Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Ambisi Farah (DCS Part 23)

Detak Cinta Shafura

 Part 23: Ambisi Farah



Om Herman, Fahri, dan Farah sudah duduk di meja makan berbentuk oval. Om Herman duduk di tempat kepala keluarga, Farah berada di samping kiri Om Herman, Fahri duduk di samping Farah. Kursi sebelah kanan Om Herman yang berseberangan dengan Farah ditempati Tante Kurnia. Tante Kurnia mengajakku duduk di sampingnya, membuat posisiku berhadapan dengan Fahri yang masih membuatku risih dengan tatapannya. Seharusnya aku bisa menghindar sejak tadi. 

"Ayo, makan Silmi. Jangan malu." Om Herman tersenyum menyambutku di meja makan.

"Iya, Silmi. Anggaplah kami keluargamu sendiri," sela Farah. 

Tante menyetujuinya dengan senyuman. Aku hanya bisa tersenyum. Senyuman dipaksakan. Tak lama Zaid datang, dengan santainya ia duduk di sebelahku, membuatku sedikit kikuk. Namun, lagi-lagi dia bersikap seakan tak ada siapa pun di sebelahnya. 

 "Kenapa, Silmi? Sepertinya kamu tidak selera makan? Kamu masih sakit?" tanya Om Herman. Sepertinya beliau memperhatikan tingkahku. 

"Ehh, tidak, Om. Silmi cuma...."

"Sudah. Santai sajalah. Ini makan." Zaid sambil meletakkan sesendok sayur di piringku, kamu masih suka masakan Mama, kan?"

Zaid membuatku semakin bingung. 

"Makan yang banyak!" ucapnya dengan nada perintah, sambil terus memenuhi piringku dengan nasi lengkap dan lauk pauk. Setelah itu dengan santai ia makan dengan tenang seakan tak terjadi apa-apa. 

"Oh, iya, Silmi, kapan kamu balik ke pondok?" tanya Farah.

"Senin depan aku harus sudah ada di pondok. Mungkin di sini sekitar 5 hari," jawabku, lalu memasukkan makanan ke mulutku. Sesekali aku melirik ke arah Zaid. Ia masih asik dengan hidangan di depannya.

"Ayah, lusa kita Tanuhi ya," pinta Farah. 

"Benar juga, Yah. Kan jarang-jarang keluarga kita lengkap seperti ini. Ayolah, Yah. Mumpung ada Silmi,"  imbuh Tante Kurnia.

Aku merasa tersanjung dengan kehangatan mereka. Mereka telah menganggapku bagian dari keluarga. Bahagianya andai aku bisa menikah dengan Zaid. 

Astaghfirullah. 

Aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Walaupun tak memiliki Zaid. Dia tetap Zaid kakakku yang dulu, seperti katanya tadi.

"Ayah sih setuju saja, tapi bagaimana Fahri? Kan Fahri sopirnya. Gimana Fahri?"

“Hmm....”

“Ayolah, Kak, ini kesempatan,” rengek Farah dengan menggoncang-goncang bahu kakak pertamanya itu. 

Fahri tertawa lepas. “Kamu ni Farah, tak pernah berubah. Baiklah.”

“Yes," seru Farah kegirangan.

“Yes? Alhamdulillah," tegur Kak Fahri sambil melotot ke arah Farah.

"Iya, Alhamdulillah, terima kasih kakakku sayang," imbuh Farah sambil tersenyum lebar.

Aku iri dengan kehangatan kehangatan keluarga mereka. 

Keluargaku  tak pernah seperti itu. Kami menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Bapakku meninggal saat umurku sekitar sembilan tahun. Setelah ibu dan Kak Sakti kerja keras menopang keluarga.

Kak Sakti sangat jarang sekali main bersamaku. Kedekatanku dengan Zaid lebih dekat dari pada Kak Sakti. Tapi begitulah cara Kak Sakti menyayangiku. Dia bekerja keras, agar aku bisa hidup sebagaimana anak-anak lainnya, bahkan sampai aku bisa sekolah.

Begitu juga dengan Kak Sa'ada. Kami selisih 7 tahun, Jadi kami jarang bermain bersama, Kak Sa'ada selalu disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga diselingi dengan bekerja. Pada usia 18 tahun, Kak Sa'ada rela menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Hanya karena, laki-laki itu sudah mempunyai kehidupan yang mapan. 

Kak Sa'ada banyak membantu penghidupan kami, bahkan setelah Kak Sakti menikah, dan tak sanggup lagi membiayai sekolahku, Kak Sa’ada yang menyambungnya. Begitu cara kasih sayang kami. 

"Silmi, kamu ikutkan?" tanya Fahri mengejutkanku.  

"Silmi ga bisa, Kak. Silmi...."

"Ayolah, Silmi. Kali ini saja, dan mungkin ini terakhir kali kita bisa bersama-sama,” potong Zaid tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Tapi, kalimat itu tetap menghipnotis sehingga kepalaku mengangguk patuh. 

Silmi? Jika bersama orang banyak, Zaid memang sering memanggilku Silmi. Tapi aku tidak mengerti mengapa. 


***


"Terima kasih, Silmi," ucap Farah, ketika kami sudah di halaman rumah.

"Terima kasih? Untuk apa?"

Kukira Farah langsung pulang ketika kami sudah sampai di rumah. Ternyata dia terus membuntutiku sampai ke kamar. Tanpa disuruh, dia sudah duduk di ujung ranjangku.

“Untuk kebersamaan di rumahku tadi. Walau hasilnya tidak seperti yang aku harapkan." 

Alisku terangkat. Apa maksudnya? 

"Silmi. Zaid itu kakakku. Aku sudah tahu apa yang terjadi dengan kalian. Tahu tidak? Berapa hari yang lalu, Kak Zaid ke Banjarmasin, dan menginap di tempat kosku. Dua hari penuh di berada di pondok, menempati ruang asatidz. Kamu pasti tahu, apa tujuannya berada di sana.”

Aku menggeleng pelan. Walau aku mulai mengerti arah pembicaraannya. 

"Dia bilang hanya ingin bertemu denganmu. Dia berharap, kamu keluar pondok, atau apa saja, agar dia bisa melihatmu. Ternyata selama dua hari itu, kamu tidak muncul.”

"Aku sangat sibuk, dan tidak ada keperluan, yang mengharuskanku keluar pondok. Lagi pula kalau bisa dititipkan, aku sering titip saja, ke orang yang keluar pondok. Kecuali saat kelas kitab, kelas itu berada di belakang ruang asatidz, itu pun aku langsung masuk ke dalam ruangan." sahutku. “Kenapa, tidak kalian telpon saja ke pondok santriwati?”

"Sudah. Tapi, selalu sibuk, sibuk dan tak tersambung. Bahkan aku pernah ke pondokmu menemaninya, tapi, aku tak diizinkan bertemu denganmu. Katanya ini sudah peraturan pondok."

Aku hanya terdiam mendengar penuturan Farah yang meluap-luap. Benar, salah satu peraturan pondok ini, tak boleh bertemu santri putri kecuali orang tua atau mahram mereka. 

Peraturan ini dibentuk karena sebelumnya ada kasus, ditemukan obat terlarang di lemari seorang santri. Kami pengurus kaget luar biasa. Kenapa obat bisa masuk ke sini? Dari mana dia mendapatkannya? 

Setelah diselidiki, ternyata dia tak ingin tinggal di pondok tapi orang tuanya yang memaksa. Tanpa memberitahu kepada kami bahwa ia pencandu narkoba. Dengan harapan anak itu bisa meninggalkan kebiasaannya. 

Namun, sayangnya sang anak tidak ada niatan merubah diri  untuk lebih baik. Ia bisa mendapatkan obat tersebut, melalui temannya yang di luar pondok. Setelah itu dibuatlah peraturan, tak boleh bertemu atau dijemput kecuali orang tua atau mahramnya.

 “Aku benar-benar tak mengerti, apa yang salah dengan perasaannya?"

Aku melihat jelas emosi Farah dari nadanya yang meninggi. Tetapi, jika memang Zaid mencintai sedemikian rupa, mengapa ia langsung menyetujuinya?

“Malangnya, kau malah menyuruhnya menerima lamaran Kyai. Bukankah kau juga menyukainya?!"

"Aku…." 

Aku harus berpikir banyak sebelum mengucapkan kalimat. Jangan sampai malah membuat emosinya semakin meluap.

Beberapa detik Farah terdiam. Terlihat dia lelah sekali menahan emosinya. Aku memutus mendengarkan saja apa ceritanya.

"Meski ia tidak cerita banyak padaku, tapi Zaid saudaraku, aku bisa merasakan kesedihannya."

Hatiku sangat perih mendengar penuturannya. Aku telah menyakiti Zaid. Tak ada niatan menyakiti hatinya. Aku hanya ingin berbuat yang menurutku ini terbaik untuk semua orang. Rasa sesal mulai menyusup direlung hatiku. Namun, percuma saja disesali, semua telah terjadi. 

"Satu hal yang tidak kumengerti, dia malah menuruti permintaanmu. Benar-benar tidak kumengerti jalan pemikiran kalian. Bukankah setiap pecinta, selalu ingin bersama dengan orang dicintai? Sangat berbeda dengan jalan kalian tempuh. Ia menerima Ustadzah Aisyah karena cintanya padamu. Benar-benar tidak kumengerti."

 Farah tertawa sinis. 

Cinta tidak harus memiliki. Bahkan karena cintalah kita sanggup berbuat apa saja, demi yang terbaik. 

Menurutku bukanlah cinta, mereka yang memaksakan diri, bahkan memaksakan takdir, asal bersama, tapi tak perduli mereka menyakiti banyak orang. 

"Jujur, saat ini sangat marah padamu. Kau sahabatku, tetapi kau telah menyakiti kakak terbaik. Aku berusaha menerima keputusanmu, tapi aku tak bisa. Kalian dua orang yang kusayangi, tapi kenapa mengalami hal seperti ini. Sampai kapanpun aku tidak menerima ini."

Farah mengembuskan napasnya dengan keras, seakan-akan telah melepaskan semua beban di hatinya.

Apa? Kalimat terakhirnya membuatku khawatir. 

Tidak ada komentar