Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Teratai Kedua Part 6

 Teratai Kedua

 Part 6: Anak Yang Dibanggakan


“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.

“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”



*** 

Sanad melepaskan kaca matanya, lalu meletakkan buku yang dibacanya ke atas nakas, ketika Hayati baru keluar dari kamar mandi. 


“Mau ke mana?” tanya Hayati.

“Mau bacakan dongeng buat Evan.”

“Bukannya sekarang ada Tera?! Jika Evan mau dibacakan dongeng, dia akan minta bacakan pada Tera,” sahut Hayati sambil mengusap rambutnya yang basah. 


“Aku tak percaya perempuan itu,” tukas Sanad, lalu hilang di balik pintu.

Hayati hanya bisa menghela napas. Ia menoleh ke arah ponsel yang menyala. Bibirnya langsung tersungging senyum begitu melihat pemilik pesan itu.



***


Tera tersentak dengan kemunculan Sanad di kamar. Ia mengelus dadanya yang terasa ingin meledak akibat debarannya.

“Ke depannya, kamu harus mengetuk pintu jika mau masuk ke kamar sini!” ketus Tera, sambil memasang kancing piyama Evan.

“Ini kamar anakku, kenapa harus mengetuk pintu?!” 


“Sekarang ada aku di sini. Kamu mau melihatku dengan pakaian seadanya?!”

Sanad menatap Tera dari atas sampai bawah. Ia menggeleng kepala dengan wajah mengejek. “Apa bedanya jika aku melihat. Dengan badanmu seperti itu, orang lapar pun nggak minat.”


“Kau …!” Ucapan Tera tertahan. Tangannya mengepal. Andai tidak ada Evan, mungkin wajah yang Tera yakini hasil salon itu akan memar. 

“Setidaknya hargai aku sebagai perempuan!” 


“Kenapa harus aku? Kalau kamu ingin dihargai, seharusnya kamu jaga diri.” 

Tera kembali tersentak. Ucapan itu benar-benar mengoyak perasaannya. Geraham menggertak. Ia berdoa, sekali saja menghatam wajah sombong itu. 


“Ini sekarang juga kamarku. Tempat privasi, tempat di mana aku bisa istirahat meski sebentar. Masa aku harus siaga di tempat privasiku?!”

Sanad mengibas tangannya. “Terserahmu!” 


Ia mendekati Evan yang masih duduk di ranjang. “Bagaimana anak Papa? Baikan?”

Evan mengambil kertas lalu menoleh beberapa kata. 


“Hari ini aku bahagia.” Tiba-tiba Sanad menghentikan bacaanya, mengingat ada Tera di dekat mereka. ‘Mama baik sekali.’ Sesaat ia mendelik ke arah Tera yang masih memasang wajah kesal.

Ia membalas dengan tulisan.


[Bagaimana bisa dibilang baik? Galak gitu]

Evan kembali membalas.

[Papa yang jahat.]


Sanad mendesis. Evan makin tersenyum ceria. 

“Sudah waktunya tidur. Papa mau bacakan dongeng,” ucap Sanad sambil mengambil salah satu buku di rak. Tera melongo ketika melihat The Lord of the Rings. 


Tera merampas itu buku. Ia membuka buku itu, matanya membesar ketika melihat bahasa di dalam buku. “Kau mau membacakan dia ini?”


Sanad mengangguk, dengan kening menukik.

Tera menggeleng. Ia menoleh ke arah Evan yang menatap mereka. “Gila kamu, San!”

“Apa? Kamu memanggilku nama?! Aku bosmu," tegur Sanad.


“Bodo amat. Seharusnya kamu membacakan buku untuk seusia dia.”

“Kenapa? Tuh dia ngerti. Perlu kamu tahu, meski tidak bisa bicara, secara tertulis dia sudah mengerti bahasa Inggris. Kamu tau apa?”


“Setidaknya aku tau berapa usianya. Aku hanya ingin membiarkan tumbuh sesuai usianya,” sahut Tera tak sengit. “Setidaknya aku mendidiknya tidak terlalu banyak berharap padanya. Tidak seperti kamu, mungkin dia baru buka mata di dunia ini, kamu sudah menaruh banyak harapan padanya.”


“KAU!!” Susah payah Sanad me-rem emosinya. Wajahnya tinggal beberapa sinte dengan Tera, tetapi gadis itu tidak sedikit pun memundurkan wajahnya, malah menatap nyalang. 


Sesaat ia menoleh putranya yang masih menatapnya. Ia menarik diri, lalu keluar dari ruangan. Sepeninggalan Sanad, Tera menghempaskan napasnya. Sesaat kemudian ia baru tersadar, masih ada Evan yang tak seharusnya melihat adegan barusan. Ia segera merengkuh tubuh mungil Evan. 


“Maafkan Mama. Tidak seharusnya kamu melihat tadi.”

Evan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum, lalu menggelengkan kepala. 

Tera mengerutkan kening. “Kamu tidak masalah Papa dimarahi?”


Evan menggeleng. Ia mengambil kertas dan pulpen, lalu menulis.


[seru] 

Tera tidak percaya dengan yang dibacanya. 

Evan mengangguk. Ia kembali menulis. 

[tidak ada yang berani marahin Papa, selain Mama.]


Tera ingin tertawa, tetapi ia keburu menahan diri. Ia memencet pipi Evan.

“Jahatnya. Tidak boleh begitu! Kamu harus membela Papamu.”

Evan terkekeh. Lalu menggeleng. 


“Kenapa?”

Evan hanya menjawab dengan gelengan.

“Ish. Mama harus menghukummu.” Ia meletakkan jarinya ke pingging Evan, sehingga bocah itu menggeliat dan tertawa kegelian. 



*** 

Hayati terperanjat ketika Sanad masuk ke kamar. Dentuman pintu membahana di kamar mereka. Spontan ia meletakkan ponselnya.

“Kenapa?”

Sanad tak menjawab. Ia duduk di sisi ranjang lainnya sambil mengatur napasnya.

“Tadi katanya mau masuk ke kamar Evan, terus datang marah-marah. Siapa yang bikin kamu begini? Tera?”


“Sudahlah. Malas ngomongin perempuan itu.” Sanad naik ke atas ranjang, lalu memasukkan kakinya ke dalam selimut dan berbaring.


Hayati merebahkan kepalanya di bahu Sanad. Laki-laki itu langsung menyambutnya tanpa suara. Hayati ikut terdiam. Sanad memang selalu menyambut sikapnya, tetapi ia tahu hanyalah sentuhan kosong. Hati laki-laki itu tidak pernah untuknya.



*** 

Sambil membelai rambut Hayati, Sanad memejamkan mata. Namun, pikirannya masih tertinggal di kamar Evan. 

Mata nyalang, tetapi berair masih melekat di benaknya. Ia memang sengaja mengucapkan hal itu untuk melihat reaksi Tera. Namun, mengapa reaksi itu di luar dugaannya.

'Kenapa harus marah? Bukankah ia pernah melakukan itu?'


*** 


“Mama tidak mengerti, kenapa kamu selalu bersikap kasar pada Tera? Apa salah dia?” tanya Fatima ketika di dalam mobil yang mengantar ke pekerjaan mereka. 

“Bukannya dari dulu saya begini?!” jawab Sanad tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar tablet. 


“Tapi pada Tera kamu lebih kasar padanya?” bantah Fatima.

“Dia itu ….” Ucapannya terhenti mengingat ada Hayati bersama mereka. Info buruk yang ia dapatkan tentang Tera cukup hanya dirinya yang tahu, tidak perlu disebar luaskan.


Hayati mengerutkan kening. 

“Dia kenapa?!” cecar Fatima.

“Tidak apa.” Ia kembali pada layar tabletnya. Tiba-tiba ponselnya berdering. “Ya?” ucapnya setelah memasang earphone. 


“Iya, dia ke sekolah Evan. Kau terus awasi dia. Jangan sampai ada yang terlewatkan. Mengerti?!” 

“Kamu memata-matai Tera?” tanya Fatima setelah Sanad melepaskan earphonenya.


Sanad mengangguk. 

“Sampai sejauh itu?! Kamu keterlaluan, San!” hardik Fatima. Hayati yang duduk di samping Fatima terkejut. Sangat jarang Fatima meninggikan suaranya. 

Sanad berpaling. “Ma, dia masih orang asing dan kita menyerahkan Evan padanya, wajarlah jika aku ekstra hati-hati.”


Fatima menggelengkan kepala. “Sekian tahun berkecimpung di pertarungan bisnis, aku kira kamu sudah bisa mengenali orang.” 

Sanad membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Hayati meneguk salivanya. Sekian lama membersamai keluarga Sanad, baru kali ini ia melihat perdebatan. Entah mengapa ia iri pada Tera. Meski dengan kecurigaan, setidaknya Tera telah mendapatkan perhatian seorang Sanad.



***

Setelah mengantar Evan ke sekolah, Tera mencari minimarket terdekat. Ia mengambil kerupuk merk Teratai, tetapi pada saat mau ke kasir, tiba-tiba ia berpaling, bersembunyi pada sebuah rak. 

“Rasid?” gumamnya. Ia melihat salah satu anak buahnya sedang berbicara dengan karyawan minimarket. 


Tera menaruh kerupuk, lalu mengikuti Rasid keluar, hingga sampai pada sebuah motor, ia menyeret lengan Rasid.

“Apa-apaan ini?” pekik Rasid, tetapi seketika ia terdiam begitu mengenali orang yang menyeretnya.


Tanpa suara, ia terus menyeret Rasid hingga sampai ke samping bangunan. 

“Ceritakan apa saja yang terjadi di Teratai?” 

Rasid menghela napas. “Banyak yang terjadi, Kak. Teratai sekarang dikelola oleh oleh Kak Kembang dan suaminya.”

“Maju?”


“Secara jumlah produksi maju, tapi secara kesejahteraan karyawan ….” Ia menggeleng pasrah. 

“Memang Arbain dan Kembang ….” Ia tak sanggup mengucapkan, jika adiknya berbuat buruk kepada karyawannya. 


Rasid mengangguk. “Mereka marah karena tidak berhasil mendapatkan resep. Padahal kami sendiri memang tidak tahu 'kan.”


Tera tersenyum miring. Selama proses pembuatan, tidak pernah ia melakukan secara sembunyi-sembunyi dari keluarganya. Salahnya Kembang tidak pernah mau menyentuh adonan ataupun ikut handil dalam produksi Teratai. 


“Lalu Acil Nurul?” 

“Acil Nurul dan Rudi mengundurkan diri, juga beberapa orang. Maafkan aku, Kak. Aku tidak berdaya. Padahal Kakak sudah banyak membantu keluargaku,” ucap Rasid menunduk.


“Jangan salahkan dirimu. Tetaplah bekerja padanya, selama dia menggajimu secara adil. Oh iya, jangan beritahu aku ada di sini!”

Rasid mengangkat wajah. “Ibu Kakak sakit-sakitan.”

Mata Tera mengembun. “Keberadaan Kembang sudah cukup baginya. Anak sarjana yang selalu dibanggakannya.”


“Tapi ….”

“Aku mohon jangan beritahu mereka. Khawatir mereka tidak puas mengusirku hanya sampai di sini.”

“Tapi bagaimana keadaan Kakak sekarang?”


Tera hanya membalas dengan senyuman. 

“Kak, aku yakin Rudi masih mencintai Kakak. Dia akan melindungimu. Kembalilah.”

Kembali Tera hanya  tersenyum. Lalu menjauh, sambil menengokkan kepala ke kiri dan ke kanan. 



*** 

Di kantor Sanad memperhatikan video yang dikirim informannya. 

“Rudi?” 


***

Terima kasih ♥️ semoga tetap setia. Jangan lupa dukung dengan subscribe, like dan komen.




Tidak ada komentar