El Nurien

Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien


Detak Cinta Shafura

 Part 46: Ya Alllah Beri Aku Mahram



 “Belum tidur, Silmi? Ini sudah larut malam, nanti masuk angin lagi!” kata Kak Saada yang penuh di lumuri kecemasan. 


Aku menoleh sesaat lalu tersenyum. “Ini malam terakhirku di sini, Kak. Ibu sudah tidur?”

Kak Saada mengangguk, lalu duduk di sampingku. Kami sama-sama terdiam. Mungkin Kak Saada ingin berbicara, tapi takut salah bicara. Terlebih lagi jika mengingat kondisi perasaanku sekarang ini. 

Besok pernikahan Aisyah dengan Zaid. Ibu datang ke sini untuk menghadiri pernikahan mereka, sekaligus perpisahan kami. Setelah menghadiri pernikahan Aisyah, harus kembali mencek persiapan keberangkatanku. Aku harus memastikan tidak ada barang penting yang ketinggalan. Sebelum subuh aku sudah harus berangkat dari rumah. 

Awalnya ibu tidak setuju aku mukim di Bandung. Tetapi, berkat bantuan Kak Saada dan Paman, akhirnya hati ibu luluh. Ibu juga sudah diberitahu bahwa pertunanganku dengan Fahri dibatalkan. Ibu berjanji akan datang ke rumah Tante Kurnia untuk meminta maaf, demi menjaga baiknya hubungan kekerabatan. 

Yang kupikirkan bagaimana besok aku bertemu dengan Tante Kurnia? Aku tidak tahu, apakah Fahri sudah memberitahu orang tuanya. Aku mengira, Fahri akan menyimpannya sementara waktu, sampai acara pernikahan Zaid sudah selesai. 

Jika belum, tentu aku bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. tapi bagaimana jika Tante sudah tahu? Sanggupkah aku memperlihatkan wajah ini?

***


Semalaman aku tidak bisa terlelap. Meski enggan membuka mata, tetapi hatiku terus saja berbicara. Atau otakku yang terus memutar kenangan-kenangan masa kecilku bersama Zaid. Aku meraih ponsel, kunyalakan layarnya. Widget jamnya menunjukkan jam dua. Kuseret tubuh ini menuju kamar mandi, lalu berwudhu. 

Pada shalat Tahajud, aku hanya bisa membaca surah-surah pendek. Entah kenapa, tidak ada hafalan yang bisa kuingat. Mungkin karena moodku yang buruk, sehingga konsentrasiku jadi melemah. 

Ironis. 

Saat menengadahkan tangan, aku teringat rencana perjalananku besok ke Bandung. Dari rumah ke Bandara Syamsudin Noor diantar ibu dan Kak Sakti, Mumtaz akan menunggu Di Bandara Husein Sastranegara. In sya Allah. 

Aku mendesah keras. Ini pertama kalinya aku  melakukan perjalanan cukup jauh dan sendirian. Bukan sendirian yang membuat pikiranku jadi terasa berat, tetapi perjalanan yang tanpa mahram. 

Sebuah riwayat hadits menjelaskan perempuan mukmin dilarang bepergian tanpa adanya mahram. Dan juga ada beberapa hadits lainnya yang serupa. Para ulama pun berbeda pendapat mengenai jauh jaraknya sehingga harus ditemani laki-laki mahram. Sebuah hadits memang ada yang menjelaskan tiga hari perjalanan. 

Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa tiga hari perjalanan di zaman Rasulullah yang hanya memakai kendaraan binatang, seperti unta, kuda atau kedelai. Tentu tidak bisa disamakan dengan jaman sekarang yang sudah memiliki transportasi cepat, bahkan dengan pesawat hanya beberapa jam sudah mampu menempuh ribuan kilometer. 

Akhirnya, banyak ulama sepakat, bahwa perjalanan wanita yang disertai mahram sejauh dibolehkannya meringkas shalat fardhu.

Namun, ada juga yang berpendapat, melihat keamanan di zaman sekarang ini, alangkah baiknya perempuan tidak keluar sendirian meski hanya jarak tiga kilometer. 

Lalu berapa jaraknya perjalananku dari Banjar, Bandung sampai ke tempat Paman? Aku tidak tahu. Pastinya perjalananku sudah diwajibkan disertai laki-laki mahram. 

Di sinilah yang membuat hatiku miris. Aku tidak mampu membelikan tiket juga tidak tega meminta pertolongan Kak Sakti untuk menemaniku. Juga tidak mungkin aku meminta Paman membelikanku dua tiket.

Apakah perjalananku ini terhitung maksiat? Termasuk mengindahkan sebuah hadits? Bisakah kondisiku dikatakan darurat? Lalu selamatkah perjalananku sampai ke tujuan? Berita hilangnya pesawat membuat hatiku jadi bimbang. Seandainya itu terjadi, bisakah kematianku digolongkan husnul khatimah? 

Rentetan pertanyaan membuat napasku terasa sesak. Tubuh semakin lelah, tapi pikiran semakin melalang buana. Tiba-tiba aku ingin menginginkan seorang mahram. 

‘Ya Allah, berilah aku seorang mahram. Jangan Engkau biarkan perjalananku tergolong maksiat.’

Aku tau, tidak mungkin tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mau menikahiku. Terlalu naif jika berharap demikian dengan waktu sangat singkat ini. Air hujan saja butuh proses, bagaimana lagi seorang suami. 

Aku hanya berharap, Allah membuka hati Kak Sakti untuk mengantarku sampai ke Bandung. Atau tiba-tiba Paman datang ke sini menjemputku. Dengan begini, permintaanku lebih logis.


***


Setelah selesai shalat Isya, aku dengan ibu langsung berangkat ke tempat pernikahan Aisyah diantar Kak Hilman. 

Begitu sampai ke lokasi parkir, Kak Hilman pergi ke masjid karena akad diadakan di masjid. Sedang kami meluncur ke kediaman Aisyah, tempat khusus tamu undangan perempuan. 

Aku dan ibu langsung memasuki halaman rumah Aisyah, melalui pintu depan. Dari luar terlihat beberapa orang sudah berkumpul di ruang tengah. Pelaminan berdiri di dinding, menghadap ke pintu. 

Sebagian orang duduk di meja makan yang telah disediakan untuk tamu di halaman samping kanan, halaman asrama ruang ustadzah bahkan kamarnya pun sudah disulap untuk tamu. Pintu yang biasanya sebagai pembatas antara halaman kediaman dengan halaman asrama kini dibiarkan terbuka.

 Sedang di halaman samping kiri sudah tersusun sajian  dengan beberapa menu yang dijaga oleh beberapa santriwati. Melihat santriwati dadaku berdebar hebat. Terlebih lagi menangkap tatapan jijik mereka. 

Kurasakan kehangatan menjalari di pergelanganku. Kulihat tangan ibu sedang memberikan kekuatan untukku. Kuberikan senyum terindah kepada ibu, aku ingin mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja.

"Silmi!" Syifa muncul entah dari mana. 

"Syifa."

Syifa langsung mendekat dan memelukku. 

"Senang bisa melihatmu lagi," ujar Syifa wajah cerianya. 

"Aku juga senang melihatmu." 

Ia melepaskan pelukannya, lalu menyalami ibu. "Saya Syifa, temannya Silmi." 

"Iya, Nak. Senang bisa bertemu denganmu. Silmi pernah cerita tentangmu." 

"Wah, Bu. Silmi cerita apa saja pada ibu tentang saya. Jangan-jangan keburukan saya," canda Syifa. 

Ibu tertawa. "Enggak kok. Silmi bilang, kamu teman terbaiknya."

Syifa tersenyum cengengesan. Sangat berbeda dengan yang kesehariannya terlihat anggun dan tenang. Mungkin ia berusaha mengakrabkan diri dengan ibu. 

"Ustadzah Aisyah pesan, kalau kamu datang, aku disuruh membawamu ke kamarnya."

Sesaat aku menatap ibu. 

Ibu mengangguk. Ibu akan masuk ke dalam. Aku mengangguk setuju. 

Dadaku kembali berdebar, ketika Tante Kurnia duduk di samping kiri Nyai Ummu Kultsum, setelah itu Farah. Meski takut-takut, aku menyalami Nyai, juga Tante Kurnia. Terlihat jelas Tante tidak senang ketika berhadapanku. Dari sikap beliau, aku menduga Fahri sudah menceritakan batalnya pertunangan kami. 

Beliau menyambut uluran tanganku dengan setengah terpaksa dan tanpa suara. Lalu aku beralih ke Farah. Farah menyambut uluran tanganku dengan sedikit canggung. 

"Duduklah sini." Farah menepuk tempat kosong di sampingnya.

"Aku dipanggil Ustadzah Aisyah." Farah tersenyum memaklumi. Dari sikapnya membuatku sedikit lega. Setidaknya Farah tidak terlalu menyalahkanku. 

Setelah mendapatkan izinnya, aku berlalu, menyalami seorang perempuan paruh baya yang duduk di samping kanan Nyai. Sedang ibu duduk di samping Tante Kurnia. Diam-diam aku mengagumi ibu. Dengan berani ibu duduk di dekat Tante Kurnia, setelah keributan yang dibuat putrinya. 

"Assalamu alaikum." Syifa mengetuk pintu. 

"Wa alaikum salam." Terdengar suara dari dalam. 

Tak lama pintu dibuka.

"Ustadzah, masuklah!" ucap Cahya. 

Kamar pengantin yang sangat cantik dan lembut langsung menyambut matanya. Kamar Aisyah dihiasi gorden warna putih kombinasi baby blue membuat mata tak ingin beralih menatapnya. Ranjangnya juga beralaskan sprei putih dengan motif amor warna biru. Di sisi kiri kanan ranjang dihiasi bunga plastik putih, sedang di atas ranjang bertengger buket bunga putih. 

"Kemarilah!"

Kami berdua mendekati Aisyah. Cahya berdiri di samping Aisyah. 

Aisyah sudah terlihat sangat cantik, dengan pakaian pengantin putih yang terlihat sangat sederhana, berkerudung biru dilapisi kain tolak motif bunga-bunga. Sangat mencerminkan karakter Aisyah yang sederhana, tetapi tetap anggun. Bahkan aura keanggunan lebih dominan terlihat. 

Tiba-tiba aku merasakan mataku menghangat. Sahabatku akan menikah dengan laki-laki sebaik Zaid. Zaid juga sangat beruntung memiliki Aisyah. 

Aisyah berdiri, lalu duduk di atas ranjang. Ia menarik tanganku juga Cahya. Mengisyaratkan agar duduk di sampingnya.

"Duduklah!" perintah Aisyah. 

Mungkin karena melihat keseganan kami. 

"Syifa, anti duduklah di kursi itu." tunjuk Aisyah dengan dagu ke kursi yang tadinya didudukinya. 

"Senang kalian ada di sini. Besok-besok mungkin tidak akan seperti ini lagi."

Kami hanya membalas dengan senyuman, lalu mengangguk. 

Aku meraih tangan Aisyah lalu menggenggamnya. Senang melihatnya dalam kondisi baik. Setidaknya aku bisa pergi dengan hati yang lapang. 

Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara dari masjid, pertanda acara akan dimulai. 

Sebuah ketukan terdengar dari pintu, lalu pintu terbuka. 

"Aisyah, keluarlah!" ucap Nyai Ummi Kultsum. 

Aisyah mengangguk. 

"Kita keluar, ya. kalian jangan jauh-jauh dariku," titahnya.

Kami mengangguk.  

Aku kira ia duduk di pelaminan. Ternyata ia duduk di atas permadani di kaki pelaminan. 

Aisyah memegang tanganku saat keluar. Dan ia menolak melepas, saat aku coba menarik tanganku.

"Duduklah di sampingku."

Aku terperangah. Ia mengangguk. Aisyah kembali menarik kembali tanganku, saat aku ingin duduk di lantai. 

Ia menepuk di sampingnya, di atas permadani. Perasaanku semakin tidak nyaman. Sesaat aku menatapi tamu yang juga menatapku. Aku semakin canggung. Aku menatap Nyai, sayangnya Nyai malah mengangguk, menyetujui. Akhirnya aku pasrah duduk di atas permadani. Satu permadani denganya. Entah bagaimana dengan mukaku. Aku tidak menatap ke depan. 

"Jangan canggung! Anggaplah kau pengiring pengantin," bisik Aisyah. 

Mana ada pengiring duduk berdampingan dengan pengantin. 

Akhirnya aku tidak bisa konsentrasi mendengar rentetan acara hingga sesi nasihat telah berakhir. Tak ada ada satu pun yang nyantul di otakku. 

Aku bisa mulai fokus ketika mendengar suara Kyai, pertanda akad nikah dimulai. Aku benar-benar ingin jadi saksi mereka. 

"Saya nikahkan engkau ananda Gusti Hans."

Aku tersentak. Ada yang salah dengan pendengaranku? 

"... Syahriansyah bin Syahriansyah Aman Hasan dengan Aisyah Nur Fadhilah … ."

Aku bertanya kepada Aisyah dengan tatapan. Aisyah balas dengan mengangguk disertai senyuman. Di matanya jelas sekali pancaran kebahagiaan. 

Aku tak mendengar lagi ucapan Kyai selanjutnya. Aku menatap Tante Kurnia. Wajah beliau diliputi kesedihan. Tante mengusap matanya dengan tisu  Apa yang terjadi? Bagaimana dengan Zaid? 


Detak Cinta Shafura  Part 46: Ya Alllah Beri Aku Mahram  “Belum tidur, Silmi? Ini sudah larut malam, nanti masuk angin lagi!” kata Kak Saada...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 45: Sebab Suatu Hubungan 



'Aku lagi di Banjar. Kita ketemuan, yuk.’


Mataku yang merem langsung melek melihat chat dari ponsel lengseran Kak Saada. Perasaan lega membanjiri hatiku dengan adanya kedatangan Aisyah, terlebih lagi kami memutuskan untuk saling menerima kenyataan ini. Urusanku tinggal dengan Fahri. Lalu tiba-tiba di siang bolong, aku mendapat chat dari Fahri. 

Aku merasa ini jalan dari Allah untuk menyelesaikan urusanku. Langsung saja membalas pesannya. 

‘Ok. Kapan ketemuannya? Di mana?’

Pesanku langsung dibaca. Di layar ponsel sedang memperlihatkan kalau dia sedang mengetik. 

‘Sore ini gimana? Setelah ashar. Kamu di mana? Aku jemput ya. Aku akan membawamu ke sebuah café dan resto yang bagus.’

Aku membalas. 

‘Aku di rumah kak Saada. Kamu tahu alamatnya?’

Kegiatan tidur siangku jadi batal gara-gara chat Fahri. Setelah itu pikiranku sibuk memikirkan apa yang harus kusampaikan. Kalimat apa yang sebaiknya aku ucapkan supaya tidak terlalu melukainya.

Sanggupkah aku melihat raut mukanya yang terluka. Masih bisakah aku bertemu dengan keluarganya nanti? Dan masih banyak pikiran yang mengganggu hingga akhirnya azan Ashar berkumandang. 

Fahri membawaku ke sebuah café bergaya klasik, warna luarnya hitam putih. Ruangan café itu bisa dibilang cukup sempit, tetapi desain dan furniture-nya membuat orang betah berlama-lama di dalam. Kami memilih meja yang hanya ada dua kursi, di samping kaca hingga bisa melihat orang berlalu lalang. 

“Café-nya cukup bagus, tapi sepi pengunjung. Mungkin karena desain dari luar yang cukup mewah, juga di pinggiran kota membuat orang mengira bahwa harga menu di sini cukup mahal.” 

Aku mengitarkan pandanganku. Hanya ada satu keluarga yang menempati meja berisi empat kursi. 

Fahri mengambil buku menu yang sudah tersedia di meja. “Pilihlah menu yang kau suka.”

Aku membolak balik buku menu, namun tak satupun yang bisa kuambil. 

“Pilih saja. Kalau tak suka, kita bisa pesan lagi. Jangan sungkan.”

Fahri memesan ayam taliwang, dengan tea mcha sedang aku bakso dengan ice tea. Fahri tertawa mendengar pesananku. 

“Kenapa kau tertawa dengan pesananku?” tanyaku setelah pelayan menjauh. 

“Setelah aku membawa jauh-jauh ke sini, pesananmu cuma bakso dengan es teh. Kalau sekadar bakso ma es teh, kita bisa nongkrong di pinggiran jalan, aku tahu di mana bakso yang paling enak di sini.”

Aku tertawa. “Sepertinya Kakak sangat mengenal tempat makanan di sini.” 

“Sebagian aku tahu karena aku kuliah di sini.”

“Café? Bukankah café baru-baru ini saja menjamur?" 

“Kalau café, karena aku berencana juga menanam modal di café, jadi aku harus lebih banyak hunting ke café-café. Kalau sudah klop, baru dimulai.”

Aku menatapnya kagum. Dia memang mewarisi jiwa pebisnis dari om Hermawan. Sedang sikapnya yang hambel dan ceria dari Tante Kurnia. Sesaat tersisip ragu dengan keputusan yang akan kuambil. Kami membicarakan banyak sampai akhirnya datang pramusaji membawakan pesanan kami. 

“Kak, ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucapku setelah melihat Fahri menandaskan makananya. Aku tak ingin keputusan mengganggu selera makannya di sore. 

“Ada apa? Katakanlah!” Ia melap mulutnya dengan tisu. 

“Mengenai pertunangan kita.” Sesaat suasana menjadi hening. 

“Kenapa nada bicaramu membuatku takut,” ucapnya setelah lama terdiam.

“Maafkan aku.”

“Jadi dugaanku benar? Ada sesuatu yang tidak baik?” 

“Maafkan aku. Aku tidak bisa meneruskan pertunangan ini,” ucapku akhirnya. 

“Kena … pa? Apa karena Zaid?” 

“Meski ada hubungannya dengan Zaid, tapi ini murni karena keputusanku.”

“Bukankah Zaid akan menikah? Oke, karena saat ini kyau tidak ada perasaan untukku. Tapi, aku akan menunggu, aku akan berusaha untuk meraih hatimu.”

Aku menggeleng. “Ini tidak ada hubungannya bagaimana perasaanku denganmu. Sejujurnya, aku malah bahagia jika itu kamu. Kamu laki-laki baik, perempuan mana sanggup menolakmu.”

Fahri mengerutkan keningnya. 

“Hanya saja Ustadzah Aisyah tahu perasaan kami, jadi menjauh dari mereka adalah jalan terbaik. Aku tak ingin membayangi rumah tangga mereka.”

“Lalu apa kamu sudah memutuskan akan ke mana?”

“In sya Allah, aku akan ke Bandung. Aku akan tinggal di rumah Paman.”

 “Kita menikah saja, aku akan ikut denganmu.”

Aku terkesiap. Fahri mengikutiku?

“Jangan khawatir, aku seorang pebisnis, aku bisa hidup di mana pun berada.” 

“Aku hargai ketulusanmu. Tapi … maaf, aku ingin mandiri di sana dan memulai hidup baru.”

“Itu artinya kau memang tidak memberiku kesempatan sama sekali,” ucap Fahri dengan raut sedih. 

“Maafkan aku. Jangan membenciku ya. Sungguh, keluarga kalian sangat berarti bagiku.” 

Fahri bergeming. Menatapku lamat. Tak lama dia mengembuskan napas keras, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. 

“Aku tak bisa menyalahkanmu. Dari awal aku sudah tahu perasaanmu, tapi aku saja yang terlalu percaya diri, terlebih lagi ketika ketika Zaid bertunangan dengan Aisyah. Aku pikir aku akan bisa mengalihkan perhatianmu.”

“Pada dasarnya kita memang tidak berjodoh. Itu saja. Sekeras apapun kita  mendekat, kalau memang tidak jodoh, percuma saja. Dan sejauh manapun jaraknya, kalau memang jodoh, kita tidak akan dapat menghindar.”

Fahri tertawa getir. “Mesti begitu, pasti ada alasan untuk suatu kejadian.”

Aku menatapnya tak mengerti. 

“Bohong jika tidak terluka saat ini, tapi harus kuakui ini juga karena kesalahanku kenapa tidak berjodoh denganmu.”

Keningku makin mengerut tajam. 

“Dulu sebenarnya yang disuruh menjaga Farah oleh ibu adalah aku, bukan Zaid. Farah suka melakukan hal yang berbahaya, dan kamu juga selalu mau menuruti kemauannya, itu yang membuat ibu selalu khawatir, sedang ibu harus ke pasar membantu ayah.”

Aku membetulkan posisi dudukku. 

“Tapi karena malas juga malu, aku menyuruh Zaid. Dan ternyata Zaid mampu menjaga Farah dan kamu hingga ibu tak mempermasalahkan hal itu lagi. Zaid dari kecil sudah terlihat sifat penyayang, seberapapun repotnya menjaga kalian, tidak terlalu masalah bagi dia.”

Tanpa sadar kepalaku mengangguk. Aku ingat betapa nakalnya Farah waktu, dan uniknya aku selalu mengikuti dan patuh dengan kemauan dia. 

“Dan kamu tahu setelah tamat dari sekolah dasar, kenapa  Zaid tidak langsung masuk pondok dan rela menghafal di rumah sendirian tiap malam?”

Aku menggeleng. Dulu aku juga tidak kepikiran kenapa Zaid masuk sekolah SMP padahal dari kecil dia terlihat agamis. Tidak pernah alfa shalat berjamaah dan ngaji tiap habis shalat Maghrib bersama Ustadz Baharuddin di mushalla. 

“Itu karena dia ingin menjaga kalian, setelah kalian lulus SD dan kalian masuk pondok barulah dia masuk pondok.”

Aku baru tahu kalau dia sudah menghafal Al-Qur’an di rumah. Mungkinkah karena itu dia bisa menghatamkan Qur’an di pondok hanya satu tahun? Dia menghafal Qur’an tiga tahun sendirian di rumah? Aku tidak bisa membayangkan beratnya dia sendirian menghafal di rumah dan ternyata itu karena demi kami. 

Ya Allah, ternyata banyak yang tidak aku ketahui tentang seorang Zaid. 

“Dia pantas mendapatkan cintamu.”

“Tapi Ustadzah Aisyah lebih berhak mendapatkan cintanya.” 


 Detak Cinta Shafura  Part 45: Sebab Suatu Hubungan  'Aku lagi di Banjar. Kita ketemuan, yuk.’ Mataku yang merem langsung melek melihat ...
El Nurien