Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Mendadak Talak part 8

 Mendadak Talak Part 8
Cinta Arsa

"Kalau boleh tahu, detik apa yang kamu inginkan? Kembali atau putus saja," tanya Teratai tegas. 

Wahda menghela napas, melipat lutut lalu mendekapnya. "Sejujurnya aku masih ingin bersamanya. Bagaimana sikapnya padaku, aku sudah menerimanya dari lima tahun yang lalu. Tapi ….” Kembali suaranya tercekat begitu mengingat apa yang dilihatnya pagi tadi. 

“Aku tau tidak mudah bagimu move on. Tapi hargai dirimu sendiri, jangan biarkan dirimu selalu berkorban dan terluka hanya untuk cinta,” sahut Teratai. Adeena mengangguk. 

“Hanya?!” ulang Arsa dan Wahda. 

“Memangnya di dunia ini yang membuat kita bahagia hanya cinta?! Ya, cinta memang bisa membuat orang bahagia dan mendorong kita berkorban lebih banyak. Tapi siapa dulu yang kita cintai? Orang tua yang melahirkan dan membesarkanmu? Selama bukan tanah air, tidak ada hubungan darah, kita harus melihat dulu siapa yang kita cintai? Layak tidak dia mendapatkan segala perhatian dan pengorbanan. Hidup hanya sekali, dibanding berbakti pada orang yang selalu menyakiti, aku lebih setuju pada Adeena yang mengabdikan hidupnya pada tanaman.” 

Adeena yang sedang menelan es krim terbatuk dengan ujung kalimat yang diucapkan Teratai. 

Wahda menunduk. Ia mengambil mangkuk es krim milik Adeena lalu menyuapnya tanpa permisi. Adeena melongo. Arsa mengelus punggung Wahda. 

“Mungkin aku terlalu kasar, dan aku sok tahu, padahal aku tidak tahu bagaimana kedalaman perasaanmu. Namun, hargailah dirimu. Jika memang kamu ingin memberi kesempatan padanya ujilah dia. Buktikan kalau dia memang memperjuangkanmu. Jika tidak, di dunia ini masih banyak laki-laki yang pantas mendapatkan dirimu. Kamu berhak dicintai dan bahagia."

Sesaat hening. Wahda menatap Adeena yang sejak tadi diam. Gadis  di depannya terlihat misterius, atau mungkin karena baru pertama kali mereka bertemu Adeena. Pikir Wahda. 

 "Bagaimana menurutmu, Deen?" tanya Wahda. 

Teratai yang mengetahui siapa Adeena seketika membelalak.

 "Yakin ingin mendengar pendapatku?"

Wahda mengangguk yakin. Teratai menelan ludahnya. 

"Buanglah sampah pada tempatnya," ucap Adeena dingin sambil menarik mangkuk es krim yang telah kosong. 

Mata Wahda dan Arsa membelalak. Teratai mengulum senyum. 

"Soal asmara jangan bertanya pada Adeena." Teratai terkekeh. 


***


"Masuklah!" ucap Arsa setelah cukup lama mobil sampai di halaman rumah bibinya, tetapi Wahda tidak kunjung keluar.  

Wahda menggeleng. "Baru jam sepuluh," sahutnya setelah melihat jam di layar ponsel. 

Arsa menghela napasnya. "Tapi aku butuh istirahat. Pekerjaanku akhir-akhir ini jadi tidak karuan," omel Arsa. 

Wahda hanya terdiam. Bayangan sulitnya tidur membuatnya malas masuk ke rumah. Bunyi mobil jadi terasa nyaring di telinga mereka. 

"Sekarang aku mengerti mengapa kamu menyukai Teratai," lirih Teratai. 

Arsa tersentak. Ia menoleh ke Wahda yang masih  betah duduk di kursi sampingnya

"Dari dulu kamu menyukai Sanad," sambung Wahda.

Arsa mendesah pasrah. Ia mematikan mesin mobilnya lalu menyandarkan punggung. 

"Dari kecil aku memang sangat menyukai Sanad. Ia tegas, cerdas dan rupawan. Aku sangat berkebalikan dengannya. IQ terbatas, kurang gizi, miskin, tidak menyandang gelar gusti, ditambah ejekan  membuatku semakin tidak percaya diri bila berada di kalangan keluarga Ibu.

Sanad yang terlihat cuek, diam-diam sering membelaku. Aku semakin menyukainya. Lalu Tante Fatima sangat baik padaku, terlebih lagi setelah ayah meninggal. Beliau selalu membelikan satu untukku jika membelikan untuk Sanad. Baik pakaian, peralatan lainnya, bahkan mainan. Aku sangat puas dan bahagia dengan pemberian itu."

"Lalu, karena itu juga kau menyukai Teratai?" ejek Wahda sambil tertawa. 

Arsa menggeleng. "Aku mulai memerhatikannya, saat ia marah pada Sanad akibat Sanad mempermaknya. Itu pertama kali aku melihat ada orang yang berani marah pada Sanad. Tapi pada saat itu aku baru bekerja di perusahaan Tante Fatima, aku ingin memfokuskan pada pekerjaan dulu. Aku ingin memberikan kinerja yang baik pada Tante. Itulah kesempatanku untuk membalas budi."

"Lalu bagaimana kamu bisa jadi cinta setengah mati padanya?" 

"Suatu saat Tante ingin menjodohkanku dengan Teratai, saat itulah aku mulai serius memikirkan Teratai." 

Sudut bibir Arsa menyungging senyum. "Tapi sainganku anak kecil saat itu, Evan. Rasanya konyol sekali kalau memikirkan itu. Saat aku berusaha memikirkan celah untuk mendekatinya, sayangnya dia kembali ke desanya. Aku mencari informasinya pada pegawai di kantor yang ternyata iparnya. Dia mengatakan kalau Teratai sudah bertunangan. Pupuslah harapanku. Aku tidak berminat mengejarnya, apalagi kalau sampai merebut tunangan orang."

"Lalu cintamu bersemi kembali ketika telah menjadi istri Sanad?"

"Mengapa kau terdengar selalu mengejekku," protes Arsa. 

"Ini penyakit kejiwaan aneh sekali. Kamu selalu menyukai apa yang disukai Sanad. Jangan-jangan dulu kau juga menyukai Kayat?"

Arsa menggeleng. "Sudah aku katakan aku mulai memerhatikan Teratai saat dia berani marah pada Sanad, sedang Kayat aku bertemu dengan saat dia sudah jadi istri Sanad."

"Oke, aku salah soal Kayat. Lalu Teratai?"

Arsa kembali menghempaskan napas beratnya. "Aku tak mengerti, benih perasaanku yang sempat layu kembali bersemi saat dia kembali. Dia semakin cantik di mataku. Kepribadiannya juga semakin menarik. Dia yang dulunya bar-bar, sekarang menjadi anggun, cerdas dan tegas," jawab Arsa sambil tersenyum.

"Arsa, dia istri sepupumu." Wahda mengingatkan." 

"Aku tau itu. Asal kamu tahu, yang membuatku bertahan di sini hanyalah ingin membalas budi pada Tante Fatima. Di sini tidak ada siapa-siapa lagi yang aku lihat selain Tante."

Wahda terdiam. Ia baru sadar kalau Arsa sekarang yatim piatu. Meski masih ada beberapa saudara ibunya, kesenjangan ekonomi dan sosial membuat Arsa membatasi diri. 

Arsa memiliki keturunan bangsawan hanya dari ibunya karena itu ia tidak menyandang gelar gusti sebagaimana Sanad dan Gilang. Ibunya menikah dengan laki-laki sederhana, siapa sangka ini dapat memberikan tekanan mental jika tengah berada di keluarga ibunya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa di era modern ini masih ada yang memikirkan  darah keturunan.

Wahda baru menyadari hal ini. Arsa yang selalu terlihat ceria, ternyata menyimpan ketidakpercayaan diri. 

Berkat bantuan Fatima, Arsa bisa kuliah di universitas yang sama dengan Sanad, bahkan sekarang menduduki kursi direktur di perusahaan Fatima. Sayangnya, semua itu tidak dapat mengembalikan kepercayaan diri Arsa yang terlanjur layu. 

"Waktu di Amrik, ada seorang teman yang menawari pekerjaan di perusahaan ayahnya. Sejujurnya aku tergiur dengan tawaran itu. Namun aku pikir setidaknya lima tahun aku di sini, meski tidak bisa membalas sepenuhnya, setidaknya aku sudah berusaha."

Wahda menoleh. Ia menatap dengan berbagai rupa. 

"Jadi jangan khawatir. Aku nggak akan merebut istri idolaku sendiri."

Wahda merengut. "Aku percaya kamu. Aku cuma tak suka kamu menghabiskan waktu dengan terus menatapnya. Coba kamu menjauh, cari gadis lain."

Arsa tertawa. "Jangan khawatir. Hanya tinggal beberapa tahun lagi. Kurasa aku tidak terlalu tua untuk menyandang seorang bujangan."

Wahda mencebik. 

"Lalu rencanamu selanjutnya? Mau saran Teratai atau Adeena?" ungkit Arsa.

"Lebih manusiawi Teratai." Wahda memutar badannya. Menghadap lurus pada Arsa. "Kamu tau siapa Adeena? Dia misterius sekali."

Arsa menggeleng. "Aku sering mendekatinya dengan merawat tanamannya, tapi dia benar-benar gunung es." 

"Teratai tidak pernah cerita tentangnya?"

Arsa menggeleng. Wahda mendengus kecewa. 

"Sepertinya dia juga mempunyai masa lalu yang buruk," tebak Wahda.


****

Bagus memerhatikan panggilan tanpa nama di ponselnya. Ia mengangkat dengan mala, tatapannya kembali menekuri dokumen di layar desktop. 

"Pak Bagus, saya Andi."

"Andi … di," eja Bagus. 

"Sekomplek dengan Bapak."

"Oh iya ya, ada apa, Pak?" tanya Bagus. Kenyataannya ia masih belum ingat yang mana Andi. 

"Begini tadi saya lihat banner di depan rumah Bapak. Rumahnya mau dijual berapa, Pak?"

"Apa?!" Bagus tersentak.


****


Kening Wahda mengernyit begitu melihat nama yang tertera di layar ponsel. Ia menjawab panggilan itu dengan menghidupkan speaker. 

“Ya, Hallo,” ucapnya sambil menaruh es krim warna pink dengan scoop ke dalam mangkuk kecil. 

“Wahda, kamu di mana?” tanya orang di seberang. 

“Aku? Aku di kafe Teratai,” sahut Wahda. Ia kembali mengambil es krim warna putih di wadah yang lain, setelah itu ia menambah dengan hijau.

“Aku akan ke sana.”

“Kamu tahu tempatnya?” 

“Kamu share saja lokasinya.”

***

Tak butuh waktu lama, Bagus sudah ada di halaman kafe. Wahda langsung keluar dari dapur begitu mengenali bunyi mobil yang dikendarai Bagus. 

“Mengapa kamu lakukan itu?” berondong Bagus begitu memasuki kafe. Seorang pelanggan yang berkutat dengan desktop di ruang ujung jadi mengalihkan perhatian pada mereka. 

Wahda mengerutkan kening. 

“Rumah kenapa mau dijual tanpa dibicarakan dulu denganku?!” tegas Bagus.

“Ooh ….” Wahda mempersilakan duduk dengan isyarat tangan. “Kalau begitu kita bicarakan saja sekarang. Rumah itu milik kita, sekarang sudah pisah, jadi rumah itu harus kita bagi dong!”

Bagus menggeleng. “Tidak. Aku tidak ingin berpisah denganmu. Oke sekarang kita telah cerai, tapi aku akan berusaha memperjuangkanmu.”

Wahda tersenyum sinis. “Memperjuangkan? Kau ingin memperjuangkanku?”

Bagus mengangguk. 

Mendadak perutnya terasa mual. “Kau ingin memperjuangkanku, di saat yang sama kamu sedang main-main dengan Angel. Jahat sekali kamu, Gus.”

“Bermain dengan Angel? Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Jangan mendadak lupa. Kamu membuatku perutku jadi mual. Kamu mau bermain dengan siapa saja, aku tak peduli. Tapi jangan bawa dia ke rumahku!”


*** 







Tidak ada komentar