Dendam Itu Tidak Baik
By: Yufi ria
🍒🍒🍒
Matahari bersinar terik, cahayanya menyilaukan. Bahkan saat jam menunjukkan pukul sembilan pagi, kulit sudah terasa terbakar jika berada di tempat panas. Angin pun seperti sedang merajuk karena kini ia menghilang dan tidak menyapa memberi sedikit kesejukan.
Dalam suasana menjelang musim kemarau ini, aku dan anakku tetap menikmati sebagaimana hari biasa. Anakku, Rangga keluar rumah untuk bermain sedangkan aku menyelesaikan pekerjaan ibu rumah tangga. Kali ini, aku sedang menjemur pakaian di depan rumah.
Tak jauh dari keberadaanku, terlihat Rangga bersama beberapa temannya. Mereka sedang memainkan mobil remot. Ada empat anak dengan usia sepantaran Rangga yaitu tujuh tahun.
Mereka berlima bermain di halaman depan sebuah rumah yang sedang ditinggal pemiliknya keluar kota. Letaknya berhadapan dengan rumahku, hanya dipisahkan sebuah jalan yang cukup ramai oleh laju kendaraan bermotor.
Kegiatanku menjemur baju yang biasanya cepat, kini sedikit menyita waktu. Semua itu karena aku bolak-balik melihat aktivitas anak-anak yang gaduh di seberang sana. Saat aku memilih untuk lebih fokus menyelesaikan pekerjaanku, terdengar suara tangisan anak.
Segera aku berlari setelah melihat arah asal suara. Di sana, anakku sedang bertengkar dengan temannya. Anak yang tadi menangis, kini masih dalam aksinya. Semantara Rangga, terlihat marah dan adu mulut dengan teman yang lain.
"Ya Allah, mataku meleng dikit aja, langsung pada berantem gini." Aku menggerutu kesal.
Setelah aku melihat anak yang kulahirkan seperti sedang dikeroyok, hatiku bertambah dongkol. Mereka menyalahkan Rangga. Itu yang sepintas kudengar saat aku sampai di lokasi tujuan.
"Kenapa kalian bertengkar?" Aku bertanya sembari memindai satu per satu wajah polos bocah-bocah itu.
Semua anak terdiam dan menyisakan satu temannya yang masih sesenggukan. Aku sabar menunggu sampai ada yang membuka suara. Karena tak kunjung mendapat jawaban, aku beralih bertanya langsung pada Rangga.
"Rangga, kenapa tadi bertengkar?" Aku memasang wajah garang dengan mata menatap tajam ke arah Rangga.
Anakku menunduk dan menautkan jari tangannya. Sekilas ada penyesalan dalam tindak tanduk bocah itu. Namun, hal tersebut tak cukup bagiku. Masalah ini harus diselesaikan saat ini juga.
"Tadi Wahyu mukul aku, Bu! Terus aku pukul balik dia!" Rangga lantang berteriak.
"Tapi aku enggak sengaja tadi, lagian aku sudah minta maaf, kan?" Wahyu membela diri setelah tangisnya mereda.
Aku diam sambil mempertimbangkan langkah apa yang harus kuambil. Lalu, kutanyakan kebenarannya pada anak yang lain.
"Bener tadi seperti itu, Bagas, Rino, Adit?" Aku tatap para bocah itu bergantian, semuanya memberi jawaban dengan anggukan kepala.
"Tadi Wahyu tidak sengaja dan sudah minta maaf. Seharusnya tadi Rangga maafkan, bukan malah memukulnya. Sekarang, minta maaf, Nak!" Aku berkata lemah lembut pada anakku.
Rangga bukannya mengikuti apa yang aku katakan tapi malah berlari menuju rumah. Aku diam terpaku hingga suara pintu ditutup dengan kencang mengagetkanku.
"Astaghfirullahaladzim." Aku menghirup oksigen hingga memenuhi paru-paru lalu mengembuskannya perlahan. Hati ini sakit melihat tingkah anakku yang mulai jadi pemarah.
"Kalian lanjutkan dulu mainnya. Budhe mau bujuk Rangga dulu, ya?" ucapku pada anak-anak yang sudah kembali mulai asyik bermain.
Aku berjalan kembali ke rumah tanpa menunggu jawaban mereka. Dalam pikiranku berkecamuk banyak hal. Emosi menguasaiku kini. Ada gejolak amarah yang membuncah hingga sesak dalam dada. Rasa ini seperti akan meledak, hanya tinggal mencari sasaran.
Namun, aku menghentikan langkah kala tanganku hendak membuka pintu. Aku tidak boleh melampiaskan amarah pada Rangga. Akhirnya aku urungkan niatku masuk ke rumah dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku berkutat dengan cucian di jemuran.
Kulampiaskan emosi lewat baju-baju basah di tangan. Aku pelintir hingga tak menyisakan air dan menjemurnya dengan sedikit dibanting. Cara ini sangat efektif. Buktinya aku sekarang menjadi lebih tenang.
Rangga pasti merasakan sama halnya yang kurasa. Hanya saja sedikit berbeda karena dia masih bocah. Anak itu mungkin tidak terima jika aku menyalahkannya sehingga ia memilih marah.
Tak apa jika anakku marah, karena bagaimanapun dia butuh untuk meluapkan emosi yang dirasakannya. Yang perlu kulakukan hanyalah memberi sedikit waktu untuk meredakan emosi tersebut.
Aku memutuskan menyusul Rangga begitu selesai. Kurasa sudah cukup waktu yang kuberikan untuknya menyendiri.
Aku mengetuk pintu kamar Rangga yang tidak terkunci dan segera masuk begitu pintu kubuka. Kulihat anakku sedang meringkuk di kasur sambil memeluk guling. Segera kuhampiri dan kuelus rambut hitamnya.
"Nak, tahu tidak kalau zaman dulu nabi dan para sahabat pernah hloh disakiti?" ucapku sesaat setelah duduk di pinggir ranjang. Posisiku tepat di samping kanan anakku berada.
Aku sengaja tidak menyinggung masalah pertengkaran tadi dan memilih menceritakan kisah teladan dengan tujuan agar Rangga bisa mendapat hikmah dan pelajaran.
Anakku menatapku perlahan. Tampak air mata yang sudah mengering di kedua pipinya.
"Ahh … Rangga, jagoan kecilku bisa menangis juga," bisikku dalam hati.
"Benarkah, Bunda? Siapa yang berani melakukannya?" tanya Rangga penasaran. Ia pun mulai membenahi posisinya dan duduk di sampingku.
"Banyak, Nak. Bahkan Aisyah istri nabi pernah difitnah. Tapi, Rangga tahu tidak apa yang mereka lakukan terhadap orang yang sudah jahat itu?"
Aku biarkan anakku berpikir sejenak. Akankah ia bisa memberi jawaban yang sesuai inginku?
"Rangga salah ya, Bund?" kata Rangga mengagetkanku. Pertanyaannya sungguh diluar perkiraanku.
"Salah kenapa, Nak?"
"Tadi Rangga mukul Wahyu?"
"Bunda boleh tanya enggak, Nak? Tadi kenapa Rangga mukul temannya?" ucapku setelah beberapa saat terdiam.
"Aku diajari Toni, Bund. Dia bilang kalau ada yang nakal kita harus bales!"
Toni adalah teman sekolah Rangga dan ia terkenal dengan kebandelannya. Anak yang berperawakan tinggi dan besar itu sering berkelahi di dalam maupun di luar sekolah.
Sekarang masalah tentang perubahan Rangga menjadi pemarah terjawab sudah. Ia meniru teman sekelasnya.
"Memang benar kalau ada yang nakal kita enggak boleh diam saja. Tapi dilihat dulu, ya, Nak! Kalau Wahyu tadi enggak sengaja dan sudah minta maaf. Jadi Rangga harus memaafkan. Kalau ada teman yang mukul Rangga, boleh dibalas. Tapi akan lebih baik kalau Rangga berbesar hati mau memaafkan.
Kita tiru Nabi Muhammad dan para sahabat. Mereka ikhlas memberi maaf pada orang yang sudah zalim bahkan tetap berbuat baik pada orang tersebut. Rangga mau, kan?" tanyaku.
"Iya, Bund, Rangga mau. Em … Bunda enggak marah, kan?" tanya anak itu ragu.
Aku tersenyum hingga terlihat deretan gigi putihku. Kemudian, kusugar rambut depan Rangga dan mencium keningnya.
"Tentu tidak, Sayang. Anak sholehnya Bunda, sekarang minta maaf sama Wahyu dan teman-teman terus main lagi yang rukun, ya!"
Ada binar bahagia di kedua bola mata anak semata wayangku itu. Semudah dan sesederhana itu mengembalikan suasana hati Rangga.
Anakku mengangguk dan berlari keluar menuju teman-temannya. Tak lupa kuiringi dengan doa untuknya. Tetap jadi anak sholeh ya, Nak!
***
Klik gambar untuk melihat Cerita lain dari Yufi Ria.