Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintamu Part 24

Merenda Cintamu

 Part 24 Jati Diri





“Katakan saja jika Bapak ingin saya  pergi dari Ryu.”  

Purnama tertegun sesaat, lalu menyunggingkan senyum. "Dari dulu kamu memang cerdas. Aku tidak menyangka dua putraku  sangat menyukaimu." 

"Itu bukan salah saya," bela Hilya. 

"Saya tidak mempermasalahkan mereka menikah dengan siapa dan mau hidup seperti apa, kalau saja finansial mereka sedikit stabil."


Hilya mengangkat wajahnya. 

"Saya sudah menggadang Ryu untuk sebuah film yang sangat bagus, tapi dia malah menolak. Padahal sekarang dia nganggur. Menurutmu itu mengapa?" 

"Itu karena dia telah merasakan nyamannya kebebasan dan kehidupan yang damai. Hidup jujur apa adanya, tidak harus selalu pasang senyum dan diatur-atur oleh orang lain. Bapak dulu pernah jadi aktor pasti pernah merasakan saat-saat seperti itu."

"Oke, kalau memang dia sudah memiliki kehidupan yang mapan. Sekarang? Saya sudah cek penginapan milik dia. Dia membeli penginapan dari temannya yang sebenarnya bukan karena perlu duit, tapi memang karena tidak laku. Sepolos itu dia."


Hilya menelan ludahnya. 

"Sekarang kalian bisa hidup dari properti yang dimiliki Ryu, tapi sampai kapan?" 

Hilya menghela napas. "Saya akan mencoba cari solusinya. Lagi pula saya punya ijazah dan pengalaman kerja, setidaknya saya bisa berharap dari kedua ini."

"Kamu bermaksud menopang kehidupan rumah tanggamu dan menjadikan dia hidup sebagai seorang pecundang?!" tukas Purnama. 

"Pecundang?" Hilya tersentak. "Maaf, bukankah tadi Bapak mengakui putra  Bapak? Jika ucapan Bapak itu benar, mungkin saja itu bersumber dari genetik Bapak."


"Kamu--!"

"Maaf, saya tidak bermaksud lancang. Saya percaya dia mempunyai kelebihan lain, hanya saja selama ini kita cuma melihat dari kemampuan akting dan wajahnya yang menjual. Selain itu, mungkin karena sudah lama hidupnya diatur oleh agensi, sehingga dia sudah seperti robot.

Saya percaya, asal diberi kepercayaan padanya, memperlihatkan kepadanya dunia yang luas ini, dia akan bisa melihat dan menemukan jati dirinya."

"Jati dirinya hanya di akting," sanggah Purnama. 

"Bagaimana Bapak bisa berpikir seperti itu?" 

"Dia putra saya, saya mengenalnya sebagaimana mengenali diri saya sendiri."

"Berarti Bapak juga tahu bagaimana tersiksa hidup di bawah bayang-bayang agensi dan pandangan masyarakat?!"


"Iya, saya tahu. Dan sangat tahu. Saya juga tidak bermaksud untuk menjadikannya artis seumur hidup. Menjadi artis pun ada masanya sepi, bahkan terhenti. Saya hanya ingin dia menerima tawaran ini sekali saja. Kemarin saya lihat hubungan dia dengan Hanif lumayan baik, jadi saya berpikir, akan menjadikan Hanif produser proyek ini. 

Berharap dari kedekatan keduanya dan dari pengalaman juga Ryu mau belajar. Jika dia memang sudah mumpuni, saya tidak segan memberinya satu atau dua proyek. Selain itu,  dia juga salah satu ahli waris nantinya. Bagaimana mungkin saya bisa menyerahkan perusahaan dengan keadaan dia seperti ini."

Hilya tersenyum kecut.


"Jangankan memperlihatkan kasih sayang, Bapak malah mengatur hidupnya dan membebani pundaknya. Pernahkah Bapak berpikir kerasnya hidup dia seorang diri di kota ini? Merangkak lamban sampai dunia mengakuinya? Apakah Bapak tidak melihat dari sisi itu. Dia punya kelebihan, kegigihan dan ketangguhan. Andai saja Bapak mempercayainya sekarang, dengan sedikit bantuan, dia pasti bisa.

Apakah Bapak pernah membayangkan betapa kesepian dia sendirian di sini? Jangankan Bapak mengakui dan merengkuhnya, Bapak malah ingin memisahkan dengan orang satu-satunya di sisi dia." 

Purnama bungkam. Hilya mengusap wajahnya yang terasa basah. Ia berdiri, lalu membungkuk sedikit.


"Maafkan atas kelancangan saya. Saya akan berusaha membantu dia menemukan jati dirinya, tanpa harus hidup di bawah tekanan orang lain. Permisi, Pak." 

Hilya menyandarkan punggungnya di pintu. Tiba-tiba saja tungkainya terasa lemah. Air mata Hilya tumpah. Ia pun tidak menyangka memiliki keberanian seperti itu. Bertepatan Bu Irna keluar dari ruang sebelah karena mendengar pintu terbuka. 

"Hilya, kamu kenapa? Pak Purnama menyakitimu?"


Hilya menggeleng, tetapi air matanya semakin tumpah ruah. 

"Kita masuk ke ruang sebelah saja. Tenangkan dirimu dulu, tak baik dilihat suamimu," ucap Irna sambil membimbingnya ke ruang sebelah dari kantornya. 

"Kamu tidak bisa menceritakan ini sama Ibu?" tanya Irna sambil menepuk punggung Hilya. 

Hilya menggeleng. Ia mengusap membersihkan hidungnya dengan tisu.  "Sejujurnya saya pun ingin curhat, tapi menyangkut nama baik suami, jadi saya--" 

"Iya, Ibu mengerti. Bersihkan wajahmu, jangan sampai dia melihatnya."

"Iya, Bu. Terima kasih."


*** 


Irna langsung masuk ke kantornya, begitu Hilya telah menjauh. Purnama sudah terlihat sibuk dengan tabletnya. 

"Sebenarnya apa yang Bapak bicarakan sampai anak itu menangis?" tanya Irna dengan sedikit emosi. 

Purnama mengangkat wajahnya, lalu mematikan layar tabletnya, dengan wajah tetap datar. Irna duduk di sofa. 

"Dia tidak bercerita padamu?" tanya Purnama. 

Irna menggeleng. "Dia bilang ada hubungannya dengan suaminya, jadi dia tidak bisa menceritakan hal itu."

"Suaminya itu anak saya," beritahu Purnama dengan santainya.


Irna tersentak. Dari matanya ia tidak percaya dengan pendengarannya. 

“Dia putraku dari istri pertama. Ibunya telah meninggal dunia,” jelas Purnama. 

Mulut Irna membulat. Banyak pertanyaan muncul di benak, tetapi sepertinya mulutnya telah terkunci.

“Oke, dia putra Bapak. Tapi kenapa Bapak ingin menawarkan beasiswa kepada Hilya?” Tiba-tia Irna kembali membelalak. “Bapak ingin memisahkan mereka? Kenapa? Saya tahu betul, Hilya gadis baik. Ia akan bisa merawat putra Bapak. Dan sepertinya Ryu juga sangat mencintainya.”

“Hilya akan menjadi kelemahan Ryu.”

“Kelemahan bagaimana? Saya percaya Hilya tidak akan menuntut Ryu yang macam-macam. Dan saya percaya bersama Hilya, Ryu akan baik-baik saja,” cecar Irna.


“Kamu tidak lihat Hilya dan Ryu dari dunia yang berbeda? Hilya tidak akan bisa membuat Ryu berkembang dalam bakatnya. Terbukti sekarang, Ryu benar-benar ingin berhenti dari dunia akting.”

“Memangnya kenapa? Memangnya cuma akting yang memberi mereka penghidupan? Ryu sudah dewasa, tentu sudah berpikir panjang sebelum mengambil keputusan. Saya yakin dia sudah tahu konsekuensi apa yang ditanggungnya jika berhenti dari pekerjaannya sekarang. Mereka pasti sudah berpikir bagaimana caranya untuk menopang rumah tangga mereka.”

“Ryu tidak memiliki bakat apa-apa selain akting.”


Irna menghempaskan napas. “Saya tidak bermaksud membela Hilya. Tapi saya percaya, Hilya akan bisa membantu Ryu untuk mendapatkan pekerjaan baru dan Hilya akan bisa bersabar melewati proses itu. Saya sudah melihatnya langsung, bagaimana Hilya menangani anak-anak yang kelewat nakal. Ia sangat sabar dan tekun, apalagi seorang Ryu, laki-laki dewasa. Pasti bisa.”

“Ryu akan menjadi salah satu ahli waris perusahaan saya, itu sudah takdirnya. Mau tak mau, sudah ada darah mengalir dalam dirinya. Suatu saat dia juga harus ikut mengemban apa yang saya miliki sekarang."

Irna bungkam. Ia ingin membantah, tapi tidak tahu lagi kalimat apa yang diucapkan. Siapa yang mampu melawan ikatan darah?



***

Hilya melangkah pelan, ketika melihat Ryu membantu laki-laki tua itu mengumpulkan daun-daun kering ke dalam plastik sampah. Melihat dari wajah, Ryu terlihat sangat menyukai kegiatan itu. Tiba-tiba ia mempunyai ide. 

“Sudah selesai?” tanya Ryu sambil membuat daun kering ke plastik hitam besar. 

Hilya mengangguk. “Cucilah tanganmu. Di samping bangunan  itu ada kran,” tunjuk Hilya pada sebuah bangunan di ujung. 

Ryu mengangguk, lalu berjalan ke arah bangunan yang ditunjuk Hilya. Tak lama ia muncul dengan tangan masih basah.

“Habis ini kita ke mana? Jalan-jalan, yuk!” ajak Ryu sambil menghidupkan mesin mobilnya. 

“Nggak, perutku lapar. Aku mau makan masakanmu.”


Ryu mengerutkan keningnya. “Kamu tahu, aku tidak bisa memasak.” Ryu memutar kemudinya. Membawa mobilnya keluar dari halaman. 

“Aku mau masakanmu,” rengek Hilya.

“Iya, iya. Akan aku masakkan, asal dimakan, meski tidak enak.”

Hilya menyandarkan kepalanya ke bahu Ryu. “Tidak masalah."

"Apa yang dibicarakan dengan Bu Irna tadi?" 

"Nanti aku akan cerita. Saat ini lagi malas ngomong."


***


Hilya duduk di kursi kaki panjang, sambil memerhatikan Ryu memotong sayuran. 

"Meski lambat, tapi dilihat potongan sayur kamu cukup mahir," seru Hilya sambil menopang wajahnya kedua tangannya. 

"Waktu kecil, aku sering membuatkan Ibu makanan. Aku pastikan saat Ibu pulang kerja, sudah tersedia makanan di meja. Ibu selalu menyantap lahap, meski rasanya hancur," kisah Ryu sambil terkekeh. 

Hilya melihat mata Ryu yang mulai berkaca-kaca. 

"Tapi setelah dia meninggal, aku tidak berminat lagi memasak. Meski hanya untuk mengisi perutku sendiri."

"Pantesan. Tanganmu memang seperti sudah mahir. Kalau aku minta bikin kopi atau minuman apa pun, kamu mau nggak?" 

"Buat kamu apa yang tidak. Tapi tunggu …." Ryu menatapnya penuh tanya. "Ada apa, tiba-tiba menyuruhku ini itu? Kamu belum cerita pertemuanmu dengan Bu Irna."


"Tidak ada hubungannya dengan Bu Irna. Soal itu, nanti aku cerita, in sya Allah. Tadi aku cuma melihatmu membantu kakek di yayasan tadi. Tanganmu seperti gatal ingin bergerak-gerak gitu ya?"

Ryu menengadahkan kepalanya. "Entahlah. Cuma ingin bantu saja, daripada nganggur." 

"Iya, coba kalau Ryu yang dulu. Jangankan membantu, malah mungkin jijik." 

"Sejahat itu aku ya?"

Hilya mengangguk. "Kamu berubah banyak semenjak merawatku. Dan sepertinya tanganmu yang dulu memang cekatan mulai kembali."

Ryu hanya merespon dengan mengangkat kedua alisnya. 


"Lalu apa maksudnya nih?" tanya Ryu sambil berbalik, membuka rebusan ayam yang mendidih. "Mau menjadikanku sebagai pembantumu?"

Hilya mengambil tatakan, lalu memasukkan irisan kentang dan wortel ke dalam panci.

"Mau tidak?" 

Ryu menarik pinggangnya. Ia melayangkan sebuah kecupan di bibir Hilya.  "Buatmu apa yang tidak."  

Hilya melingkarkan kedua tangannya ke leher Ryu. "Kepikiran nggak suatu saat jadi chef, koki atau barista? Aku yang akan menjadi pengecap pertama semua buatanmu." 


***

Terima kasih ♥️




Tidak ada komentar