Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Drama Rumah Tangga"
El Nurien

 Mendadak Talak part 7
Kembali Atau Putus



Mauriyah berjalan sambil membuka ponsel. Langkah terhenti ketika membaca sebuah pertanyaan masuk di chat pribadinya, disusul dengan sebuah video.

Seketika tungkainya terasa melemas. Tubuhnya akan ambruk, kalau saja tidak cepat berpegangan pada sandaran sofa. 

“Ibu kenapa?” Wahda langsung berdiri, memegang bahu ibunya. 

Mauriyah menggeleng. “Tidak apa. tiba-tiba saja kepala ibu pusing. Bantu ibu ke kamar.”

Wahda membimbing ibunya hingga sampai ke kamar, lalu mendudukkan ke tepi ranjang. ia berjongkok. “Apa yang ibu rasakan? Jangan-jangan anemia ibu kumat lagi,” ucap Wahda sambil memerhatikan telapak tangan ibunya. “Kita ke dokter ya.”

"Bukankah kamu dokter?!"

"Iya, tapi sebaiknya periksa ke dokter spesialis yang biasa menangani ibu."

Mauriyah menggeleng. “Sudahlah. Biasanya dengan istirahat akan pulih kembali.”

“Tapi ….”

Mauriyah malah berbaring, lalu memejamkan mata. 

Wahda mendesah pasrah. "Kalau begitu, aku ambilkan air hangat dicampur madu, ya."

Mauriyah mengangguk. Wahda beranjak ke dapur, lalu tak lama masuk lagi ke kamar dengan membawa segelas air madu dan menyerahkan pada ibunya. 

Mauriyah duduk dan menyambut gelas itu. Rasa segar dari hangat dan manis kecut langsung saja membanjiri  seluruh urat-uratnya. Hanya saja, kali ini ia tetap bisa menikmatinya, diinterupsi oleh sakit sebagai seorang ibu yang putrinya diceraikan. Selama ini, rumah tangga putrinya terlihat baik-baik saja, kenapa tiba-tiba bercerai?

Beberapa kalimat di video itu terus saja mengulang di memorinya.

"Gus, sekarang kita sudah menjadi orang asing."

"Aku akan kembali menikahimu."

“Kok melamun? Apa yang Ibu pikirkan?” Suara Wahda menembus lamunannya. 

Mauriyah menggeleng. “Oh iya, kamu sudah minta izin pada Bagus menginap di sini?”

Wahda terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. 

Mauriyah menatap dalam putrinya. Ia  tidak pernah mengajari putrinya berbohong, hingga  ketidakjujuran Wahda sangat kentara. Mungkin ini pertama kalinya, Wahda membohonginya. 

“Bagus bagaimana keadaannya? Apa dia sibuk sekali, mulai rumah sakit sampai sekarang ibu tidak melihat batang hidungnya? Kamu baru saja sakit, seharusnya  dia menjenguk, setidaknya ada menelpon gitu. Kalian tidak mempunyai masalah kan?” cecar Mauriyah. 

“Ibu jangan berprasangka buruk. Bagus memang sibuk banget karena sekarang dia lagi melakukan penelitian. Ibu tau sendiri bagaimana workholicnya dia. Dan aku juga butuh istirahat. Daripada aku sendirian di rumah, lebih baik ke sini kan?!"

Mauriyah menghela napasnya. Ia memilih diam, menunggu Wahda siap bercerita padanya. “Malam ini, tidur sama ibu saja, ya.”

“Benar?!” Wahda mengangguk bak anak kecil. Seketika mata Mauriyah mengaca. 


***


Wahda terkesiap. Mengapa tiba-tiba ia berada di seberang jalan rumahnya? 

Habis shalat Subuh ia membuka jendela kamarnya. Udara sejuk segera memenuhi rongga dadanya begitu pintu jendela terbuka. Namun, saat bersamaan rindu juga memenuhi ruang hatinya. Biasanya tiap habis salat ia langsung beraksi ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Bagus dengan bahan-bahan yang telah ia siapkan sebelumnya. 

Meski memiliki kesibukan sebagai seorang dokter, ia tetap berusaha menjadi istri yang baik. Meski tidak setelaten ibunya, setidaknya ia pastikan layanan juga terbaik untuk Bagus. 

Angin pagi berembus, membelai pipinya lembut, seakan ingin mengajaknya jalan-jalan. Benar saja. Ia mencari pakaian olah raga, lalu turun dari kamarnya. 

“Mau ke mana?” tanya Mauriyah yang sudah sibuk di dapur. 

“Mau jalan-jalan sebentar, Bu. Sudah lama tidak seperti ini,” sahut Wahda sambil menuang air minum, lalu duduk di kursi dan menegak minumannya. 

“Kamu tidak kerja?”

Wahda menggeleng. “Cuti, Bu.”

“Cuti?!”

Wahda mengangguk. Ia segera berdiri untuk menghindari pertanyaan lanjutan dari ibunya. Ia masih belum siap melihat air mata wanita yang telah melahirkannya. Wanita yang sering menasihatinya agar mejadi istri berbakti. 

Wahda menghela napasnya. Ia tak menyangka kalau sekarang telah berada di muka rumahnya bersama Bagus. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa kakinya melangkah sampai ke sini. Jarak rumah ibunya dengan rumahnya memang lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Meski tidak mustahil dengan kaki karena sama-sama masih di kota, selama pikirannya waras ia tidak akan melakukan itu.

 Selama ini ia tidak pernah melakukan itu. Biasanya ia memilih cara yang praktis, dengan naik motor. Nelangsa benar-benar telah merenggut setengah kewarasannya. 

Ia mengambil ponsel di kantong celana training dan memerhatikan jam yang tertera di layar ponselnya. Sesaat ia tersentak melihat angka yang tertera. 

“Gila kau, Wah!” umpatnya pada diri sendiri. Ia berjalan sekitar tiga jam. Sekarang telah jam sembilan lebih. Puluhan panggilan dan chat telah terlihat di bagian atas layar ponselnya. Semuanya dari ibunya dan Arsa. 

Terlebih dahulu ia membalas pesan ibunya.

[Maaf, Bu. ponsel aku silent, jadi tidak mendengar ada panggilan. Sekarang ada di rumahku. Jangan khawatir, nanti akan ke situ lagi]

Ia kembali beralih ke chat Arsa.

[Kamu di mana markonah? Tidak puas menyiksaku, sekarang ala-ala menghilang, lalu ibumu menerorku?]

Wahda tertawa. Ia semakin tak bisa menghentikan senyumnya ketika menyadari sosok Arsa. Meski di sini tanpa saudara, hidupnya selalu saja berwarna karena memiliki sepupu berbagai rupa. Sanad yang bertempramen dingin. Namun, ia selalu bisa menarik perhatian Sanad. Sedang Arsa, memang sudah dari orok memiliki sifat ceria, meski sebenarnya Arsa juga memiliki kegetiran hidup sejak kecil. 

“Pasti Bagus telah berangkat kerja,” gumamnya sambil melangkah. Namun, tiba-tiba ia mundur dan bersembunyi di balik tanaman pucuk merah ketika melihat pintunya terbuka. Kembali ia seiris silet menyayat hatinya, ciptakan cairan bening di kelopak matanya. Bagus keluar rumah tidak sendiri. 


***

Teratai dan Adeena hanya bisa melongo, saling bersitatap lalu menghela napas. Setengah harian ini Wahda sibuk di dapur membuat es krim dengan berbagai aneka rupa. Setengah harian pula mixer ciptakan kebisingan di dapur.  Teratai sudah men-chat Arsa, tetapi tumben laki-laki itu tidak muncul. Biasanya tanpa diminta laki-laki sering muncul entah sendiri atau bersama seorang perempuan yang entah dia pungut dari mana. 

Teratai dan Adeena bukan tipe mudah mendekati orang. Meski Wahda juga kerabat suaminya, tetap saja status membuat dinding keseganan baginya untuk menjalin keakraban. 

Tak lama sebuah mobil sedan warna kuning memasuki halaman kafe yang membuat Teratai bisa  dapat bernapas lega. Arsa memasuki kafe dengan sedikit tergesa-gesa. Teratai langsung menyuruhnya ke dapur dengan isyarat. 

“Lama-lama Teratai harus membeli kulkas baru untuk menampung semua es buatanmu.” 

Perhatian Wahda langsung teralih kepada Arsa yang baru saja memasuki dapur kafe. Tanpa ia sadari telah mengangkat mixer ke permukaan adonan sehingga menyembur dan membuatnya panik. Arsa bergegas mendekat, mengambil mixer dan mematikannya. 

Wahda menunduk. Memandangi dirinya yang menyedihkan. Cemong dengan akibat semburan adonan es berwarna pink. Arsa yang juga menatapinya dari kaki hingga ke wajah seketika tertawa, tetapi segera bungkam saat melihat raut mukanya.

Arsa segera meraih kepala Wahda guna memeluknya, tetapi sepupunya itu menarik diri. 

“Nanti pakaianmu ikutan kotor,” ucapnya dengan tangisan yang nyaris meledak. 

“Tak apa. Pakaian kotor masih bisa dicuci nanti,” ucapnya kembali ingin merengkuh kepala Wahda. Seketika bendungan yang sejak lama ia tahan kini pecah. 

Tera dan Adeena yang mendengar keributan dari luar bergegas ke dapur, tetapi kembali memilih mundur. 

Tak lama Arsa keluar dengan menarik lengan Wahda dan mendudukkannya di inflatable sofa. Tera dan Adeena mengikuti. Mereka menduduki dua sofa lainnya 

“Wahda, kamu sudah bergabung ke kafe kami, jadi kamu juga bisa berbagi dengan kami. Kamu tahu, mengapa konsep kafe seperti ini? Di pojok ada beberapa inflatable sofa, lantainya dikasih alas tikar rotan karena aku ingin kafe ingin friendly dengan tetap mengusung natural. Semua orang bisa santai, duduk, dan saling berbagi di sini. Jadi jangan sungkan bercerita ke kami.”

“Aku bukannya sungkan, tapi tidak tahu harus bercerita apa. Kepalaku dipenuhi dengan kontradiksi. Senang, benci. marah dan rindu.” 

“Apalagi lagi yang dilakukan Bagus padamu?” tanya Arsa dengan emosi. 

"Tak peduli apa yang dilakukan Bagus, akunya saja yang terlalu lemah, rapuh. Aku terlalu mencintainya."

"Kalau boleh tahu, detik ini apa yang kamu inginkan? Kembali atau putus saja," tanya Teratai tegas. 

Wahda menghela napas, melipat lutut lalu mendekapnya. "Sejujurnya aku masih ingin bersamanya. Bagaimana sikapnya padaku, aku sudah menerimanya dari lima tahun yang lalu. Tapi ….” Kembali ia menangis begitu mengingat apa yang dilihatnya pagi tadi. 


***

Bagus memerhatikan panggilan tanpa nama di ponselnya. Ia mengangkat dengan malas, tatapannya kembali menekuri dokumen di layar desktop. 

"Pak Bagus, saya Pak Andu," ucap suara di seberang sana.

"Pak An … di," eja Bagus. 

"Sekomplek dengan Bapak."

"Oh iya ya, ada apa, Pak?" tanya Bagus. Kenyataannya ia masih belum ingat yang mana Andi.

"Begini tadi saya lihat banner di depan rumah Bapak. Rumahnya mau dijual berapa, Pak?"

"Apa?!" Bagus tersentak.








 Mendadak Talak part 7 Kembali Atau Putus Mauriyah berjalan sambil membuka ponsel. Langkah terhenti ketika membaca sebuah pertanyaan masuk d...
El Nurien
El Nurien

 Mendadak Talak Part 6
Video Viral




“Silakan duduk!” ucap Teratai sambil memerhatikan sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman kafe. Wahda kembali ke tempat semula sambil menyuap cake dengan sendok kecil. 

“Assalamu alaikum.” 

Wahda menoleh ke arah suara. Sanad muncul dengan langsung mengecup kening Teratai. Tatapannya beralih ke arah wajah Arsa. Sesaat ia sempat melihat sekalabat luka di wajah itu, lalu bersembunyi rapat. Ia tidak mengerti mengapa Sanad melakukan itu di depan orang-orang? Mungkinkah diam-diam Sanad dan Arsa perang dingin?

"Wa alaikum salam warahmatullah," jawab Teratai dengan sedikit memicingkan mata.

"Tidak apa. Cuma pekerjaanku sedikit santai. Jadi kita bisa jemput Evan bersama," tukas Sanad.

"Ooh, aku kira ada apa.” Tiba-tiba Teratai merasakan sedikit dapat bernapas lega. Meski lebih setahun menikah, killer vibes pada diri Sanad kadang masih kentara. Teratai mengalihkan perhatiannya pada Arsa dan Wahda. 

"Kalian di sini? Bagaimana keadaanmu, Wahda?" tanya Sanad sambil mendekati mereka. Ia duduk di dekat Arsa, sedang Teratai mengambil sebuah teko kaca yang berisi rendaman daun mint dan lemon serta beberapa buah cangkir kaca di atas sebuah nampan.

"Sudah agak baikan, Kak,” jawab Wahda, sambil kembali memotong cakenya. Sesaat Sanad memerhatikan sikap Wahda sangat jauh dari biasanya. 

“Sekarang kamu tinggal di mana?”  tanya Sanad kembali. 

Arsa menyesap Americano miliknya. 

“Dengan ibu, Kak.” 

“Praktekmu?” 

“Untuk sementara istirahat dulu. Di rumah sakit, aku juga sudah izin cuti. 

"Langsung diizinkan?" tanya Sanad.

Wahda mengangguk. "Beritanya keburu viral, Kak. Dengan kondisiku begini, mereka juga khawatir aku tidak fokus dan bisa membahayakan pasien.”

Sanad mengangguk. Teratai menuangkan infused water untuknya. Ia langsung meneguk minuman itu. “Kamu mau ini, Arsa?” tawar Teratai. 

Arsa hanya menjawab dengan mengangkat americano miliknya. 

“Wahda?” tanya Teratai ke Wahda. 

“Boleh. Sebenarnya aku jarang minum  ini, mumpung ada. Sejak kapan kalian mengonsumsi ini?” tanya Wahda. 

“Tidak lama. Mungkin semenjak ada kafe ini berdekatan dengan penanam mint, jadi dicoba saja. Alhamdulillah, Sanad juga menyukainya. Kadang dibikin teh.”

“Oh iya, tanaman yang di situ banyak jenis mint. Orangnya mana?” 

“Mungkin di belakang. Dia kalau sudah di kebun suka lupa kalau lagi jualan di luar,” jawab Teratai sambil terkekeh. “Oh iya, Sanad bilang kamu jago bikin es krim. Gimana kalau selama cuti kamu bergabung dengan kami, buat tambahan menu es krim. Tidak menjanjikan banyak sih, kamu lihat sendiri masih sepi. Tapi lumayanlah untuk mengisi waktu dan mengalihkan kegalauanmu itu  Gimana?" urai Teratai tanpa basa basi.

“Oke, aku suka tempat ini. Besok aku akan ke sini lagi, asal tiap hari aku bisa gratis menikmati cake dan secangkir kopi,” sahut Wahda menandaskan cakenya. 

Arsa berdecak mengejek. Tiba-tiba ponselnya di atas meja berdering. Ia segera mensenyapkan panggilan itu. 

“Nggak dijawab?” tanya Wahda setelah memerhatikan nama yang tidak ia kenali. Namun, ia sudah bisa menduga siapa perempuan itu. Arsa hanya menjawab dengan gelengan, lalu menandaskan americanonya. 

“Sampai kapan kamu begini, Arsa?” tanya Wahda. 

“Sampai menemukan orang yang cocok,” jawab Arsa santai.

“Hati-hati kalau ketemu istri orang, bahaya,” sindir Wahda. 

Arsa tertawa sumbang. “Kalau suaminya berbuat buruk, pemaksa, workholic, kenapa tidak?” sahut Arsa ngasal. 

Wahda mengangkat pot mini di atas meja itu dan segera menimpuknya andai saja tidak menyadari kalau itu bukan miliknya. 

Sanad memerhatikan jam di tangannya. “Sebentar lagi  Evan pulang, yuk?” 

Tera mengangguk. “Kami tinggal ya. Wahda, kamu bisa wa aku, apa saja yang harus kupersiapkan untuk membuat es.”

“Tak perlu, nanti aku bawa bahan di rumah saja. Di rumah … lamaku masih banyak, sayang nanti terbuang.” 

Arsa menatap Wahda yang seperti kesulitan mengucapkan rumah. 

Tera mengangguk. “Baiklah, kalau begitu kami tinggal dulu. Kalau kamu mau melihat-lihat tanaman, masuk saja lewat pintu itu. Orangnya ada kok di dalam. Kalian mau apa, minta saja sama Yanti. Jangan sungkan. Kami tinggal, ya.”

“Iyaa,” sahut Wahda sambil mengatup kedua tangannya.. "Salam buat Evan." 

Teratai mengangguk. Sanad meraih bahu Teratai lalu membimbingnya keluar. Wahda terus menatap hingga kedua sosok itu memasuki mobil. Pandangannya beralih ke Arsa yang sudah memainkan ponsel. 

Ia melihat jelas kecanggungan Arsa dan Sanad. Keduanya seperti memahami perasaan masing-masing dan spontan menjaga diri. Ia bertanya-tanya, apakah Teratai menyadari telah membuat kedua sepupu itu renggang?

"Sampai kapan kamu begini?" 

"Apa maksudmu?" tanya Arsa tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

"Menyukai istri sepupu sendiri."

Arsa tersentak. Sesaat ia menoleh ke arah karyawan Tera. "Sstt … kalau ngomong dijaga, nanti bikin salah paham," bisiknya. 

"Tapi, benar ‘kan?" tanya Wahda ikutan berbisik. 

"Jangan khawatir," jawab Arsa dengan intonasi normal. "Pertama, aku tidak akan merebut istri orang apalagi sepupu sendiri. Kedua, ini aku lagi berjuang mencari perempuan yang cocok di hati. Jadi jangan lagi meragukanku. Aku pria baik-baik." 

Wahda mencebik. 

"Kamu punya rencana apa untuk besok?" tanya Arsa. Seketika wajah Wahda berubah sendu.

 Wahda menghela napasnya. Ia berdiri, tangannya memilah buku hingga sampai pada sebuah novel bersampul ungu muda gradasi putih. Ia duduk di inflatable sofa. "Aku menyukai tempat ini. Mungkin aku akan lebih sering menghabiskan waktu di sini."

Arsa menyetujui dengan menjentikkan jarinya. 

"Sekarang mengerti kan kenapa aku sering main ke sini?"

"Mengerti … mengerti banget," cibir Wahda. 

Mata Arsa mendelik, bibir dan giginya merapat geram. 

***


Beberapa kali Teratai menoleh teman perjalanannya, tetapi urung bertanya. Terlihat Sanad serius sedang memikirkan sesuatu. 

"Kenapa?" tanya Sanad setelah ia menoleh entah ke berapa kali. 

"Dari tadi kamu bicara sedikit pun. Sedang memikirkan sesuatu?" jawab Tera. 

Sanad menoleh sesaat, menghela napasnya. "Bukan sesuatu yang penting."

"Tidak penting, tapi wajahnya menekuk gitu?!" tukas Tera dengan wajah merengut.

Sanad terkekeh. Ia meraih bahu Tera. "Oh, iya. Arsa sering main ke kafe?"

"Lumayan. Hampir tiap hari."

Sanad tersentak. Teratai menatapnya heran. "Memangnya kenapa? Kok kaget gitu?!" 

"Tidak apa. Aneh saja, memang dia tidak punya pekerjaan? Apa saja yang dilakukannya?" 

"Dia kan datang habis kerja atau hari libur. Dia bawa pacarnya, kadang baca buku. Aneh sih, buku yang dibacanya nggak selesai-selesai." Ia menoleh ke arah Sanad. "Aku pikir dia menyukai Adena. Dia sering ngajak ngobrol dan membantu Adena merawat tanaman. Menurutmu?"

Sanad terdiam, menatap wajah polos istrinya. Ia berpikir, pantesan dulu dibohongi Arbain. Ternyata Teratai pandai membaca alam, tetapi tidak dengan sikap pria. 

"Kok diam?" 

Pertanyaan Tera menembus lamunannya. 

"Entahlah. Aku tidak melihatnya langsung," sahut Sanad akhirnya. 

"Kalau begitu nanti seringlah mampir. Siapa tahu bisa kita comblangin."

Sanad menghempaskan napasnya. "Kalau dia menyukai Adena, ngapain membawa banyak perempuan ke kafe? Seharusnya menunjukkan pribadi yang baik dan keseriusan. Arsa dari dulu memang tipe pria hangat dan suka humor. Lihat saja sikapnya kepada Wahda juga begitu. Orang yang tidak tahu mereka sepupuan, mungkin akan salah paham. Jadi sikapnya ke Adeena mungkin saja sama sebagaimana ke Wahda atau ke perempuan-perempuan yang dia bawa."

“Arsa dengan Wahda malah lebih seperti saudara. Sama-sama ceria dan hangat. Seperti Arsa, mungkin Wahda juga akan mudah mendapatkan pasangan kalau dia mau membuka diri.”

“Jangan salah sangka. Orang seperti mereka, kadang cuma ceria di luar dan mudah berpindah-pindah, padahal mereka memiliki cinta yang sangat dalam. Mereka menutupi banyak masalah dengan keceriaan. Kamu lihat, bagaimana Wahda yang selalu ceria ternyata menyimpan masalah dalam rumah tangganya."

Sanad menatap wajah istrinya masih saja memperlihatkan wajah polosnya. Seakan-akan lupa apa yang terjadi beberapa masa yang lalu. 

"Lalu orang seperti Arsa, bagaimana caranya mengetahui kalau dia memiliki perasaan spesial terhadap perempuan itu?"

"Dia ….” Sanad merapat geram. Sesaat kemudian menghela napasnya. “Sudahlah, untuk sementara biarkan saja dia mau apa."

Teratai memainkan bibirnya, lalu akhirnya mengangguk. Tak lama, mobil yang membawa mereka telah sampai di gedung sekolah Evan. Terlihat anak itu sudah berdiri di dekat seorang guru perempuan.

"Papa!" Evan langsung berlari begitu melihat Sanad keluar dari mobilnya. Sanad berjongkok, membiarkan Evan memeluknya. 

“Bagaimana hari ini di sekolah? Pelajarannya mudah tidak? Hari bermain dengan siapa ?” 

Evan hanya memainkan bibirnya, dengan menggerak-gerakkan kepalanya. Sanad mencium gemas. Meski sudah bisa berbicara, Evan masih irit suara, kecuali kepada Teratai. 

“Mama?” seru Evan sambil melambaikan tangan pada Teratai yang duduk di mobil.

Sanad berdecak. “Banyak sekali pertanyaan Papa, malah diabaikan."

Evan hanya menjawab dengan menggembungkan pipinya. Sanad tertawa kecil, lalu mencubit kedua pipi itu.

"Yuk!” Sanad sambil berdiri, lalu mengulurkan tangan.

Evan menyambut tangannya, lalu berjalan dengan melompat-lompat. “Mama!” 

“Hallo, Sayang,” jawab Tera sambil menyambut tubuh mungil itu, lalu meletakkan di pangkuannya. Sanad meletakkan tas Evan di samping Tera lalu masuk. Perlahan mobil meluncur meninggalkan area sekolah Evan yang masih terlihat macet lalu lalang kendaraan penjemputan anak-anak lainnya.

Teratai merapikan rambut keriting Evan. “Hari ini di sekolah asik tidak?” 

Mengalirlah cerita dari mulut Evan. Sanad berdecak mengejek. Tera terkekeh dengan sikap lelaki dewasa itu jika mengidap cemburu. 

*** 

Mauriyah mengerutkan keningnya, ketika melihat putrinya yang termangu duduk di depan televisi. Matanya memang menatap layar televisi, tetapi hati putrinya entah kemana. 

Ia sudah mencium ada yang janggal dengan sikap putrinya, hanya saja ia perlu menahan diri, memberi kesempatan pada putrinya bercerita padanya. Ia yakin, masalah yang dihadapi putrinya bukan sekadar keguguran kandungan karena Wahda tipe orang mudah bangkit. 

Ia berjalan sambil membuka ponsel yang baru saja berbunyi. Langkah terhenti ketika membaca sebuah pertanyaan masuk di chat pribadinya, disusul dengan sebuah video. 

Langkahnya terhenti. Demi memastikan pertanyaan itu. 

Seketika tungkainya terasa melemas. Tubuhnya hampir ambruk, kalau saja tidak cepat berpegangan pada sandaran sofa. 


 Mendadak Talak Part 6 Video Viral “Silakan duduk!” ucap Teratai sambil memerhatikan sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman kafe. Wahd...
El Nurien
El Nurien

 Mendadak Talak Part 5 



“Wahda, aku memang salah, tapi aku tau kau masih mencintaiku, berilah aku kesempatan sekali lagi, ya,” bujuk Bagus. 

Wahda menengadahkan wajahnya. Menatap wajah tampan yang kelihatan kusut itu. Wajah yang selalu ingin ia lihat saat sebelum menutup dan membuka mata. Wajah yang menjadi satu-satunya mimpi dalam lima tahun ini. 

"Benar aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Karena cintaku yang masih ada inilah yang membuat hatiku sangat sakit. Andai ciptaan manusia, tubuh ini pun akan tercabik-cabik. Aku sangat  … sangat … sangat mencintaimu, dapat kau bayangkan bagaimana hancurnya hatiku. Jangan lagi kau mengemis dengan alat yang setiap detik membuat hatiku berdenyut nyeri. Kumohon, jangan lagi mendekatiku," melas Wahda.

“Wahda!” Arsa telah berdiri di dekat mereka. 

Wahda mengangguk, lalu turun dari teras rumahnya. Tiba-tiba Arsa melayangkan sebuah pukulan ke wajah Bagus. 

Wahda memekik. “Arsa, apa yang kau lakukan?!” Ia diserang panik ketika melihat darah mengalir di sudut bibir Bagus. Ia hendak menyentuh wajah itu, tetapi Arsa langsung menarik tangannya. 

“Dengar, ini hanya sepersekian persen dari amarah yang terpendam. Jangan coba lagi mendekatinya, kalau tidak ingin mendapatkan yang lebih parah dari ini.”

Bagus mengusap sudut bibirnya. Terlihat cairan merah di jarinya. Ia menatap Arsa menarik lengan mantan istrinya hingga memasuki sebuah mobil. Ia terus menatap mobil itu, hingga hilang dari pandangannya. 

“Aku tidak akan berhenti di sini, Wahda.”


***

Seperti biasa, selama menunggu Evan, Teratai menghabiskan waktunya di kafe. Paling sering duduk di sebuah meja dekat rak buku. Di sana ia akan betah berlama-lama membaca buku, mencatat sesuatu yang penting atau menulis, minat yang baru ditekuninya. 

Sanad pernah sangsi dengan keinginan Teratai memanfaatkan salah satu propertinya yang lama teronggok menjadikan sebuah kafe, karena ia membeli Teratai Kedua untuk dikelola Teratai. Namun, mengapa tiba-tiba Teratai mempunyai dunia baru?

“Pertama karena seperti kamu bilang, sudah lama tidak ada yang menyewa tempat itu. Kedua, karena jarak Bangkau dengan sekolah Evan lumayan jauh, untuk pulang pergi rasanya melelahkan.” Alasan yang ia berikan waktu itu.

“Bukankah kamu sudah terbiasa menjajakan kerupuk, bahkan berkeliling sampai antar kecamatan?” bantah Sanad. 

“Itu dulu, sekarang aku menjadi istri orang kaya. Tubuhku tahu betul seberapa banyak harus mengeluarkan tenaga.”

Sanad mencebik dengan jawaban ngasal istrinya. Teratai memeluknya dari belakang. 

“Selain itu, aku ingin memiliki waktu yang tenang untuk belajar lebih banyak lagi.”

Sanad mengerutkan kening. Ia melepaskan pelukan Teratai lalu menuntunnya ke ranjang. “Aku hargai semangatmu. Tapi, ada yang harus kamu prioritaskan. Bukankah dulu kamu pernah cerita, mendirikan Teratai Produksi untuk menciptakan lahan kerja untuk orang Bangkau?” 

Teratai mengangguk. Ia merebahkan badannya. Sanad mengikuti dengan menghadapnya. 

“Itu dulu, sebelum aku memiliki Evan.”

“Kamu tidak percaya diri dengan Evan?” 

Teratai menggeleng. Ia meluruskan pandangannya, menatap langit-langit kamar mereka. “Dulu orang Bangkau pernah mengalami masa-masa jaya. Dimana hasil ikan mereka lebih dari cukup. Anak remajanya terbilang kaya dibanding anak-anak petani dari desa sekitarnya.”

Sanad bergeser, meraih kepala Teratai, lalu meletakkan di bahunya. 

“Setiap ada acara hiburan di mana saja, mereka tidak pernah ketinggalan selama jaraknya masih bisa dijangkau. Baik orkes dangdut, film di bioskop atau hiburan apapun. Mereka sangat menikmati hidup, bahkan menurutku termasuk berpoya-poya. Sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada yang berpikir bagaimana Bangkau beberapa tahun ke depan?" 

Teratai mendongakkan kepalanya. "Sekarang kita bisa lihat bagaimana kondisi perekonomian Bangkau. Andai remaja Bangkau dulu menyibukkan diri dengan belajar dan berbenah diri, mungkin sekarang tidak semenyedihkan ini. Alam mungkin saja tidak separah ini, andai tidak semua orang hanya menyandarkan diri pada sumber dayanya."

Teratai merapatkan badannya. Ia merasakan sesuatu mencegat di tenggorokannya. "Namun, bukan itu satu-satunya alasan kemerosotan Bangkau, melainkan bagaimana kondisi dari generasi sekarang, hanya segelintir yang mau bangkit, menempuh pendidikan dan berani bermimpi. Sisanya sungguh mengkhawatirkan. Pengetahuan mereka belum siap menerima arus informasi dan janji-janji semu, akhirnya pergaulan terlalu bebas, hamil di luar nikah, pecandu obat terlarang, bahkan ada yang berani melakukan tindakan kriminal terhadap orang lain." 

Sanad memeluk erat tubuh Teratai. Ia mengerti jelas apa yang dirasakan istrinya. Dimana hampir seluruh mimpi  Teratai hanya untuk Bangkau, ternyata ia tak mampu mengimbangi arus zaman.

"Dulu aku berharap adik-adikku dapat membangun Bangkau. Elang sebagai insinyur, Kembang bisnis dan Lilac untuk ilmu agama. Ternyata mereka mempunyai jalan sendiri." 

"Jangan salahkan mereka. Bagaimanapun kehidupan mereka denganmu tidak sama. Tentu mereka tidak mempunyai kepekaan, mental dan ketahanan tubuh sepertimu." 

Teratai melepaskan pelukan Sanad. Ia mengusap wajahnya yang tiba-tiba sembab. "Aku tidak menyalahkan mereka. Aku pun tidak begitu berambisi lagi untuk Bangkau. Yang kupikirkan sekarang hanya Evan. Masa depan Evan, bahkan mungkin keturunannya di tanganku saat ini. Karena itulah aku juga harus pintar. Aku harus bisa dijadikan Evan tempat bertanya, share dan menyandarkan diri ketika ia mempunyai masalah." 

Tiba-tiba Sanad merasakan matanya mengaca. "Aku tidak menyangka, Evan akan bertemu ibu sambung sebaik kamu."

"DUAR!!" 

Teriakan Wahda membuyarkan lamunan Teratai. Ia mengerjap. Di depannya sudah ada Arsa dan Wahda yang cengengesan menatapnya. 

"Melamunkan apa? Sampai tidak sadar dengan kedatangan kami?" tanya Wahda dengan terkekeh sambil duduk.

"Wahda?! Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?" cecar Teratai. 

“Dibilang baikan nggak juga. Karena itu, Arsa bawa aku ke sini, katanya di sini nyaman untuk santai.”

“Alhamdulillah, di sini lumayan nyaman.” 

Wahda mengedarkan pandangannya. Ia tahu betul, kalau itu bangunan empat pintu milik Sanad yang sekarang disulap menjadi kafe dengan gabungan tiga elemen. Di ruang pojok, tempat yang mereka duduki, berdiri sebuah rak kayu di dinding, di depan kaca beberapa rak bentuk hexagonal yang juga di isi beberapa buku. Dua tanaman anggrek bulan yang sedang berbunga warna putih menggantung di tepi kaca.

 Di ruangan itu hanya dua buah meja tanpa kursi, sedang paling belakang empat buah inflatable sofa berwarna coklat muda,  senada dengan warna rak buku. 

Di ruang tengah berdiri sebuah meja bartender minimalis, di tengah tersedia aneka cake yang tersimpan di etalase kecil. Di dinding belakang ruang tengah, di atas pintu menuju dapur bertuliskan Teratai,  juga tersedia dua buah meja,  yang tiap meja dilengkapi empat buah kursi rotan. 

Sedang ruangan ketiga jualan tanaman daun yang jumlahnya bisa dapat dihitung dengan jari. Kehijauannya membuat suasana menjadi asri dan natural, berpadu dengan meja, kursi, dan rak buku yang menonjolkan kesan alami. Setiap meja dihiasi pot mini diisi dengan tanaman mint. Hanya di meja bartender tersedia potongan tanaman mawar yang dicelup dengan air di sebuah pot transparant. 

“Pintu paling ujung itu dibiarkan kosong?” tanya Wahda. 

“Tempat itu buat praktek kamu,” sahut Teratai tanpa terkesan basa basi. 

Wahda terhenyak.

Teratai tertawa. “Maaf, ternyata mengagetkanmu. Kemarilah!” Tera berdiri. Wahda mengikuti Tera yang mendekati etalase cake. 

“Kau mau apa? Pilih saja,” tawar Teratai.

“Kau bikin sendiri, Tera?” tanya Wahda sambil mencermati beberapa cake di dalam etelasi. Telihat potongan cake tiramisu yang dihiasi wafer kecil, red velvet dan cake Japanes yang dihiasi whippig cream. Ia menunjuk cake Japanes. “Ini, Mbak.” 

Seorang karyawan remaja mengangguk, lalu mengambil potongan itu dan menaruhnya di atas sebuah piring kecil. 

“Nggak. Ini masih kiriman teman. Aku belum bisa membuat sebagus ini,” sahut Teratai. 

Wahda menyambut piring yang diserahkan karyawan. “Sepertinya enak sekali,” ucap Wahda sambil menyendok cake itu. 

“Minumannya?” tanya Teratai. 

“Emm … cappuccino gula aren saja.” sahut Wahda. “ Kamu Arsa, mau apa?”

Arsa terkesiap, seakan baru tersadar dari lamunan. Tiba-tiba saja Wahda merasa geram dengannya. Ditambah kenyataan pahit yang baru saja dialaminya, membuatnya kesal setengah mati kepada Arsa. 

“Aku seperti biasa saja. Tera tau itu,” jawab Arsa. Ingin sekali wahda melempar cake di tangannya. 

“Silakan duduk!” ucap Teratai, lalu mengalihkan perhatian pada sebuah mobil yang baru saja memasuki halaman kafe. 

Wahda kembali ke tempat semula sambil menyuap cake dengan sendok kecil. 

“Assalamu alaikum.” 

Wahda menoleh ke arah suara. Sanad muncul dengan langsung mengecup kening Teratai. Tatapannya beralih ke arah wajah Arsa. Sesaat ia sempat melihat sekalabat luka di wajah itu, lalu bersembunyi rapat. 


 Mendadak Talak Part 5  “Wahda, aku memang salah, tapi aku tau kau masih mencintaiku, berilah aku kesempatan sekali lagi, ya,” bujuk Bagus. ...
El Nurien