Teratai Kedua Part 7: Separuh Jiwa Sanad
Di kantor Sanad memperhatikan video yang dikirim informannya.
“Rudi?”
Ia mengangkat teleponnya. “Lindungi dia. Sepertinya akan ada dua orang yang akan mencarinya. Kamu perlu cari tahu yang siapa yang namanya Rudi.”
***
Hari Minggu pagi, Evan bermain lempar bola dengan Tera. Evan sudah mandi dan mengenakan baju santainya. Tiba-tiba pandangan Evan tertuju pada Pak Agus, seorang pekerja khusus merawat halaman dan tanaman.
“Evan?” Tera menatap Evan heran yang tidak lagi melempar bola di tangannya. Ia mengikuti tatapan Evan. Terlihat Pak Agus sedang mengaduk tanah. Tak jauh dari situ ada beberapa buah pot tanaman.
“Evan mau mencoba itu?” pancing Tera.
Evan menoleh ke belakang, lalu mengangguk. Tera tersenyum lebar. Dari gelagat, Tera tahu kalau bocah itu tidak diizinkan main kotor. Namun, ia memilih pura-pura tidak tahu.
“Ayo!” Tera mengulurkan tangan, Evan menyambutnya, lalu ia membawa ke tempat Pak Agus yang lagi asik memasukkan tanah ke adalam pot. Tak jauh dari situ sebatang mawar yang sudah tinggi tergeletak di tanah.
“Tanahnya mau diganti, Pak?”
“Iya, Dik. Sudah lama, diganti lagi dengan tanah yang sudah dicampur pupuk.”
Tera mengangguk. Evan berjongkok. Ia mengulurkan tangan, tetapi segera dicegah Pak Agus. “Jangan, Den! Nanti dimarahin Tuan lo.”
Evan meringis, hendak menangis.
“Biarkan saja, Pak. Biarkan dia mencoba,” bela Tera.
“Tapi, Dik, kalau kenapa-kenapa gimana? Imun dia ‘kan beda dengan imun kita.”
“Justru itulah, Pak. Seharusnya dia dilatih biar dia kuat. Aku percaya mereka memberikan gizi yang lengkap untuk kesehatannya. Tetap saja, kebal terhadap bakteri secara alami itu juga penting.” dalih Tera.
Pak Agus mengakui lemahnya tubuhnya Evan, tapi apa hendak dikata, Evan anak majikannya. Ia pun tidak ingin mengundang risiko.
“Tenang saja, Pak. Kalau kenapa-napa saya yang bertanggung jawab.”
Evan tersenyum lebar, memamerkan gigi putihnya. Tera bertanya-tanya, apakah anak ini, tidak pernah kegirangan dengan meloncat-loncat sebagaimana anak umumnya?
“Bapak punya peralatan lainnya? Sekop lainnya?” tanya Tera.
“Ada?”
“Lebih kecil dari ini ada nggak?”
Pak Agus menggeleng.
“Ya sudah, Evan minjam ini dulu. Pak Agus bisa ambil yang lain. Maaf ya, Pak,” ucap Tera.
“Tidak apa, Dik.” Pak Agus berlalu ke gudang mengambil peralatan lainnya.
Evan langsung mengambil sekop yang tadi dipakai Pak Agus, sedang Tera mendekatkan pot besar. “Pelan-pelan. Sedikit-demi sedikit saja, biar tangan Evan nggak terlalu pegal.”
Namun beberapa kali Evan baru menyekop tanah, tiba-tiba terdengar pekikan Sanad yang baru datang dari olah raga jalan.
“Evan!!”
Sontak sekop yang dipegang Evan terlepas akibat teriakan bariton ayahnya, Tubuhnya menciut. Ia segera berlari, bersembunyi di belakang Tera.
“SIAPA YANG MENGIZINKANNYA MAIN TANAH?!”
“Aku. Memangnya kenapa?" sahut Tera santai. "Dia laki-laki, kamu mau jadikan dia seorang putri?”
Pak Agus yang tadi baru datang dari gudang memundurkan diri.
“KAMU TAU APA SOAL DIA? CEPAT BERSIHKAN DIA! KALAU DIA KENAPA-NAPA, KAMU AKAN TANGGUNG AKIBATNYA!”
“Iya bawel!” Tera berbalik. Ia mengusap keringat yang membasahi wajah Evan. “Tidak apa. Jangan takut. Papa cuma khawatir sama Evan. Anak Papa kuat ‘kan?”
Evan mengangguk ragu.
“Pintar. Sekarang kita bersih-bersih dulu!”
Evan langsung menyambut uluran tangan Tera. Ia masih bersembunyi di balik rok yang dikenakan Tera.
“Kamu membuatnya takut!” desis Tera.
***
Siang itu Evan meminta jalan-jalan kepada Sanad. Sanad hanya membawanya ke wahana bermain yang berada di Transmart. Sore hari ketika sampai ke rumah, Sanad mendadak panik ketika melihat Evan menyusut hidungnya.
“Kamu kenapa?” tanya panik, sambil langsung menyentuh dahi Evan. “Panas.”
Tera langsung mendekat. Ia ikutan menyentuh dahi Evan. “Hangat begini dibilang panas. Sini”
Tera hendak menggenggam tangan Evan, tetapi langsung ditarik Sanad. “Kita ke rumah sakit!”
Tera mengerang frustasi. Ia menepuk jidatnya. “Astaga, Sanad. Hangat begitu langsung ke rumah sakit?! Begini, istirahat saja sudah cukup.”
Namun Sanad, tidak menghiraukannya lagi. Sanad langsung mengangkat putranya, lalu membawa ke mobil.
“WOI!” teriak Tera sambil membuntuti Sanad. “Percaya dih padaku, dia cukup beri asupan gizi, lalu istirahat.”
Sanad memasukkan putranya ke mobil. “Mengapa kamu selalu terlihat meremehkannya?”
Tera tersentak. Mengapa Sanad menuduhnya seperti itu?
“Kalau dia kenapa-napa, aku tidak akan memaafkanmu!” ancam Sanad, lalu masuk ke mobil dan meninggalkan Tera yang memaku di halaman.
Meremehkannya?
Dari sudut mana pun, Tera tidak bisa memahaminya. Ia berbalik, Hayati berdiri di tengah pintu.
"Dia tuanmu, kenapa kamu masih memanggilnya nama?" tegur Hayati, lalu menjauh.
'Tera mengernyit. Situasi seperti ini, masih memikirkan panggilan?'
Ia masuk ke rumah, lalu ke dapur. Di sana Asih sedang sibuk merapikan sayuran di sebuah kulkas khusus sayur. Ini salah satu yang tidak bisa dimengerti Tera, mengapa mereka memiliki banyak kulkas. Ia paham, supaya tidak tercampur baunya. Namun, bukankah Asih hampir selang hari ke pasar? Mereka cukup membeli sekadarnya, hingga bau tidak sampai saling bertukar. Untuk apa stok banyak kalau sering ke pasar?
“Sudahlah! Bodo amat!” Tera membatin.
“Sih, Ibu sudah datang?” tanya Tera.
“Belum,” jawab Asih. Ia mengambil beberapa biji tomat lalu memasukkan ke sebuah toples persegi yang Tera prediksikan untuk besok pagi.
“Kamu sudah lama bekerja di sini?” tanyanya sambil duduk di kursi.
“Baru dua tahun.” Asih duduk di kursi yang satunya. Mengelilingi meja yang biasa mereka gunakan untuk mempersiapkan bahan makanan.
“Kamu tahu bagaimana perlakuan Tuan ke Evan?”
“Maksudmu?” Gerakan Asih terhenti.
“Tadi Evan kelihatan menyusut hidung. Tuan langsung membawa ke rumah sakit. Bukankah itu sangat berlebihan?!”
Asih tersenyum lebar. “Tuan memang sangat protektif sama Evan.”
“Aku mengerti kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Tapi kalau over begitu, kadang malah membuat anak jadi terkekang, atau kena tekanan mental duluan. Coba disikapi dengan santai dulu, jadi anak pun melewati dengan enjoy. Kalau begini, dia ikutan panik.”
Asih menghela napas. “Aku tidak tahu persis bagaimana kejadian waktu Tuan kecelakaan. Tapi, mengingat istrinya meninggal dan Evan yang selamat, tentu itu akan memengaruhi psikis Tuan. Aku tahu, kamu ingin Evan menikmati sebagaimana seorang anak kecil. Bermain, beradaptasi dengan alam, jajan di pinggir jalan, flu dan pilek itu biasa. Tapi jangan terlalu sering membuat Tuan marah. Kalau Tuan marah akan merembet ke lainya. Ke kami, Pak Amin sopir pribadi Tuan pernah bilang, kadang sampai merembet ke kantor.”
Tera tersentak.
“Asal kamu tahu, Tuan tipe orang dingin dan cuek, nggak gampang marah, asal jangan mengusik putranya.”
Tera menghela napas. Tiba-tiba saja ia merasa kasihan dengan pria galak itu. Benarkah tuannya seorang dingin? Jika memang iya, berarti dirinya yang keterlaluan, sehingga membuat pria dingin itu marah.
“Pak Amin ada nggak?” tanya Tera.
“Kamu mau menyusul?” tanya Asih balik.
Tera menjawab dengan anggukan.
“Ada di belakang, di kamarnya. Coba cari saja ke sana.”
***
Sesaat Tera menengadah, memerhatikan rumah sakit yang akan ia masuki. Ia berpikir akan salah alamat, andai saja bukan Pak Amin yang langsung mengantarnya. Untuk flu dan pilek harus ke rumah sakit semewah ini? Namun, kini Tera memahami mengapa Sanad bersikap berlebihan jika menyangkut soal anaknya. Satu-satunya belahan jiwa yang masih hidup.
Tanpa ia sadari air matanya menetes. Sanad, pria dewasa yang kehilangan istri sudah begitu, bagaimana dengan Evan yang kehilangan ibunya? Hanya saja, anak itu tidak bisa mengekspresikan perasaan sepenuhnya. Tiba-tiba ia merasa bersyukur dengan apa yang terjadi dengannya, sehingga mempertemukannya dengan Evan. Tiba-tiba ia merasa berharga sebagai perempuan.
Evan telah tertidur saat Tera masuk ke kamar rawatnya. Sanad duduk di tepi ranjang, sambil menatap wajah putranya.
“Aku minta maaf,” pinta Tera sambil berdiri dengan menundukkan wajah.
Sanad tak bersuara. Ia hanya menatap wajah Tera yang terlihat menyesal.
“Aku tidak bermaksud meremehkan Evan. Aku yang tidak sadar diri, kalau Evan bukanlah orang seperti yang dibesarkan di sembarang tempat. Tak seharusnya aku memperlakukan Evan sebagaimana anak-anak di kampungku. Maafkan aku. Aku janji, tidak akan melakukannya lagi.”
Sanad masih tak bersuara. Ia melihat sebutir bening dari mata itu. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah. Tak seharusnya ia memperlakukan begitu terhadap perempuan yang disukai putranya. Seharusnya ia menyukai apa-apa yang disukai putranya.
“Sudahlah. Aku juga minta maaf bersikap kasar padamu.” Sanad menghela napas. “Entah kenapa bila bersinggungan dengannya, emosiku selalu tidak terkendali.”
“Aku mengerti.”
“Kamu benar. Sikapku bisa membuatnya takut, bahkan mungkin saat ini dia sakit karena tekanan psikisnya.”
Tera mengangkat kepalanya.
“Aku sering menyesali perbuatanku, tapi selalu terulang-ulang.”
Tera memilih diam. Berharap tuannya mau lebih terbuka. Barangkali dapat sedikit mencairkan sesak di dada yang selama ini mengendap.
“Ketika menatapnya, aku selalu teringat ibunya yang meninggal. Aku sangat mencintai ibunya. Evan satu-satunya peninggalan ibunya. Sehingga perasaanku pada Evan berkali-kali lipat. Ditambah jika mengingatnya tumbuh tanpa ibu kandung, ia yang tidak mampu mengungkapkan perasaanya, dan aku sering meninggalkannya. Keadaan ini membuatku selalu bertindak over padanya.”
Tiba-tiba Sanad tersadar telah curhat kepada perempuan yang masih tidak sepenuhnya dia percayai. Ia mengusap wajahnya yang tiba-tiba terasa basah. “Maafkan aku.”
Tera menggeleng. “Senang jika mendapatkan kepercayaan Bapak. Semoga bisa membuat perasaan Bapak sedikit lebih baik.”
Refleks Sanad mengangkat wajahnya. Menatap wajah Tera yang juga menatapnya. Mata Tera mengerjap. Sanad mendehem, guna menetralkan sikapnya.
“Kamu pulanglah, supaya bisa istirahat.”
Tera menggeleng. “Saya yang akan menjaga Evan. Bapak istirahatlah!”
Tiba-tiba emosinya mulai naik lagi. Berani-beraninya Tera membantahnya? Namun, ia memilih menghela napas, lalu berkata. “Kalau begitu, aku berbaring di sofa itu. Kau berbaringlah di samping Evan.”
***
“Kaayat!!” Sanad terlonjak dari tidurnya. Mimpi buruk kembali datang menghantuinya. Sampai sekarang ia tidak bisa melupakan kejadian buruk itu. Terlebih lagi jika melihat Evan, ia selalu teringat kejadian nahas yang merenggut nyawa Kaayat, istrinya. Separuh jiwanya telah pergi. Beruntung Evan selamat dari kecelakaan maut itu. Evan yang membuatnya kuat selama ini.
Ia mengalihkan pandangannya ke ranjang Evan. Tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan yang membuatnya bangun dari sofa.
***
Terima kasih ♥️