Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Mendadak Talak Part 10

 Mendadak Talak 
Part 10. Bermain Siasat


Ia berdiri, dengan menopang kedua tangannya di atas meja. “Bu, sebenarnya kami ….”

“Wahda!” seru Bagus cepat. “Mumpung ingat, ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Wahda menghela napas beratnya. Ia tidak menyangka kalau Bagus melakukan siasat licik ini. Mempertahankan dengan memanfaatkan kelemahannya. 

Ia menurut saja, mengikuti Bagus hingga sampai ke kamar. 

“Please, jangan katakan sekarang! Kamu tau, Ibu sangat menyayangimu. Ia pasti sangat bersedih jika mengetahui perceraian kita.” 

Wahda menyunggingkan sebelah bibirnya. 

“Aku terpaksa. Aku hanya ingin selalu bersamamu. Aku percaya, jika kita bersama lagi, hatimu pasti terbuka lagi untukku. Beri aku kesempatan ya.” 

“Bukankah aku sudah bilang padamu, beli rumah, datang padaku. Tidak perlu melakukan hal seperti ini.”

“Soal rumah, aku akan mengusahakannya. Tapi, tetap saja aku selalu ingin melihatmu setiap saat. Aku benar-benar gila, bila sehari saja tanpa melihatmu.”

Wahda tersenyum mengejek. “Dengan cara seperti ini kamu pikir aku care?!”

“Aku tahu. Aku terpaksa.” Ia meraih kedua tangan Wahda. “Aku tau, kamu tidak akan menyakiti Ibu. Aku janji, akan mulai mencari rumah untuk kita dengan hasil usahaku sendiri.”

Wahda menghela napas, lalu mengangguk saja. Ia memang malas membuang tenaga untuk berdebat.

Bagus tersenyum semringah. Sesaat Wahda terkesiap. Betapa ia sangat merindukan reaksi seperti itu. Tapi kenapa ia melihat reaksi itu saat mereka bukan siapa-siapa lagi?

Bagus menggamit tangannya hingga sampai ke meja makan. Gudeg sudah tersedia di atas piring lengkap dengan sendok, nasi bahkan segelas air minum. Wahda menghela napas. Ia semakin terjepit di situasi sulit.

Wahda duduk, lalu langsung menyuap gudeg itu. Rasanya tetap seenak dulu, tetapi ia tidak bisa menikmatinya dengan hati yang berdenyut-denyut. 

“Bagaimana? Enak tidak?” tanya Rusma yang sejak tadi menunggu reaksinya. 

Wahda memaksakan senyum. “Enak, enak sekali, Bu.”

Rusma tersenyum bahagia. “Syukurlah.”

Tiba-tiba pandangannya tertuju pada Bagus yang tengah memainkan ponsel. Mendadak muncul ide di benaknya.

“Gus, tolong ambilkan obatku di kamar,” ucap Wahda dengan memasang wajah memelas.

“Apa?” tanya Bagus. Bukan ia tidak mendengar dengan permintaan Wahda, tetapi mana mungkin ada obat Wahda di dalam kamar. Ia ingin bertanya lagi, tetapi ibunya menatapnya dengan wajah penuh tanya padanya. 

“Mmm, baiklah,” ucap Bagus pasrah. Ia berdiri sambil membawa ponselnya. 

"Gus, minjam ponselmu dong. Aku kehilangan no kontak teman. Semoga masih ada di ponselmu."

Bagus mengerutkan kening, menatap curiga. Wahda mengerling ke arah ibu mertuanya. Bagus mengiringi kerlingan mata Wahda, terlihat ibunya menatap penuh selidik. 

"Gus, jangan katakan kamu mempunyai rahasia dengan istrimu sendiri?!” tuduh Rusma. 

“Bukan begitu, tapi ….”  Bagus kebingungan hendak berucap apa. Ia tau, Wahda pasti mau melakukan sesuatu dengan ponselnya, meski ia tidak tahu itu apa. 

“Tak apa, Bu. Nanti aku bisa cari nomornya ke teman yang lain,” ucap Wahda. 

“Gus, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dari tadi Ibu merasa ada yang aneh denganmu,” selidik ibunya. 

“Aneh gimana, Bu. Perasaan ibu saja mungkin.”

“Lihat dirimu, cuma mengambil obat sebentar ke kamar harus bawa ponsel. Memangya ada apa dengan isi ponsel itu?” cecar ibunya.

“Tidak ada apa-apa, Bu. Percaya deh! Ini,” jawab Bagus sambil meletakkan ponselnya ke hadapan Wahda.

“Terima kasih, Sayang,” ucap Wahda dengan memberikan senyuman semanis mungkin. 

Bagus bergegas ke kamarnya. Ia tahu, ini hanya siasat Wahda untuk mengambil ponselnya.

Sementara itu, wahda dengan cepat membuka aplikasi berwarna hijau, beruntungnya nama yang ia cari ada di urutan paling atas. Ia segera mengetik pesan singkat dan menghapus kembali supaya tidak dilihat Bagus. 

“Tidak ada, Sayang.” 

“Tidak ada? Masa sih?” tanya Wahda sambil mencatat nomor sebuah nama. Wahda mengerutkan kening, pura-pura mengingat sesuatu. “Oh mungkin aku salah ingat.”

“Coba cari deh,” usul Bagus pura-pura. 

Wahda memainkan bibirnya. Ia berdiri, dan melangkah ke kamar. Bagus mengikuti. 

“Apa yang kau rencanakan?” 

Wahda tersenyum miring. “Jangan khawatir. Seperti yang kau duga, aku tidak akan menyakiti ibumu. Tenang saja,” jawab Wahda santai, lalu keluar kamar. 

“Ketemu?” tanya Rusma ketika Wahda sudah kembali ke meja makan. 

“Nggak ada, Bu. Oh iya, saya lupa, kalau obat itu aku bawa ke mana-mana,” jawab Wahda sambil membuka tasnya lalu mengeluarkan pil box kecil. 

Rusma menghela napasnya. “Belum tua, sudah bisa lupa. Kurangilah aktifitasmu di luar. Tidak bekerja juga tidak apa. Bagus masih sanggup membiayaimu. Benar kan, Gus?”

“I … iya, Bu,” jawab Bagus. 

Wahda tersenyum tipis, sedang dalam hatinya terbahak ria. “Baiklah, Bu. Akan saya pertimbangkan.  Hanya saja, jika tidak bekerja akan sangat membosankan nantinya, karena Bagus jarang di rumah, Bu. dia sibuk terus. Rumah sakit sudah menjadi rumah keduanya, Bu,” seru Wahda sambil memasang wajah sedih.

“Tidak baik begitu, Gus. Seberapa pun pentingnya pekerjaan itu, keluarga tetap utama.”

“Iya, Bu. Akan saya ingat,” sahut Bagus dengan wajah tertunduk. 

“Sudahlah, Bu. Kita nikmati gudeg ini. Nasiku sudah dingin.”

“Waduh. Ibu ganti ya.”

“Tidak usah, Bu. Gudeg buatan Ibu tetap enak, meski disantap dengan nasi dingin.”

Acara makan berjalan baik. Rusma bercerita banyak tentang di kampungnya. Wahda menyimak dengan baik, sedang Bagus terlihat gusar. Ia masih tidak tahu apa yang telah direncanakan Wahda di balik semua ini. 

Setelah selesai makan, wahda membersihkan peralatan makan, sedang mertuanya melap kompor. 

"Wahda, apa sebaiknya kalian memiliki pembantu saja?!" 

Wahda menghentikan gerakannya. "Maksud Ibu?" 

"Begitu ibu datang, rumah ini sangat berdebu, dapur berantakan. Ibu tau, Kamu pasti sibuk sekali, mana sempat mengurus rumah. Dengan adanya pembantu, kamu juga bisa beristirahat lebih banyak." 

Begitulah Rusma. Kepada Wahda ia tidak pernah sungkan, meski hanya sebagai mertua. Mertuanya lebih aktif dan sering memberi nasihat dibanding ibunya sendiri.

Baru saja Wahda membuka mulutnya, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Sesaat mereka saling bersitatap. 

"Biar saya yang buka," ucap Wahda sambil mencuci tangannya. 

Ternyata Bagus sudah membuka pintu terlebih dahulu. 

"Angel? Kenapa kamu ke sini?" tanya Bagus dengan panik.

"Katanya kamu sakit?" jawab Angel sambil menyentuh dahi Bagus dengan wajah cemas. "Tidak panas.  Nih, aku bawakan bubur." 

Wahda bergegas keluar, sebelum Angel diusir Bagus. 

"Angel," seru Wahda dengan disengajakan nyaring.

Bagus menoleh ke belakang. "Ini ulahmu 'kan?"

Wahda hanya menjawab dengan senyum tertahan. 

"Wahda, kenapa kamu di sini?" tanya Angel sambil masuk ke rumah. 

"Ini rumahku, suka-sukaku dong!" tukas Wahda. 

"Bukannya kalian sudah cerai?!"

"Apa? Wahda dan Bagus bercerai?" 

Sontak Bagus dan Angel terkejut dengan kemunculan Rusma, sedang Wahda berjuang keras menahan senyum.

Bagus bergegas mendekati ibunya. "Tidak, Bu. Ibu salah dengar."

"Ibu tidak tuli, Gus. Dan lagi kenapa perempuan ini ada di sini? Jangan katakan, kalian cerai gara-gara perempuan ini!" tunjuk Rusma pada Angel. 

"Bukan beg …."

"Iya, Bu," potong Wahda cepat. "Dan dugaan Ibu juga benar."

Wahda menghela napasnya. 

"Karena Ibu sudah tahu bagaimana pernikahan kami, saya tidak perlu lagi pura-pura menjadi istri yang baik." 

"Wahda!" Bagus menggelengkan kepala dengan wajah memelas. 

Wahda mendekati Rusma. "Saya sudah tidak tinggal di sini lagi, Bu. Terima kasih atas gudeg dan perhatian Ibu  Gudeg buatan Ibu memang selalu enak. Maafkan saya kalau ada salah sama Ibu selama menjadi istri Bagus selama ini." 

Air mata Rusma mulai berderai. "Kenapa jadi seperti ini? Apa yang terjadi?" 

"Nanti Mas Bagus akan menjelaskan pada Ibu. Saya pulang dulu, Bu." Wahda menyalami dan mencium punggung tangan mertuanya. 

"Wahda!" Bagus bergegas ingin mencegat, tetapi segera ditepis Wahda.

"Selesaikan saja sendiri dengan masalah yang kamu buat. Jangan bawa-bawa aku."

Tangis Rusma makin menderu, ketika melihat punggung menantunya semakin menjauh dan  melewati pintu rumah. 

"Maaf, jadi tadi yang ngirim chat itu …?" tanya Angel dengan wajah merasa bersalah. 

Tiba-tiba darah Rusma melonjak tinggi. Ia menderap mendekati Angel. "Dasar perempuan tidak tahu diri. Kalau pergi, pergi saja sana, kenapa kembali lagi?!"

Rusma menarik rambut Angel. "Setelah kau sakiti dia, sekarang hancurkan rumah tangganya. Maumu apa hah, perempuan jal*Ng?!"

Bagus bergegas melerai. Bagus berusaha keras menarik tangan ibunya, tetapi cengkeraman ibunya semakin kuat. Angel mengaduh kesakitan.

"Bu, lepaskan, kita bisa kena tuntutan!" teriak Bagus. 

Seketika Rusma melepaskan cengkramannya. Napasnya masih memburu.

Angel masih meringis kesakitan. Ia mengelus rambutnya yang telah berantakan. Seketika matanya membelalak ketika melihat banyaknya rambut di tangan Rusma. Rusma yang menyadari hal itu langsung melempar rambut itu ke lantai.

"Angel, kamu pulanglah dulu. Maafkan Ibu ya," bujuk Bagus.

Angel mengangguk pasrah. Ia pun masih memendam amarah karena rambut yang dirawatnya tiba-tiba rusak. Namun, bertengkar sekarang bukanlah cara yang tepat. 

"Kalau begitu aku pulang. Permisi, Bu." Angel sedikit menunduk pada Rusma. 

Rusma masih saja memperlihatkan wajah yang memerah dan napas memburu.

Bagus memegang kedua tangan. "Bu, tenanglah. Akan aku jelaskan, ya." 

Rusma mengibas tangannya. "Jelaskan bagaimana, jelas-jelas Ibu dengar, kalian bercerai dan karena perempuan itu kan?! Bodoh sekali kamu, Gus! Dia telah meninggalkan kamu, masih saja kamu mau dekat dengannya."

"Bukan begitu, Bu! Dengarkan aku dulu!" melas Bagus. 

"Jangan panggil aku Ibu, sebelum Wahda kembali jadi menantu Ibu."


***

Cuplikan part 11. 


“Aku masuk ya,” ucap Arsa lagi sambil masuk, lalu meletakkan map yang dipegangnya ke atas meja. Namun, betapa terkejutnya ketika berbalik, terlihat Fatima terkulai di lantai, di samping sofa tidak sadarkan diri. 

“Tante?!!" 

***

Untuk menghindari plagiat, saya hanya bisa menshare sampai di sini. 

Silakan dukung author dengan berkunjung ke kbm App (KLIK LINK)

Karya Karsa (Klik Link)


sebelumnya, saya ucapkan Terima kasih atas dukungannya.

Tidak ada komentar