Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintamu Part 9


Merenda Cintamu Part 9

Korban Bullying







 "Ini gara-gara, lo mencium dia kemarin. Video telah beredar. Ia akan mendapatkan serangan dari  fans Talita."

*** 

Hanif langsung menghubungi Hilya begitu mendapatkan video tersebar dan melihat caci maki warganet. Ia keluar dari kantornya, dengan masih ponsel masih di telinga. Di tengah jalan, ia bertemu dengan sekretarisnya. 

“Pak, sebentar lagi rapat.”

“Batalkan saja. Aku ada urusan penting,” ucapnya sambil berjalan cepat.

“Hanif!” 

Panggilan lembut tetapi tegas membuat langkahnya terhenti. Ia menoleh ke arah suara. “Mama?”

“Kamu mau meninggalkan rapat penting?” tanya Mamanya tegas, Cintami.

“Mama, Hilya dalam masalah.”

“Hilya anak pembantu?” 

“MA! Masihkah Mama memandang begitu, padahal dia membersamaiku sejak kecil? Dia sangat penting bagiku," teriak Hanif. 

Cintami tergagap. Namun secepat kilat ia menutupinya. "Maksud Mama dia anak Dinayah?"

"Memang aku punya teman berapa, Ma?" protes Hanif.

“Sudahlah! Mama tau berita itu. Lagi pula, bukankah ada Ryu, selaku pembuat masalah. Sudah seharusnya Ryu bertanggung jawab padanya.”

“Tapi, Ma ….”

“Hanif, ini penting. Kamu baru saja datang,  ini kesempatan untuk membuktikan kinerjamu pada Papa.”

“Ma?!” suara Hanif melemah.

“Siap-siaplah! Percayalah, Ryu pasti mengatasi masalah ini.”


***


Semua bermula dari sebuah video kompilasi dari beberapa potongan video. Potongan sangat Ryu menggendong Hilya, wajah sedih Talita saat  di sebuah restoran dengan memegang kedua tangan Ryu, seakan Talita sedang mengemis sesuatu kepada Ryu, dilengkapi dengan tulisan kata ‘kumohon’ bertepatan dengan Talita menggerakkan mulutnya, terakhir saat Ryu mencium pucuk kepala Hilya. Hanya beberapa detik, video itu melesat cepat, melahirkan banyaknya cacian kepada Hilya, sebagai perebut kekasih orang. 

Hilya memasuki sebuah minimarket. Ia mengambil beberapa minuman dingin dalam kulkas. Setelah itu, ia mendekati kasir, seorang ibu dengan asik menonton video itu di sebuah media sosial.

“Kurang a*** banget dia, sudah ditolong, eh malah diembat. Dasar perempuan tidak tau terima kasih!” gerutu ibu itu.

Hilya tersentak melihat video itu, bertepatan dengan sang ibu kasir mengangkat kepalanya, menatap heran atas sikap Hilya. 

“Bu … bukan saya,” ucap Hilya spontan.

Nyatanya itu pembelaan itu malah membuat ibu itu mengenalinya. “Ooh, jadi kamu pelakor itu."

“Bu … bukan!" Ia mengibaskan kedua tangannya.

"Iya, pasti kamu. Kamu selalu mengenakan masker kan?!"

"Bu … bukan!" 

Ibu itu berdiri. Menarik Hilya keluar. “Keluar kamu! Aku tidak sudi barangku dibeli oleh perempuan macam kamu. Dasar perempuan perusak rumah tangga orang. Oi sini, ni orangnya, pelakor! Dikasih hati minta jantung!"

Orang-orang berdatangan dari beberapa penjuru. Ibu kasir itu mendorong Hilya hingga terjerembab. Seketika ia sudah dikepung masa. Caci maki terlontar saling bersahutan. 

"Pelakor mati kena azab kau!"

"Perempuan tidak tahu terima kasih!"

"Copot tu hijab! Memalukan!"

Hilya berusaha tengadah, tetapi sumpah serapah yang saling bersahutan membuatnya pusing. Wajah-wajah di depannya seperti slide terus berputar cepat tanpa henti.

Beberapa orang melempar dengan tisu, kemasan bahkan ada yang melempar dengan telur. Tepat mengenai kepalanya. 


*** 

Berkali-kali Ryu menelpon nomor Hilya, tetapi tak kunjung terangkat. Entah berapa kali mobil mereka berputar mengelilingi sekitar lokasi syuting, tetapi tidak kunjung ketemu.

“Kalau cuma beli jajanan seharusnya di minimarket seputar sini saja,” gumam Fadli sambil terus memutar kepalanya. Ryu masih tak dapat bersuara. Bayangan masa lalu, semakin membuatnya semakin dikecam kecemasan. 

Mobil terus meluncur, memasuki gang-gang, sesekali mengambil jalan berputar. Ryu semakin panik. Hari telah gelap. Badannya berkeringat dingin, meski mobilnya dilengkapi mesin pendingin. Hingga di tempat yang sepi, cukup jauh dari lokasi syuting, retina matanya menangkap seorang gadis meringkuk di pinggir.

“STOP STOP!” teriak Ryu sambil menepuk cepat bahu Irfan. Spontan Irfan menginjak rem mobilnya. Melengking bunyi klakson dari mobil belakang. 

Ryu langsung berlari begitu pintu mobil terbuka. Tanpa peduli dengan makian pengendara dari belakang.

“Hilya!” panggilnya ragu. 

Hilya mengangkat kepalanya. Wajahnya tidak menimbulkan reaksi ketika melihat Ryu, meski hanya sekadar gerakan bola mata. 


*** 

Hanif langsung berlari keluar begitu rapat selesai. Di dalam lift ia mengumpat. Beberapa karyawan yang ada di lift menatapnya heran.

Ia menghidupkan ponselnya, menghubungi Hilya. Masih tidak jawaban. Ia merutuki. Mengapa tiba-tiba harus ada rapat? Mengapa tiba-tiba mamanya datang mengawasi? Dari awal rapat sampai selesai, tidak sedikit pun memberikannya leluasa padanya. 

Ia telah sampai ke mobil, tetapi panggilannya belum juga terjawab. Tiba-tiba ia tersadar tidak tahu harus ke mana mencari Hilya. Ia tidak menyimpan nomor Ryu, bahkan tidak tahu di mana tempat tinggal Ryu.


*** 


Ryu tersentak dengan penampilan Hilya yang berantakan dan kotor. Bahkan kerudungnya entah di mana. Ryu berjongkok. 

“Ya Allah, Hilya, kerudungmu mana?”

Hilya tidak merespon. Ia hanya menatap Ryu dengan tatapan datar. 

Ryu melepaskan jaketnya, menutupkan pada kepala Hilya. “Ayo kita pulang!” 

Hilya masih tidak bereaksi. Akhirnya ia memutuskan mengangkat badan Hilya ke mobil. 

“Fadli, tolong carikan seorang psikiater!” pintanya dengan nada perintah sambil meletakkan tubuh Hilya di atas kursi. Fadli pun terkejut saat menoleh ke belakang, melihat kondisi Hilya yang memprihatinkan. Ryu terkejut melihat Hilya yang bereaksi saat Fadli menoleh. 

“Irfan, kemarilah!” pancing Ryu tanpa mengalihkan perhatian.

“Iya, ada apa?” tanya Irfan sambil berdiri, lalu menoleh ke belakang. Tubuh Hilya mengerut.

“Tidak jadi!” sahut Ryu. Irfan duduk dengan keheranan. 

Ryu memegang kedua tangan Hilya. “Tidak apa. Kamu bersamaku. Aku janji akan selalu melindungimu, asal kamu terus bersamaku. Oke?”

Hilya masih menatapnya datar. 


*** 


Sesampai di rumah, Ryu menuntun Hilya hingga sampai ke kamar. “Mandilah, aku tunggu!” ucap Ryu sambil meletakkan piyama mandi ke tangan Hilya. Gadis itu masih saja bergeming. Ryu kembali membimbingnya sampai ke kamar mandi. 

“Mandi, ya,” bujuk Ryu. 

Hilya masih diam. Kali ini matanya mulai bergerak. Ryu keluar dari kamar mandi dan menutup pintu. 

Di luar kamar mandi Ryu mondar mandir menunggu. Berkali-kali ia melirik jamnya. Berkali-kali pula hatinya terbersit membuka pintu kamar mandi, andai tidak ingat kalau Hilya seorang perempuan.

 Ia akan dilempari dengan apa saja, andai gadis itu baik-baik saja. Ia kembali melihat jam tangan.

“Hampir sejam,” gumamnya. Tepat saat ia memutuskan membuka pintu kamar itu, tiba-tiba Hilya keluar dengan piyama yang telah disediakannya. Air menetes di rambutnya yang basah. Ryu langsung menyambar handuk dan membimbing Hilya duduk ke tepi ranjang. Dengan pelan ia melap rambut Hilya. 

“Maafkan, aku. Aku tidak menyangka akan begini! Maafkan aku,” sesal Ryu sambil terus melap rambut. Sesaat ia memerhatikan barang-barang di atas meja rias Hilya. “Kamu tidak punya hair dryer? Bagaimana bisa cewek tidak memilki hair dryer? Padahal rambut kalian kan panjang, tentu lebih perlu. Dasar !” omel Ryu, berharap ada sedikit reaksi dari Hilya. Kenyataannya gadis itu masih bergeming. 

Ryu menuntun Hilya yang masih mengenakan piyama mandi ke ruang tengah, tetapi kali ini Ryu memasangkan sebuah kerudung ke kepalanya. Di sana telah menunggu Fadli, Irfan seorang psikiater perempuan. Melihat mereka bertiga, langkah Hilya terhenti, tangannya menggenggam erat tangan Ryu. 

“Hil, kamu lupa, mereka Fadli dan Irfan, sedang perempuan itu, namanya dokter Anna, dia akan membantumu,” bujuk Ryu lembut. 

Hilya malah mundur ke belakang, bersembunyi di balik badan Ryu. 

“Hil!”

“Tak apa. Jangan paksa dia. Biarkan dia istirahat dulu, tapi saya ingin berbicara dengan Anda,” ucap Dokter Anna.

Ryu mengangguk. “Kalau begitu, saya antar dia ke kamar dulu!”

“Silakan. Tapi sepertinya … siapa tadi, Fadli dan Irfan juga orang yang dikenal Hliya, boleh saya bertanya banyak kepada mereka?” 

“Silakan. Saya permisi dulu.” Ryu kembali membimbing Hilya sampai ke kamarnya. Ia mendudukkan Hilya ke ranjang, kemudian melepaskan kerudung Hilya. 

“Kamu istirahatlah. Aku ingin bicara dengan dokter itu dulu, ya.” 

Wajah Hilya masih saja datar. Ia merebahkan kepalanya ke bantal. Ryu menarik selimut, mengangkat kaki Hilya, lalu menutupkan selimut ke setengah badan Hilya. “Tidurlah!”


***

Dokter sedang mencatat hasil obrolannya dengan Fadli dan Irfan, saat Ryu keluar dari kamar Hilya. Ia duduk di sebuah sofa menghadap Dokter Anna. 

“Dari hasil wawancara saya dengan Fadli dan Irfan, dia mengalami gangguan syok cukup berat. Dia mendapatkan bullyan ekstrem dari orang-orang tentu merupakan pukulan yang sangat besar baginya. Bahkan Fadli bilang kerudungnya hilang, rambut dan pakaiannya kotor, itu sudah kekerasan fisik.” 

“Jadi saya harus gimana?” tanya Ryu tidak sabar. Mengungkit penderitaan dialami Hilya membuat emosinya mencuat. 

“Buatlah dia merasa aman dan nyaman dulu. Kalau ada perkembangan, baru kita dekati lagi.”

“Aman dan nyaman? Siapa yang bisa melakukan itu?” tanya Ryu.

“Tentu orang yang dia percayai. Sepertinya dia percaya sama kamu. Terlihat saat melihat kami dia langsung bereaksi, membentuk pertahanan diri,” sahut dokter Anna.

“Tapi saya bukan yang dia percayai, tidak bisa memberikan perasaan aman dan nyaman. Kejadian ini bersumber dari saya. Keseharian juga, saya sangat sering membuat dia susah.”

“Kalau itu, saya tidak tahu. Anda lebih tahu siapa yang dia suka. Tapi menurut pengamatan saya tadi, dia cukup percaya dengan Anda.”

“Berapa kali saya berbicara dengannya, sedikit pun tidak ada respon, meski hanya kerlingan mata. Saya seperti berbicara dengan sebuah boneka. Dibanding sikapnya Fadli dan Irfan, entah mengapa saya menyukai seperti ini.”


***


Hilya telah tertidur saat Ryu masuk ke kamarnya. Saran Dokter Anna mengulang-ngulang dalam benaknya. Ia menyingkirkan beberapa rambut Hilya yang menutupi wajah.

“Orang yang dia percayai?” guman Ryu. “Haruskah aku mengantarmu pada Hanif?!” 

***

Dukung author dengan subscribe like dan komen ya. 🙏

Terima kasih ♥️

Tidak ada komentar