Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintamu Part 22

Merenda Cintamu
Part 22 Jalan Penyempurna






Tiba-tiba wajah Ryu berbinar cerah, kombinasi nakal. “Kalau begitu, aku boleh menyentuhmu dong?!”

“Nih, kita sudah bersentuhan.”

“Bukan itu maksudku.” 

Hilya mendeham. “Ayo kita sarapan. Perutku laparku sekali,” ucap Hilya sambil menggeser sebuah piring berisi roti ke depan Ryu dan satu untuknya. 

Ryu menggeser kursinya. Ia mengambil sepotong buah, lalu menyuapkan ke mulut Hilya. “Terima kasih, ya.”


Hilya mengerutkan keningnya 

“Telah menerimaku apa adanya.”

Hilya mengambil sepotong lalu menyuapkan ke mulut Ryu. “Asal kamu mau bekerjasama.”

Ryu mengangguk.

“In sya Allah,” Hilya mengingatkan.

“Iya, in sya Allah,” ucapnya sambil mengambil piring di depan Hilya. Hilya mengerutkan kening. “Biar aku yang  suapi. Dipikir-pikir sudah lama tidak menyuapimu." Ryu membuatnya jadi potongan-potongan kecil. 

"Lah, tadi?"


"Maksudku menyuapimu sampai tuntas. Aa ….”

Hilya terkekeh. Ia menyuap potongan roti itu. Ia juga mengambil sepotong, lalu menyuapkan ke mulut Ryu. 

Sesaat Hilya menatapnya. Ia tidak menyangka, Ryu yang dulu suka menyiksa, sekarang malah sangat baik merawatnya. Tiba-tiba ia tergoda mencium pipi Ryu. Sesaat Ryu tersentak. Tubuh laki-laki itu menjadi kaku.

Hilya tersenyum geli. Ia menarik wajahnya. Sengaja mengambil sepotong mangga dan menyuapkan ke mulut Ryu. Seketika Ryu menggigil. Hilya tertawa. Waktu mengupas, ia sudah menyuap satu potong dan ternyata mangga itu masam. 


Ryu kesal melihat tawa Hilya, sementara ia harus menelan mangga masam. Ia kembali menyuap satu potong mangga lalu menarik kepala Hilya. Secepat kilat ia berhasil memagut bibir Hilya. 

Hilya terkesiap. Matanya membesar. Perlahan masam mangga masuk ke mulutnya. Ia ingin menarik diri, tetapi kokohnya rengkuhan Ryu membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa, selain memasrahkan diri, menikmati masam mangga bercampur gurih roti. Perlahan tubuhnya melentur seiring Ryu melembutkan gerakannya. 


***



Ryu memainkan pelan rambut Hilya yang masih terlelap dalam dekapannya. Terasa bagai mimpi, kalau gadis cantik energik itu sekarang benar-benar menjadi miliknya. Masih terbayang saat-saat ia suka menyiksa Hilya dengan berbagai perintah, kini telah merasakan karmanya. 

Sekarang perasaannya cinta setengah mati. Seluruh hidupnya kini berporos pada Hilya. Bahagia, takut, cemas dan sedih dari Hilya. Hilya satu-satunya keluarganya di sini. Ia tidak bisa membayangkan jika gadis itu tidak menerima cintanya. Membayangkannya saja, ia takut setengah mati.


Ryu tersenyum geli, ketika tubuh mungil itu menggeliat. Ah, kebahagiaan yang sulit diungkapkan, puluhan tahun ia berjuang sendiri di kota besar ini, kini ada tubuh menggeliat, bersandar dan memeluknya erat.  

Tanpa kuasa ditahan, ia menghujani wajah Hilya dengan ciuman, sehingga kedua mata itu terbuka.

“Sudah bangun?” tanya Ryu.

Hilya mengerjap. “Jam berapa sekarang?” 

“Jam dua,” jawab Ryu santai sambil menunjuk jam di dinding dengan dagunya. 

Sontak Hilya terbangun. Ia segera menarik selimut begitu menyadari tubuhnya tanpa busana. “Kenapa tidak membangunkanku?!”

Ryu mengernyit. 


“Salat Zuhur sudah lewat. Kamu juga belum mandi kan?”  Ia turun bergegas ke kamar mandi. 

Ryu menghela napasnya. Tidak terpikir olehnya waktu salat. Padahal salat waktu yang sangat krusial bagi kaum muslimin, sedang dirinya dulu tidak peduli sama sekali. Dulu, Hilya sering mengingatkan, atau menyindirnya, tetapi ia tidak pernah peduli. Sekarang, ia harus memedulikannya, jika tidak Hilya akan kehilangan kesabaran. Ternyata belajar agama untuk orang seperti dirinya, tidak semudah mengenal huruf alif ba.


Tak lama Hilya keluar dari kamar dengan mengenakan piyama mandi. Melihat rambut basah membuatnya kembali bersemangat. Ia berdiri, ingin melingkarkan tangannya ke pinggang Hilya, tetapi gagal. 

“Aku sudah berwudu. Kamu mandi lah, lalu salat,” ucap Hilya sambil menghindar. 

 “Cuma ciuman saja," rayu Ryu.

“Batal dong wuduku. Sudah, cepatlah mandi. Keburu habis waktunya, lihat tuh sudah jam berapa,” sungut Hilya kesal. “Bisa mandi wajib kan?”


Ryu menggeleng.

“APA?!” pekik Hilya. 

Seketika wajah Hilya meringis, antara iba dan kesal. Ia bertanya-tanya dalam dirinya, mengapa ia mempunyai seorang imam yang benar-benar papa agama?


*** 


Hanif menatap heran menu-menu yang tersaji di atas meja makan, bahkan ada anggur di water jug. Cintami muncul dengan pakaian santai, tetapi terkesan formal. 

"Ada perayaan apa, Ma?" tanya Hanif. 

"Duduklah! Kita nunggu Papa!" 

Hanif duduk saja, meski ia belum mengerti. Ia mengambil kursi berseberangan dengan Cintami. 

Tak lama datang Purnama dengan pakaian santainya. Cintami sedikit kecewa, tetapi ia berusaha menekan perasaannya. 


"Papa tidak tanya ada perayaan apa?" pancing Cintami. 

"Oh." Purnama tergagap. Ia menatap menu yang tersaji. "Aku tidak menyadarinya. Ada apa? Apa ini hari spesial?" 

"Coba tebak!" pinta Cintami, sambil menuangkan sedikit anggur ke dalam gelas, lalu meletakkannya di depan Purnama. Ia juga menuang untuk Hanif dan dirinya sendiri. 

Purnama menggeleng. Hanif juga bertanya dengan kernyitan kening. 


"Rating serial yang dihendel Hanif di peringkat tiga, Pa," beritahu Cintami dengan semangat. 

"Oh."

"Oh?" ulang Cintami. 

Senyum Hanif yang tadi mengembang, seketika lenyap. 

"Oh, selamat ya," ucap Purnama sambil mengangkat gelasnya ke arah Hanif. 


Dengan sedikit canggung Hanif mengangkat gelasnya, menyambut cheers ayahnya. Sesaat ia sempat melirik wajah ibunya yang merah padam. Hanif berinisiatif menuang kembali, lalu mengangkat gelasnya ke arah Cintami.

"Ma, terima kasih banyak atas perhatian Mama. Aku sendiri tidak merasa itu sebuah prestasi. Kalaupun bisa dibilang keberhasilan, bukankah itu sebuah keharusan, ketika melakukan suatu pekerjaan?"


Cintami mengangkat gelasnya, dengan wajah dipaksakan tersenyum. "Bagaimana bisa dibilang itu bukan sebuah prestasi? Kamu baru saja bekerja, tapi serialmu sudah menduduki peringkat tiga. Kalau berhasil, banyak orang berhasil menyelesaikan pekerjaannya, tapi tidak semua orang mampu meraih pencapaian yang tinggi."

"Begitu, ya," jawab Hanif sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Suasana makan malam mendadak senyap dan canggung bagi Hanif. Hanya terdengar denting sendok dan piring. 

***



Setelah Hanif mencuci tangannya, ia berjalan ke arah kamar orang tuanya niat untuk pamit pulang. 

Saat ia ingin mengetuk pintu, tiba-tiba terdengar suara ibunya. 

"Kenapa sih, sulit sekali bagimu mengapresiasi usaha anakmu sendiri?"

Hanif menurunkan tangannya. 

"Bukannya tadi aku sudah ucapkan selamat untuknya?" sahut ayahnya. 


"Hanya begitu. Oh selamat ya, begitu?! Kadang aku merasa, apa kamu menganggapnya anak? Bahkan sejak kedatangannya dari luar negeri, kamu belum pernah memberikan apresiasi untuknya." 

"Bukannya dari dulu begini? Kenapa baru sekarang mempersoalkannya?" sahut Purnama tak kalah sengit. 

"Karena itu melelahkan. Apa salahnya setelah sekian tahun aku meminta kehangatan untuk darah dagingmu sendiri?" 

"Tidak salah, tapi beginilah keadaanku. Bukankah tadi aku sudah berusaha datang memenuhi janjiku. Apa tidak cukup?!"


"Purnama, katakan, di hatimu memang tidak ada kami kan?!"

Hanif mendengar, suara ibunya bergetar.

"Kamu makin ngaco."

"Ngaco? Kamu mau ke mana?"

"Aku ada janji meeting."

Hanif tersentak. Tiba-tiba ayahnya muncul membuka pintu. Ia membuka mulut, tetapi kembali tertutup. 

Tanpa suara ayahnya berlalu. 

"Purnama?!" 

"Ma!" Hanif terkesiap melihat wajah ibunya yang basah. Ia segera memeluk ibunya. 

"Papamu," isak Cintamu. 


Hanif mengelus bahu ibunya. "Sudahlah, Ma. Jangan seperti ini lagi. Lagipula aku sudah besar. Tak perlu selalu ada perayaan seperti anak kecil."

"Tapi…"

"Ma, sudahlah. Kita sudah tahu Papa seperti itu. Kenapa Mama jadi mempersoalkannya sekarang?!"

***


Hilya menyuap snack yang tersedia di atas meja. Matanya terus menatap film yang sedang berlangsung di layar televisi. Ryu yang berbaring di pangkuan Hilya menjulurkan tangannya ke kemasan snack. Spontan Hilya menepuk tangannya dan menjauhkan snack itu. 

“Sudah aku bilang, kalau mau makan, duduk dulu. Dibilangin beberapa kali masih ngeyel.”

“Makan apanya. Cuma ngemil gini,” sahut Ryu dengan tampang  sewot. “Heran deh. Kenapa kamu jadi cerewet gini? Nggak seperti sebelumnya.”


“Begini, Sayang!" Hilya menghempaskan napasnya. Ia melap tangannya dengan tisu. "Dulu tugasku hanya sebagai asisten. Sekarang istrimu, tentu beda lah tanggung jawabnya. Sekarang kita sudah membuka hati untuk saling mengikat diri, tentu lah aku ingin kamu menjadi kekasihku sampai ke surga. Memangnya kamu mau kita bersama di dunia ini aja."

"Tapi ini cuma perkara cara makan?" sanggah Ryu. "Nggak seperti salat kan, kalau ditinggalkan berdosa. Dan kamu juga bilang, belajar satu-satu kan?"

Hilya menarik napasnya. "Ryu, Allah telah memberikan tuntunan lengkap melalui contoh Rasulullah. Lengkap dari bangun tidur sampai tidur kembali. Beliau telah pergi. Para sahabat yang mencontoh kehidupan Rasulullah, sewaktu masih hidup mereka telah diberi kabar gembira keridaan Allah.


 Lalu kita? Kita nggak tau apakah salat kita sudah sempurna hingga diterima. Puasa, zakat, sedekah, yakinkah juga diterima?"

Ryu menggeleng. 

"Nah, mengikuti cara kehidupan Rasulullah itu alternatif atau penyempurna agar kita juga sampai ke tujuan seperti mereka."

Ryu terdiam. Seakan perlu waktu untuk mencerna. 

"Coba duduk deh, apa salahnya duduk? Nggak terlalu merepotkan juga?"

Ryu memutar badannya, menenggelamkan kepalanya di perut Hilya. "Nggak jadi."

Hilya berdecak mengejek. 

Dering ponsel di atas meja makan mengalihkan perhatian mereka. Spontan Ryu duduk. Hilya berdiri mendekati ponselnya. Sedang Ryu meraih kemasan snack. 


Hilya tersenyum ketika melihat nama di layar ponselnya. "Assalamualaikum, Bu," sapa Hilya sambil duduk di kursi. 

"Wa alaikum salam, Hilya."

Hilya tersentak begitu mendengar suara bariton yang menjawab salamnya. Hilya memerhatikan layar ponselnya. Tidak salah lagi, memang nomor Bu Irna. 

"Hilya, ni aku Pak Purnama. Aku ingin bicara denganmu. Datanglah besok ke kantor Bu Irna.  Sendiri."

Suara itu pelan, tetapi sukses membuat wajahnya pucat.


***

Terima kasih. semoga tetap suka dan setia. ♥️

Silakan jalan-jalan ke cerita lainnya:


Rumah Asa

Hakikat Cinta

Teratai Kedua

Ketika Rindu Bertasbih

Merindu Cahaya di Itaewon

Detak Cinta Shafura




Tidak ada komentar