Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Teratai Kedua Part 10

Teratai Kedua


Part 10: Teratai Kedua

 



[Jika ada waktu pulanglah! Ada hal penting yang harus kamu ketahui.]

Spontan Rudi menoleh ketika ibunya muncul di balik pintu.

“Rud, bagaimana kalau kita juga bikin kerupuk Teratai?” 

*** 

Tera menghempaskan bokongnya ke ujung ranjang Evan. Mengapa ia tidak bisa bebas dari mimpi buruk laki-laki. Dulu Arbain, sekarang Sanad. Ia mengerang frustasi.

Tiba-tiba tatapannya tertuju pada sebuah cermin besar yang menempel di dinding. Ia mendekati cermin itu, lalu mematut diri. Benarkah dirinya seperti Putri Marino? Ia tersenyum mengejek. Namun, ia mengakui dirinya memang banyak berubah. Ah, mungkin telah berubah seratus persen. 

Kulitnya sudah pasti bukan kulit gosong lagi. Rambut pendeknya menjadi panjang, lalu dikasih warna brown black. Penampilannya jadi feminim, karena sebelumnya terbiasa memakai celana, bahkan sering mengenakan celana tiga perempat. 

Ia bertanya-tanya seandainya dulu seperti ini, mungkinkah Arbain setia padanya? Atau dengan penampilannya sekarang, mungkinkah ia mendapat perhatian dari seorang laki-laki? 

Ia tersenyum miris. Meski mendapatkan itu, pada akhirnya mereka menyukainya karena penampilan. Fakta yang tidak bisa dibantah, tetapi ia membencinya.

Evan keluar dari kamar mandi dengan lagi-lagi tersenyum. Kali ini ia tersenyum penuh arti. Melihatnya Tera menjadi geram. Ia mengangkat tubuh kecil itu, lalu menaruhnya di atas ranjang dengan sedikit menghempas. Kasur empuk membuat anak itu sedikit melambung. Evan malah tertawa.

“Hari ini senang banget menertawakan Mama,” protesnya setelah mencubit pipi Evan. 

Anak itu masih saja tersenyum. Ia merangkak sebentar ke arah nakas, lalu mengambil kertas. Ia menyerahkan pada Tera setelah menulisnya. 

[Mama cantik]

Tera mendelik. 

[Benar. Mama cantik, juga baik.]

“Ish … pintar merayu. Sudahlah. Evan sudah sikat gigi kan?”

Evan mengangguk. 

“Kalau begitu, bersiap-siaplah tidur. Mama mau ke kamar mandi dulu.”

***


"Tadi kamu bilang sama Mama mau tidur," protes Hayati ketika melihat suaminya kembali berjibaku di ruang kerja yang berdampingan dengan kamar mereka, hanya diberi pembatas dinding dan pintu kaca. 

Sanad mengernyit. "Perasaan, aku tidak bilang mau tidur sama Mama. Aku cuma bilang mau istirahat."

Hayati mendesah. "Oke, aku salah. Apa bedanya? Istirahat artinya melepaskan diri dari pekerjaan. Sekarang?" 

Sanad tak bersuara. Ia kembali menekuri layar laptopnya. 

"Kamu ingin menghindari membicarakan Tera, iya kan?" tuding Hayati sambil menyandarkan bokongnya ke tepi meja.

Sanad menghentikan gerakannya. 

"Kenapa? Aku juga tidak boleh tau?"

Sanad mendesah. "Hay, kamu tau, ada hal yang bisa kuceritakan pada orang dan ada pula tidak bisa aku ceritakan."

"Aku istrimu, bukan orang lain. Kenapa kamu masih tidak bisa berbagi denganku?" sahut Hayati. 

Sanad memutar kursinya. Menatap lurus ke arah Hayati. "Kenapa kamu jadi menyinggung ini sekarang?"

"San, aku capek. Sebagai istri, aku pun ingin menjadi orang kamu percaya."

"Dari dulu aku mempercayaimu," jawab Sanad. "Hanya saja, ada yang bisa aku bagi dan tidak."

"Itu artinya kamu mau menyembunyikannya dariku. Aku masih belum apa-apanya di hatimu." Kenyataannya hanya terucap di hati Hayati.

Hayati tertunduk. Menelan salivanya yang terasa pahit. "Mengapa kamu masih belum membuka hatimu untukku."

Sanad mengerutkan kening. "Aku makin tidak mengerti apa hubungannya dari semua ini. Hay, kamu mengenalku telah lama, seharusnya kamu tau siapa aku. Tak perlu lagi aku menjelaskan, aku memang begini. Kedua, bukankah dari awal sudah kujelaskan padamu, hatiku hanya untuk Kaayat."

"Dia sudah meninggal." Hayati mengingatkan.

"Tapi di hatiku dia tetap ada. Dan mungkin sampai kapanpun akan tetap ada."

"Aku?"

Ia berdiri. "Hay, aku paling benci mengulang ucapan. Dari awal, aku sudah bilang padamu. Aku bisa memberimu tubuh ini dan harta, tapi tidak untuk hatiku."

"Mengapa?"

Sanad mengerang frustasi. "Harus dijelaskan lagi?" tanyanya, lalu keluar dari ruang kerjanya. 

"Ke mana?" tanya Hayati ketika melihatnya tidak merebahkan ke atas ranjang. 

"Lihat Evan!" sahut Sanad setengah berteriak. 

Hayati mengembuskan napasnya. Ia merutuki dirinya, mengapa bertanya lagi? Padahal seharusnya ia tahu Sanad akan kemana. Mengapa bertanya, padahal sudah tahu, Sanad paling tidak suka mengulang-ulang kata yang sama.

*** 


Tera dan Evan sudah terlelap saat ia masuk ke dalam kamar Evan. Lagi-lagi ia melihat pemandangan indah. Tera memeluk putranya dari belakang. Sanad terkekeh sendiri. Ia bertanya-tanya, mungkinkah mereka tidur selalu dengan posisi seperti itu? 

Ia membetulkan selimut yang menutupi keduanya. Tiba-tiba keningnya mengernyit. Menyadari putranya selalu melakukan hal yang sama. Meletakkan wajah di telapak tangan Tera. Ini kedua kalinya ia melihat hal ini, mengapa? Putranya menyukai tangan Tera? 

Ia menatap wajah Tera. Menatap wajah itu setiap incinya. Mencari tau apa yang disukai putranya pada gadis bar-bar itu. Ia menyingsing pelan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Tera. Siapa sangka, tiba-tiba mata gadis itu terbuka. Sontak Tera terlonjak, tak terkecuali dirinya. Hanya saja, ia berusaha menutupinya. 

“Apa yang kamu lakukan?!” Gadis itu terlonjak duduk sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Mata itu terbelalak. Napasnya memburu. 

Sanad mendehem. Dadanya masih bergemuruh hebat. Terlebih lagi saat melihat mata Tera yang membelalak. “Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya ingin membetulkan selimut kalian. Jangan geer!” 

Tera menghempaskan napasnya. Ia mengelus dadanya yang terasa mencelos. “Lain kali, jangan masuk ke sini kalau jam tidur!” pinta Tera, dengan suara masih bergetar. 

“Ini kamar anakku.”

“Tapi aku tidur di sini. Sangat mengerikan, tiba-tiba membuka mata ada laki-laki asing di kamar, apalagi posisimu yang sangat dekat tadi.” Tera menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam. Terlihat jelas napas gadis itu masih memburu.  Tindakannya benar-benar membuat Tera ketakutan. 

“Apa kamu pernah mengalami trauma?” Tiba-tiba ia tak kuasa menahan rasa penasaran. Terlebih lagi jika mengingat info yang sudah didapatkannya, seharusnya tak mengapa jika melihat ada laki-laki di kamar.

Tera tidak menjawab. Ia masih memejamkan mata dengan berusaha menetralkan napasnya. 

“Ya sudah, kalau kamu tidak mau cerita. Aku keluar dulu,” ucap Sanad. Beberapa lama Sanad masih berdiri, menunggu respon Tera, tetapi gadis itu masih saja bergeming, hingga akhirnya ia memutuskan keluar dari kamar itu. 


*** 

Tera mengernyit melihat sikap Keane belakangan ini. Sekarang ia tidak bisa lagi berjalan sendirian. Keane tidak melarangnya ke mana-mana, tapi selalu mengikutinya. Seperti sekarang ini, Keane rela berdiri lama, tidak jauh darinya yang sedang menunggu Evan.

“Aku kadang mikir, kamu itu menjaga Evan atau aku sih?” sindir Tera sinis.

“Dua-duanya,” sahut Keane singkat.

Tera mengerang frustasi. Satu pria lagi yang membuatnya kesal. Ada apa dengannya? Apakah ia mempunyai kesalahan di masa lalu, sehingga harus mengalami karma ini? Saat tubuhnya memutar, ia melihat Rudi yang sedang menatapnya dari jauh. Ia segera bergeser, lalu bersembunyi di balik badan Keane yang besar. Tak lama pintu gerang dibuka, berhamburan anak-anak keluar. 

“Mama!” teriak Evan.

Tera tersenyum. Berharap Rudi mendengar teriakan Evan.


*** 


“Keane?!” tanya Sanad heran ketika melihat Keane memasuki kantornya. “Tera dan Evan sudah kamu antar?” 

“Iya, Tuan. Mereka sudah di rumah,” jawab Keane.

“Lalu? Ada perkembangan baru?” 

Keane mengangguk. Sanad berdiri dari kursi kerjanya, lalu duduk di sofa. 

Keane mengikuti. Ia mengeluarkan sebungkus kerupuk di kantong kertas, lalu meletakkan di atas meja, di depan Sanad. 

Sanad mengambilnya lalu mengeja. “TERATAI KEDUA.” seketika keningnya mengernyit. “Ini?”

"Sekarang telah beredar di pasaran juga warung-warung, tempat biasanya kerupuk milik tera yang diedarkan oleh Rudi. Sewaktu milik Tera, ia mempunyai dua tem pemasar. Satu tem diketuai oleh Rasid memasarkan ke arah kanan dari simpang tiga Gambah, yaitu Kandangan dan sekitarnya sampai ke Sungai Raya, sempat merambat ke Tapin.”

“Arah kiri itu tem Rudi?!” 

Keane mengangguk. “Kerupuk ini didapatkan dari pangsa pasar tem Rudi.”

“Dengan kata lain, Rudi dengan ibunya, si pemegang resep memproduksi Teratai Kedua ini? Itu artinya mereka juga mengkhianati Tera?!”

“Iya, yang memproduksi Teratai Kedua itu Rudi dengan ibunya, tapi kalau mengkhianati, saya tidak berani berspekulasi. Terlihat beberapa hari ini, Rudi mengintai Tera. Entah apa maksudnya. Kemungkinan dia ingin mendekati Tera, tapi tidak berani karena ada aku."

Sanad terdiam. Ia terus menatap kerupuk Teratai Kedua dengan entah apa yang dipikirkannya. “Ada lagi?” 

“Tidak ada, Tuan.”

Sanad berdiri. “Kamu pantau terus mereka. Aku yakin adik ipar Tera tidak akan diam saja.”

“Baik, Tuan.”

***


Kembang menghempaskan sebuah plastik hitam di atas meja. Bastiah yang duduk memotong sayur menatap heran. 

“Coba Ibu lihat deh!” ucap Kembang dengan amarah yang ditekan.

Bastiah membuka plastik itu. Ia terkejut, ketika melihat beberapa bungkus kerupuk Teratai Kedua dalam plastik itu.

“Ini ….” Bastiah mengeluarkan satu bungkus.

“Iya. Acil Nurul edarkan dengan mengambil pasaran yang sebelumnya milik Rudi." Seringai senyum licik terbit di bibir Kembang. "Ceritanya setia, mana? Malah bikin produk sendiri. Awas saja, kamu Rud! Kamu pikir aku bisa diam?!”



***

Mohon dukungannya dengan berkunjung ke aplikasi dengan mengklik link di bawah ini. Di sini rawan plagiasi. 🙏

KBM 

Karya Karsa 

Joylada





Tidak ada komentar