Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Mendadak Talak Part 9

 Mendadak Talak Part 9
Akar Permasalahan



“Jangan mendadak lupa. Kamu membuatku perutku menjadi mual. Kamu bermain dengan siapa saja, aku tak peduli. Tapi jangan bawa dia ke rumahku!”

“Ke rumah? Ooh, jangan salah paham dulu. Pagi tadi aku bangun kesiangan, padahal kami ada janji meeting di laboratorium. Jadi dia ….”

“Dia mau apa bukan urusanku lagi,” tukas Wahda dengan mengangkat kedua tangannya. “Aku tidak ingin peduli.”

Bagus meraih tangan Wahda, tetapi perempuan itu keburu menarik tangannya. 

“Wahda, percayalah. Aku sangat membutuhkanmu. Tanpamu hidupku sangat berantakan, termasuk pagi tadi. Percayalah, Angel ke rumah cuma menjemputku, itu pun kami telat sampai dimarahi profesor. Kembalilah padaku. Hidupku sangat berantakan. Setiap saat aku selalu memikirkanmu.” 

Wahda menghela napas. “Baiklah.”

Mata Bagus berbinar cerah. 

“Aku memberimu kesempatan untuk berjuang.”

Bagus terhenyak. “Terima kasih," ucapnya pasrah. 

“Tapi rumah itu dari pernikahan kita  yang sekarang sudah kandas, jadi aku mau rumah itu dijual. Kalau memang kamu ingin kembali bersamaku, belilah sebuah rumah sebelum mengajakku datang padaku.”

Bagus mengernyit. “Apa bedanya rumah itu dengan rumah baru?!"

“Beda lah. Perlu kamu ingat berapa persen rumah itu berdiri atas hasil keringatmu dan keringatku.”

Bagus terdiam. Ia tersadar rumah itu dibangun saat ia konsentrasi studi spesialis. Ia lupa apakah pernah berkontribusi atas rumah itu. Secara materi, materinya telah habis ia gunakan untuk biaya studi. 

“Sudah ingat? Aku ingatkan rumah itu tidak ada hasil keringatmu? Tepatnya rumah itu 50 persen lebih dari keringatku, sisanya atas bantuan ayah yang saat itu masih hidup.”

“Aku akui salah. Saat itu aku terlalu fokus studi waktu itu.”

“Tepatnya, aku tidak ada di hatimu saat itu. Di hatimu hanya ada karir dan karir. Dulu aku coba memancingmu dengan bertanya kamu mau desain seperti apa? Mau warna apa, furniture apa aja? Tetapi jawabanmu selalu terserah dan terserah. Sejujurnya saat itu, aku berharap kita memiliki perbedaan pendapat, lalu bertengkar kecil.” Wahda tersenyum, lalu menelan ludahnya yang terasa pahit.

Bagus menunduk dengan menunjukkan wajah bersalah. “Maafkan aku. Aku memang salah, beri aku kesempatan satu kali lagi. Aku akan belajar banyak menjadi suami yang baik. Cukup satu kali aku kehilanganmu,” lirih Bagus tanpa  berani mengangkat wajahnya.

“Sudah aku bilang, aku akan memberikanmu kesempatan.”

“Lalu kenapa kamu bersikukuh ingin menjual rumah itu, pada akhirnya kamu juga akan menempati rumah itu.”

Wahda tersenyum mengejek. “Aku memang bilang memberimu kesempatan, tapi aku tidak akan memberi pada diriku sendiri untuk berjuang lagi demi cinta yang mungkin suatu akan kandas. Aku perempuan, apa salahnya jika aku menjadi ratu dalam rumahku.” 

“Wahda?!”

“Belilah rumah, baru datang padaku,” ucap Wahda lalu berdiri meninggalkan Bagus yang tercenung. 


*** 

Wahda masuk ke rumah ibunya ketika lampu rumah telah mati. Namun, tiba-tiba menyala yang membuat jantungnya terasa mencelos. 

“Ibu belum tidur?” tanyanya sambil mengelus dadanya. 

“Bagaimana Ibu bisa tidur di saat anak perempuannya belum pulang ke rumah?!” jawab ibunya. 

Wahda mendekat, lalu memeluk ibunya dari belakang. “Bukankah aku sudah dewasa, tidak perlu Ibu khawatirkan lagi.”

“Bagaimana Ibu tidak mengkhawatirkanmu. Kamu menikah dengan Bagus, tetapi pulang malam-malam dengan Arsa?!”

Wahda tersentak. Ia melepaskan pelukannya, lalu duduk di sofa. “Bukankah dia sepupuku, keponakan ayah, kenapa Ibu repot soal itu?” 

“Tapi apa tetangga berpikir sampai ke sana? Bagi masyarakat, agama, ia laki-laki yang boleh kau nikahi,” sahut Mauriyah sambil duduk di sofa yang satunya.

“Aku capek, Bu. Kenapa Ibu mengingatkan soal itu? Dia sepupu yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Dia teman sekaligus kakakku. Dia sangat berarti bagiku. Tidak ada rahasia antara aku dan dia.” 

“Bagaimana dengan Ibu?”

Wahda mengernyit. “Maksud Ibu?”

“Kamu tidak percaya dengan Ibu, sampai masalah rumah tanggamu tetap kamu sembunyikan dari Ibu?”

Wahda tersentak, beberapa detik kemudian ia menunduk. “Jadi Ibu sudah tahu.”

“Bagaimana tidak tahu, video itu viral sampai ke grup keluarga kita. Yang Ibu sedihkan, Ibu tahu dari orang lain, bukan langsung darimu.”

Wahda bersimpuh di kaki ibunya. “Bu, aku tidak bermaksud menyembunyikan semua ini dari Ibu. Kejadian itu mendadak begitu saja. Aku tidak tahu harus bagaimana menceritakannya pada Ibu. Aku sendiri kaget, bagaimana dengan Ibu.”

“Ibu tidak akan kaget, kalau dari awal kamu tidak menutupi masalah rumah tanggamu kepada Ibu. Laki-laki memakai logika, beda dengan perempuan. Mereka tidak akan mengucapkan begitu saja kalau hanya sekadar terlintas saja. Ucapan itu tidak akan meledak kalau dari awal kamu tidak menutupi dan berusaha menyelesaikannya. Tidak akan terlalu mengejutkan atau tidak akan sehancur ini, kalau dari awal kamu cerita ke Ibu.”

Wahda kembali menunduk. “Maafkan aku.” 

Mauriyah menghela napasnya. “Sudahlah, semua telah terjadi. Percuma disesali. Lalu apa rencanamu selanjutnya. Apa dia masih mengejarmu?”

Wahda mengangguk.

 “Lalu apa kamu masih mencintainya dan mau memaafkannya?”

“Sejujurnya aku masih mencintainya.” Ia meraih kedua tangan ibunya. “Tapi, aku janji tidak akan semurah dulu lagi. Aku juga berhak diperjuangkan, bukan?”

“Kamu sudah dewasa, tentu sudah bisa menentukan pilihan. Pesan ibu, pilihlah laki-laki masa depanmu berdasarkan pertimbangan, bukan berdasarkan cinta mati.”

Wahda kembali menunduk. Ia sendiri merasa malu, membayangkan betapa bucin dirinya dulu kepada Bagus. 

“Ada saatnya cinta tidak lagi berarti untuk bahtera yang terus menghadapi lautan luas beserta segala ujiannya. Pernikahan yang awalnya dibentuk karena sama-sama saling mencintai pun, sering kandas karena berbagai ujian dan cobaan.”

Wahda mengangkat wajahnya. 

“Pilihlah karena dia mampu melindungimu, dan membimbing menjadi lebih baik. Kematangan itu tidak berdasarkan usia, melainkan cara berpikir. Jika dari awal, kalian sama-sama terus berbenah bersama, saling introspeksi diri. Jika suatu saat kalian menerima ujian dan cobaan, ibu percaya saat itu kalian sudah sama-sama matang emosi dan cara berpikir.”

“Akan selalu aku ingat, Bu.”

Mauriyah mengangguk. “Ibu hanya bisa mendoakanmu, kamulah yang menjalaninya.”

Wahda berdiri, lalu memeluk Ibunya. “Beruntungnya, saat ini aku masih memiliki Ibu. Terima kasih, Bu.”


***

Wahda melangkah pelan, memasuki halaman rumah yang mencetak banyak kenangan bersama Bagus, tetapi sekarang menjadi torehan luka. Keningnya mengernyit ketika menyadari tidak ada lagi banner di depan rumahnya. 

“Mungkinkah Bagus melepasnya?” tanyanya pada angin kosong.  

Ia membuka pintu dengan kunci yang dipegangnya. Namun, pintu tak kunjung terbuka. 

"Bagus ada di dalam?" tanyanya dalam hati. Ia memperhatikan jam di pergelangannya. Jarum besarnya sudah menunjukkan angka sebelas. 

Bagus belum berangkat kerja? Kesiangan lagi? 

Ia berbalik, memutuskan pulang. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba pintu terbuka. 

"Wahda?!"

Wahda berbalik. "Ibu? Kapan Ibu datang?” cecarnya sambil menyalami tangan mertuanya, Rusma.

“Baru saja. Bagus bilang, kamu keguguran. Rasanya Ibu ingin langsung berangkat ke sini,” sahut mertuanya, sambil membimbingnya memasuki rumah hingga sampai ke meja makan. “Ibu tau, kamu pasti sedih sekali. Sabar, ya. Begitulah ujian dalam rumah tangga.”

Wahda mengangguk. Tak lama Bagus keluar dari kamarnya dengan wajah manisnya.

“Kamu sudah datang?” tanya Bagus sambil mendekati Wahda, lalu mencium rambutnya. Wahda merapatkan gerahamnya. 

“Sebentar.” Rusma berdiri ke dapur, membuka beberapa toples yang masih dalam kardus. “Ibu bawa gudeg. Ibu sengaja memasak ini, karena tau ini kesukaanmu.”

Wahda menatapi gudeg dalam toples itu dengan perasaan ngilu. Gudeg itu makanan kesukaannya. Mertuanya memang sangat baik padanya. Tidak tega rasanya, ia jujur kepada wanita yang sudah lansia.”

Rusma kembali berdiri buat mengambil piring di dalam rak piring.

Wahda berdiri, dengan menopang kedua tangannya di atas meja. “Bu, sebenarnya kami ….”








Tidak ada komentar