Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintam Part 7

Merenda Cintamu Part 7

Pandangan Orang-orang



“Bu … bukan begitu! Hanya saja … hanya saja.” Hilya kebingungan harus menjawab apa. Seharusnya ibunya memberitahu lebih dahulu, agar ia bisa minta izin kepada Ryu. Sekarang laki-laki itu sedang tidur, entah apa yang akan dilakukannya jika tahu ia memasukkan orang lain tanpa seizinnya.

“Hilya, kamu tidak mempersilakan Ibu masuk?” Ryu muncul dari belakang. 

Hilya menoleh. “Kamu sudah bangun? Kamu yang manggil Ibu?” cecar Hilya dengan masih kebingungan. 

“Minggir dulu, kasihan mereka lama di luar!” Ryu beralih ke Dinayah dan saudaranya. “Sini aku bantu bawa, Bi. Masuk Bu, Bi!”

Hilya meminggir dengan masih berselimut kebingungan. 

“Aku yang minta Ibu ke sini. Karena kakimu belum diurus betul-betul. Aku nggak punya kenalan tukang urut perempuan. Jadi aku kasih kabar Ibu saja,” ucap Ryu mengambil dua buah tas yang tergeletak di lantai. 

“Ooh.” Hilya mendekati mereka dengan menggunakan kruk. Ia mengulurkan tangannya kepada Dinayah juga kerabat yang selama ini menemani ibunya, Salamah. 

“Sekarang bagaimana kakimu?” tanya Dinayah.

“Sudah agak baikan, Bu!” sahut Hilya.

“Baikan gimana? Diurut belum,” sela Ryu. Ia juga menyalami Dinayah. “Aku harus siap-siap bekerja. Buatlah Ibu nyaman di sini. Maaf, jadi merepotkan Ibu.”

“Dinayah tersenyum. Tidak apa, Hilya anak Ibu. Ibu malah senang, tapi nggak papa dengan kedatangan kami ke sini?” 

“Nggak papa, Bu. Nanti kita ngobrol lagi. Permisi.”

“Aku buatkan sarapan, ya?” tawar Hilya.

Ryu mengangguk, sesaat ia menepuk bahu Hilya. Hilya berpaling ke arah ibunya, tiba-tiba ia menangkap raut ibunya yang berwarna. “Kenapa Ibu menatapku begitu?”

“Tidak apa-apa. Siapkan sarapan buat dia, nggeh!” ucap Dinayah. 

*** 

Suasana lokasi syuting hening. Semua mata terpaku pada chemistry yang diberikan Ryu dan Talita, bahkan sutradara pun seakan lupa meneriakkan kata cut. 

Ryu mulai jengah. Malam ini tinggal scene menemani Talita duduk di taman, dengan hanya merentangkan sebelah tangannya ke bahu Talita. Hanya untuk keperluan profesionalisme, di luar itu ia akan merasa tersiksa, meski hanya beberapa detik 

"Cut cut!" teriak sutradara ketika menyadari perubahan raut Ryu. 

Keriuhan kembali mewarnai lokasi syuting. Setiap anggota kru kembali menunaikan tugasnya masing-masing, begitu juga dengan asisten artis.

"Bagaimana keadaan kaki Hilya?" tanya Talita sambil memegang kipas angin kecil yang diserahkan asistennya. Seorang artis makeup mulai melap wajahnya dengan tisu.

"Entahlah! Aku belum melihatnya?" jawabnya sambil berdiri. "Oh, iya. Soal itu, aku tak mau lagi itu terjadi. Dia asistenku, hanya aku yang berhak menyuruhnya."

"Aku kan sudah minta maaf," bela Talita. 

Ryu tak lagi merespon. 

"Ryu, kamu mau pulang? Aku ikut," teriak Talita.

Ryu mengerutkan keningnya. 

"Bagaimanapun aku penyebabnya, aku ingin melihatnya langsung." 


***


"Hei, Hilya. Apa kabar?"

Hilya mengerutkan kening ketika melihat Talita ada di belakang Ryu saat ia membuka pintu. Bukankah selama ini Ryu tidak suka orang lain masuk ke rumah pribadinya, kecuali urusan pekerjaan? Hilya tersenyum sendiri, ia lupa kalau Ryu punya kepribadian ganda. 

"Minggir!" seru Ryu dengan tampang galak. 

Hilya terkesiap. Ia segera menyingkir, membiarkan dua makhluk itu masuk. Ryu mendelik. 

"Hilya, bagaimana kakimu? Maafkan aku ya, gara-gara aku kamu jadi begini," pinta Talita ramah. 

Hilya melongo. Susah sekali bergaul dengan orang yang  berprofesi sebagai artis. Dulu ia sempat terharu saat Talita membawakan payung untuknya, ternyata itu hanya image publik. Jangan-jangan minta maaf juga demi image?

"Kalau sudah, pulanglah!" ketus Ryu, lalu berlalu. 

Kening Hilya makin mengerut tajam. Sikap dua artis ini sulit ditebak. Mengapa tiba-tiba Talita datang minta maaf? Hilya menoleh keluar, apa di luar ada wartawan? Paparazzi? Atau wartawan settingan? 

"Hilya?"

Talita sedikit terkejut dengan kemunculan Dinayah dari belakang. 

"Oh ada tamu. Tidak kamu persilakan duduk?" tanya Dinayah. 

"Oh, maaf." Hilya tergagap. "Silakan duduk. 

Talita menggeleng. "cuma ingin memastikan keadaan kakimu. Dia?" tanya Talita sambil menunjuk Dinayah. 

"Oh, dia ibuku. Soal kakiku, sudah agak baikan. Terima kasih." 

Dinayah mendekat dengan memutar roda kursi dorongnya. 

"Tante," ucap Talita sambil menyalami Dinayah. Sesaat matanya melirik kaki Dinayah yang tertutup kain. "Kalau begitu aku pulang dulu."

"Tidak masuk dulu?" tawar Dinayah. 

Sesaat Talita menoleh ke atas, tidak terlihat Ryu akan muncul. 

Pandangan Hilya mengiringi tatapan Talita. "Kamu ingin bertemu Ryu? Biar aku panggilkan."

"Tidak usah. Aku pulang dulu."


*** 

Sebelum tidur, dengan bantuan Salamah kembali mengompres kakinya dengan air hangat.  

"Sepertinya sudah mulai mengempis," ucap Dinayah yang memerhatikan pergelangan kaki putrinya. 

"Iya, Bu. Sakitnya juga berkurang jika diinjakan ke lantai. Bi Salamah memang tukang urut the best."

Dinayah menekan kaki Hilya. "Ke depannya harus hati-hati!"

"Au, Ibu," rengek Hilya. 

"Kalau sudah baikan, kami pulang ya," ucap Dinayah. 

Tiba-tiba wajah Hilya berubah mendung. Keberadaan ibunya lumayan menguntungkan buatnya, setidaknya Ryu tidak berani lagi teriak, apalagi sampai membentaknya. 

"Kenapa?" tanya Dinayah. 

"Masih tanya kenapa? Setiap anak pastilah senang di dekat ibunya." Hilya beralasan. 

Dinayah menghela napas. "Tapi ibu tidak mungkin terus-terusan berada di sini. Ibu pernah bekerja di rumah artis, meski baik, ibu memahami kok rumah itu privasi banget buat mereka." 

"Iya. Lagian ibu juga tidak tahan diam di sini terus. Di kampung, minimal ibu bisa berjemur di depan rumah," ucap Hilya sambil memegang kedua tangan ibunya. 

Ia menoleh ke Salamah yang duduk di ranjangnya. "Terima kasih, Bi, telah jaga Ibu. Saya tidak akan bisa membalas kebaikan Bibi."

Salamah terkekeh. "Saya kan digaji."

"Tetap saja, Bi."

"Iya. Sama-sama."

Dinayah mengelus rambut putrinya. "Ibu beruntung memiliki putri sepertimu."

"Aku lebih beruntung memiliki orang tua seperti Ibu." 

"Oh iya, Ibu lupa cerita. Akram ada datang ke rumah." 

Seketika wajah menjadi datar. 

"Dia mencarimu."

"Ibu tidak bilang kan aku di sini?!" 

Dinayah menggeleng. "Ibu tau kok situasinya. Tapi yang membuat Ibu sedih, katanya kamu dapat beasiswa kuliah. Kalau bukan karena Ibu …."

"Sudahlah, Bu. Ini sudah takdir Allah. Aku tidak menyesalinya.  Malah senang berkesempatan berbakti pada Ibu."

Dinayah tak dapat lagi bersuara. Matanya mengembun, menatap bungsunya yang bekerja keras untuknya. Hanya doa yang bisa ia berikan untuk putrinya yang satu ini.

"Kakak ada datang ke rumah?" tanya Hilya. 

Dinayah menggeleng. "Tapi mereka ada kok wa Ibu."

Bibir Hilya mengukir senyum, tetapi hatinya bagai teriris sembilu. Namun dipikir-pikir sekarang ia pun hampir seperti mereka. 

"Bu, kalau aku nyewa rumah di sekitar sini, gimana? Rumah perkampungan sih, setidaknya aku bisa nengok Ibu seminggu sekali." 

Dinayah tersenyum. "Tidak usah. Baiknya kamu tabung saja uang itu untuk masa depanmu."

"Masa depanku rida Ibu."

"Ibu sudah meridaimu. Ibu bahagia melihatmu baik-baik saja. Itu sudah lebih dari cukup. Sepertinya Ryu juga memperlakukanmu dengan baik." 

Seketika Hilya terkekeh. "Baik. Sangat baik."

***


Setelah kakinya sudah nyaman, Hilya kembali bekerja dan ibunya juga sudah pulang kampung. 

"Hei!" 

Sesaat Hilya terkejut. Hanif datang dengan wajah cerianya. Ia menoleh ke arah Ryu yang sedang asik latihan akting dengan pemain lainnya untuk scene berikutnya.

"Kenapa kamu seperti ketakutan gitu?" tanya Hanif sambil menyerahkan sebotol minuman. 

"Bukan begitu! Aku cuma tidak ingin bikin masalah. Tahu sendirilah gimana Ryu. Ini terima kasih, ya."

Hanif mengangguk sambil membuka penutup botol dan ingin menegaknya. 

"Duduk!" seru Hilya. 

Hanif mengernyit, tetapi ia menurut. Ia duduk di sebuah kursi kosong, lalu meneguk minumannya. 

"Sama Ryu kamu juga seperti ini?" tanya Hanif. 

Hilya menggeleng. 

"Kenapa?" 

"Karena kamu temanku. Kamu juga tahu siapa dia," sahutnya sambil berjongkok, menurunkan masker, lalu meneguk minumannya.

Hanif berdiri. "Kamu duduklah di sini." 

Hilya menatap ragu.

 "Jangan hina aku di depan orang banyak!"

Hilya tertawa. "Ternyata kamu juga pemuja image."

Hanif hanya menjawab dengan tawa. "Jujurlah, Hil. Dia mengancammu?"

"Heh?"

"Ryu. Rasanya aneh kalau kamu bekerja padanya."

Hilya terkekeh. "Tidak. Aku bekerja padanya dengan suka rela. Jawaban itu apa sudah cukup?"

Hanif menggeleng. "Berhentilah, bekerja saja padaku. Aku akan memberi gaji yang tinggi."

"Aku sudah teken kontrak dengannya."

"Aku akan ganti rugi," tukas Hanif.

Hilya tersenyum lebar. Ia melipat kedua tangannya ke dada. "Kenapa kamu seperti selalu berpikiran buruk terhadapnya?"

Hanif terkekeh. "Semua orang di sini pun tahu sikapnya terhadapmu."

Badan Hilya bergerak-gerak menahan tawa. 

"Sudahlah, aku mau ke kamar kecil. Kamu pergilah."

Hanif menampakkan wajah sedih. "Kapan kita bisa makan-makan?" 

"In sya Allah, kalau ada kesempatan aku telpon kamu."

Hanif menautkan ujung telunjuk dengan ujung jempolnya. 

***

"Dasar, perempuan ganjen. Direktur juga dia dekati." 

Hilya yang di dalam toilet tiba-tiba hatinya mencelos. Direktur? Hanif? Perempuan ganjen itu dirinya?

"Tidak puas apa dengan Ryu? Sekarang Hanif."

"Mana orangnya berkerudung, aku saja malu melihatnya," sahut suara yang lain. "

"By the way, kenapa Direktur dekat sama dia ya? Dipelet?" suara perempuan yang pertama tadi. 

"Ya dengan sikap! Secara dia sudah bisa menaklukkan Ryu, pria cool. Mudahlah untuk Hanif, orangnya sudah ramah duluan."

Hilya mengurut dadanya. Seperti itu kah dirinya di mata orang-orang? 

"Kamu dengar nggak berita baru?"

"Apa tuh? Katanya Talita melabrak ke rumah Ryu. Benar, ternyata Hilya tinggal di rumah Ryu."

"Ya wajarlah, kan dia asisten Ryu."

"Wajar? Bayangkan bagaimana laki-laki dan perempuan satu atap!"

Hilya mendengar jelas tukang gosip itu menahan napas.

***

Jangan lupa subscribe, like dan komen. Terima kasih ♥️

Tidak ada komentar