Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintamu Part 28

 Merenda Cinta Part 28 Gangguan Kompleks





Setengah berlari  Ryu membuka pintu begitu terdengar bel berbunyi. Namun, senyumnya segera lenyap begitu melihat siapa yang datang. 

“Kamu?!” lirih Ryu dengan tatapan kecewa sambil menyingkir. 

Fadli tersentak melihat penampilan Ryu. Mata panda, rambut kusut berpadu dengan kuapan yang sangat lebar. 


"Aku lihat kemarin kamu cinta setengah mati padanya, sekarang sudah bercerai. Ada apa dengan kalian?" tanya Fadli sambil menghenyakkan bokongnya ke sofa. 

Sesaat  ia mengernyit dengan tindakan Ryu. Beberapa kali terakhir datang, Ryu selalu mengambilkan minuman botol dingin untuknya. Kini hanya  terkulai lemas di sofa, meletakkan kepalanya di sandaran sofa dengan mata terpejam.

Fadli berinisiatif mengambil sendiri air botol minuman di lemari es. Sesaat ia menoleh pada dapur  berantakan. Sampah kemasan mie instan dan box makanan yang menumpuk di tempat sampah, bahkan beberapa tercecer di lantai dan peralatan makan kotor yang menumpuk di wastafel. 


"Lebih parah dari Ryu sebelumnya, tapi syukurlah, setidaknya kamu masih ingat makan." 

Ryu mendengus. Justru hanya makan yang bisa dia lakukan di saat hatinya benar-benar nelangsa. Hampir semalaman ia tidak bisa tidur karena memikirkan Hilya. 

“Jadi Hilya telah menceritakannya padamu,” gumam Ryu. 

“Iya, dia yang menyuruhku ke sini," sahutnya sambil membuka penutup botol minuman yang dipegangnya.

Ryu tersenyum sinis. ‘Begitu menyedihkannya aku di matanya.’

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Fadli setelah meneguk minumannya.


“Dia mau kuliah lagi.”

“Lalu?”

“Terjadilah pertengkaran,” sahut Ryu dingin.

“Dan kamu mengucapkan kalimat cerai gitu?” cecar Fadli.

“Tidak sengaja,” kilah Ryu. 

Fadli berdecak mengejek. "Parah banget kamu Ryu! Kamu pikir rumah tangga seperti pacaran putus nyambung?"

"Namanya juga emosi. Lagian ngapain masih berpikir kuliah keluar negeri segala?! Dia sudah kuperlakukan bak seorang putri, masih berpikir kuliah?!" protes Ryu. 


"Itu menurutmu. Bagaimana dari sisi dia? Apalagi sebelumnya dia memang perempuan mandiri? Terbiasa berlari ke sana ke mari melayanimu, lalu sekarang tiba-tiba diam di tempat? Astaga, membayangkannya aku bergidik," ucap Fadli sambil mengusap lengannya.

Ryu hanya merengut. 

“Kalau memang kamu mencintainya, kenapa tidak jemput saja dia? Lalu ubah sikapmu."

“Dia yang tidak mencintaiku.”

Kening Fadli menukik tajam. “Setelah apa yang dilakukannya padamu, kamu masih bilang dia tidak mencintaimu? Gila.”

“Dia cuma mengasihaniku."


Fadli berdecak. "Terlalu banyak gangguan kejiwaan yang kau derita, Ryu. Tidak hanya paranoid, kamu juga krisis percaya diri. Kemana Ryu yang arogan selama ini? Percayalah, aku yakin, dia mencintaimu."

"Kalau dia mencintaiku, kenapa harus meninggalkanku, padahal dia sudah tahu betapa aku tidak bisa jauh darinya?”

Fadli menggelengkan kepala. “Memangnya kamu sendiri tidak berpikir menekuni dunia lain, selain mencintai dia?”

Ryu terdiam. Baginya, memang Hilya satu-satunya dunianya. Ia memasak untuk Hilya, meski suatu saat nanti ia akan membuka restoran atau hanya menjadi seorang koki. Di mana letak salahnya?


Apa salahnya jika ia begitu patuh saat diajari atau dibimbing  demi membahagiakan Hilya? Apa salahnya seluruh perhatiannya hanya untuk Hilya? Bukankah membahagiakan istri juga dinilai ibadah?

"Kebisaanku hanya mencintai dia," gumam dia. "Lalu salahnya di mana? Apapun yang dia minta, akan kerjakan, asal jangan minta kuliah jauh."

"Penyakitmu benar-benar kompleks, Ryu. Tidak hanya paranoid, tapi juga bucin stadium kronis,” seru Fadli. 

"Kamu bicara kaya seorang psikolog saja," ejek Ryu.

“Jika kamu memang masih memerlukannya, datanglah padanya. Kurangi penyakit paranoid kamu. Berikan dia kebebasan. Jaman sekarang, sangat sedikit perempuan yang mau diam di rumah atau selalu mengikuti suami. Ada saatnya mereka pun ingin memiliki waktu sendiri.”


Ryu tersenyum sinis. “Bicaramu, seakan sudah punya istri. Pacar aja belum.” 

“Dibilangin, membantah mulu! Terserahlah. Aku hanya menyarankan. Oh iya, apa aku perlu meminta Bibi Murti ke sini lagi?”

Ryu mengangguk. 

Fadli berdecak mengejek. “Rupanya kewarasanmu kemarin, hanya karena Hilya.”

“Kamu ke sini hanya untuk mengejekku?” tanya Ryu.

“Tadinya ada yang ingin kubicarakan padamu, tapi bagaimana mungkin aku bicara hal penting pada orang yang nggak waras.”


Mata Ryu melotot, tetapi sekejap kemudian melorot. Ia tidak punya tenaga untuk berdebat. “Kamu mau menawariku menerima film itu lagi?”

“Sejujurnya iya, tapi aku tidak memaksamu. Tapi, apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Meski ada Hilya, tidak mungkin kamu terus-terusan seperti ini?”

“Menurutmu aku harus bagaimana?” tanya Ryu terlihat putus asa. 

“Bagaimana dengan skill memasakmu?”

“Selama ini aku memasak hanya untuk Hilya, tidak memungkinkan untuk berwirausaha dengan membuka restoran apalagi bekerja di tempat orang lain.”


“Bagaimana kalau kamu terima dulu tawaran film ini, sambil belajar manajemen. Jika sudah mumpuni, kamu bisa buka rumah makan sambil menyalurkan minat kamu.”

“Jika ada modal, bukankah kita bisa membuka membuka restoran dengan memperkerjakan yang seorang manajer? Kurasa kita bisa menjual sisa propertiku.” 

“Kamu masih belum belajar dari pengalaman beli penginapan?! Memang kita bisa mempekerjakan orang lain, tapi jika wawasan bisnis kamu sendiri belum matang, apalagi hanya sekadar ingin memiliki penghasilan, lihatlah seperti penginapan kamu sekarang. Jika insting marketingmu sudah kuat, aku kira cuma mengelola penginapan itu pun tak masalah. Tidak memungkinkan tetap dijadikan penginapan, mungkin nanti kamu punya ide mau dijadikan apa." 


Fadli menyipitkan matanya. Menatap Ryu yang seperti berusaha mencerna setiap ucapannya. 

“Nanti saja dipikirkan. Sebaiknya kita jalan-jalan dulu? Siapa tau otakmu sedikit waras."


*** 


Ryu tertidur di mobil saat menuju pulang ke rumah. Ia bergeming saat Fadli membangunkannya.

Fadli mendesah. "Mungkin ada baiknya kamu tidur di sini. Kalau dibangunkan, nanti kamu kesulitan lagi tidur."

Fadli mengambil selimut di jok, lalu menutupi badan Ryu. Sesaat ia menatap wajah Ryu yang terlelap. "Setelah apa yang terjadi, ternyata tidak membuatmu dewasa." 


Ryu terbangun di pagi harinya. Lehernya yang tiba-tiba pegal membuatnya sedikit keheranan. Namun, tak lama menyadari ia tertidur di mobil setelah membuka mata.  Ia memerhatikan jam di tangannya. Sudah menunjukkan jam lima lewat. Sesaat ia mendesah. Andai ada Hilya, seharusnya sekarang ia sudah ada di masjid. 

Ia memasuki rumah dengan langkah gontai sambil memerhatikan aplikasi pelacak ponsel Hilya. Perempuan itu masih tinggal di rumah ibunya

 Rumah sepi. Kamarnya seakan tidak ada lagi napas kehidupan. Sayup terdengar azan berkumandang. Biasanya Hilya masih duduk di sajadah, sedang dirinya bersiap-siap ke masjid. 

Ryu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, lalu meletakkan tangan di atas mata. 


"Lakukanlah karena Allah. Hanya Dia akan selalu bersamamu sampai akhir hayatmu, bahkan sampai di akhirat."

Ucapan Hilya kembali terngiang. 

"Kamu melakukanya demi aku? Sebenarnya yang sukai itu apa? Kalau kamu melakukan karena aku, sama saja seperti melakukan akting. Kalau kamu melakukan bukan karena dirimu suka, ada saatnya kamu mengalami kejenuhan."

Rindu dan kesepian benar-benar menyiksa. 

Satu hal yang ia tidak mengerti, mengapa tidak seperti saat ia mengantar Hilya ke rumah Hanif. Setidaknya dengan air mata, mungkin perasaannya sedikit lebih lega 


Sedih dan sepi tentu saja, hanya saja kali ini bercampur kecewa dan amarah. Mengapa Hilya masih belum memahaminya, betapa ia sangat mencintai? Tidak cukupkah semua perlakuannya selama ini membuat Hilya betah di sisinya? Tidak cukupkah semua penghambaan yang dilakukannya membuat Hilya melupakan mimpi-mimpi yang dulunya terlanjur dirajut? Yang lebih menyakitkan, mimpi Hilya bangkit lagi setelah Akram bercerita beasiswa? Sosok imam idaman belum benar-benar lenyap dari angan Hilya.

Ryu tersenyum sinis. “Cintaku yang sangat besar ternyata masih nggak mampu meredam perbedaan dan mengalihkan duniamu."


***

Ryu berlari menuruni anak tangga ketika mendengar bunyi bel rumahnya. Ia membuka pintu, tanpa menengok kaca pengintip. 

“Bi Murti?!” serunya dengan tatapan sendu.

“Maaf, Den. saya ke sini disuruh Den Fadli,” ucap Murti dengan wajah tertunduk. 

“Iya, Bi. silakan,” sahut Ryu sambil menyingkir. “Terima kasih.”


Sementara Bi Murti melakukan tugasnya, Ryu sarapan sambil memerhatikan gerakan ponsel Hilya mengarah ke kota. Selesai sarapan, ia duduk di ruang tengah sambil menghadap televisi. Namun, matanya menatap layar ponsel. mendadak ia bersemangat ketika menyadari lokasi pemberhentian Hilya.

Ia langsung bergegas ke atas, mengambil jaket dan kunci mobil. Ia juga ia menyerahkan kunci rumah kepada perempuan paruh baya kepercayaannya itu. "Bu, aku mau keluar. Kunci saja rumahnya."

Bi Murti mengangguk, lalu mengambil kunci itu.


Ryu melangkah keluar, tetapi berapa langkah ia kembali berhenti. "Bi, bahan di kulkas, daging, ayam, ikan, dan semua sayuran bawa saja ke rumah Bibi. Dibiarkan nanti busuk."

Bi Murti tercenung sesaat kemudian mengangguk. Begitulah Bi Murti. Tidak banyak bicara. Andai orang lain, mungkin akan bertanya ke mana Hilya.

Sampai di komplek yayasan ia melambatkan laju mobilnya. Sambil memikirkan apa yang akan diucapkan setelah bertemu? Sanggupkah minta maaf pada Hilya? Tidak apa, merendah diri asal bersama Hilya, tapi bagaimana kalau Hilya menolaknya? 


Tentu sakitnya akan berdarah-darah dan mengeluarkan aroma busuk. Luka dan bau busuk itu akan membayangi seumur hidupnya. Membayangkan hal ini, tak masalah kan jika dia mengemis?

Haruskah ia pura-pura sakit agar Hilya kasihan? Atau dengan marah-marah seperti saat mereka masih seorang bos dan asisten?

Belum selesai ia berpikir berbagai kemungkinan, tiba-tiba di halaman yayasan terlihat Bu Irna bersama, Kinanti, Hilya dan Akram. Terlihat mereka membicarakan sesuatu. Seiris silet menyayat hati Ryu. Hilya tertawa di depan Akram? Sopir mengambil alih koper yang dipegang Akram, lalu memasukkan ke bagasi. Terlihat di bagasi sudah ada sebuah koper.


Sebelum masuk mobil terlebih dahulu Akram memberi hormat kepada Bu Irna dengan mengatup kedua tangan, sedang Hilya dan Kinanti memeluk  Bu Irna, lalu mereka masuk ke mobil itu. Mobil keluar halaman gedung yayasan lalu meluncur jauh. 

Ryu memejamkan mata. Hatinya terasa diremas-remas. Sakitnya tak terperikan. 

"Hilya, adakah sedikit saja cinta dan rindumu untukku?"

***


Terima kasih ♥️ 

Di aplikasi KBM App. 
Dukung author dengan berkunjung ke sana. 


Tidak ada komentar