?" tanya anak itu ragu.


Aku tersenyum hingga terlihat deretan gigi putihku. Kemudian, kusugar rambut depan Rangga dan mencium keningnya.


"Tentu tidak, Sayang. Anak sholehnya Bunda, sekarang minta maaf sama Wahyu dan teman-teman terus main lagi yang rukun, ya!"


Ada binar bahagia di kedua bola mata anak semata wayangku itu. Semudah dan sesederhana itu mengembalikan suasana hati Rangga.


Anakku mengangguk dan berlari keluar menuju teman-temannya. Tak lupa kuiringi dengan doa untuknya. Tetap jadi anak sholeh ya, Nak!


***


Klik gambar untuk melihat Cerita lain dari Yufi Ria.





Dendam Itu Tidak Baik By: Yufi ria 🍒🍒🍒 Matahari bersinar terik, cahayanya menyilaukan. Bahkan saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi, k...
El Nurien
El Nurien



🌸SURGAKU MASIH ADA 🌸 
Oleh : Rita Bune Asyrofi 


Jam tujuh pagi, wanita yang menggendong anak balitanya tampak kepayahan menata beberapa barang di atas sepeda motornya. Sebuah rantang berisi makanan tergantung di bagian depan dan sebuah kardus berukuran sedang ia tali di belakang.


"Bi, Ummi berangkat dulu, ya! Insya Allah nanti jam makan siang Ummi sudah pulang," ucap Nayla kepada suaminya yang tengah asyik memainkan ponsel sambil duduk-duduk santai di teras depan. 


Sang suami hanya mengangguk tanpa menoleh sedikit pun. Kemudian, wanita berparas ayu itu mengayunkan langkah, menghampiri sang suami untuk berpamitan.


Nayla, ibu muda yang baru dikaruniai satu anak itu harus bolak-balik ke rumah orangtuanya semenjak ibunya lumpuh satu bulan yang lalu. Setiap pagi, ia menggendong anak balitanya dan membelah padatnya jalan raya demi sampai ke rumah orangtuanya. 


Di sana, Nayla memandikan ibunya, memasak untuk makan siang dan makan malam kedua orangtuanya. Sedangkan untuk sarapan, Nayla selalu membawakannya dari rumah.


"Nak! Sudah hampir jam makan siang, kamu tidak pulang?" tanya bapaknya Nayla yang sedang mengawasi cucu perempuannya bermain boneka.


"Sebentar lagi, Pak," jawab wanita itu singkat. Ia baru sempat menata belanjaan yang tadi pagi ia bawa.


"Astaghfirullah, diapers-nya lupa," pekik Nayla. Ia terlihat cemas mengingat diapers ibunya hanya tersisa satu lembar saja. 


Dengan cepat, Nayla melesat ke toko terdekat untuk membeli barang yang dibutuhkannya. Setelah semuanya beres dan diapers sudah ia dapatkan, istrinya Faiz itu segera pulang ke rumahnya sebelum sang suami terlebih dahulu tiba. 


Saat Nayla baru memasuki gerbang rumahnya, deru mobil Faiz terdengar dari arah belakang. Suaminya turun dari kursi kemudi dengan tatap wajah garang.


"Baru pulang!" bentak Faiz.


Nayla menunduk. Ia merasa bersalah. Biasanya jam segini makan siang sudah tertata rapi di meja makan, tetapi kali ini berbeda.


"Maaf, Bi, tadi Ummi pergi belanja sebentar," jawab Nayla lirih, nyaris tak terdengar.


"Oh iya, Bi, tadi Ummi masak makanan kesukaan Abi. Ada sayur santan bambu muda. Yuk, Bi, masuk!" Nayla berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan mengalihkan pembicaraan. Biasanya suasana hati suaminya akan membaik bila ia mendengar sayur santan bambu muda atau yang sering disebut dengan sayur lodeh bung oleh masyarakat Jawa.


Di meja makan, saat mereka saling menyantap makan siang, Nayla dan Faiz sama-sama terdiam. Hanya ada bunyi dentingan sendok beradu dengan piring yang memecah kesunyian di antara mereka.


Mulut mengunyah, tetapi hati gelisah. Begitulah yang dirasakan Nayla. Ia takut bila suaminya kembali protes karena ia sibuk merawat ibunya.


"Bi, maafin Ummi, ya," tutur Nayla saat mereka telah menghabiskan makan siangnya. Akan tetapi, Faiz bergeming. Laki-laki bergelar suami itu tak menghiraukan ucapan sang istri.


Hingga hari pun berganti, perang dingin sepasang suami istri itu masih belum reda. Nayla tampak mengelap peluh di dahinya menggunakan ujung baju yang ia kenakan. Ibu rumah tangga itu kembali membasuh peralatan memasaknya di bawah guyuran air dari kran. Suara gemericik air yang mengucur itu seakan menjadi melodi indah yang menemaninya saat dilanda kesepian.


Hingga tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki dari arah tangga. Wanita berdaster itu pun mendongak dan menyapa orang-orang terkasihnya.


"Assalamu'alaikum ganteng dan cantiknya Ummi," sapa Nayla dengan lembut. Namun, yang disapa hanya menjawab salam itu dengan lirih. Faiz kembali melenggang naik ke lantai dua, setelah ia mendudukkan anak semata wayangnya di sofa, tanpa menyapa istrinya.


Nayla mengembuskan napas berat. Tanpa sadar kedua matanya memanas. Untuk mengurangi rasa yang berkecamuk dalam hati, ia meraih tubuh mungil putrinya dan menghujani dengan ciuman kasih sayang.


Beberapa saat kemudian, Faiz kembali turun dengan pakaian yang sudah rapi dan wangi. Faiz langsung melemparkan pertanyaan kepada istrinya tanpa basa-basi.


"Ke rumah Bapak lagi?" tanya Faiz sambil menatap tajam mata sang istri.


Nayla yang tengah menyuapi anaknya sarapan pun tertegun mendengar pertanyaan suaminya itu. Faiz tahu betul jika Nayla harus ke rumah orangtuanya setiap hari. Bapaknya yang menderita lemah jantung tidak mungkin mengurusi ibunya sendirian. Di sinilah peran anak dibutuhkan.


Nayla pun akhirnya mengangguk untuk menjawab pertanyaan suaminya.


"Abi muak dengan kesibukan Ummi akhir-akhir ini. Waktu Ummi banyak tersita karena mengurusi wanita lumpuh itu," ucap Faiz.


Air mata Nayla seketika luruh. Ia tersakiti oleh ucapan suaminya. Tidak seharusnya Faiz berbicara begitu tentang mertuanya. Namun, Nayla mencoba menekan egonya agar tidak tersulut bara yang sama.


"Maafin, Ummi, Bi. Ummi sudah berusaha sebaik mungkin agar bisa mengurus Abi dan anak kita," tutur Nayla pelan.


"Ummi juga bangun lebih pagi agar tetap sempat mengurus rumah sebelum pergi. Ummi tahu, Ummi banyak kekurangan. Ummi harap Abi berbesar hati." Dengan isakan yang tertahan, Nayla mencoba menjelaskan.


"Berbesar hati kata Ummi? Pagi sampai siang Ummi di rumah Bapak. Ummi tidak ada waktu lagi untuk memerhatikan Abi. Ummi sekarang tidak pernah kirim pesan ke Abi. Untuk sekadar tanya, Bi, sudah perjalanan pulang? Bi, tokonya ramai? Bi, nanti mau dimasakin apa? Ummi sudah tidak peduli lagi dengan Abi." Faiz masih bersungut-sungut. Ia bahkan tidak sungkan berbicara keras di hadapan sang putri.


"Astaghfirullah." Hanya itu yang mampu terucap dari mulut ibu beranak satu tersebut.


"Abi hanya mau bilang sama Ummi. Izinkan Abi menikah lagi agar Ummi ada yang bantu mengurus Abi dan juga rumah ini."


Ketegaran Nayla bagai dijatuhkan ke jurang terdalam tanpa belas kasihan. Mulut Faiz begitu ringan mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi. Dunia Nayla seakan runtuh, kokohnya pilar kesetiaan rasanya telah tumbang.


"Abi melakukan ini karena Abi kasihan kepada Ummi. Ummi kerepotan, Ummi pun pasti lelah mengurus kami semua. Niat Abi baik, supaya Ummi ada yang membantu."


Lidah Nayla mendadak kelu. Laki-laki yang digadang-gadang paling setia dalam rumahnya pun ternyata tega menorehkan luka.


"Nanti sore Abi akan ajak calonnya ke sini. Ummi siap-siap!"


Hampir saja Nayla limbung karena kaget mendengar ucapan suaminya. Secepat itu Faiz mendapatkan calon adik madu untuknya. Nayla benar-benar tak menyangka.


"Berikan Ummi waktu untuk menata hati, Bi," tutur Nayla tak bersemangat.


🌻🌻🌻


Di kediaman orangtuanya Nayla yang asri, wanita dengan luka hati itu menatap bunga matahari yang tumbuh subur di pekarangan sambil membayangkan masa-masa awal menjadi seorang istri. Nayla melihat bunga berwarna kuning terang nan cantik itu berdiri sempurna di bawah terik matahari yang menyengat.


Lihatlah bunga itu, ia berdiri kokoh bermandikan terik sinar matahari. Bahkan, ia menjadikan panas itu sebagai temannya. Tidakkah kau ingin menjadi seperti dia yang tak kalah terhadap panasnya sengatan kehidupan. Bahkan ia terus mengikuti ke mana terik itu mengarah.


Senyum Nayla pun seketika terbit. Ia mulai berdamai dengan keadaan yang ada. Sebenarnya, Nayla bukannya menolak dimadu, hanya saja ia kecewa tehadap alasan suaminya.


Meringankan pekerjaan rumah dan membantu mengurus dirinya? Ah ... alasan Faiz sungguh mengada-ada. Mengapa tidak menawarkan pembantu saja? Bukankah lebih masuk akal?


Walau begitu, Nayla mencoba menerima. Malamnya, di atas sajadah dan di bawah pelukan sepertiga malam yang menentramkan, Nayla mengadu serta bermunajat, memohon jalan yang terbaik untuk masalah rumah tangganya. Tetes demi tetes air mata luruh menyapu pipi tirus wanita itu bersama dengan untaian doa tulus dari hati.


"Ya Rabb, jika ini adalah takdir yang Kau tulis untuk hamba, Insya Allah hamba ikhlas. Berikanlah kelapangan hati serta kemudahan hamba untuk menjalani. Engkau Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Mu dan hanya Engkaulah yang mampu membolak-balikkan hati manusia."


Nayla berusaha ikhlas dan tegar. Ia sudah mengambil keputusan akan mengizinkan nahkodanya membawa penumpang lain dan naik di kapal yang sama untuk berlayar.


Sayangnya, Nayla kembali kecewa. Ia mengira, suaminya akan membawa wanita sholehah untuk dijadikan madunya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Faiz membawa pulang wanita berpakaian minim bahan yang sudah ia kenal sebelumnya. Namanya Martha, ia salah satu karyawati di toko miliknya.


"Bi, apa Abi yakin terhadap pilihan Abi?" tanya Nayla sambil menatap wajah ceria sang suami.


"Sangat yakin, memang kenapa?" Faiz balik bertanya. 


Gemuruh di dada Nayla semakin kencang. Suaminya benar-benar telah dibutakan oleh cinta.


"Lihatlah pakaian Martha, Bi. Dia sama sekali tidak mencerminkan seorang muslimah yang baik," ucap Nayla hati-hati.


"Ah ... Abi tahu! Ummi pasti takut kalah saing dengan Martha, kan? Melihat postur tubuh Martha yang lebih tinggi, lebih cantik dan lebih langsing itu." Faiz memuji wanita lain yang belum sah menjadi istrinya tanpa rasa takut dosa.


Di mana Faiz yang dulu, Faiz yang selalu menjaga hati istrinya, Faiz yang selalu bertutur kata lembut dan Faiz yang selalu menjaga pandangannya. Nayla hampir tidak mengenali suaminya lagi.


"Astaghfirullah ... Allah ... Allah ...." Nayla terus berzikir sambil menahan gejolak hatinya yang tidak bisa dijelaskan.


"Dengan atau tanpa persetujuan Ummi, Abi akan tetap menikah dengan Martha. Dua minggu lagi akad akan digelar."


Hati Nayla terbakar. Bahkan hari akad pun sudah ditentukan oleh suaminya. Kali ini Nayla hanya bisa diam dan enggan kembali mengingatkan. Rasanya percuma mengingatkan orang yang dimabuk asmara. Terlebih lagi, ketakutan Nayla akan perzinaan lebih nyata.


🔥🔥🔥


Angin bertiup sangat kencang, membuat api cepat menjalar ke seluruh sudut bangunan. Jilatan-jilatan berwarna merah terang itu seakan menari-nari dan enggan dipadamkan. Jeritan serta raungan pemiliknya pun terdengar sangat memilukan.


"Ludes tanpa sisa, Umm." Faiz terduduk lemas di atas rerumputan dan Nayla mencoba menenangkan. Istrinya Faiz itu sebenarnya sama sedihnya, tetapi ia berusaha untuk tegar.


"Ikhlas, Bi. Harta bisa dicari, yang terpenting Abi dan semua karyawan selamat," ucap Nayla sambil menatap nanar pada puing-puing bangunan yang ludes dilalap si jago merah.


"Lalu bagaimana Abi bisa membayar tagihan dan hutang-hutang dagangan?" Faiz pun semakin tergugu.


"Kita pikirkan nanti. Allah pasti memberi jalan."


Setelah bencana kebakaran yang menghabiskan seluruh toko serta isinya itu, Faiz lebih banyak diam. Ia benar-benar terpuruk atas musibah yang menimpanya. Namun, bibir Faiz seketika mengembang kala melihat Martha mengayunkan langkah mendekatinya.


"Dik!" Baru saja Faiz hendak memanggil nama Martha, tetapi ia lebih dulu memotongnya.


"Aku ke sini cuma mau bilang. Pernikahan kita dibatalkan saja," ucap Martha sambil bersendekap dada.


"Tapi, kan?"


"Mas sudah jatuh miskin. Aku yakin, sebentar lagi rumah ini pun akan Mas jual untuk membayar hutang-hutang Mas. Aku enggak mau hidup susah, Mas!"


Faiz hanya diam mendengar omongan mantan pegawainya itu. Wanita yang dipilihnya menjadi istri kedua nyatanya hanya mencintai hartanya saja. Wajah laki-laki berkumis tipis itu semakin lesu.


Akan ada hikmah di balik musibah. Walau Nayla dan Faiz kehilangan seluruh hartanya, tetapi keutuhan rumah tangga mereka terselamatkan. Rumah yang dulu menjadi surga bagi mereka pun harus rela dilepaskan.


"Enggak apa-apa kita jual rumah ini, Bi. Asal kewajiban Abi tertunaikan, karena hutang harus dibayar."


"Lalu, kita tinggal di mana?"


"Di rumah Bapak dan Ibu," jawab Nayla semringah.


"Abi malu. Abi bukan menantu yang baik."


Nayla hanya menanggapinya dengan gelengan serta senyuman. Dengan langkah pasti, Nayla memboyong suami dan anaknya menuju rumah orangtuanya. Kini, mereka telah tinggal bersama mereka di rumah kayu sederhana.


Wanita yang ingin mengabdikan diri kepada orangtua dan juga suaminya itu kini bisa bernapas lega. Bahkan, Faiz pun turut membantu merawat mertuanya.


"Umm, Abi berangkat ke bengkel dulu. Ummi jadi keliling?" tanya Faiz sambil mengeluarkan sepeda tua milik mertuanya.


"Jadi, Bi. Ummi belum selesai bungkusi ini."


"Ya sudah, Abi berangkat dulu. Assalamu'alaikum."


Faiz mengayuh sepedanya dengan penuh semangat menuju lapak tambal bannya. Nayla yang melihat semangat suaminya kembali menggelora, tak henti-hentinya mengucap syukur. Hamdalah serta puji-pujian untuk Allah selalu ia dengungkan dari hatinya.


"Alhamdulillah, ya Allah. Nikmat-Mu sungguh luar biasa. Walau kehilangan harta benda, tetapi surgaku masih ada. Di rumah ini, jalan surgaku terbuka. Suamiku dan orangtuaku, merekalah surgaku." Nayla mengusap air mata bahagia yang merembes dari sudut matanya. Sedih itu telah berubah menjadi tawa. Duka itu telah berganti menjadi suka.


Bibir Nayla tertarik sempurna sambil mengelus-elus perutnya yang sedikit membuncit. Dengan lirih, wanita ayu itu mengajak janin dalam perutnya berbicara.


"Abi berangkat kerja dulu, ya, Sayang. Adik yang pintar. Yuk, kita juga berangkat jualan."


Sebelum berangkat, Nayla mengecup kening anak pertamanya yang tengah asyik bermain bersama kakeknya. Kemudian, sambil menenteng keranjang berisi rempeyek kacang, Nayla menyusuri jalanan menjajakan olahan masakannya.


"Rempeyek ... rempeyek kacang ...."


"Rempeyek ... rempeyek kacang ...." Suara Nayla terdengar bersahut-sahutan.


TAMAT.


Klik gambar di bawah ini untuk melihat kaya Bunda RitaAsy lainnya.





🌸SURGAKU MASIH ADA 🌸  Oleh : Rita Bune Asyrofi  Jam tujuh pagi, wanita yang menggendong anak balitanya tampak kepayahan menata beberapa ba...
El Nurien