Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Teratai Kedua Part 8

 Teratai Kedua

Part 8: Melindungi


Hanya perlu beberapa detik, panggilan Hayati langsung terjawab. Seakan yang dipanggil sedang menunggunya.

"Dia ke mana?" tanya di seberang setelah mendengar desah napasnya. 


"Ke rumah sakit, bawa anaknya."

"Oh."

"Oh?" protes Hayati. 

Laki-laki di seberang tertawa. "Terus?"

"Iya, apa kek," rajuk Hayati. 


Laki-laki di seberang kembali tertawa. "Kamu tau, aku selalu menunggu ceritamu, meski kamu tidak mau mendengarkan saranku."


"Kamu tau, aku sangat mencintainya. Aku lebih dulu mengenal Sanad dari Kaayat. Meski hanya mendapatkan jasadnya, inilah kesempatanku."


Terdengar helaan panjang dari seberang sana. "Terserah lah." 

"Maaf. Aku serakah, Gilang. Dulu aku pikir dengan mendapatkan jasadnya, aku cukup bahagia. Ternyata tidak, aku menginginkan lebih. Aku menginginkan hatinya."


"Dan sampai sekarang kau belum mendapatkannya," tukas Gilang.

"Aku akan mendapatkannya." 

"Selalu begitu. Kamu selalu mengeluh, tapi pada akhirnya tetap dengan pendirianmu." 


"Menurutmu bagaimana lagi, supaya aku mendapatkan hatinya? Setiap hari membersamainya, sepertinya tidak mengubah perasaannya."

"Dekati anaknya," usul Gilang.


"Sudah kucoba. Tetapi anak itu selalu menjauh. Malah sekarang anaknya semakin jauh semenjak bertemu perempuan itu."

"Seharusnya kamu semakin aktif," cecar Gilang. 


Hayati kembali mendesah. "Kamu tidak tau bagaimana sikapnya. Aku sendiri tidak mengerti apa yang dimiliki perempuan itu?"

Gilang hanya tertawa. 

"Tertawa lagi. Beri ide baru dong!" protes Hayati. 


Sesaat hening. 

"Gimana kalau kamu menjauh?!" 

"Maksudmu?" 


"Mungkin saja dia tipe nggak suka dibuntuti. Selama ini kamu selalu mengikutinya ke mana-mana, dia mulai terikat dengan kamu. Dengan menjauhnya kamu, siapa tau dia mulai menyadari berartinya kamu."


Kembali hening. 

"Bagaimana kalau jarak kami semakin jauh? Kamu tau, aku paling takut kehilangannya."

Kembali terdengar desah napas. "Terserahmu lah. Aku tutup saja kalau begitu."

"Ee … tunggu … tunggu!"



***

“Kaayat!!” Sanad terlonjak dari tidurnya. Mimpi buruk kembali datang menghantuinya. Sampai sekarang ia tidak bisa melupakan kejadian buruk itu. Terlebih lagi jika melihat Evan, ia selalu teringat kejadian nahas yang merenggut nyawa Kaayat, istrinya. Separuh jiwanya telah pergi. Beruntung Evan selamat dari kecelakaan maut itu. Evan yang membuatnya kuat selama ini. 


Ia mengalihkan pandangannya ke ranjang Evan. Tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan yang membuatnya bangun dari sofa. Tanpa sadar bibirnya menyungging senyum. Melihat Tera dengan putranya tidur saling berpelukan. Evan tidur dengan posisi membelakangi Tera. Ia meletakkan kepalanya di tangan Tera. Tera memeluknya dari belakang. 


Sanad mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. 

Ia ingin mengabadikan momen itu.


*** 



Pagi hari Evan sudah bisa langsung pulang. Saat mereka sampai sudah di rumah, ada Arsa _sepupu Sanad, yang duduk di sofa ruang tengah. 

"Arsa? Ngapain ke sini?" tanya Sanad.

"Assalamualaikum, Evan. Apa kabar? Lama tak jumpa."


Evan menjauh. Ia menempel ke kaki Tera. 

Arsa memasang wajah sedih. "Padahal Om kangen sama Evan." Tiba-tiba ada hal yang menarik perhatian Arsa. “Masya Allah, Evan sudah punya teman. Alhamdulillah. Kenalkan, Mbak. Saya …."


"Kalian masuklah. Siap-siap sekolah,” potong Sanad.

Evan mengangguk. Tera membawanya menjauh. 

Arsa tersenyum lebar "Perempuan itu siapa? Bagaimana Evan bisa dengan dekatnya?" tanyanya sambil duduk. 


"Ceritanya panjang. Kamu ngapain ke sini?"

Arsa berdecak. "Basa-basi kek. Tanya kabar kek." 

Sanad berdiri. "Aku tidak punya waktu."

"Iya … iya. Sabarlah. Ibumu menawariku bekerja di salah satu August Market."


"Jadi?" 

"Ya, aku terima. Sambil cari-cari pekerjaan."

"Ya sudah. Selamat datang. Aku mau mandi dulu," ucap Sanad berdiri tanpa menunggu kawab Arsa.

Arsa berdecak. "Dasar, sepupu kejam."



*** 

“Yakin dia ada di sini?” tanya Rudi sambil memutar-mutar kepalanya. Mencari sosok yang dirindukan, sekaligus dikhawatirkannya. Ia mengusap keringatnya untuk kesekian kali.

 

“Tidak yakin sih. Tapi kemarin dia mendatangiku di minimarket itu. Jadi aku kira dia tidak jauh dari sini, atau setidaknya sering berkeliaran di sini,” jawab Rasid sambil mencari-cari sambil mengenali orang-orang yang ditangkap matanya. 


“Nah itu dia, di depan sekolahan!” tunjuk Rasid.

“Benar! Ayo kita ke sana!”

“MAMA!”

Langkah Rasid dan Rudi seketika terhenti. “Mama?”



***

“Mama!” Evan berteriak ketika keluar dari gerbang sekolahan. 

Tera berjongkok sambil merentangkan tangan. Ia menciumi pipi Evan begitu sampai dalam pelukannya. “Senang sekali? Dapat bintang lagi ya?”

Evan mengangguk. 


“Alhamdulillah. Anak pintar. Nanti Mama lihat kalau sudah di rumah.” Tera berdiri. Lalu mengulurkan tangannya yang langsung disambut Evan.


Belum jauh mereka melangkah. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Sesaat mereka saling bersitatap. Keluar seorang laki-laki mengenakan setelan jas. Laki-laki itu menganggukkan kepala.

Tera termundur. Spontan ia mendorong Evan ke belakang, tetapi Evan malah merangsek ke depan.


“Saya disuruh Tuan menjemput kalian,” ucap laki-laki itu setelah membukakan pintu. 

“Tuan?” tanya Tera.

“Tuan Sanad Gandaria.” 

Meski laki-laki menyebut nama lengkap Sanad, tetap saja ia menaruh curiga. 


“Ei, tunggu Evan! Jangan main tarik aja. Kamu kenal siapa dia?” Tiba-tiba Evan menarik lengannya.

Evan mengangguk. Ia kembali menarik lengan Tera, hingga masuk ke dalam mobil. 

Meski Evan terlihat tenang, Tera tidak bisa membuang kekhawatirannya. Sesekali ia melirik laki-laki itu yang sudah duduk di kursi pengemudi.


***


“Ya?”  Sanad setelah menyentuh ikon panggilan berwarna hijau, tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen. 

“Tuan benar!” 

Seketika Sanad tersentak. “Mereka sekarang di mana?”

“Mereka bersama saya,” jawab Keane.

“Bawa mereka ke sini!” perintah Sanad. 

“Baik, Tuan!”


*** 



“Tuan menyuruh saya membawa kalian ke kantornya,” ucap Keane setelah mematikan panggilannya. 

Sesaat Tera dan Evan saling bersitatap. Tera menatap cemas, tetapi Evan tersenyum lebar. 

“Yakin dia anak buah Papamu?” Tera tidak bisa membuang kecemasannya. Sekali lagi Evan mengangguk. Tera memeluk badan mungil Evan. “Ya sudah! Sepertinya kamu sangat menyukainya? Kenapa?”


Evan melepaskan pelukannya. Ia mengambil kertas dalam tas lalu menulisnya. 

{Aku suka kita main be ….] Tera menghentikan bacaannya mengingat ada orang lain di mobil. 


Ia membisiki Evan. “Tak baik begitu. Nanti Papa sama Mama Hayati berantem.”

Evan kembali menulis di kertas dan menyerahkan ke Tera. Tera membacanya tak berani lagi bersuara. 

[Dia bukan mamaku]


Tera menghela napas. Ia merengkuh kepala Evan. “Dengar, Papamu sudah bekerja keras untuk Evan dan masa depan Evan. Sukailah apa yang disukai Papa. Mama Hayati istri Papa. Papa pasti sangat senang kalau Evan juga menyukai Mama Hayati.”

Evan mengangkat wajahnya. Menatap Tera. Matanya mengerjap


“Dengar, kemarin malam Papa sangat mengkhawatirkan Evan. Papa sangat menyayangi Evan. Jadi buatlah Papa senang, ya?” 

Mata Evan mengerjap. Seketika Tera tertawa. “Evan belum paham ya? Maafkan Mama.”

Evan kembali menulis di atas kertas. [Evan ngerti]


“Bagus. Bagaimana kalau Mama Hayati kita kasih hadiah?!”

Evan mengangguk dengan ciri khasnya. Memamerkan gigi-gigi kecilnya.

“Mmm … apa ya? Evan ada ide?” pancing Tera. 


Beberapa saat Evan hanya terdiam, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan satu permen kaki. Ia menyerahkan permen itu ke Tera.

“Ini? Mama Hayati mau dikasih permen kaki?” tanya Tera tidak percaya. 


Evan mengangguk. Lalu menampilkan wajah sedih. 

“Iya, baiklah. Ini juga bagus. Mama cuma khawatir, Evan dilarang makan permen nantinya. gimana ?”

Evan menggeleng. 


“Ya sudah. Evan kasih ini saja.”

Evan mengangguk, tak ketinggalan senyuman khasnya. Tera kembali meraih badan Evan. “Anak baik.” 

Diam-diam Keane merekam percakapan mereka.



*** 


Di kantor Sanad tersenyum mendengar rekaman yang dikirim Keane. Tera rupanya bidadari yang dikirim Tuhan untuk anaknya. Tiba-tiba saja ia teringat Teratai Produksi. Ia bertanya-tanya, mungkinkah suatu saat Tera akan kembali ke Teratai Produksi dan meninggalkan anaknya. Membayangkannya saja sangat menakutkan baginya. Baginya Evan segala-galanya. Ia harus melindungi Tera sebagaimana kepada Evan, dan berusaha membuat Tera tidak pulang. Apa pun caranya.


*** 



Sanad dengan Hayati membicarakan sesuatu di sofa ketika pintu kantor diketuk.

“Masuk!” seru Sanad. 

Hayati mengerutkan kening. Tidak seperti biasanya. Biasanya dia yang selalu membuka pintu, minimal Sanad bertanya siapa di luar. 


Keane muncul di balik pintu. Ia menyingkir, lalu muncul Evan dengan berlari. 

“Evan?” seru Hayati.

“Hei, Jagoan Papa!” Sanad merentangkan tangan. Evan tidak seperti anak umumnya. Dia hanya mengetahui suasana hati Evan dari matanya. Kali ini, Sanad melihat putranya berbinar sangat indah.


Tera berjalan di belakang, lalu berhenti di samping Keane. 

“Sepertinya anak Papa bahagia sekali,” ucap Sanad sambil mendudukkan putranya. 

“Tuan,” sela Keane. 


“Tunggulah di sini dulu!” titah Sanad. 

“Baik, Tuan.” 

“Evan.” Hayati merentangkan tangannya. “Sini sama Mama, Sayang.”


Evan terdiam. Ia menatap ayahnya.

“Evan sudah besar. Ayo. Salim sama Mama,” suruh Sanad.

Evan meragu. Sesaat ia menoleh ke arah Tera. Tera yang sejak tadi memperhatikannya mengangguk.


Evan turun dari pangkuan Sanad. Ia mengambil permen kaki dalam tasnya, lalu menyerahkannya pada Hayati.

Mata Hayati memebelalak. “Ini buat Mama?” tanya Hayati tidak percaya.


Evan mengangguk. Ia kembali menggerakkan permen kaki itu. Hayati menyambutnya. “Wah, terima kasih, Evan. Mama senang sekali.”


Evan tersenyum malu, lalu kembali menoleh ke arah Tera. Tera memberikan jempol padanya.

“Mama bahagia sekali. Boleh Mama peluk?” tanya Hayati sambil merentangkan tangannya. Evan langsung berbalik, dan berlari ke arah Tera. 


“Kenapa, Evan? Malu ya?” tanya Tera. Evan hanya menundukkan wajah. “Ya sudah nanti kita coba lagi, ya.”

Evan mengangguk. 

“Anak pintar."


Sanad berdiri. Ia mengambil jas yang tersampir di sandaran kursi. “Hayati jam berapa kita meeting?”

“Jam sembilan malam, Pak.”

“Baiklah! Akan aku usahakan kembali sebelum jam itu. Aku pergi dulu,” ucap Sanad sambil mengenakan jasnya. 


“Mau ke mana?” tanya Hayati heran, sedikit cemas. Terlebih lagi mengingat ada Tera di sana. Ia curiga, sebelumnya Tera dengan Sanad sudah ada janjian.

“Nanti aku beritahu,” sahutnya Sanad tanpa menoleh. “Keane, kita harus pergi ke suatu tempat. Evan, sini!”



Terima kasih ♥️

Jangan lupa like dan komen ya😍🙏









Tidak ada komentar