Mendadak Talak part 7
Kembali Atau Putus
Mauriyah berjalan sambil membuka ponsel. Langkah terhenti ketika membaca sebuah pertanyaan masuk di chat pribadinya, disusul dengan sebuah video.
Seketika tungkainya terasa melemas. Tubuhnya akan ambruk, kalau saja tidak cepat berpegangan pada sandaran sofa.
“Ibu kenapa?” Wahda langsung berdiri, memegang bahu ibunya.
Mauriyah menggeleng. “Tidak apa. tiba-tiba saja kepala ibu pusing. Bantu ibu ke kamar.”
Wahda membimbing ibunya hingga sampai ke kamar, lalu mendudukkan ke tepi ranjang. ia berjongkok. “Apa yang ibu rasakan? Jangan-jangan anemia ibu kumat lagi,” ucap Wahda sambil memerhatikan telapak tangan ibunya. “Kita ke dokter ya.”
"Bukankah kamu dokter?!"
"Iya, tapi sebaiknya periksa ke dokter spesialis yang biasa menangani ibu."
Mauriyah menggeleng. “Sudahlah. Biasanya dengan istirahat akan pulih kembali.”
“Tapi ….”
Mauriyah malah berbaring, lalu memejamkan mata.
Wahda mendesah pasrah. "Kalau begitu, aku ambilkan air hangat dicampur madu, ya."
Mauriyah mengangguk. Wahda beranjak ke dapur, lalu tak lama masuk lagi ke kamar dengan membawa segelas air madu dan menyerahkan pada ibunya.
Mauriyah duduk dan menyambut gelas itu. Rasa segar dari hangat dan manis kecut langsung saja membanjiri seluruh urat-uratnya. Hanya saja, kali ini ia tetap bisa menikmatinya, diinterupsi oleh sakit sebagai seorang ibu yang putrinya diceraikan. Selama ini, rumah tangga putrinya terlihat baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bercerai?
Beberapa kalimat di video itu terus saja mengulang di memorinya.
"Gus, sekarang kita sudah menjadi orang asing."
"Aku akan kembali menikahimu."
“Kok melamun? Apa yang Ibu pikirkan?” Suara Wahda menembus lamunannya.
Mauriyah menggeleng. “Oh iya, kamu sudah minta izin pada Bagus menginap di sini?”
Wahda terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan.
Mauriyah menatap dalam putrinya. Ia tidak pernah mengajari putrinya berbohong, hingga ketidakjujuran Wahda sangat kentara. Mungkin ini pertama kalinya, Wahda membohonginya.
“Bagus bagaimana keadaannya? Apa dia sibuk sekali, mulai rumah sakit sampai sekarang ibu tidak melihat batang hidungnya? Kamu baru saja sakit, seharusnya dia menjenguk, setidaknya ada menelpon gitu. Kalian tidak mempunyai masalah kan?” cecar Mauriyah.
“Ibu jangan berprasangka buruk. Bagus memang sibuk banget karena sekarang dia lagi melakukan penelitian. Ibu tau sendiri bagaimana workholicnya dia. Dan aku juga butuh istirahat. Daripada aku sendirian di rumah, lebih baik ke sini kan?!"
Mauriyah menghela napasnya. Ia memilih diam, menunggu Wahda siap bercerita padanya. “Malam ini, tidur sama ibu saja, ya.”
“Benar?!” Wahda mengangguk bak anak kecil. Seketika mata Mauriyah mengaca.
***
Wahda terkesiap. Mengapa tiba-tiba ia berada di seberang jalan rumahnya?
Habis shalat Subuh ia membuka jendela kamarnya. Udara sejuk segera memenuhi rongga dadanya begitu pintu jendela terbuka. Namun, saat bersamaan rindu juga memenuhi ruang hatinya. Biasanya tiap habis salat ia langsung beraksi ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Bagus dengan bahan-bahan yang telah ia siapkan sebelumnya.
Meski memiliki kesibukan sebagai seorang dokter, ia tetap berusaha menjadi istri yang baik. Meski tidak setelaten ibunya, setidaknya ia pastikan layanan juga terbaik untuk Bagus.
Angin pagi berembus, membelai pipinya lembut, seakan ingin mengajaknya jalan-jalan. Benar saja. Ia mencari pakaian olah raga, lalu turun dari kamarnya.
“Mau ke mana?” tanya Mauriyah yang sudah sibuk di dapur.
“Mau jalan-jalan sebentar, Bu. Sudah lama tidak seperti ini,” sahut Wahda sambil menuang air minum, lalu duduk di kursi dan menegak minumannya.
“Kamu tidak kerja?”
Wahda menggeleng. “Cuti, Bu.”
“Cuti?!”
Wahda mengangguk. Ia segera berdiri untuk menghindari pertanyaan lanjutan dari ibunya. Ia masih belum siap melihat air mata wanita yang telah melahirkannya. Wanita yang sering menasihatinya agar mejadi istri berbakti.
Wahda menghela napasnya. Ia tak menyangka kalau sekarang telah berada di muka rumahnya bersama Bagus. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa kakinya melangkah sampai ke sini. Jarak rumah ibunya dengan rumahnya memang lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Meski tidak mustahil dengan kaki karena sama-sama masih di kota, selama pikirannya waras ia tidak akan melakukan itu.
Selama ini ia tidak pernah melakukan itu. Biasanya ia memilih cara yang praktis, dengan naik motor. Nelangsa benar-benar telah merenggut setengah kewarasannya.
Ia mengambil ponsel di kantong celana training dan memerhatikan jam yang tertera di layar ponselnya. Sesaat ia tersentak melihat angka yang tertera.
“Gila kau, Wah!” umpatnya pada diri sendiri. Ia berjalan sekitar tiga jam. Sekarang telah jam sembilan lebih. Puluhan panggilan dan chat telah terlihat di bagian atas layar ponselnya. Semuanya dari ibunya dan Arsa.
Terlebih dahulu ia membalas pesan ibunya.
[Maaf, Bu. ponsel aku silent, jadi tidak mendengar ada panggilan. Sekarang ada di rumahku. Jangan khawatir, nanti akan ke situ lagi]
Ia kembali beralih ke chat Arsa.
[Kamu di mana markonah? Tidak puas menyiksaku, sekarang ala-ala menghilang, lalu ibumu menerorku?]
Wahda tertawa. Ia semakin tak bisa menghentikan senyumnya ketika menyadari sosok Arsa. Meski di sini tanpa saudara, hidupnya selalu saja berwarna karena memiliki sepupu berbagai rupa. Sanad yang bertempramen dingin. Namun, ia selalu bisa menarik perhatian Sanad. Sedang Arsa, memang sudah dari orok memiliki sifat ceria, meski sebenarnya Arsa juga memiliki kegetiran hidup sejak kecil.
“Pasti Bagus telah berangkat kerja,” gumamnya sambil melangkah. Namun, tiba-tiba ia mundur dan bersembunyi di balik tanaman pucuk merah ketika melihat pintunya terbuka. Kembali ia seiris silet menyayat hatinya, ciptakan cairan bening di kelopak matanya. Bagus keluar rumah tidak sendiri.
***
Teratai dan Adeena hanya bisa melongo, saling bersitatap lalu menghela napas. Setengah harian ini Wahda sibuk di dapur membuat es krim dengan berbagai aneka rupa. Setengah harian pula mixer ciptakan kebisingan di dapur. Teratai sudah men-chat Arsa, tetapi tumben laki-laki itu tidak muncul. Biasanya tanpa diminta laki-laki sering muncul entah sendiri atau bersama seorang perempuan yang entah dia pungut dari mana.
Teratai dan Adeena bukan tipe mudah mendekati orang. Meski Wahda juga kerabat suaminya, tetap saja status membuat dinding keseganan baginya untuk menjalin keakraban.
Tak lama sebuah mobil sedan warna kuning memasuki halaman kafe yang membuat Teratai bisa dapat bernapas lega. Arsa memasuki kafe dengan sedikit tergesa-gesa. Teratai langsung menyuruhnya ke dapur dengan isyarat.
“Lama-lama Teratai harus membeli kulkas baru untuk menampung semua es buatanmu.”
Perhatian Wahda langsung teralih kepada Arsa yang baru saja memasuki dapur kafe. Tanpa ia sadari telah mengangkat mixer ke permukaan adonan sehingga menyembur dan membuatnya panik. Arsa bergegas mendekat, mengambil mixer dan mematikannya.
Wahda menunduk. Memandangi dirinya yang menyedihkan. Cemong dengan akibat semburan adonan es berwarna pink. Arsa yang juga menatapinya dari kaki hingga ke wajah seketika tertawa, tetapi segera bungkam saat melihat raut mukanya.
Arsa segera meraih kepala Wahda guna memeluknya, tetapi sepupunya itu menarik diri.
“Nanti pakaianmu ikutan kotor,” ucapnya dengan tangisan yang nyaris meledak.
“Tak apa. Pakaian kotor masih bisa dicuci nanti,” ucapnya kembali ingin merengkuh kepala Wahda. Seketika bendungan yang sejak lama ia tahan kini pecah.
Tera dan Adeena yang mendengar keributan dari luar bergegas ke dapur, tetapi kembali memilih mundur.
Tak lama Arsa keluar dengan menarik lengan Wahda dan mendudukkannya di inflatable sofa. Tera dan Adeena mengikuti. Mereka menduduki dua sofa lainnya
“Wahda, kamu sudah bergabung ke kafe kami, jadi kamu juga bisa berbagi dengan kami. Kamu tahu, mengapa konsep kafe seperti ini? Di pojok ada beberapa inflatable sofa, lantainya dikasih alas tikar rotan karena aku ingin kafe ingin friendly dengan tetap mengusung natural. Semua orang bisa santai, duduk, dan saling berbagi di sini. Jadi jangan sungkan bercerita ke kami.”
“Aku bukannya sungkan, tapi tidak tahu harus bercerita apa. Kepalaku dipenuhi dengan kontradiksi. Senang, benci. marah dan rindu.”
“Apalagi lagi yang dilakukan Bagus padamu?” tanya Arsa dengan emosi.
"Tak peduli apa yang dilakukan Bagus, akunya saja yang terlalu lemah, rapuh. Aku terlalu mencintainya."
"Kalau boleh tahu, detik ini apa yang kamu inginkan? Kembali atau putus saja," tanya Teratai tegas.
Wahda menghela napas, melipat lutut lalu mendekapnya. "Sejujurnya aku masih ingin bersamanya. Bagaimana sikapnya padaku, aku sudah menerimanya dari lima tahun yang lalu. Tapi ….” Kembali ia menangis begitu mengingat apa yang dilihatnya pagi tadi.
***
Bagus memerhatikan panggilan tanpa nama di ponselnya. Ia mengangkat dengan malas, tatapannya kembali menekuri dokumen di layar desktop.
"Pak Bagus, saya Pak Andu," ucap suara di seberang sana.
"Pak An … di," eja Bagus.
"Sekomplek dengan Bapak."
"Oh iya ya, ada apa, Pak?" tanya Bagus. Kenyataannya ia masih belum ingat yang mana Andi.
"Begini tadi saya lihat banner di depan rumah Bapak. Rumahnya mau dijual berapa, Pak?"
"Apa?!" Bagus tersentak.