Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Merenda Cintamu part 30

Merenda CintamuPart 30 

Phobia



Aku salah satu manusia perindu surga. Siapa yang tidak ingin surga? Atau siapa yang berani menyambangi neraka? Karena itulah dulu aku sangat berbakti pada ibu. Karena surga di telapak kaki ibu. 


Wawasanku bertambah saat kuliah. Beruntung aku berteman dengan Kinanti yang mengantarkanku pada hidayah. Setelah itu aku baru tau, ilmu juga salah jalan menuju surga. Ya, dengan ilmu aku bisa mengenali  perintah dan larangan Allah. Dan ternyata aku sangat menyukai ilmu. 


Ilmu benar-benar surgaku yang kedua. Aku sering tenggelam ketika mengkaji suatu ilmu dan membagikannya juga sebuah kebahagiaan bagiku. Hanya Allah yang tahu bagaimana senangnya perasaanku ketika mendapatkan email bahwa aku diterima di sebuah universitas Islam di Maroko. 


Sayangnya, hanya sebatas angan. Ryu merenggut surgaku. Dengan suka rela aku memasrahkan diri untuk dinikahi, padahal suami juga surga dan neraka bagi  istri. 


Bagaimana aku bisa mengharapkan surga dari Ryu. Dia yang hampir tiap hari bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahram. Dia yang kadang meneguk khamar di suatu pesta. Dia yang selalu mengomel ketika diingatkan salat. Bagaimana aku mengharapkan janji-janji surga pada laki-laki seperti ini? 


Namun, satu hal yang kusyukuri, dia tidak menyukaiku. 


Pandanganku berubah setelah ujian pembullyan menimpaku. Di situlah aku melihat sisi lembut seorang Ryu. Berkat perhatian dan kesabarannya merawatku, aku tidak akan menginginkan apa-apa lagi di dunia. Aku tidak mengharapkan surga darinya. Tapi aku akan berusaha membantunya menjadi seorang hamba yang peduli dengan kewajiban dan larangan Allah. 


Aku berharap Allah mengumpulkan kami sampai ke surga-Nya. Sayangnya, semua tinggal harapan. Dengan mudahnya dia menuduhku hanya dengan sebuah asumsi. 


Setelah itu jalan surgaku seakan dilucuti satu persatu. Melihat mata ibu yang melepaskanku pergi membuat perasaanku bertambah hancur. Kali ini, ia melepaskanku sangat berbeda dibanding aku ngekos saat mau kuliah atau mau pergi ke rumah Ryu. Khawatir tentu ada saat aku mau ngekos, tetapi tersisip kilatan kepercayaan dan harapan yang membuatku tambah bersemangat. 


Berbeda lagi saat mau pergi ke rumah Ryu. Mata ibu sangat berbinar waktu itu dilengkapi dengan doa yang melangit. Sepertinya dari awal ibu memang sangat percaya dengan Ryu. Akting Ryu sebagai seorang menantu memang patut diacungi jempol.


 Berkebalikan mau melepaskanku ke India. Mata ibu sangat kental dengan kekhawatiran, padahal aku ditemani seorang suruhan Tuan Purnama yang bertanggung jawab memenuhi semua keperluanku nantinya. Tuan Purnama berjanji, asal aku bersuara, semua keperluanku akan dipenuhi.



***


Aku sedikit terhibur dengan keberadaan Hanif. Ia juga menemaniku sampai ke apartemen yang telah disediakan. 


"Kebetulan aku melihat biodata, tiket dan keperluan dokumentasi lainnya di kantor Papa." Begitulah pembelaan Hanif saat aku terkejut melihatnya duduk di kursi sebelahku dalam pesawat. 


"Aku tak menyangka di balik wajah keras, ternyata Papa memiliki sisi peduli."


Aku hanya bisa melukis lengkungan dengan ukiran patah dengan celoteh Hanif. Betapa polosnya dia. Di balik kebaikan ayahnya, ada seorang laki-laki yang sangat terluka dalam skenario ini. 


Universitas Muslim Aligarh India, universitas yang sering kulihat banyak mendapatkan pujian. Konon katanya sudah standar Eropa, tapi murah biaya. Sesuatu yang patut dicoba. Namun, satu hal yang terlupakan olehku, India negara berisik, sedang aku masih menyimpan trauma. Aku lupa, kalau India sangat berbeda dengan Jakarta, tempat aku melakukan terapi. 


Klakson bersahutan ketika mobil membawa kami menyusuri jalan Mumbai. Tubuhku langsung bereaksi, tetapi karena ada Hanif, kecemasanku sedikit lebih terkendali. 


Namun sangat berbeda ketika aku sendirian dalam kamar. Detak jantungku langsung berlompatan ketika mendengar teriakan orang bertengkar entah dari mana. Spontan tubuhku beringsut ke pojokan sambil menutup telinga. 


Di saat seperti inilah, betapa aku sangat membutuhkan Ryu. Andai semudah menyeberang Jakarta-Kalimantan, mungkin aku sudah pulang hanya untuk mendapatkan pelukannya. 


*** 

Pov 3 (Author)


Hanif baru saja merebahkan badannya di atas ranjang, di sebuah hotel yang tak jauh dari apartemen yang dihuni Hilya. Lebih dari dua belas jam perjalanan dari Jakarta, transit Malaysia - Mumbai, hingga sampai ke apartemen Hilya. Orang suruhan ayahnya memang sangat professional. Ia dan Hilya hanya duduk manis, jam makan, bahkan keperluan snack pun dia sangat peduli.


Kali ini, ia mengakui sangat respect dengan ayahnya, meski masih sedikit tidak percaya, bagaimana bisa ayahnya berbuat seperti itu. Hanif memejamkan matanya dengan tersenyum, tetapi tak kunjung terlelap akibat keriuhan klakson bersahutan dengan kring sepeda juga suara orang-orang. Ia terkejut tiba-tiba bunyi petasan entah dari mana, lalu disambut oleh bunyi kembang api yang mengangkasa. 


Ia menyentuh dadanya yang bergemuruh. Tiba-tiba ia teringat Hilya. masihkah Hilya trauma dengan keramaian? Bukankah sangat berbeda dengan komplek rumah Ryu yang selalu sepi?


Ia langsung menyambar ponsel dan memanggil nomor telpon Hilya yang baru, yang telah disediakan oleh orang suruhan ayahnya. Sekali dua kali, tidak terangkat. Untuk ketiga kalinya ia mencoba memanggil. Ia sedikit bernapas lega ketika ada sahutan dari Hilya. 


“Hallo … Hanif?”

Hanif tersentak dengan nada sahutan Hilya.


“Hilya, kamu tidak apa-apa kan? Bagaimana dengan phobia kamu?” 


“Aku tidak baik, Nif,” shaut Hilya dengan suara lemas dan bergetar. 


“Aku ke sana, ya,” ucapnya sambil berdiri. 


“Jangan!”

Gerakan Hanif terhenti. “Kenapa?”


“Jika kamu ke sini, apa bedanya saat aku bersama Ryu. Ketergantungan akan terulang lagi.”


“Tapi, aku merasakan jelas kamu sedang tidak baik, Hil.”


Hilya menghela napasnya. “Sudah agak mendingan mendengar suaramu. Jangan ke sini, ya. Ini cuma pertama kali aku di sini. Lama-lama akan terbiasa, kok.” Hilya memejamkan matanya. Detak jantungnya masih berlompatan. 


“Kalau begitu, berbaringlah! Aku akan menemanimu sampai tertidur,” tawar Hanif.


“Nanti aku bergantung dengan suaramu,” elak Hilya. 


“Untuk sementara saja. Lagian kamu juga baru datang, pasti capek sekali. Jadi jangan paksakan melawan trauma dulu. Aku akan menemanimu di sini selama seminggu. Aku janji, setelah itu aku akan pulang.”


“Baiklah!” 

Hanif tersenyum mendengar bunyi gerakan Hilya. 


“Kamu mau aku ngapain?” tanya Hanif. 

“Entahlah.”


“Mau aku ceritakan dongeng?”

Hilya tertawa. “Kita bukan anak kecil lagi.”


“Lalu?”

“Ceritakan tentang selama kamu di Harvard,” pinta Hilya.


Hanif tersenyum. “Mau yang suka, duka, atau semuanya?”

“Semuanya. Apa saja. Kalau yang senang aja, takutnya setelah ini aku mau Harvard." Hilya mencoba bercanda. Barangkali bisa membuat diri sedikit lebih rileks.


“Tidak masalah. Asal prestasimu di sini bagus, ada kemungkinan, ayah akan memberimu beasiswa lagi.”

Hilya tersenyum kecut begitu disebut ayahnya Hanif. 


*** 

Jakarta 

“Cut!” Teriakan seorang sutradara, menghentikan gerakan Ryu pada akting “Oke. Kalian bekerja dengan baik.”


Napas lega terhembus dari beberapa anggota kru. Satu sama lain saling mengucapkan terima kasih, lalu saling merapikan pekerjaannya bersiap-siap pulang ke rumah masing. 


Kali ini Ryu kembali digandingkan dengan seorang gadis muda yang cantik blasteran, Cinta Graclynn. Cinta mendekati Ryu. “Terima kasih atas kerjasamanya.”


“Kamu juga telah bekerja dengan baik,” sahut Ryu, lalu pamit tanpa peduli dengan Cinta yang termangu dengan sikap dinginnya.  


Fadli memperhatikan jam tangannya setelah naik mobil. “Tak terasa sebelas,” gumam Fadli. 


Irfan masih mengucek matanya yang baru saja terjaga, sedang Ryu telah memejamkan matanya. Setiap kali memejamkan mata, wajah Hilya selalu mengusik, menoreh luka di hati.  Bersamaan itu pula, khawatir juga muncul. Bagaimana keadaan perempuan itu sekarang? Apakah bisa menjadi diri dengan baik? Sudah sembuh total kah dari kecemasan? Apakah sudah bisa beradaptasi dengan cuaca dan Mesir? Mengingat makanan, ingin rasanya membuatkan makanan untuk Hilya lalu mengirim ke Mesir.


Tanpa ia sadari, Fadli menatap bibirnya yang tersenyum. 


“Kamu nggak ada komunikasi dengannya?”


Ryu hanya menjawab dengan helaan napas. Lelahnya bekerja siang malam, tidak bisa membuatnya alfa dari mengingat dan mengkhawatirkan Hilya. Namun, beberapa saat kemudian perasaannya kembali tergores jika disuguhi beberapa pertanyaan, “Mungkinkah dia juga merindukanku? Ah, mungkin sekarang Hilya sedang asik menelaah kajian ilmu dengan temannya, dan di dalamnya ada Akram. Bagaimana Hilya bisa merindukan dirinya? Laki-laki yang tidak bisa diharapkan menjadi imam yang baik. 




*** 

Hanif bergegas berdiri begitu membuka matanya. Setelah ke kamar kecil, membersihkan gigi dan wajahnya, ia langsung meluncur ke apartemen Hilya. Di tengah jalan ia langsung meminta password pintu kamar Hilya, meski dengan susah payah membujuk kepada orang bawahan ayahnya.


Ia mengetuk sekali, tidak ada jawaban. Kedua kali, tetap sama.  Pintu terbuka bertepatan ia hendak memasukkan password di wide digital door lock.


"Hanif?" 

Hanif meluruskan badannya. 


"Meski kamu tahu password-nya, jangan lakukan lagi!" seru Hilya menyingkir. 


"Maaf, aku cuma khawatir padamu. Bagaimana keadaanmu?"


"Alhamdulillah, baik."

"Tidak. Sepertinya keadaanmu tidak begitu baik. Dari suaramu  sepertinya kena flu pilek."


Hilya berbalik. Memasang wajah tak suka.


"Aku mengerti. Kamu ingin mandiri. Kamu takut kembali bergantung sebagaimana terjadi saat bersama Ryu. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja di sini, sebelum aku balik lagi ke Indonesia."


Hilya menghela napasnya. 


"Baiklah. Aku memang kurang sehat, tapi kurasa akan baikan kalau sudah bisa istirahat. Kita memang kemarin sangat capek di perjalanan." 


Hanif mengangguk. "Kamu sudah makan? Aku siapkan makanan ya?" 


Hilya tercenung. Mengapa kakak beradik ini memperlakukannya  sama?


***


Terima kasih ♥️




Dukung dengan berkunjung ke aplikasi. Klik gambar. 





 

Tidak ada komentar