Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Novel Religi"
El Nurien


Detak Cinta Shafura

 Part 46: Ya Alllah Beri Aku Mahram



 “Belum tidur, Silmi? Ini sudah larut malam, nanti masuk angin lagi!” kata Kak Saada yang penuh di lumuri kecemasan. 


Aku menoleh sesaat lalu tersenyum. “Ini malam terakhirku di sini, Kak. Ibu sudah tidur?”

Kak Saada mengangguk, lalu duduk di sampingku. Kami sama-sama terdiam. Mungkin Kak Saada ingin berbicara, tapi takut salah bicara. Terlebih lagi jika mengingat kondisi perasaanku sekarang ini. 

Besok pernikahan Aisyah dengan Zaid. Ibu datang ke sini untuk menghadiri pernikahan mereka, sekaligus perpisahan kami. Setelah menghadiri pernikahan Aisyah, harus kembali mencek persiapan keberangkatanku. Aku harus memastikan tidak ada barang penting yang ketinggalan. Sebelum subuh aku sudah harus berangkat dari rumah. 

Awalnya ibu tidak setuju aku mukim di Bandung. Tetapi, berkat bantuan Kak Saada dan Paman, akhirnya hati ibu luluh. Ibu juga sudah diberitahu bahwa pertunanganku dengan Fahri dibatalkan. Ibu berjanji akan datang ke rumah Tante Kurnia untuk meminta maaf, demi menjaga baiknya hubungan kekerabatan. 

Yang kupikirkan bagaimana besok aku bertemu dengan Tante Kurnia? Aku tidak tahu, apakah Fahri sudah memberitahu orang tuanya. Aku mengira, Fahri akan menyimpannya sementara waktu, sampai acara pernikahan Zaid sudah selesai. 

Jika belum, tentu aku bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. tapi bagaimana jika Tante sudah tahu? Sanggupkah aku memperlihatkan wajah ini?

***


Semalaman aku tidak bisa terlelap. Meski enggan membuka mata, tetapi hatiku terus saja berbicara. Atau otakku yang terus memutar kenangan-kenangan masa kecilku bersama Zaid. Aku meraih ponsel, kunyalakan layarnya. Widget jamnya menunjukkan jam dua. Kuseret tubuh ini menuju kamar mandi, lalu berwudhu. 

Pada shalat Tahajud, aku hanya bisa membaca surah-surah pendek. Entah kenapa, tidak ada hafalan yang bisa kuingat. Mungkin karena moodku yang buruk, sehingga konsentrasiku jadi melemah. 

Ironis. 

Saat menengadahkan tangan, aku teringat rencana perjalananku besok ke Bandung. Dari rumah ke Bandara Syamsudin Noor diantar ibu dan Kak Sakti, Mumtaz akan menunggu Di Bandara Husein Sastranegara. In sya Allah. 

Aku mendesah keras. Ini pertama kalinya aku  melakukan perjalanan cukup jauh dan sendirian. Bukan sendirian yang membuat pikiranku jadi terasa berat, tetapi perjalanan yang tanpa mahram. 

Sebuah riwayat hadits menjelaskan perempuan mukmin dilarang bepergian tanpa adanya mahram. Dan juga ada beberapa hadits lainnya yang serupa. Para ulama pun berbeda pendapat mengenai jauh jaraknya sehingga harus ditemani laki-laki mahram. Sebuah hadits memang ada yang menjelaskan tiga hari perjalanan. 

Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa tiga hari perjalanan di zaman Rasulullah yang hanya memakai kendaraan binatang, seperti unta, kuda atau kedelai. Tentu tidak bisa disamakan dengan jaman sekarang yang sudah memiliki transportasi cepat, bahkan dengan pesawat hanya beberapa jam sudah mampu menempuh ribuan kilometer. 

Akhirnya, banyak ulama sepakat, bahwa perjalanan wanita yang disertai mahram sejauh dibolehkannya meringkas shalat fardhu.

Namun, ada juga yang berpendapat, melihat keamanan di zaman sekarang ini, alangkah baiknya perempuan tidak keluar sendirian meski hanya jarak tiga kilometer. 

Lalu berapa jaraknya perjalananku dari Banjar, Bandung sampai ke tempat Paman? Aku tidak tahu. Pastinya perjalananku sudah diwajibkan disertai laki-laki mahram. 

Di sinilah yang membuat hatiku miris. Aku tidak mampu membelikan tiket juga tidak tega meminta pertolongan Kak Sakti untuk menemaniku. Juga tidak mungkin aku meminta Paman membelikanku dua tiket.

Apakah perjalananku ini terhitung maksiat? Termasuk mengindahkan sebuah hadits? Bisakah kondisiku dikatakan darurat? Lalu selamatkah perjalananku sampai ke tujuan? Berita hilangnya pesawat membuat hatiku jadi bimbang. Seandainya itu terjadi, bisakah kematianku digolongkan husnul khatimah? 

Rentetan pertanyaan membuat napasku terasa sesak. Tubuh semakin lelah, tapi pikiran semakin melalang buana. Tiba-tiba aku ingin menginginkan seorang mahram. 

‘Ya Allah, berilah aku seorang mahram. Jangan Engkau biarkan perjalananku tergolong maksiat.’

Aku tau, tidak mungkin tiba-tiba datang seorang laki-laki yang mau menikahiku. Terlalu naif jika berharap demikian dengan waktu sangat singkat ini. Air hujan saja butuh proses, bagaimana lagi seorang suami. 

Aku hanya berharap, Allah membuka hati Kak Sakti untuk mengantarku sampai ke Bandung. Atau tiba-tiba Paman datang ke sini menjemputku. Dengan begini, permintaanku lebih logis.


***


Setelah selesai shalat Isya, aku dengan ibu langsung berangkat ke tempat pernikahan Aisyah diantar Kak Hilman. 

Begitu sampai ke lokasi parkir, Kak Hilman pergi ke masjid karena akad diadakan di masjid. Sedang kami meluncur ke kediaman Aisyah, tempat khusus tamu undangan perempuan. 

Aku dan ibu langsung memasuki halaman rumah Aisyah, melalui pintu depan. Dari luar terlihat beberapa orang sudah berkumpul di ruang tengah. Pelaminan berdiri di dinding, menghadap ke pintu. 

Sebagian orang duduk di meja makan yang telah disediakan untuk tamu di halaman samping kanan, halaman asrama ruang ustadzah bahkan kamarnya pun sudah disulap untuk tamu. Pintu yang biasanya sebagai pembatas antara halaman kediaman dengan halaman asrama kini dibiarkan terbuka.

 Sedang di halaman samping kiri sudah tersusun sajian  dengan beberapa menu yang dijaga oleh beberapa santriwati. Melihat santriwati dadaku berdebar hebat. Terlebih lagi menangkap tatapan jijik mereka. 

Kurasakan kehangatan menjalari di pergelanganku. Kulihat tangan ibu sedang memberikan kekuatan untukku. Kuberikan senyum terindah kepada ibu, aku ingin mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja.

"Silmi!" Syifa muncul entah dari mana. 

"Syifa."

Syifa langsung mendekat dan memelukku. 

"Senang bisa melihatmu lagi," ujar Syifa wajah cerianya. 

"Aku juga senang melihatmu." 

Ia melepaskan pelukannya, lalu menyalami ibu. "Saya Syifa, temannya Silmi." 

"Iya, Nak. Senang bisa bertemu denganmu. Silmi pernah cerita tentangmu." 

"Wah, Bu. Silmi cerita apa saja pada ibu tentang saya. Jangan-jangan keburukan saya," canda Syifa. 

Ibu tertawa. "Enggak kok. Silmi bilang, kamu teman terbaiknya."

Syifa tersenyum cengengesan. Sangat berbeda dengan yang kesehariannya terlihat anggun dan tenang. Mungkin ia berusaha mengakrabkan diri dengan ibu. 

"Ustadzah Aisyah pesan, kalau kamu datang, aku disuruh membawamu ke kamarnya."

Sesaat aku menatap ibu. 

Ibu mengangguk. Ibu akan masuk ke dalam. Aku mengangguk setuju. 

Dadaku kembali berdebar, ketika Tante Kurnia duduk di samping kiri Nyai Ummu Kultsum, setelah itu Farah. Meski takut-takut, aku menyalami Nyai, juga Tante Kurnia. Terlihat jelas Tante tidak senang ketika berhadapanku. Dari sikap beliau, aku menduga Fahri sudah menceritakan batalnya pertunangan kami. 

Beliau menyambut uluran tanganku dengan setengah terpaksa dan tanpa suara. Lalu aku beralih ke Farah. Farah menyambut uluran tanganku dengan sedikit canggung. 

"Duduklah sini." Farah menepuk tempat kosong di sampingnya.

"Aku dipanggil Ustadzah Aisyah." Farah tersenyum memaklumi. Dari sikapnya membuatku sedikit lega. Setidaknya Farah tidak terlalu menyalahkanku. 

Setelah mendapatkan izinnya, aku berlalu, menyalami seorang perempuan paruh baya yang duduk di samping kanan Nyai. Sedang ibu duduk di samping Tante Kurnia. Diam-diam aku mengagumi ibu. Dengan berani ibu duduk di dekat Tante Kurnia, setelah keributan yang dibuat putrinya. 

"Assalamu alaikum." Syifa mengetuk pintu. 

"Wa alaikum salam." Terdengar suara dari dalam. 

Tak lama pintu dibuka.

"Ustadzah, masuklah!" ucap Cahya. 

Kamar pengantin yang sangat cantik dan lembut langsung menyambut matanya. Kamar Aisyah dihiasi gorden warna putih kombinasi baby blue membuat mata tak ingin beralih menatapnya. Ranjangnya juga beralaskan sprei putih dengan motif amor warna biru. Di sisi kiri kanan ranjang dihiasi bunga plastik putih, sedang di atas ranjang bertengger buket bunga putih. 

"Kemarilah!"

Kami berdua mendekati Aisyah. Cahya berdiri di samping Aisyah. 

Aisyah sudah terlihat sangat cantik, dengan pakaian pengantin putih yang terlihat sangat sederhana, berkerudung biru dilapisi kain tolak motif bunga-bunga. Sangat mencerminkan karakter Aisyah yang sederhana, tetapi tetap anggun. Bahkan aura keanggunan lebih dominan terlihat. 

Tiba-tiba aku merasakan mataku menghangat. Sahabatku akan menikah dengan laki-laki sebaik Zaid. Zaid juga sangat beruntung memiliki Aisyah. 

Aisyah berdiri, lalu duduk di atas ranjang. Ia menarik tanganku juga Cahya. Mengisyaratkan agar duduk di sampingnya.

"Duduklah!" perintah Aisyah. 

Mungkin karena melihat keseganan kami. 

"Syifa, anti duduklah di kursi itu." tunjuk Aisyah dengan dagu ke kursi yang tadinya didudukinya. 

"Senang kalian ada di sini. Besok-besok mungkin tidak akan seperti ini lagi."

Kami hanya membalas dengan senyuman, lalu mengangguk. 

Aku meraih tangan Aisyah lalu menggenggamnya. Senang melihatnya dalam kondisi baik. Setidaknya aku bisa pergi dengan hati yang lapang. 

Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara dari masjid, pertanda acara akan dimulai. 

Sebuah ketukan terdengar dari pintu, lalu pintu terbuka. 

"Aisyah, keluarlah!" ucap Nyai Ummi Kultsum. 

Aisyah mengangguk. 

"Kita keluar, ya. kalian jangan jauh-jauh dariku," titahnya.

Kami mengangguk.  

Aku kira ia duduk di pelaminan. Ternyata ia duduk di atas permadani di kaki pelaminan. 

Aisyah memegang tanganku saat keluar. Dan ia menolak melepas, saat aku coba menarik tanganku.

"Duduklah di sampingku."

Aku terperangah. Ia mengangguk. Aisyah kembali menarik kembali tanganku, saat aku ingin duduk di lantai. 

Ia menepuk di sampingnya, di atas permadani. Perasaanku semakin tidak nyaman. Sesaat aku menatapi tamu yang juga menatapku. Aku semakin canggung. Aku menatap Nyai, sayangnya Nyai malah mengangguk, menyetujui. Akhirnya aku pasrah duduk di atas permadani. Satu permadani denganya. Entah bagaimana dengan mukaku. Aku tidak menatap ke depan. 

"Jangan canggung! Anggaplah kau pengiring pengantin," bisik Aisyah. 

Mana ada pengiring duduk berdampingan dengan pengantin. 

Akhirnya aku tidak bisa konsentrasi mendengar rentetan acara hingga sesi nasihat telah berakhir. Tak ada ada satu pun yang nyantul di otakku. 

Aku bisa mulai fokus ketika mendengar suara Kyai, pertanda akad nikah dimulai. Aku benar-benar ingin jadi saksi mereka. 

"Saya nikahkan engkau ananda Gusti Hans."

Aku tersentak. Ada yang salah dengan pendengaranku? 

"... Syahriansyah bin Syahriansyah Aman Hasan dengan Aisyah Nur Fadhilah … ."

Aku bertanya kepada Aisyah dengan tatapan. Aisyah balas dengan mengangguk disertai senyuman. Di matanya jelas sekali pancaran kebahagiaan. 

Aku tak mendengar lagi ucapan Kyai selanjutnya. Aku menatap Tante Kurnia. Wajah beliau diliputi kesedihan. Tante mengusap matanya dengan tisu  Apa yang terjadi? Bagaimana dengan Zaid? 


Detak Cinta Shafura  Part 46: Ya Alllah Beri Aku Mahram  “Belum tidur, Silmi? Ini sudah larut malam, nanti masuk angin lagi!” kata Kak Saada...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 45: Sebab Suatu Hubungan 



'Aku lagi di Banjar. Kita ketemuan, yuk.’


Mataku yang merem langsung melek melihat chat dari ponsel lengseran Kak Saada. Perasaan lega membanjiri hatiku dengan adanya kedatangan Aisyah, terlebih lagi kami memutuskan untuk saling menerima kenyataan ini. Urusanku tinggal dengan Fahri. Lalu tiba-tiba di siang bolong, aku mendapat chat dari Fahri. 

Aku merasa ini jalan dari Allah untuk menyelesaikan urusanku. Langsung saja membalas pesannya. 

‘Ok. Kapan ketemuannya? Di mana?’

Pesanku langsung dibaca. Di layar ponsel sedang memperlihatkan kalau dia sedang mengetik. 

‘Sore ini gimana? Setelah ashar. Kamu di mana? Aku jemput ya. Aku akan membawamu ke sebuah café dan resto yang bagus.’

Aku membalas. 

‘Aku di rumah kak Saada. Kamu tahu alamatnya?’

Kegiatan tidur siangku jadi batal gara-gara chat Fahri. Setelah itu pikiranku sibuk memikirkan apa yang harus kusampaikan. Kalimat apa yang sebaiknya aku ucapkan supaya tidak terlalu melukainya.

Sanggupkah aku melihat raut mukanya yang terluka. Masih bisakah aku bertemu dengan keluarganya nanti? Dan masih banyak pikiran yang mengganggu hingga akhirnya azan Ashar berkumandang. 

Fahri membawaku ke sebuah café bergaya klasik, warna luarnya hitam putih. Ruangan café itu bisa dibilang cukup sempit, tetapi desain dan furniture-nya membuat orang betah berlama-lama di dalam. Kami memilih meja yang hanya ada dua kursi, di samping kaca hingga bisa melihat orang berlalu lalang. 

“Café-nya cukup bagus, tapi sepi pengunjung. Mungkin karena desain dari luar yang cukup mewah, juga di pinggiran kota membuat orang mengira bahwa harga menu di sini cukup mahal.” 

Aku mengitarkan pandanganku. Hanya ada satu keluarga yang menempati meja berisi empat kursi. 

Fahri mengambil buku menu yang sudah tersedia di meja. “Pilihlah menu yang kau suka.”

Aku membolak balik buku menu, namun tak satupun yang bisa kuambil. 

“Pilih saja. Kalau tak suka, kita bisa pesan lagi. Jangan sungkan.”

Fahri memesan ayam taliwang, dengan tea mcha sedang aku bakso dengan ice tea. Fahri tertawa mendengar pesananku. 

“Kenapa kau tertawa dengan pesananku?” tanyaku setelah pelayan menjauh. 

“Setelah aku membawa jauh-jauh ke sini, pesananmu cuma bakso dengan es teh. Kalau sekadar bakso ma es teh, kita bisa nongkrong di pinggiran jalan, aku tahu di mana bakso yang paling enak di sini.”

Aku tertawa. “Sepertinya Kakak sangat mengenal tempat makanan di sini.” 

“Sebagian aku tahu karena aku kuliah di sini.”

“Café? Bukankah café baru-baru ini saja menjamur?" 

“Kalau café, karena aku berencana juga menanam modal di café, jadi aku harus lebih banyak hunting ke café-café. Kalau sudah klop, baru dimulai.”

Aku menatapnya kagum. Dia memang mewarisi jiwa pebisnis dari om Hermawan. Sedang sikapnya yang hambel dan ceria dari Tante Kurnia. Sesaat tersisip ragu dengan keputusan yang akan kuambil. Kami membicarakan banyak sampai akhirnya datang pramusaji membawakan pesanan kami. 

“Kak, ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucapku setelah melihat Fahri menandaskan makananya. Aku tak ingin keputusan mengganggu selera makannya di sore. 

“Ada apa? Katakanlah!” Ia melap mulutnya dengan tisu. 

“Mengenai pertunangan kita.” Sesaat suasana menjadi hening. 

“Kenapa nada bicaramu membuatku takut,” ucapnya setelah lama terdiam.

“Maafkan aku.”

“Jadi dugaanku benar? Ada sesuatu yang tidak baik?” 

“Maafkan aku. Aku tidak bisa meneruskan pertunangan ini,” ucapku akhirnya. 

“Kena … pa? Apa karena Zaid?” 

“Meski ada hubungannya dengan Zaid, tapi ini murni karena keputusanku.”

“Bukankah Zaid akan menikah? Oke, karena saat ini kyau tidak ada perasaan untukku. Tapi, aku akan menunggu, aku akan berusaha untuk meraih hatimu.”

Aku menggeleng. “Ini tidak ada hubungannya bagaimana perasaanku denganmu. Sejujurnya, aku malah bahagia jika itu kamu. Kamu laki-laki baik, perempuan mana sanggup menolakmu.”

Fahri mengerutkan keningnya. 

“Hanya saja Ustadzah Aisyah tahu perasaan kami, jadi menjauh dari mereka adalah jalan terbaik. Aku tak ingin membayangi rumah tangga mereka.”

“Lalu apa kamu sudah memutuskan akan ke mana?”

“In sya Allah, aku akan ke Bandung. Aku akan tinggal di rumah Paman.”

 “Kita menikah saja, aku akan ikut denganmu.”

Aku terkesiap. Fahri mengikutiku?

“Jangan khawatir, aku seorang pebisnis, aku bisa hidup di mana pun berada.” 

“Aku hargai ketulusanmu. Tapi … maaf, aku ingin mandiri di sana dan memulai hidup baru.”

“Itu artinya kau memang tidak memberiku kesempatan sama sekali,” ucap Fahri dengan raut sedih. 

“Maafkan aku. Jangan membenciku ya. Sungguh, keluarga kalian sangat berarti bagiku.” 

Fahri bergeming. Menatapku lamat. Tak lama dia mengembuskan napas keras, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. 

“Aku tak bisa menyalahkanmu. Dari awal aku sudah tahu perasaanmu, tapi aku saja yang terlalu percaya diri, terlebih lagi ketika ketika Zaid bertunangan dengan Aisyah. Aku pikir aku akan bisa mengalihkan perhatianmu.”

“Pada dasarnya kita memang tidak berjodoh. Itu saja. Sekeras apapun kita  mendekat, kalau memang tidak jodoh, percuma saja. Dan sejauh manapun jaraknya, kalau memang jodoh, kita tidak akan dapat menghindar.”

Fahri tertawa getir. “Mesti begitu, pasti ada alasan untuk suatu kejadian.”

Aku menatapnya tak mengerti. 

“Bohong jika tidak terluka saat ini, tapi harus kuakui ini juga karena kesalahanku kenapa tidak berjodoh denganmu.”

Keningku makin mengerut tajam. 

“Dulu sebenarnya yang disuruh menjaga Farah oleh ibu adalah aku, bukan Zaid. Farah suka melakukan hal yang berbahaya, dan kamu juga selalu mau menuruti kemauannya, itu yang membuat ibu selalu khawatir, sedang ibu harus ke pasar membantu ayah.”

Aku membetulkan posisi dudukku. 

“Tapi karena malas juga malu, aku menyuruh Zaid. Dan ternyata Zaid mampu menjaga Farah dan kamu hingga ibu tak mempermasalahkan hal itu lagi. Zaid dari kecil sudah terlihat sifat penyayang, seberapapun repotnya menjaga kalian, tidak terlalu masalah bagi dia.”

Tanpa sadar kepalaku mengangguk. Aku ingat betapa nakalnya Farah waktu, dan uniknya aku selalu mengikuti dan patuh dengan kemauan dia. 

“Dan kamu tahu setelah tamat dari sekolah dasar, kenapa  Zaid tidak langsung masuk pondok dan rela menghafal di rumah sendirian tiap malam?”

Aku menggeleng. Dulu aku juga tidak kepikiran kenapa Zaid masuk sekolah SMP padahal dari kecil dia terlihat agamis. Tidak pernah alfa shalat berjamaah dan ngaji tiap habis shalat Maghrib bersama Ustadz Baharuddin di mushalla. 

“Itu karena dia ingin menjaga kalian, setelah kalian lulus SD dan kalian masuk pondok barulah dia masuk pondok.”

Aku baru tahu kalau dia sudah menghafal Al-Qur’an di rumah. Mungkinkah karena itu dia bisa menghatamkan Qur’an di pondok hanya satu tahun? Dia menghafal Qur’an tiga tahun sendirian di rumah? Aku tidak bisa membayangkan beratnya dia sendirian menghafal di rumah dan ternyata itu karena demi kami. 

Ya Allah, ternyata banyak yang tidak aku ketahui tentang seorang Zaid. 

“Dia pantas mendapatkan cintamu.”

“Tapi Ustadzah Aisyah lebih berhak mendapatkan cintanya.” 


 Detak Cinta Shafura  Part 45: Sebab Suatu Hubungan  'Aku lagi di Banjar. Kita ketemuan, yuk.’ Mataku yang merem langsung melek melihat ...
El Nurien
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 44: Tidak Lebih Dari Tiga Hari 



Aku mengisi waktu senggangku dengan mencari berbagai informasi tentang Bandung Di ponsel Kak Saada. Budaya, kuliner, wisata, dan hal lainnya, bahkan mencari informasi pondok pesantren di seputar daerah tempat tinggal Paman. Aku sudah berencana ke sana bukan sekadar liburan, melainkan ingin memulai kehidupan baru. Di tempat tidak ada yang mengenalku, kecuali keluarga saudara ayahku. 


Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. 

“Ya?”

“Ada tamu. Mau bertemu denganmu.” ucap Kak Saada di luar.

Seketika jantungku berdebar kencang. Orang yang kukenal hanyalah Ustadzah Aisyah, Zaid, Fahri, dan Farah. Jika salah satu dari mereka, sungguh aku tak tahu harus bagaimana. Meski yang datang itu Farah, pasti ada sangkut pautnya dengan Zaid. Namun aku berharap, yang datang itu adalah Syifa, meski kemungkinannya sangat kecil karena seharusnya sekarang ini dia sibuk di pondok. 

“Siapa?” 

“Lihat saja. Cepatlah keluar.” Setelah itu tidak lagi suara Kak Saada. 

Setelah merasa cukup rapi, aku keluar kamar. Dari tangga aku sudah bisa melihat siapa yang datang. Aku berjalan perlahan, dengan jantung berdegup kencang. 

“Ustadzah!” 

Kak Saada menolehku, lalu berdiri. “Kalian ngobrollah. Aku mau siapkan minuman dulu.”

“Jangan repot-repot, Kak,” seru Aisyah. Dia membuka wajahnya. Raut mukanya terlihat sedih. Tiba-tiba rasa bersalah menerpaku. 

“Tidak repot, kok. Tinggal dulu, ya.”

Aku duduk di sofa menghadap Aisyah dengan wajah tertunduk. Banyak kalimat yang ingin kuucapkan, tetapi mulutku terkunci. Aku merasakan suasana gerah, meski ac di rumah ini telah menyala. Kami terus saja diam sampai Kak Saada datang membawa nampan berisi secangkir teh dan dua buah tooples kaca berisi cemilan.

“Silakan, Ustadzah. Jangan sungkan!” Kak Saada meletakkan teh yang masih mengepulkan asap itu di depan Aisyah, lalu membuka penutup toples. 

“Ana ke sini karena sebuah hadits.” Ustadzah Aisyah membuka suara. Dari suara terdengar kegetiran yang dalam. Dari nadanya, dia masih belum bisa memaafkanku. 

Aku diam saja, tanpa berani mengangkat kepala. 

“Sebuah hadits menjelaskan, ‘tidak dihalalkan bagi seorang mukmin mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari.”

Aku masih tidak berkata apa-apa. 

“Ana minta maaf, mendiamkanmu lebih tiga hari dan baru hari ini mempunyai kemampuan untuk menemuimu. Dan sejujurnya, sekarang pun melihatmu membuat hati semakin terluka.”

“Ana minta maaf, Ustadzah. Sungguh, ana tidak bermaksud … .”

“Ana mengerti,” potong Ustadzah Aisyah. “Ana memahaminya. Cahya sudah menceritakan semuanya.”

Aku terperangah. Kenapa Cahya berani melanggar perintahku. 

“Yang ana sesalkan, kenapa anti tidak jujur dari awal? Kenapa ana baru mengetahui setelah persiapan sejauh ini? Setelah ana terlanjur berharap banyak padanya? Dan kenapa perempuan dicintainya itu anti? Sahabat yang sudah ana anggap seperti saudari sendiri.” 

“Maafkan ana, Ustadzah.” Lagi-lagi hanya kalimat maaf yang bisa kuucapkan. 

Aisyah mulai terisak. “Ana harus bagaimana, Silmi?” 

 “In sya Allah, pernikahan kalian akan tetap terjadi.”

“Dengan bayang-bayang adanya wanita lain di hati suamiku?”

“Astagfirullah.. Ustadzah! Kenapa Ustadzah sudah curiga pada calon suami sendiri?” ucapku setengah lancang. Lalu aku menarik napas guna mengendalikan emosi. 

Tiba-tiba saja aku tersulut emosi, dengan tuduhan yang ditujukan kepada Zaid. Aku yakin Zaid tidak akan melakukan itu. Aku tahu tidak semudah itu melupakan orang yang dicintai, tapi dia akan berusaha mencintai istrinya dan melupakanku.

“Ini bukan lagi prasangka, Silmi. Dengan mata ana sendiri, bagaimana cara dia bersikap padamu. Dari tatapannya saja dapat diketahui … .”

“Ustadzah!” potongku. “Ana mengenal Zaid dari kecil. Ana akui dia menjagaku dari kecil, tapi ana yakin Zaid tak sepecundang itu. Ana yakin, Zaid bisa menerima keadaan ini. Dan yakin, dia akan berusaha menjadi imam yang baik. Asal anti mau memberinya kesempatan.”

Tangisan Ustadzah Aisyah makin menjadi. “Tapi bagaimana dengan anti? Bisakah anti melupakannya?”

Aku berdiri, lalu duduk bersimpuh di depannya. Kugenggam tangannya. “Ma ashaaba min mushibatin fil ardhi wal fii anfusikum illa fii kitabin min qobli annabraaha.” 

Aku diam sejenak. Menatap matanya. “Apa yang menimpa kita, ini sudah ketentuan Allah. Bahagia ataupun sedih, itu hanyalah warna warni dari kehidupan kita. Ustadzah pasti tahu itu, hanya saja kita perlu waktu untuk menerimanya.

Namun, jika kita ikhlas menjalaninya, pasti akan menuai banyak hikmah. Perasaan kita pada hakikatnya milik Allah, tapi ana yakin, jika Ustadzah melayaninya dengan ikhlas, Allah akan memberikan perasaan cinta di hatinya.”

Ustadzah Aisyah menatapku. Binar matanya masih mengambang. 

“Tidak akan pernah sia-sia semua kebaikan yang dilakukan karena Allah.”

“Tapi apa ana bisa?”

“In sya Allah, Ustadzah bisa. Laa yukalifullahu illa wus ‘aha.

Aisyah mengambil alih genggamanku. “Mengapa anti setegar dan sebaik ini? Alangkah baiknya, jika anti marah, kecewa, lalu merebut Zaid. Ana tidak merasa bersalah sebesar ini.”

Aku menggeleng. “Merebut? Ana tegaskan lagi, kami tidak pernah memiliki hubungan apapun, selain persahabatan. Adapun perasaan itu tidak membuat adanya sebuah ikatan.”

Aisyah membuka mulutnya, tetapi segera aku potong. “Ana sangat mengenal kalian dan menurut ana kalian sangat cocok. Ana yakin, pernikahan kalian akan memberikan banyak keberkahan.”

Aisyah terdiam. Ia menatapku beberapa saat. Kami saling meyakinkan hanya melalui mata.

“Anti datang 'kan ke pernikahan ana?”

Giliranku yang terdiam. Memikirkan andai aku menghadiri pernikahan Aisyah, apakah aku akan mendapatkan tatapan negatif lagi? Tetapi tidak mungkin aku menolak, lagi pula mungkin hari-hari terakhirku di sini. Kedatangan Aisyah membuat keputusanku ke Bandung semakin kuat. 

* Hr. Muslim

 **Tidaklah tiap musibah yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, kecuali semuanya telah tertulis dalam kitab (Luh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. (Qs. Al-Hadiid : 22)

 ***Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.s. Al-Baqarah : 286)



  Detak Cinta Shafura  Part 44: Tidak Lebih Dari Tiga Hari  Aku mengisi waktu senggangku dengan mencari berbagai informasi tentang Bandung D...
El Nurien
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 43: Hubungan Perasaan 




Aku langsung menghempaskan diri di atas kasur ketika sampai di kamar di atas loteng yang telah disiapkan Kak Saada. Tas dan kotak yang kubawa tergeletak sembarang tempat. Sedang, Kak Saada membuka pintu balkon




"Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin membersihkan ruangan ini. Ternyata firasat kamu akan pulang," ucap Kak Saada sambil membuka gorden, lalu membuka pintu jendela. 


Aku memejamkan mata. Bersyukur dalam hati. Aku pun tidak bisa membayangkan jika masih numpang di kamarnya anak-anak Kak Saada dalam kondisi remuk redam begini. Aku tidak mungkin menangis di depan mereka.


"Terima kasih, Kak."


Kak Saada tak menyahut. Ia telah menuruni tangga. 


Kubuka mata, menatap langit-langit yang beralaskan triplek warna coklat penuh dengan noda di mana-mana. 


Menatap langit-langit menyadarkan bahwa aku benar-benar sendirian. Di pondok sangat jarang menatap langit-langit kamar. Saat berbaring, jika tidak ngobrol dengan teman sebelah, aku langsung memejamkan mata. 


Perasaanku benar-benar kosong dan hampa. Ternyata di mana posisi teman-teman tidaklah masalah. Jarak bukanlah jadi alasan untuk menjadi terpisah. Di mana pun, selalu ada doa dan perhatian mereka untuk kita. 


Tapi kini aku benar-benar merasa terputus. Aku yakin Cahya dan Syifa akan selalu mendoakan kebaikan untukku, hanya saja putus asaku telah menutupi segalanya. 


Dulu aku selalu bersemangat jika mengingat Zaid, meskipun jaraknya jauh puluhan juta kilometer. Kini masih satu provinsi, aku yakin ia juga selalu mendoakanku, tapi perasaan hampa yang membuat semuanya jadi menguap. 


Tatapan hina dan cerca kembali memenuhi ruang sadarku. Pengabdianku jadi hancur lebur oleh sebuah kesalahan. Mungkinkah aku bisa menginjakkan kaki ke situ lagi? Atas alasan apa?


"Rabbanaa taqabbal minna watub 'alaina,*" 

Perlahan cairan hangat mengalir dari kedua belah mataku. Mengalir tanpa suara. Dari sini aku mengerti, mengapa aku menangis nyaring seketika di dekat Zaid ketika di Tanuhi, atau ketika di dekat Syifa. Itu karena kepercayaanku pada mereka. 

Aku bisa meluapkan perasaanku pada mereka. 

Aku percaya mereka bisa memahamiku. 

Kini tangisanku tanpa bunyi, karena memang siapa yang akan mendengarkan tangisanku. 


Hasbiyallahu tawakkaltu 'ala llaah'


***


Setelah shalat Isya aku mulai mengeluarkan barang-barangku. Pertama kali yang kubuka adalah kotak. Karena di dalam kotak aku menyimpan kitab-kitab. Sampul kitab tafsir pemberian Zaid langsung menyembul ketika aku membuka kotak itu. 


Seiris silet kembali menyapa. Kuangkat kitab itu, lalu kueja dengan jari namanya yang telah dicoret dengan Tipe-X. Aku sengaja mencoret supaya tidak jadi fitnah atau pertanyaan dari teman-teman. Siapa sangka setelah sekian tahun, ternyata ada yang bisa menebaknya, yaitu Cahya. 

Santriwati yang tidak bisa mengingat nama dan wajah orang, tetapi paling pandai jika ia mau membaca wajah orang. Beruntungnya, ia bukan tipe orang peduli dengan urusan orang lain. 


Aku meletakkan kitab tafsir itu ke atas lemari ketika terdengar bunyi kaki di anak tangga. Tak lama muncul Kak Saada sambil membawa gawainya. 


"Paman Salahuddin vc-an." Kak Saada menyerahkan gawainya padaku. 

Aku menyambutnya dengan wajah heran. 


"Assalamualaikuuum. Silmi ya." 

"Wa alaikum salam."

Aku bergegas meletakkan gawai itu ke telinga. 


Kak Saada tersenyum geli. Ia mengambil gawai itu, lalu memperlihatkan wajah paman yang di muncul di layar. 


"Paman?" tanyaku, dengan perasaan malu. Pasti paman kaget tadi saat melihat telinga di layar ponselnya. 


"Apa kabar, Silmi?" 

"Alhamdulillah, baik, Paman. Paman juga bagaimana kabarnya?" tanyaku kaku. Aku lupa kapan aku pernah berbincang dengan paman. 


"Alhamdulillah, baik, Silmi. Alhamdulillaah, akhirnya Paman bisa berbicara denganmu. Berapa kali Paman nelpon Saada, tapi katanya kau lagi di pondok." 


Aku tersenyum menanggapi ucapan Paman di layar ponsel. 


"Entah kenapa maka ini tiba-tiba Paman ingin menelpon Saada. Ternyata Paman hendak berjumpa denganmu. Alhamdulillah."


"Alhamdulillah." Hanya kata ini yang bisa kuucapkan. Hanya sekadar menanyakan bagaimana keadaan istri beliau aku tak berani. Sudah lama aku tidak mendengar keadaan Paman. Menyadari hal ini, betapa jahatnya aku. 

“Tunggu sebentar,” ucap Paman, lalu ia memalingkan wajahnya lalu berteriak. “Nyii … Nyii … Sini atuh. Nyii … .”

Aku berjalan, lalu duduk di atas kasur. 

“Tunggu atuh Engkaaang.”

Dari kejauhan terdengar suara seorang perempuan menyahut sambil menggerutu dengan bahasa yang tidak aku mengerti. 

“Sini. Ini Neng Silmi.”     

“Neng Silmi?”

Seorang perempuan paruh baya muncul di layar ponsel. Aku segera meraih ponsel itu. 

“Neng Silmi, keponakan aku. Putri Almarhum Zainuddin,” beritahu Paman semangat.

“Ooo, Silmi. Neng Silmi? Yang di Kalimantan?”

Aku mengangguk. 

“Enggih, Bi.” Kenapa aku jadi mengucap enggih? Memang Bandung juga memakai enggih?

“Aduuh. Senangnya Bibi bisa lihat ketemu Neng Silmi. Sudah lama yak tidak ketemu. Sekarang sudah gadis yak. Cantik sekali.”

"Oh iya, sekarang Neng lagi ngapain? Sedang liburan yak?” ponsel diambil Paman, tetapi keduanya masih bisa kelihatan di layar ponsel. 

Aku mengangguk bimbang. 

“Jalan-jalan ke tempat Paman yuk. Ke Bandung.”

Seketika otakku menggeliat cerah. Jalan-jalan merupakan ide yang bagus untuk kondisiku saat ini. Tapi, kantongku tidak mengizinkan. Tabunganku tinggal sedikit. Sisa membelikan jam tangan Zaid dan gamis untuk Aisyah. Hatiku meringis. Untuk membelikan arloji untuk seorang Zaid saja benar-benar menguras tabunganku.

Bagaimana jika untuk Hans, putra bangsawan? Mungkin aku perlu menabung seumur hidup. Kenapa jadi ingat Hans?

“Pingin. Silmi juga sudah sangat lama tidak ke sana.”

“Iya, terakhir Neng Silmi kecil sekali, yak?” sela Istri Paman.

Aku mengangguk. “Iya, Bi. Waktu ayah masih hidup. Umur Silmi waktu itu sekitar sembilan tahunan.”

“Benar, kamu sudah lama sekali. Ke sini atuh, Neng,” bujuk Istri Paman dengan dialek khasnya.

Aku tertawa kecil. “Mau atuh, Bi.” Lo kenapa aku ikut-ikutan dialek bibi. "Tapi, Silmi tidak pernah pergi sendirian, apalagi sejauh itu.”

“Gampang atuh.” Paman merangsek maju. “Neng cukup diantar Aa Sakti ke bandara, nanti di bandara sini ada yang jemput. Nanti Paman suruh Mumtaz jemput.”

Mumtaz?  Rasanya aku pernah dengar nama itu, tapi siapa?

“Neng lupa kan?! Dia sepupu Neng Silmi. Dia yang dulu temanin Neng bermain. Ingat, gak?”

Aku memicingkan sebelah mata. Berusaha mengingat kenangan kecilku sewaktu silaturahmi ke Bandung. Memang saat itu ada sepupu-sepupu yang menemaniku bermain juga jalan-jalan. Tapi, aku lupa siapa saja namanya.

“Tunggu sebentar, yak.”

Tiba-tiba ada tambahan panggilan di layar. Seketika insting siagaku mulai berdering. Aku meletakkan ponsel, meraih jilbab yang tergeletak di kasur, lalu memasang ke kepala. Aku merapikan jilbabku melalui video yang ada di ponsel. 

“Ya, Paman.” Wajah malas muncul di layar ponsel. 

Seketika aku terkesiap, lalu melepaskan ponsel.

“Paman, vician dengan siapa?” Dari suaranya sepertinya dia baru menyadari. 

“Dengan Silmi, Mumtaz. Sepupumu. Neng … masih sambungkan?”

Aku kembali mengambil ponsel, lalu melihat layar. Terlihat Mumtaz sudah memakai kaos longgar. Posisinya juga sudah berubah. Dari baringan menjadi duduk. 

“Silmi? Benar, ini Silmi. Ya Allah, mimpi apa aku semalam, bisa lihat kamu," teriak seorang laki-laki yang menurut perkiraanku sebayaanku denganku. 

"Assalamualaikum, Aa. Aa Mumtaz gimana kabarnya?" tanyaku kikuk. 



catatan kaki :

*Tuhan kami  terimalah amal ibadah kami dan tobat kami. 



  Detak Cinta Shafura  Part 43: Hubungan Perasaan  Aku langsung menghempaskan diri di atas kasur ketika sampai di kamar di atas loteng yang ...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura Part 42: Terusir




Di ruang kantor  sengaja aku memuaskan diri menangis. Agar semua bebanku bisa hanyut bersama derasnya air mata. 

“Sabar ya, Silmi” lirih Syifa sambil memegang pundakku. 

“Qaala innamaa asykuu batstsii wa huzni ila llah,1” kataku sambil terisak. 

“Hasbunallah wani’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir,” tambah Syifa menyemangatiku. 

Kusandarkan punggung ke dinding, kudongakkan kepala dengan mata terpejam. Perih sekali. Aisyah, sahabatku kini membenciku. Aku harus berbuat sesuatu.

“Sebaiknya ana pulang saja.”

Syifa tersentak. 

“Anti mau pulang?” tanya Syifa dengan ekspresi tak percaya, “meninggalkan semua tuduhan buruk yang ditujukan kepada anti?”

“Apa boleh buat, Ukhti. Biarlah mereka menuduh ana sesuka hati. Bagi ana yang penting adalah pernikahan Aisyah. Ana titip kado ya."

“Apa pun yang anti pinta, akan ana lakukan. Sejujurnya ana tak sependapat dengan keputusan anti. Pergi begitu saja, meninggalkan jejak gelap pada diri anti, terlebih lagi, sebentar lagi khataman, tidakkah anti ingin melihat anak bimbingan anti, khataman tahun ini? Lalu bagaimana dengan Cahya? Ia sangat membutuhkan keberadaan anti.”

Rentetan ucapan Syifa memberikan goresan demi goresan di hati. Siapa yang tak ingin melihat anak bimbingannya khataman? Semua guru pasti bahagia, melihat anak didiknya ikut lulusan. Namun, yang lebih aku cemaskan adalah Cahya. Aku khawatir masalah ini mengganggu konsentrasi Cahya.

“Keadaannya tidak memungkinkan, Syifa,” sahutku.

Langsung saja kutelpon Kak Saada. Awalnya kak Saada kaget mendengar keinginanku. Tapi, kakak pun langsung paham mendengar penjelasanku. 

Sebelum berkemas, aku juga sudah membungkus kado untuk pernikahan Aisyah dan Zaid. Gamis dan arloji. Beberapa saat, aku mengingat-ngingat kalau ada yang tertinggal. Helena. Aku harus menemuinya. 

“Kakak,” seru Helena. Dia sedang latihan untuk menyenandung nasyid.

“Bisa kita bicara sebentar?”

Helena tak langsung menjawab, dia mengitari pandangan ke sekeliling, teman-temannya dan pelatihnya, Fitri. Helena langsung berdiri, begitu mendapat isyarat izin dari Fitri. Sempat aku menangkap kilat jijik dari mata Fitri. 

“Kakak mau pulang, dan tidak akan ke sini lagi. Jaga diri baik-baik, ya,” ucapku datar sambil menyalaminya, begitu kami sampai di kamarnya. 

Kamar sepi, mungkin teman-temannya yang lain lagi sibuk. Aku berusaha keras agar air mataku tidak tumpah. 

Helena langsung menyambutnya dengan pelukan dan tangisan. Sesaat aku bernapas lega, Helena tidak menganggapku buruk. 

“Kakak jangan pergi. Helena tak ada siapa-siapa lagi di sini. Kak Hans juga akan pergi.” 

Perlahan kulepaskan pelukan dan memegang dua pundaknya. 

“Helena, dengarkan Kakak. Hans dan kakak, memang pergi. Jauh dari Helena, tapi hati-hati kami dekat dengan Helena. Kami sangat mencintaimu, dan akan selalu mendoakanmu.”

Kutatap matanya lurus-lurus, aku ingin menguatkan dan menyakinkan, bahwa aku dan Hans akan selalu mencintainya, walaupun kami tak bisa selalu bersamanya.

Helena mengangguk sambil terisak. 

“Nah begitu, jaga diri baik-baik. Tetap semangat belajar, dan … .” Aku melangkah mendekati lemarinya, dan mengambil dua boneka yang terpajang di atas lemarinya. “Dan jika Helena rindu kami, lihatlah dua boneka ini! Ingatlah kami pun akan selalu merindukan Helena.”

Aku memain-mainkan boneka, sehingga Helena tertawa kecil, karena gerakan imut dua boneka beruang itu. Satu pemberianku dan satu lagi dari Hans. 

“Nah begitu, dong. Tabassamii.”

Aku kembali memeluknya, kembali perasaanku diliputi kesedihan. Kurasakan air mataku mulai menggenang di kelopak mata. Aku tak boleh menangis di depan Helena.

“Kakak pergi dulu, ya.”

Helena mengangguk. Kukira dia kembali bergabung dengan team latihannya, ternyata dia mengikutiku. 

“Tidak ikut latihan lagi?” tanyaku sambil berjalan.    

“Nanti saja, Kak. Setelah melepaskan kepergian Kakak.” Saat kami berjalan, lagi-lagi pandangan penuh ejekan dan kebencian menyorotiku. Aku hanya bisa mendesah keras.


    ***

Kutitip surat, kado, dan salam buat Aisyah pada Syifa. Begitu juga dengan Helena. Jika memandangnya, rasa tak tega meninggalkannya.  Apa boleh buat, mobil Kak Saada telah menunggu bersama suaminya, Hilman. 

Kupeluk Syifa, Helena, dan Nadhirah satu persatu. Penuh dengan keharuan dan tangisan. Aku tak kan pernah melupakan mereka. Ke manakah yang lainnya? Ke manakah anak-anak bimbinganku?

Malangnya takdir yang digariskan hari ini. Sembilan tahun aku di sini, belajar dan mengabdi, kini aku keluar dengan penuh hinaan. Entah sebagai terusir atau orang yang melarikan diri, atau kedua-duanya. 

Tak lama Cahya muncul dengan terengah-engah. Wajahnya sembab. “Ana harus bagaimana, Ustadzah? Ustadzah dan Ustadzah Aisyah adalah orang yang paling ana sayangi. Kenapa harus seperti ini? Ana harus berdiri di mana?”

Aku tersenyum kecut. “Berdirilah di kaki sendiri. Hargai keputusan ana dan tetap hormati Ustadzah Aisyah.”

Air mata Cahya semakin merembes. Kutarik Helena, kudekatkan pada Cahya. 

“Kalian bisa saling membantu dan menguatkan satu sama lain. Cahya, ana titip Helena. Bagaimana pun anti kepercayaan kakaknya. Bantu Hans dengan selalu memerhatikan Helena.”

Cahya menatapku lekat. Lalu mengangguk. “In sya Allah, Ustadzah.”

Kubiarkan Cahya memelukku erat. 

Ya Allah, bagaimana ia bisa tes dengan kondisi seperti ini? Ya Allah, mudahkanlah urusannya dan berilah ia jalan yang terbaik. 

Sejenak aku menatap tiga teman setia yang melepaskan kepergianku. Semuanya menangisi kepergianku. Cahya dan Helena paling sesenggukan, ketika mobil melaju, Helena menenggelamkan mukanya ke bahu Cahya. 

Syifa lah yang paling tegar. 

        *** 

catatan kaki

Ù‚َالَ Ø¥ِÙ†َّÙ…َآ Ø£َØ´ۡÙƒُواْ بَØ«ِّÙŠ ÙˆَØ­ُزۡÙ†ِÙŠٓ Ø¥ِÙ„َÙ‰ ٱللَّÙ‡ِ ÙˆَØ£َعۡÙ„َÙ…ُ Ù…ِÙ†َ ٱللَّÙ‡ِ Ù…َا Ù„َا تَعۡÙ„َÙ…ُون


Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Qs. Yusuf, Ayat 86)

 Detak Cinta Shafura Part 42: Terusir Di ruang kantor  sengaja aku memuaskan diri menangis. Agar semua bebanku bisa hanyut bersama derasnya ...
El Nurien
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 41: Dendam Terpendam





“Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri menuduh ana mengkhianati Aisyah."



“Ana tidak, Silmi. Ana tahu semuanya, dan ana percaya sama anti. Dan Nadhirah pun insya Allah, tidak.” 

Syifa beralih pandangannya ke arah Nadhirah. Dan menceritakan semua yang terjadi. Tentang persahabatanku dengan Kak Zaid, tentang permintaanku, kepada Zaid agar menerima lamaran Kyai Ibrahim, dan menceritakan pertemuan yang tidak direncanakan kemarin.

“Sabar, ya, Ustadzah. Semoga Allah, akan memudahkan jalannya.”

“Terima kasih Nadhirah. Untuk sementara, jika ada yang bertanya kepadamu tentang kejadian ini, cukup katakan pada mereka, ini hanya kesalahpahaman. Ana tak pernah mengkhianati Aisyah. Apa pun demi kebahagiaan Aisyah, akan ana lakukan, jadi tidak mungkin ana mengkhianati Aisyah.”

“Iya, Ustadzah. Insya Allah,” balas Nadhirah.

“Terima kasih, ya,” 

Nadhirah hanya mengangguk.

“Sabarlah, kita serahkan semuanya pada Allah. Nanti kita temui Aisyah, kita bicarakan secara baik-baik.”

“Anti mau menemani ana?” tanyaku penuh harap.

“Ana akan menemani anti, kalau perlu ana juga ikut menjelaskan semua yang ana ketahui.”

“Terima kasih Syifa. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan dan pengertianmu selama ini. Jazakillah khairan katsiran.”

“Wa iyyaki,” balas Syifa dengan senyum mengambang. Memberi secercah cahaya di pikiranku yang sedang berkabut.

“Assalamu ‘alaikum.” Cahya di depan pintu. 

“Wa ‘alaikum salam,” sahut kami serentak. Aku hanya bisa menjawab dengan suara lirih. Melihatnya sontak tanganku mengusap wajah. 

“Ustadzah, apa yang terjadi?” Cahya mendekatiku dengan wajah cemas. 

“Maksud anti?” Pertanyaan yang tidak  faedah. 

Memang Cahya terbiasa memojok, tetapi jika ia ke sini, berarti ia telah mendengar kabar itu. Hanya saja aku tidak tahu apa yang ia dengar. 

“Ana dengar… .” 

Aku tersenyum. “Ana tidak tahu apa yang dengar. Kalau anti dengar keributan yang barusan terjadi, iya. Tapi percayalah, ini hanya kesalahpahaman. Jangan khawatir, jika marah Ustadzah Aisyah sudah reda, ana akan menjelaskannya,” ucapku ragu-ragu. 

Aku tak yakin kemarahan Aisyah reda secepat itu. Terlebih lagi ini menyangkut masalah pernikahannya. Aisyah pasti sangat kecewa padaku, yang berstatus sahabatnya. Hanya saja, aku tidak ingin konsentrasi Cahya terganggu. 

Cahya masih menatapku cemas. “Bagaimana kalau ana jelaskan kepada Ustadzah Aisyah?”

“Maksud anti?”

“Ana percaya dengan Ustadzah. Ustadzah tidak mungkin mengkhianati Ustadzah Aisyah. Seharusnya Ustadzah Aisyah tahu ini bentuk pengorbanan Ustadzah kepadanya.”

Aku menatap Cahya lekat. Bagaimana ia begitu mempercayaiku? Apa ia tahu hubunganku dengan Zaid?

“Ana tahu siapa Ustadzah. Dan tunangan Ustadzah Aisyah itu laki-laki yang memberi Ustadzah buku tafsir itu kan? Namanya yang Ustadzah hapus di sampul tafsir itu.” 

Cahya memegang tanganku. “Ustadzah memang tidak pernah cerita itu, tapi Ustadzah adalah panutan ana. Setiap gerak-gerik Ustadzah selalu jadi perhatian ana. Bahkan tatapan Ustadzah saat ini pun ana tahu.”

Keningku mengerut. 

“Saat ini Ustadzah memikirkan tes ana kan?”

Aku tercengang.

“Ana akan jelaskan semua ini kepada Ustadzah Aisyah,” ucapnya seraya bergerak hendak berdiri. Tetapi, aku segera menarik tangannya. 

“Cahya, terima kasih atas  perhatiannya. Ana bangga pada anti. Tapi, masalah ana dengan Ustadzah Aisyah, ana akan tangani sendiri. Anti fokuslah pada persiapan tes anti. Ya."

“Tapi ... .”

“Cahya,” potongku. 

Cahya menunduk. “Baiklah,” ucapnya pasrah. “Kalau begitu ana pamit dulu.”

Aku mengangguk. “Konsentrasilah! Masalah ana, serahkan semuanya pada Allah.”

Cahya mengangguk. 


        ***

Sudah tiga kali, aku berusaha menemui Aisyah. Dia tak juga berkenan menemuiku. Mungkin ia terlalu marah. Sementara desas-desus berita tak nyaman mulai berkeliaran di daerah pondok. 

Banyak santri yang memandangku penuh kebencian, ada yang bersikap dingin, bahkan ada bersikap lancang, mencibir, bahkan tak segan-segan mencercaku. Sekarang aku lebih sering berdiam di kantor, karena jarak ruangan tes lebih dekat. Setidaknya, mengurangi tangkapan indra penglihatan, dari mata-mata kebencian. 

Hanya kepada Allah kusandarkan hati.

“Silmi, Silmi.” kata Syifa dengan terengah-engah.

“Ada apa, Syifa? Kenapa panik begitu?” tanyaku tak kalah panik.

Akhir-akhir jiwaku cenderung sensitif. Setiap orang yang berbicara di dekatku, seakan-akan akan menghinaku. 

Jika mereka memandang, bagiku seakan mau menerkamku. 

Jika ada teriakan, seakan sebuah ketuk palu hakim yang akan menyiapkan hukuman mati buatku. Dunia menjadi mengerikan. 

“Ada kabar. Pernikahan Aisyah dibatalkan.” 

“Apa? Ini tidak mungkin! Pernikahannya tinggal berapa hari lagi? Ya, Allah ini tidak boleh terjadi.” Aku tak yakin tinggal berapa hari lagi pernikahan Aisyah. Semuanya jadi jadi kacau, bahkan hari ini hari apa aku pun tidak tahu. 

“Bagaimana kita temui lagi Ustadzah Aisyah. Apa dia mau menerimaku?” tanyaku ragu.

“Entahlah. Tapi, tidak salah jika kita mencoba.”

Aku mengangguk, “temani aku, Syifa.”

        

***


“Apa Aisyah mengizinkan kami, untuk menemuinya?” tanyaku kepada Dewi dan Eka dengan tidar sabar---santriwati yang sedang piket. 

Eka menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?” Pertanyaan yang bodoh.

“Katanya masih sibuk,” jawab Dewi dengan nada sinis. 

Dewi tetangganya Zaid, itu artinya aku dengan Dewi juga sekampung. Tapi sepertinya itu tak berlaku lagi. Mungkin di matanya aku sudah benar-benar jahat. 

Jangankan sekampung, kesalahan bahkan tidak memandang hubungan. 

“Begitu, ya? Terima kasih, ya, kami ke sebelah dulu,” kataku lemah sambil menarik pergelangan Syifa. Putus asa sudah menjalar ke seluruh urat nadiku. 

“Wi, ada kabar, katanya pernikahan Ukhti Aisyah dibatalkan, apa benar?” tanyaku hati-hati. Aku bertanya lagi padanya sambil berharap ia memandangku sebagai teman sekampung. 

“Tidak. Tidak benar. Kenapa anti bertanya begitu?” tanya Dewi, penuh selidik. Matanya menusuk ke arahku. 

“Tidak apa-apa, Ukhti. Syukurlah jika begitu, kami pergi dulu. Assalamu ‘alaikum.”

“Tunggu dulu. Jangan katakan, anti berharap pernikahan ini batal?!”

Tuduhannya benar-benar menyengatku. Mataku mulai berkaca-kaca. “Kenapa anti berkata begitu?”

“Iya, bisa saja. Bukankah anti juga mengharapkan Abdurrahman?! Oh bukan Zaid ya? Zaid juga memanggilmu Shafura kan?!” Dewi memandang pergelanganku. “Mana arlojinya. Jangan-jangan dia sudah gantikan yang baru?!”

Aku terperangah. 

“Heh? Asal kalian tau, dia seorang hafizhah munafik. Mondok, berhijab, padahal diam-diam hatinya berkhalwat. Busuk.”

Aku tidak berniat untuk membantah ucapan, bahkan membiarkannya melepaskan semua kalimat yang terpendam di benaknya. Barangkali itu akan membuatnya puas. 

Dari dulu, aku sudah mengira yang menyebarkan desas desus fitnah padaku itu  Dewi. Aku berusaha diam, karena aku mengerti kebenciannya padaku. 

Dari dulu ia sangat ingin berteman dengan Farah, karena dengan begitu ia juga akan dekat dengan Zaid. Tapi, aku tak mengerti mengapa Farah sangat tidak menyukainya. 

Dia ke pondok ini pun demi mendekati Zaid. Ia ingin Zaid memandangnya. Hanya saja di mata Zaid hanya ada dua gadis. Aku dan Farah. 

Usahanya sudah sejauh ini, maka wajarlah jika ia sangat membenciku. 

“Dewi!” sergah Syifa. “Istighfar, Wi. Tak baik menuduh saudara sendiri, itu keterlaluan.”

“Keterlaluan? Akhirnya terbongkar juga kan kebusukan dia selama ini. Selama ini Aisyah menyangkal tentang kelakuannya. Tapi temanmu ini yang keterlaluan, menikam teman sendiri dari belakang, berkali-kali pula.  Itu yang namanya keterlaluan!”

Syifa melotot, tubuhnya seketika menegang, gerahamnya merapat. Aku menarik tubuhnya ketika mulutnya terbuka untuk membalas Dewi.

“Sudahlah, Syifa! Dewi tak tahu duduk perkaranya. Cukuplah Allah sebagai penolongku. Yuk kita pergi, jangan buat kekacauan di sini.” seruku seraya menarik lengan Syifa. 

“Heh, masih saja bersikap alim.”

Aku menarik lengan Syifa meninggalkan tempat itu. Umpatan Dewi dan tatapan kebencian mengiri langkah kami hingga keluar dari gerbang pondok lama. 

    ***


  Detak Cinta Shafura  Part 41: Dendam Terpendam “Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri m...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 39: Berteman Malam



  “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Banjarku sambil menoleh Zaid. Aku tak mengerti kenapa dia terlihat begitu santai.


“Bukan teman lagi, bahkan lebih dari sahabat. Bahkan dulu aku mengira mereka itu berjodoh. Ternyata aku salah, Zaid berjodoh denganmu, dan Silmi untukku,” sahut Fahri sambil tertawa kecil dan sedikit terkesan sinis. 

Kening Aisyah mengerut tajam. Aku semakin tidak nyaman. 

“Silmi, anti bilang dulu, tidak begitu mengenal Zaid.” lirih Aisyah seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Mungkin dia berusaha mengingat-ngingat.

“Ana pernah bilang begitu?” Aku benar-benar lupa kapan mengucapkan itu. 

“Iya, ana yakin itu,” tukas Aisyah. 

“Mungkin anti nanya ke ana, saat itu ana lagi sedang sibuk. Anti kan tahu, kalau ana lagi sibuk, andai ada yang minta izin menceburkan diri ke laut pun mungkin akan ana izinkan,” kilahku gugup. 

Kulirik Zaid, laki-laki itu acuh tak acuh, dia asik menyedut minumannya.

“Mungkin juga.” gumam Aisyah.  “Oia, sejak kapan kalian berteman?" kali ini pertanyaan kepada Zaid. Laki-laki itu jadi kikuk. 

“Sejak kecil. Tepatnya kapan, aku tidak menyadari hal itu. Silmi teman adikku --- Farah.”

“Oh, ya. Kakak apa kabar?” tanyaku tiba-tiba sambil menatap Fahri. Kening Fahri mengkerut, tatapan matanya membuatku jadi serba salah. 

“Maaf, baru bertanya sekarang. Setidaknya  aku sudah berusaha menunjukkan perhatian pada Kak Fahri, walau terlambat," ujarku dengan wajah manyun. 

Kenyataannya aku memang hanya ingin mengalihkan pembicaraan.

Fahri tertawa kecil, “Alhamdulillah, aku baik. Kamu sendiri gimana?”

Aku merentangkan kedua tangan, “Seperti yang kakak lihat. Bagaimana pekerjaan Kakak? Kakak sepertinya tipe pekerja keras?” 

Akhirnya terjadi pembicaraan yang mengasyikkan antara aku dan Fahri. Karena memang sudah saling mengenal sejak lama. Fahri orang terbuka, mudah akrab. Bahkan sesekali dia melucu, yang membuatku tak tahan menahan tawa. Sepertinya kami sangat menikmati kebersamaan ini. 

Beda dengan Zaid dan Aisyah. Mereka diam saja. Sesekali Zaid mengerling ke arah kami.  Entah apa yang dipikirkan Zaid, pastinya mereka memang belum pernah saling kenal, walaupun sama-sama lulusan Yaman. 

Sedangkan Aisyah, aku tahu dia tak mungkin  yang memulai pembicaraan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. 

“Waktu kuliah, aku sering sekali ke sini. Bahkan kadang cuma minum segelas Cappucino,” kata Fahri.

“Oya?” tanyaku perhatian.

“Aku sangat menyukai tempat ini. Menurutku … entahlah, apalagi jika pengunjungnya sunyi. Ah nyaman sekali. Nanti aku ajak lagi ke sini, kalau kita sudah menikah. Aku tahu kapan tempat ini sepi.”

Tiba-tiba Zaid berdiri. Kami terkejut akibat tingkahnya. Ada apa dengannya? Laki-laki itu sepertinya sedang marah. Terlihat dari mata dan dagunya yang merapat.

 Ia pun terkesiap. Seperti baru menyadari dari perbuatannya. 

“Sebaiknya kita pulang sekarang!” ucapnya melembut. 

"Kenapa? Lagi pula ini tidak terlalu malam," kening Fahri berkerut, matanya menatap Zaid dengan emosi dan penuh selidik. Perasaanku semakin tak nyaman. Aku tahu, pasti kejadian tadi sedikit banyak mempengaruhi perasaan Fahri. 

Zaid menolehku. Aku menekuk wajah karena ketakutan. 

“Maaf, mengejutkan kalian. Mungkin aku terlalu cape. Aku pikir Mama, Bibi dan Syifa sudah lama menunggu.”

“Baiklah kalau begitu, sebaiknya kita pulang sekarang,” tukas Fahri pasrah tetapi tetap menatap tajam ke arah Zaid. Ketegangan di antara mereka dapat kurasakan. Entah dengan Aisyah. 

            ***

Cinta Dalam Diam. 

Berapa kali aku membaca judul buku yang diberikan Zaid. Apa maksudnya memberiku seperti ini? Ingin menyampaikan perasaannya? Meski tak terucap, aku rasa kami sudah memahami perasaan kami masing-masing. Kami sudah berjanji menyalurkan rasa kepada pasangan-pasangan kami nantinya.

Cinta dalam Diam. 

Aku tersenyum-senyum sendiri di tempat biasa. Di tempat sunyi ditemani bintang-bintang. 

“Ga istirahat dulu, Silmi? Besok siang kita ada tugas lagi, nanti kamu sakit lagi,” celoteh Syifa sambil duduk bersandar di sampingku. “Sepertinya menyendiri di sini, di malam hari, semacam ritual penting saja bagimu.”

Aku tersenyum datar mendengar celoteh Syifa. Dia tak tahu betapa malam  mempunyai arti dalam kehidupanku. 

Dalam sendiri, di malam hari, aku sering merenung. Memikirkan semua lika-liku kehidupan yang kujalani. Hingga aku banyak mendapatkan hikmah di balik semua kejadian. Dan satu titik yang paling mendasar dari semua kejadian adalah semua ini karena Allah sayang padaku. Maka aku pun berjanji untuk selalu mentaati-Nya. 

Sendiri, di malam hari, sering aku mengobati kerinduan dengan mengenang kenangan-kenangan indah kulalui dengan Zaid. Malam harilah aku dan Zaid berdoa, memanjatkan mimpi-mimpi yang indah. Satu doa kami, sama-sama telah terkabul. Mimpi Zaid terkabul, belajar keluar negeri. Dan mimpiku pun terpenuhi, bisa melanjutkan sekolah.

Sedangkan doa rahasia kami? Zaid tidak tahu doa rahasiaku. Aku ingin selalu bersamanya. Itulah doaku di malam itu. Sepertinya doaku yang satu ini tidak terkabul. Hanyalah Allah yang tahu apa hikmahnya. 

Sedangkan doa Zaid, sampai sekarang aku tidak tahu apa doanya. Mudahan Allah juga mengabulkan doanya.  

“Ini buku dari Zaid tadi ya?” Syifa mengambil buku yang ada di tanganku.

“Cinta Dalam Diam. Mm ..., apa ini mewakili perasaannya?”

“Entahlah?” 

“Oh, ya, bagaimana pertemuan kalian tadi? Pasti seru.”

Aku tak langsung menjawab. Pandanganku jatuh ke arah dinding yang bisu. 

“Lumayan, tapi ada sedikit kejadian kurang menyenangkan.”

“Maksudnya?”

“Awalnya karena aku dan Zaid tidak dapat menjaga sikap. Tingkah sempat mengundang perhatian Aisyah dan Fahri. Selanjutnya aku mengobrol dengan Fahri. Saat aku dan Fahri asik ngobrol, tiba-tiba Zaid berdiri dan mengajak pulang dengan nada emosi.”

Mata Syifa membulat.

“Aku sempat takut, terlebih lagi saat Fahri menatap Zaid penuh dengan selidik. Sepertinya Fahri juga terbawa emosi. Beruntungnya Zaid cepat reda emosinya, karena memang tak ada alasan untuknya. Jadi, kami pulang dengan kebisuan.”

Syifa mendesah keras. 

“Mungkin Zaid cemburu dengan keakraban kalian. Bagaimana nanti jika kalian sama-sama menikah dan saling berhadapan. Terlebih lagi jika kalian sama-sama masih memendam cinta. Kalian akan cemburu dengan keromantisan satu sama lain.”

“Jika sudah sama-sama menikah, masihkah memendam rasa cinta dan cemburu? Sedangkan kami sudah sama-sama memiliki, dan punya orang yang kami salurkan rasa cinta dan rindu?”

“Masalahnya tidak semudah itu. Apalagi cinta kalian, anti dan Zaid sepertinya cinta sudah mengakar kuat. Itu terlihat dalam bahasa tubuh dan cara berbicara kalian. Saling perhatian, saling menggoda. Padahal kalian sama-sama tahu, bahwa itu tidak dibolehkan dalam Islam.”

Aku menatap kosong dinding yang kokoh di depanku. Namun pikiranku menerawang, menembus, membentuk kepingan-kepingan bayangan masa silam. 

“Kak, ini untukmu,” kataku sambil menyerahkan sebungkus keripik kentang kepada Zaid. 

“Untukku?” 

Aku mengangguk. “Kakak, suka kan?”

Zaid mengangguk sambil mengambil keripik kentang yang kusodorkan padanya, “Terima kasih, ya, Silmi. Kamu baik sekali.”

“Zaid…”

Bersamaan kami menoleh arah suara. Tante Kurnia.

“Ibu Kakak memanggil. Sana!”

“Iya, sebentar, ya. Mau kan, pegangkan keripikku dulu?”

“Iya, Kak. Sini.”

“Terima kasih.”

Zaid berlari mendekati ibunya.

“Silmi!”

“Eh… Farah. Mau kemana?” tanyaku sambil mendudukkan pantat di ayunan papan di bawah pohon, di halaman rumah Zaid.

“Mau ke rumah sepupuku, disuruh mama mengantar ini.” sahut Farah sambil menunjukkan benda yang dipegangnnya, “mau ikut?”

Aku menggeleng. Farah memerhatikan keripik kentang yang kupegang dua sekaligus. 

“Kamu mau?” 

“Beneran nih, Silmi?” tanya Farah sumringah. 

“Eee....” sebenarnya aku bingung, apa mau kuberikan atau tidak. Jika diberikan, maka aku tak punya keripik lagi. Yang satu ini, sudah kuberikan kepada Zaid. Tapi, sepertinya Farah sangat menginginkannya. “Iya, ini.” seruku sambil menyerahkan keripik kentang punyaku.

“Terima kasih ya, Silmi.” 

Farah mengambil keripik kentangku. “Aku pergi dulu, ya.” Aku mengangguk, sambil menelan ludah. Aku belum memakannya. Aku mulai merutuki perbuatanku.

“Silmi.”

“Eh, Kak Zaid. Ini.”

Zaid mengambil keripik kentang yang kuserahkan, sambil duduk di sampingku.

“Punyamu mana?”

Aku tak menjawab. Mataku memandang ke arah Farah berjalan. Ternyata Farah tak terlalu jauh, masih terlihat sosoknya sambil bungkusan keripik kentang.

“Kamu berikan pada Farah?” tanya Zaid.

Aku mengangguk sambil menunduk. 

“Silmi, Silmi ..., ya sudah. Sekarang keripik ini kita makan bersama ya,” kata Zaid.

“Tapi, Kak … .” Zaid membuka bungkusan keripik kentang itu dan meletakkannya di tengah-tengah kami duduk. 

“Ayo,” Zaid mengambil satu potong dan langsung memasukkan ke mulutnya. Aku hanya memperhatikan bungkusan itu. “Kenapa? Kok masih diam? Kalau tidak mau, sini aku suapi.”

“Kakak, jangan bikin Silmi malu.”

"Kamu sih, dari tadi hanya liatin bungkusannya!”

Akhirnya dengan ragu-ragu kumasukkan tangan ke bungkusan keripik kentang itu. Setelah itu kami sama-sama diam. Sibuk dalam pikiran kami masing-masing. 

Sesekali kulirik Zaid. Mulutnya mengunyah keripik  sedangkan matanya tertuju ke depan. Entah apa yang dipikirkannya. Aku menyukai moment itu. 

Detak Cinta Shafura  Part 39: Berteman Malam   “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Ban...
El Nurien