Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Detak Cinta Shafura Part 7

Detak Cinta Shafura Part 7: Helena






Pagi ini seperti biasa aku membimbing dan menerima setoran hafalan santriwati di bawahku. Tapi, aku heran biasanya semua yang hadir lengkap, pagi ini ada satu tidak hadir, Helena. Aku pun mencari informasi kepada temannya, katanya Helena sakit. 

Begitu kelas selesai aku memutuskan untuk menjenguk ke kamarnya.

"Helena, anti kenapa?" Pintu kamar sedikit terbuka, aku melihat tubuhnya mengerang sambil memegangi perut. 

"Sakit perut, Ustadzah.” Helena membuatku panik, ia meringkuk, badannya begitu lemas. 

"Sudah minum obat?"

Helena mengangguk.

“Anti telat makan lagi?”

Helena mengangguk kembali. 

“Anti sudah sarapan?"

 Helena menggeleng. 

Inilah salah satu penyakit Helena, susah makan, bahkan ia bisa tidak makan sama sekali dalam satu hari. Akhirnya beginilah yang terjadi.  

"Kakak ambilkan makanan, ya? Kakak temani makan."

Kataku sambil beringsut keluar tanpa perlu menunggu jawaban anak itu. Orang sulit makan memang susah bisa diajak kompromi. Alasannya cuma satu,‘tidak selera.’ 

"Ini Kakak bawakan makanan," kuletakkan nampan makanan di dekatnya, "Bisa duduk?"

Dilihat dari wajahnya sepertinya dia masih ragu, namun tubuhnya seperti menurut saja. 

"Kenapa?" 

Helena hanya memandangi makanan itu, tanpa menyentuhnya. 

"Kakak temani makan, ya. Sebelum makan, sebaiknya anti minum obat maag ini. Kebetulan ada di dalam tas.”

Dia masih diam, tetapi menerima dan membuka mulut saat aku menyodorkan obat. Sikapnya menunjukkan dia benar-benar tak berselera dengan makanan di depannya.     

"Tidak suka?"

Helena hanya menggeleng. 

Aku menatap Helena dalam-dalam, berusaha memahami apa yang dirasakannya. Helena adalah adik Hans. Berasal dari orang berada. Keturunan bangsawan. Apakah sampai sekarang tata krama kebangsawanan masih ada di bumi Banjar ini?

Apakah makannya pakai sendok. Duduk dengan anggun, tidak berbicara dan mengeluarkan bunyi saat mengunyah, seperti yang kulihat di drama?

Lalu bagaimana dengan menunya? Benarkah menunya bervariasi sehingga memenuhi meja makan yang panjang? Pasti semuanya enak, dimasak oleh koki handal? Selalu dilayani? Entahlah. Aku sendiri melihat kehidupan seperti itu hanya di drama.

Meski  Kemungkinan itu memang ada, tapi di sini? Helena harus belajar beradaptasi. 

 "Aaa…."

Tiba-tiba terbersit dalam hatiku untuk menyuapinya. 

"Ustadzah?!"

Aku tersenyum kecil. Melihat tingkahnya. Mukanya merona merah.

"Ketahuilah. Sebaik-baik adab adalah adab Sunnah. Adab yang diajarkan Rasulullah."

Helena menatapku. Aku menarik tangannya, lalu mengalirkan air yang dari tadi ke tangannya di atas mangkok. 

"Mencuci tangan itu sunnahnya dengan air mengalir, supaya kotoran dan najisnya berguguran."

Sejenak kutatap wajahnya. Sulit kuartikan dari ekspresi wajah manisnya. 

"Lalu makan pakai tangan dan ucapkan basmallah. Tangan kita memiliki enzim khusus, yang nantinya akan membantu pencernaan dalam menghaluskan makanan, dan itu tidak kita dapatkan sendok. Sedang basmallah untuk melindungi kita dari setan." 

Kuulurkan tangan ke nampan, perlahan ia juga mengulurkan tangan. 

"Kita ambil yang paling dekat dengan kita, jika makan bersama dalam satu wadah. Jangan mengambil punya orang lain, jangan rakus, sebaliknya saling memberi, semoga Allah tanamkan rasa kasih sayang." 

Setelah mengucap basmallah dan doa makan, aku menyuap, ia pun melakukan yang sama. Aku diam sejenak. Membiarkan dia mengunyah dan mencerna. 

Ia mengunyah dengan sangat pelan, tidak bersuara dan tidak berbunyi. 

Sesaat kulihat sosok Hans ada dalam dirinya. Banyak persamaan dalam wajah mereka. Memiliki senyum yang menawan. Bedanya, Hans mempunyai lesung Pipit. Tapi mata dan cara memandang mereka benar-benar mirip. Lingkaran hitam cukup besar di matanya, sedang bagian putih hanya sedikit. Jika mereka senang, komposisi sempurna hitam dan putih, menampilkan kilauan yang memukau. Walaupun sayu seperti ini, tetap saja mata mereka sangat menakjubkan. Siapa pun yang memandangnya hatinya akan luruh. 

Eh, kenapa jadi wajah Hans yang ada di mataku? Astaghfirullah.

"Bagaimana?!"

Helena hanya menjawab dengan anggukan. Setelah dipikir-pikir, aku yang kurang jelas bertanya. Seharusnya aku bertanya, apakah ia menyukainya?

"Rasulullah menganjurkan makan dengan pelan, dan itu memang bagus untuk pencernaan. Ketika makan, setidaknya kita bawa beberapa sifat."

Helena mengangkat wajahnya. Sepertinya ia tertarik dengan penjelasanku. 

"Suaplah dulu!" 

Ia menurut. Kalau aku ingin menjelaskan, tentu tidak menyuap. Berbicara sambil mengunyah, khawatir membuatnya ilfil.

"Pertama, ketika makan ingatlah Allah. Allah yang memberi kita makan. Meski dengan menu terbatas, Alhamdulillah, Allah memberi kita makan. Di dunia ini banyak orang yang Allah uji dengan kekurangan dan kelaparan. Bersyukur juga akan memunculkan rasa bahagia dan qanaah. Kita makan juga dalam rangka mensyukuri nikmat Allah, yaitu dengan menjaga kesehatan jasmani. Kita niatkan untuk menuntut ilmu, beramal shaleh, dan berbuat kebajikan kepada saudara atau teman di sekitar kita."

Aku menyuap lagi untuk member jeda. "Kedua, dengan cara Rasulullah. Seperti yang ana jelaskan tadi. Cuci tangan sebelum makan, Makan pakai tangan kanan, mengambil dengan kepala kecil. Membahas Sunnah tidak cukup hanya di sini. Karena itu, kita perlu ilmu. Sangat penting untuk kita mengetahui hal ini. Kita yang mengaku cinta kepada Rasulullah, masa cara beliau makan saja tidak tahu?!" 

Helena mengangguk mengerti.

"Di balik Sunnah ada kejayaan. Apa pun hikmahnya, kita niatkan untuk menghidupkan Sunnah Rasulullah, dimulai hal sederhana seperti makan."

"Silmi." Kami menoleh ke arah suara. 

Aisyah sudah berdiri di pintu kamar yang ditempati Helena. Aisyah sempat tersenyum melihat aku makan bersama Helena. 

“"Makan, Ukhti? Ukhti, mencari ana? Ada apa?"

Aisyah menggeleng, “"tidak terlalu penting, dan itu pun kalau anti ada waktu.”

Sesaat kulirik Helena dan makanan yang masih ada di nampan. Lalu kembali ke arah Aisyah

"Tunggu sebentar, ya. Jika tidak keberatan."

Aisyah hanya mengangguk, mendekati kami. Ada pandangan penuh arti dalam tatapannya. 

"Kita habiskan, ya, Helena. Kelihatannya selera makan anti mulai membaik. Ustadzah senang melihatnya."”

Helena hanya mengangguk. Satu perbedaan lagi yang baru kusadari. Helena cenderung lebih pendiam dari pada Hans. 

Hei, kenapa aku sok tau lagi?

Aisyah duduk di samping Helena, ia menolak saat aku mengajaknya makan bersama.  lebih banyak diam, tapi setidaknya banyak sudah makanan yang masuk ke dalam perutnya. Entah karena memang ia lapar,  atau malu karena aku akan segera menyuapinya jika ia enggan membuka mulut ditambah lagi sekarang adalah Aisyah di dalam kamarnya.

"Asyik kan kalau makan bersama?!" Kami telah menandaskan isi nampan. 

Helena mengangguk dengan binaran mata cerah.

Tak tahan aku untuk tidak mengangkat tangan menyentuh kepalanya. Anak yang satu terlalu menggemaskan. 

"Lain kali, kalau waktunya makan, bergabunglah dengan teman-teman. Jangan pandang menu, tapi pandanglah kebersamaannya. Kebersamaan menumbuhkan semangat yang akhirnya membuat selera makan kita membaik." 

"Baik, Ustadzah." 

"In sya Allah." Aku meralat. 

Helena tersenyum malu. "In sya Allah."


🌹🌹🌹


Aku menoleh Aisyah, terlihat dia sabar menunggu. Satu hal yang kusadari darinya. Moodnya sedang baik. Mungkinkah ia membawa berita baik?

❓❓❓



Tidak ada komentar