Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Detak Cinta Shafura Part 5

 Detak Cinta Shafura

 Part 5: Tampang Penggoda




💚💚💚


"Kadang-kadang ana rindu Yaman. Di sana ana bebas berbuat apa. Di sana ana juga dipandang sama sebagaimana santri lainnya," gumamnya sambil menatap langit-langit ruang ini.


Tentu saja, di sana dia juga belajar, dan juga mungkin tak banyak yang tahu bahwa dia anak seorang kyai. Sedangkan di sini? Di sini dia anak kyai sekaligus yang bertanggung jawab atas pondok ini.  Jadi kami harus menghormatinya, dan dia pun harus menjaga wibawanya, walau sebenarnya umur kami tak jauh berbeda. 


"Lalu mengapa tidak ingin menikah?"


Ia menoleh. Ini bukan pertanyaan pertamaku. 


"Kenapa anti memandangku seperti itu? Menikah kan bukan ide yang jelek?"


Sesaat dia merenung. Pandangan ke arah komputer, namun aku yakin dia sedang mempertimbangkan ideku. 


"Menikah itu enak lho! Ada yang menemani setiap saat. Ada yang membahagiakan kita. Memberi kasih sayang, perhatian. Di bahunya kita melepaskan lelah, genggaman tangannya akan membuat kita kuat, dan senyumnya membuat kita bersemangat."


Aku berbicara padanya sekaligus pada diriku sendiri. Seakan-akan aku melihat sosok itu. Iya, seorang lelaki yang selalu menyayangiku, dulu. Seseorang yang memberi arloji. Bagai seorang kakak yang selalu menyemangatiku. Aku jadi rindu sosok itu. Tapi kenapa aku ingat dia pada saat aku bicara pernikahan? 


Ah, kacau. 


Aku jadi salah tingkah, Aisyah memandangku penuh keheranan. Apakah dia menangkap pikiranku? Atau jangan-jangan aku salah mengucapkan sesuatu? Aku menelan ludah, lalu mengalihkan pandangan darinya. 


"Anti seperti pernah menikah saja atau anti sedang jatuh cinta?" Kali ini gantian Aisyah menggodaku sambil menahan tawa. 


"Tapi, tidak salahkan? Menikah itu sepertinya memang salah satu nikmat Allah kan? Akan selalu ada yang menemani kita. Tempat berbagi suka dan cita."


"Iya, tidak salah. Bahkan anti benar, setidaknya ana tidak repot-repot lagi mencari anti, ketika ana butuh teman. Karena sudah ada seseorang di sisi ana yang lebih dari sekedar teman.”


Aku terkesiap. Giliranku yang kaget. Apa dia tersinggung? Tapi mudah-mudahan ia serius mengubah pandangannya tentang pernikahan. Ssepertinya juga memang sudah waktunya. Aisyah sudah dewasa, sangat dewasa malah, ia tiga tahun di atasku. Usianya sudah  25 tahun. Jika ia menikah, ia tidak akan sendirian memegang kendali pondok ini. 


"Tapi, bagaimana caranya?" 


Pertanyaan Aisyah membuatku kaget sekaligus bingung. 


“Bagaimana apanya?” 


"Lamaran yang datang tidak ada yang menarik hatiku, Silmi.” 


“Ooh, kalau begitu, anti jangan khawatir! Bagaimana kalau kita cari di Duta Mall? Kau kan bisa pilih yang sesuai dengan seleramu."


Tawa kami pun meledak. Aku merasa tak perlu membicarakannya dengan lebih serius. Jika ia memang siap, ia akan membicarakannya sendiri. Tak perlu dipancing. Jika ia memang tidak siap, maka aku harus menjaga privasinya.


“Sudah ah, Silmi. Ana pulang dulu. Anti juga belum makan kan?"


Aisyah bangkit dari duduknya. 


"Anti harus menjaga kesehatan, Silmi. Setidaknya jaga makan. Jangan sampai sakit, tenggelam dalam kesibukan. Nanti malah berantakan semuanya."


Kami keluar dari ruangan kantor. 


"Sejak kapan anti jadi ibuku?"


Aku yakin Aisyah tersenyum di balik cadarnya mendengar ucapanku barusan. Aisyah memang sangat jarang tertawa, ia sangat menjaga suara yang juga termasuk aurat bagi wanita. Kepribadiannya sungguh menawan. Pangeran shaleh mana yang berhasil mempersunting sahabatku ini?


Aku dan Aisyah mengambil jalan yang berbeda. Setelah saling mengucapkan salam, aku kembali ke asrama. Ternyata teman-teman sedang menantikan diriku.   


"Kalian masih belum makan?"


Tanyaku dengan wajah penuh keheranan. Mereka semua berkumpul duduk melingkar menghadapi makanan dalam nampan yang belum tersentuh.


"Belum. Kami menunggu anti!"


Fitri cemberut, sepertinya dia kesal sekali. Mungkin dia sudah kelaparan. 


"Maaf, ya. Ana pikir kalian akan makan duluan."


Aku mendekati dan masuk dalam lingkaran mereka. 


"Mereka tidak bisa makan tanpa anti."


Rasa kesal membuat Fitri semakin manyun. Kekesalannya mulai hilang saat mengunyah makanan dengan konsentrasi. Kelihatan sekali dia sangat lapar, aku jadi merasa bersalah.


"Kenapa dia mencari anti?" tanya Syifa.


Aku mengangkat alis. 


“Aisyah," sambung Syifa.


"Hal biasa," sahutku. 


"Cuma hal biasa? Aisyah tadi kelihatan marah sekali," sela Hilma.


Aku hanya mengangkat bahu. 


“Repot juga yah punya nyai muda," sungut Fitri.


"Huss.. hati-hati bicaranya, tak baik kalau kedengaran orang lain," sergah Syifa. 


Aku hanya terkekeh. Fitri ada benarnya juga, cuma berapa hari tak bertemu saja, Aisyah sudah marah-marah segitunya. 


"Silmi, benar anti jadian sama Hans?"


Pertanyaan Fitri tiba-tiba membuat mataku menbeliak, hampir saja makanan ini keluar dari mulut.  


"Apa maksud anti, Fitri?"


Mataku menyapu semua wajah teman-temanku menanti jawaban. Terlihat Syifa mendelik kepada Fitri. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya? Apa yang terjadi? Jadian sama Hans? Aku mengerti arah pembicaraan Fitri, mungkin karena mereka melihatku di ruangan siang tadi? Bukankah di antara kami ada  hijab? Ini tidak dapat dijadikan tuduhan! Bukankah tadi Hans bersama teman-temannya.


"Katakanlah, Fitri! Ana tak mengerti!" desakku, aku semakin heran, sepertinya Fitri sengaja diam. Kenapa tiba-tiba dia tutup mulut. Benar jadian sama Hans? Tak sepenuhnya pertanyaan, tapi juga menyiratkan tuduhan. 


"Anak-anak bilang, anti pacaran sama Hans," ucap Fitri. Sepertinya dia tak tahan menyimpan rahasia itu. Syifa mendengus. 


Aku kaget mendengar pernyataan Fitri, sekaligus tak tahan menahan tawa. 


"Ada-ada saja. Rupanya, santri di sini jago menyebarkan isu-isu, ya? Kemarin ana diisukan merebut calon jodoh orang. Tidak tanggung-tanggung, calon jodohnya Aisyah. Jahat bangetkan ana?! Lalu sekarang ana diisukan dengan Hans. Sepertinya tampang ana seperti wanita penggoda," ucapku di sela-sela tawa. Tanpa sadar, aku kehilangan selera makan. 


"Siang tadi?" tanya Fitri terhenti. 


"Siang tadi?" Aku balik bertanya, tapi seperti aku paham arah pembicaraannya. "Tidak. Jangan tuduh ana macam-macam! Ana tadi sudah cerita kan Syifa? Kenapa ana bisa berada sendiri di ruang kitab? Kalian  bisa menyimpulkan hal itu berdasarkan apa sih? Kami tidak pernah saling berbicara. Kalian lihat sendiri kan? Hans..., maksudku dia asik bercanda dengan teman-temannya. Cuma itu!"


"Syukurlah!" gumam Fitri.


"Syukurlah?!" goda Hilma. "Anti bersyukur, Ukhti Silmi tidak sama Hans, itu artinya anti naksir sama Hans. Iya kan? Ayo ngaku!"


“Bukan begitu, Hilmaaaaa,"  bela Fitri. 


Sesaat Hilma dan Fitri adu mulut. Fitri gadis yang menurutku lucu, Hilma sangat suka menggodanya.  Aku tersenyum melihat tingkah mereka. 


"Silmi, bila didiamkan isu ini. Anti bisa kena sanksi." Syifa membuyarkan dan menghentikan perdebatan Fitri dan Hilma.  Sesaat mereka memandangku, mengangguk membenarkan ucapan Syifa. 


"Anti dikenakan sanksi, karena pacaran. Anti tahu kan beratnya hukuman itu? Karena itu bukan lagi sekedar kenakalan, tapi sudah melanggar perintah agama. Agama melarang kita pacaran. Terlebih lagi, status anti sudah sebagai ustadzah."


"Tapi, isu itu tidak benar! Dan bukankah yang menetapkan kesalahan, maksudku, dikenakan sanki setelah ada bukti, kan?" belaku. 


"Benar juga. Kalau sudah di angkatan kita, mungkin tidak ada yang berani ambil tindakan secara terang-terangan padamu. Tapi masih ada di atas kita yaitu Aisyah Nur Fadhilah!" Mendengarkan Syifa mengucapkan nama lengkap Aisyah, nyaliku jadi ciut. Aku menelan ludah. Bagaimana respon Aisyah jika mendengar isu ini? Jika dilihat dari sisi sahabat, rasanya mustahil Aisyah percaya isu itu. Bukankah aku sangat dekat dengannya, jadi dia lebih tahu siapa aku. Tapi, jika dilihat dari sisi posisiku, sebagai salah satu ustazah, maka Aisyah harus mengusut isu ini. 


Selain itu pula, tak bagus bagi anak-anak. Jika mereka menganggap berita itu benar, khawatirnya mereka juga akan melakukan yang sama karena tak merasa bukan sebuah kesalahan. 


Di sisi lain, akan ada yang protes, kenapa anti  tidak mendapatkan hukuman, sementara santri-santri lain yang melanggar kena hukuman," jelas Syifa panjang lebar. Makanan di depannya sudah habis. Kulirik makanan di hadapanku masih banyak.


"Fitri, anti mau kan menghabiskan makanan ana?" Tanpa menunggu jawaban langsung kugeser makananku ke hadapannya, dia pun tidak keberatan. 


Aku hanya mendesah. "Lalu, ana harus bagaimana?"


****





Tidak ada komentar