Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Sebab Suatu Hubungan (DCS Part 45)

 Detak Cinta Shafura

 Part 45: Sebab Suatu Hubungan 



'Aku lagi di Banjar. Kita ketemuan, yuk.’


Mataku yang merem langsung melek melihat chat dari ponsel lengseran Kak Saada. Perasaan lega membanjiri hatiku dengan adanya kedatangan Aisyah, terlebih lagi kami memutuskan untuk saling menerima kenyataan ini. Urusanku tinggal dengan Fahri. Lalu tiba-tiba di siang bolong, aku mendapat chat dari Fahri. 

Aku merasa ini jalan dari Allah untuk menyelesaikan urusanku. Langsung saja membalas pesannya. 

‘Ok. Kapan ketemuannya? Di mana?’

Pesanku langsung dibaca. Di layar ponsel sedang memperlihatkan kalau dia sedang mengetik. 

‘Sore ini gimana? Setelah ashar. Kamu di mana? Aku jemput ya. Aku akan membawamu ke sebuah café dan resto yang bagus.’

Aku membalas. 

‘Aku di rumah kak Saada. Kamu tahu alamatnya?’

Kegiatan tidur siangku jadi batal gara-gara chat Fahri. Setelah itu pikiranku sibuk memikirkan apa yang harus kusampaikan. Kalimat apa yang sebaiknya aku ucapkan supaya tidak terlalu melukainya.

Sanggupkah aku melihat raut mukanya yang terluka. Masih bisakah aku bertemu dengan keluarganya nanti? Dan masih banyak pikiran yang mengganggu hingga akhirnya azan Ashar berkumandang. 

Fahri membawaku ke sebuah café bergaya klasik, warna luarnya hitam putih. Ruangan café itu bisa dibilang cukup sempit, tetapi desain dan furniture-nya membuat orang betah berlama-lama di dalam. Kami memilih meja yang hanya ada dua kursi, di samping kaca hingga bisa melihat orang berlalu lalang. 

“Café-nya cukup bagus, tapi sepi pengunjung. Mungkin karena desain dari luar yang cukup mewah, juga di pinggiran kota membuat orang mengira bahwa harga menu di sini cukup mahal.” 

Aku mengitarkan pandanganku. Hanya ada satu keluarga yang menempati meja berisi empat kursi. 

Fahri mengambil buku menu yang sudah tersedia di meja. “Pilihlah menu yang kau suka.”

Aku membolak balik buku menu, namun tak satupun yang bisa kuambil. 

“Pilih saja. Kalau tak suka, kita bisa pesan lagi. Jangan sungkan.”

Fahri memesan ayam taliwang, dengan tea mcha sedang aku bakso dengan ice tea. Fahri tertawa mendengar pesananku. 

“Kenapa kau tertawa dengan pesananku?” tanyaku setelah pelayan menjauh. 

“Setelah aku membawa jauh-jauh ke sini, pesananmu cuma bakso dengan es teh. Kalau sekadar bakso ma es teh, kita bisa nongkrong di pinggiran jalan, aku tahu di mana bakso yang paling enak di sini.”

Aku tertawa. “Sepertinya Kakak sangat mengenal tempat makanan di sini.” 

“Sebagian aku tahu karena aku kuliah di sini.”

“Café? Bukankah café baru-baru ini saja menjamur?" 

“Kalau café, karena aku berencana juga menanam modal di café, jadi aku harus lebih banyak hunting ke café-café. Kalau sudah klop, baru dimulai.”

Aku menatapnya kagum. Dia memang mewarisi jiwa pebisnis dari om Hermawan. Sedang sikapnya yang hambel dan ceria dari Tante Kurnia. Sesaat tersisip ragu dengan keputusan yang akan kuambil. Kami membicarakan banyak sampai akhirnya datang pramusaji membawakan pesanan kami. 

“Kak, ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucapku setelah melihat Fahri menandaskan makananya. Aku tak ingin keputusan mengganggu selera makannya di sore. 

“Ada apa? Katakanlah!” Ia melap mulutnya dengan tisu. 

“Mengenai pertunangan kita.” Sesaat suasana menjadi hening. 

“Kenapa nada bicaramu membuatku takut,” ucapnya setelah lama terdiam.

“Maafkan aku.”

“Jadi dugaanku benar? Ada sesuatu yang tidak baik?” 

“Maafkan aku. Aku tidak bisa meneruskan pertunangan ini,” ucapku akhirnya. 

“Kena … pa? Apa karena Zaid?” 

“Meski ada hubungannya dengan Zaid, tapi ini murni karena keputusanku.”

“Bukankah Zaid akan menikah? Oke, karena saat ini kyau tidak ada perasaan untukku. Tapi, aku akan menunggu, aku akan berusaha untuk meraih hatimu.”

Aku menggeleng. “Ini tidak ada hubungannya bagaimana perasaanku denganmu. Sejujurnya, aku malah bahagia jika itu kamu. Kamu laki-laki baik, perempuan mana sanggup menolakmu.”

Fahri mengerutkan keningnya. 

“Hanya saja Ustadzah Aisyah tahu perasaan kami, jadi menjauh dari mereka adalah jalan terbaik. Aku tak ingin membayangi rumah tangga mereka.”

“Lalu apa kamu sudah memutuskan akan ke mana?”

“In sya Allah, aku akan ke Bandung. Aku akan tinggal di rumah Paman.”

 “Kita menikah saja, aku akan ikut denganmu.”

Aku terkesiap. Fahri mengikutiku?

“Jangan khawatir, aku seorang pebisnis, aku bisa hidup di mana pun berada.” 

“Aku hargai ketulusanmu. Tapi … maaf, aku ingin mandiri di sana dan memulai hidup baru.”

“Itu artinya kau memang tidak memberiku kesempatan sama sekali,” ucap Fahri dengan raut sedih. 

“Maafkan aku. Jangan membenciku ya. Sungguh, keluarga kalian sangat berarti bagiku.” 

Fahri bergeming. Menatapku lamat. Tak lama dia mengembuskan napas keras, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi. 

“Aku tak bisa menyalahkanmu. Dari awal aku sudah tahu perasaanmu, tapi aku saja yang terlalu percaya diri, terlebih lagi ketika ketika Zaid bertunangan dengan Aisyah. Aku pikir aku akan bisa mengalihkan perhatianmu.”

“Pada dasarnya kita memang tidak berjodoh. Itu saja. Sekeras apapun kita  mendekat, kalau memang tidak jodoh, percuma saja. Dan sejauh manapun jaraknya, kalau memang jodoh, kita tidak akan dapat menghindar.”

Fahri tertawa getir. “Mesti begitu, pasti ada alasan untuk suatu kejadian.”

Aku menatapnya tak mengerti. 

“Bohong jika tidak terluka saat ini, tapi harus kuakui ini juga karena kesalahanku kenapa tidak berjodoh denganmu.”

Keningku makin mengerut tajam. 

“Dulu sebenarnya yang disuruh menjaga Farah oleh ibu adalah aku, bukan Zaid. Farah suka melakukan hal yang berbahaya, dan kamu juga selalu mau menuruti kemauannya, itu yang membuat ibu selalu khawatir, sedang ibu harus ke pasar membantu ayah.”

Aku membetulkan posisi dudukku. 

“Tapi karena malas juga malu, aku menyuruh Zaid. Dan ternyata Zaid mampu menjaga Farah dan kamu hingga ibu tak mempermasalahkan hal itu lagi. Zaid dari kecil sudah terlihat sifat penyayang, seberapapun repotnya menjaga kalian, tidak terlalu masalah bagi dia.”

Tanpa sadar kepalaku mengangguk. Aku ingat betapa nakalnya Farah waktu, dan uniknya aku selalu mengikuti dan patuh dengan kemauan dia. 

“Dan kamu tahu setelah tamat dari sekolah dasar, kenapa  Zaid tidak langsung masuk pondok dan rela menghafal di rumah sendirian tiap malam?”

Aku menggeleng. Dulu aku juga tidak kepikiran kenapa Zaid masuk sekolah SMP padahal dari kecil dia terlihat agamis. Tidak pernah alfa shalat berjamaah dan ngaji tiap habis shalat Maghrib bersama Ustadz Baharuddin di mushalla. 

“Itu karena dia ingin menjaga kalian, setelah kalian lulus SD dan kalian masuk pondok barulah dia masuk pondok.”

Aku baru tahu kalau dia sudah menghafal Al-Qur’an di rumah. Mungkinkah karena itu dia bisa menghatamkan Qur’an di pondok hanya satu tahun? Dia menghafal Qur’an tiga tahun sendirian di rumah? Aku tidak bisa membayangkan beratnya dia sendirian menghafal di rumah dan ternyata itu karena demi kami. 

Ya Allah, ternyata banyak yang tidak aku ketahui tentang seorang Zaid. 

“Dia pantas mendapatkan cintamu.”

“Tapi Ustadzah Aisyah lebih berhak mendapatkan cintanya.” 


Tidak ada komentar