Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Tingkah Fahri (DCS Part 24)

 Detak Cinta Shafura

 Part 25: Tingkah Fahri




Farah mengembuskan napasnya dengan keras, seakan-akan telah melepaskan semua beban di hatinya.

Apa? Kalimat terakhirnya membuatku khawatir. Aku kenal baik siapa Farah. Dia orang yang sangat gigih. Tidak ada yang bisa menghalanginya jika ia menginginkan sesuatu. Andai bukan Zaid, mungkin ia telah menjadi orang yang menghalalkan segala cara. 

Aku harus memikirkan cara agar ia tidak melakukan tindakan apapun demi hubunganku dengan kakaknya. Ia semakin dicegah, ia semakin berambisi. 

"Maafkan aku, Farah. Bukan maksudnya menyakiti Kak Zaid. Sedikitpun tidak. Bahkan aku pun bahagia, jika memang Kak Zaid mencintaiku. Hanya saja, mengertilah posisiku, Farah. Aku tak mungkin, menikah dengan Kak Zaid, di atas penderitaan Aisyah. Aisyah dan Zaid sama-sama orang yang kusayangi. Maka tak mungkin aku berbahagia, di atas penderitaan salah satunya.”

"Apakah dengan menikahkan Aisyah dengan Kak Zaid, bisa membuat mereka bahagia?" sahut Farah cepat, setengah berteriak.

"Kenapa tidak? Aisyah telah jatuh hati pada Kak Zaid. Dan aku rasa Kak Zaid pun tak kan menyesal menikah dengan gadis seperti Aisyah. Aku yakin, semuanya akan baik-baik saja."

"Sesederhana itu kamu memikirkan cinta Zaid? Lalu bagaimana denganmu?”

"Aku... ." 

Aku tak bisa menjawabnya. Selama ini aku tak berpikir bagaimana keadaanku selanjutnya. Menurutku, asal Kak Zaid tidak membuka rahasia ini, maka kami bertiga akan baik-baik saja. 

"Apakah sudah kamu pikirkan, bagaimana jika Kak Zaid menikah dengan Aisyah? Sedangkan kamu masih mengajar di sana? Kamu dan Kak Zaid, akan sering bertemu."

"Tidak. I-i-ya, mungkin saja, tapi sangat jarang. Karena sistem kerja di pondok kami, tidak bercampur baur dengan kerja laki-laki. Memang selama ini, Kyai Ibrahim selalu mendukung pondok putri, memberi masukan kepada Ummi maupun Aisyah. Begitu juga dengan Ustaz-Ustaz yang lain, tapi itu di belakang lapangan. Kerja di lapangan tetap Ummi atau Aisyah dengan sesama kami yang mempunyai tugas kerja. Jadi walaupun pondok putra dan putri berdekatan, bahkan satu asuhan, dapat dipastikan laki-laki dan perempuan tidak kerja dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Adapun jika kami pondok putri memerlukan bantuan laki-laki, maka bisa disampaikan lewat telpon atau oleh mahram, misalnya ustazah kepada suaminya yang juga seorang Ustadz, maka Ustadz tersebut akan menyampaikan kepada mereka yang bertugas. Jadi dapat dipastikan, aku dan Kak Zaid akan jarang bertemu, walaupun kami satu wadah."

"Oke. Bagaimana dengan kamu, yang setiap hari dekat Aisyah, apakah itu tidak membuatmu, terus dibayang-bayangi sosok Kak Zaid. Bagaimana juga Kak Zaid, dengan kedekatanmu dengan Aisyah, tentu saja Aisyah akan menaruh kepercayaan padamu. Yang setiap saat bisa saja dia tergantung padamu, dan setiap saat bisa  selalu kamu, dan kamu yang disebut-sebut Aisyah di depan Zaid. Apakah itu sesuatu yang tidak menyakitkan buat Kak Zaid?"

"A-a-aku."

"Katakan, Silmi! Kalian telah menempuh jalan berpisah, namun kondisi kalian tidak membuat kalian benar-benar jauh, itu sangat sulit bagi kalian untuk saling melupakan."

"Lalu aku harus bagaimana?" sahutku. Ingin rasanya aku menangis. Farah telah membuatku takut.

"Aku tidak mungkin keluar dari pondok itu, sedangkan masih banyak tanggung jawabku di sana. Setidaknya menunggu sampai tiga anak didikku, berhasil tes 30 juz. Aku ga mungkin meninggalkan mereka, di saat usaha mereka sudah mencapai puncak-puncaknya. Aku juga ga mungkin, menarik kembali permintaanku karena itu berarti aku telah menyakiti Aisyah."

"Tapi semuanya belum terlambat. Pertunangan mereka, masih belum terlalu jauh. Masih belum dibicarakan kapan ketentuan acara nikah. Setidaknya, kita bisa membatalkannya.”

"Lalu bagaimana dengan Aisyah?" sahutku cepat. Aku benar-benar kesal dengan keegoisan Farah.

"Aisyah harus menerima kenyataan ini, dan mumpung semuanya tidak terlalu jauh."

"Tidak!"

Tubuhku terhempas ke atas ranjang. Bayangan-bayangan wajah Aisyah berkelebat di kepalaku. 

"Tidak Farah. Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak sanggup melihat air mata Aisyah. Aku lebih sanggup menjalani semua takdir yang menimpaku, walau harus berjauhan dengan laki-laki yang kucintai, tapi tidak untuk air mata Aisyah. Sudah cukup dia menanggung beban yang sangat besar. Sudah cukup aku melihat air matanya, saat ditinggalkan Ummi. Sudah cukup aku melihat wajah lelahnya dalam menanggung beban besar yang dia tanggung

Hatiku memang perih tidak bersama Zaid. Namun, tak kalah perihnya, mengingat semua cerita-cerita pedih yang dialami Aisyah.

Bahkan saat mendengar Kyai Ibrahim, melamar Zaid, akalku pun mengakui hanya Zaid yang pantas mendampingi Aisyah. Sudahlah Farah, jangan kita perbesar masalah ini. Aku yakin, Kak Zaid akan bahagia dengan Aisyah. Aisyah gadis cantik, saleha, hafal Qur'an, alim, cerd... .”

"Masalahnya cinta, Silmi! Bukan masalah ketertarikan pada keindahan atau kelebihan yang dimiliki seseorang. Andai keindahan atau kelebihan, yang mendatangkan cinta, kenapa Zaid tidak jatuh cinta saja pada gadis-gadis Yaman, wajah bangsa arab, dengan hidung mancung dan mata yang besar dan bening, yang juga satu almamater dengannya. Masalahnya Zaid begitu mencintaimu, Silmi. Hanya itu, dan aku lihat jelas sekali dalam sorot matanya."

"Farah, apakah kamu sudah bicara pada Zaid masalah ini? Meski atas permintaanku, tetap saja itu atas dasar kesadarannya.

"Aaaarrrgghhh… aku benar-benar tak mengerti jalan pikiran kalian!" Farah mengerang. Ia berdiri, lalu menghadapku.

"Aku tidak akan pernah menerima ini."


***

Seperti yang telah Farah rencanakan, tibalah hari Tanuhi yang ia inginkan. Sebenarnya aku enggan sekali bergabung bersama mereka, tetapi, aku pun tidak menemukan  cara untuk menolaknya. Pagi ini sebuah bunyi mobil masuk kedalam halaman rumahku. Dari bunyi klaksonnya aku tahu itu mereka sudah menjemputku. 

Tak lama aku sudah berada di dalam mobil mereka yang dikemudi oleh Fahri. Om Herman duduk di muka.  Sedangkan di jok tengah, Farah, Tante Kurnia dan aku. Zaid duduk di jok paling belakang. Sepanjang jalan hatiku kembali deg-degan. Aku dan Zaid hanya terhalang sandaran jok yang kududuki. Hatiku benar-benar tak karuan.

Ya Allah inikah yang namanya cinta? Rindu saat berjauhan, namun ketika berdekatan, dalam diri seakan ada badai bergolak. Campuran rasa senang, merutuk, dan kecewa. Aku merasakan keringat dingin sudah membanjiri seluruh tubuh. Bagaimanakah dengan Zaid? Apakah dia merasakan hal yang sama?

 Ingin sekali aku melihatnya. Sekali saja. Hanya  ingin mengetahui bagaimana ekspresinya saat kami bersama seperti ini? Bukankah selama ini dia rindu padaku? 

Astaghfirullah. 

Aku mulai kacau lagi. 

"Silmi,” panggil Tante Kurnia.

"Iya, Tante.”

“Sepertinya kamu sangat pendiam. Padahal kan dulu kamu, ga... ."

"Ah, Mama, itukan dulu, saat Silmi masih kecil, sekarang Silmi sudah jadi gadis. Tentu tak bisa disamakan, sekarang dia telah berubah peri manis," sela Zaid sambil tertawa kecil. Tawa yang terdengar sinis di telinga.

Peri? Apakah ia menyinggung keputusanku. 

Sret. Kembali sembilu mengiris hatiku.

"Kita telah memasuki wilayah pegunungan, jalannya berkelok-kelok seperti ular, dan menanjak. Bahkan menanjak curam."

Tak selesai Fahri memberi aba-aba, tiba-tiba mobil membelok dengan cukup tajam. 

Sepanjang jalan aku tak putus-putus bertakbir, bertasbih. Selain karena jalan yang membuat adrenalin meningkat, juga karena pemandangannya sangat indah. Di desa Batu Bini, aku sangat terkesan dengan kokohnya sebuah gunung. Dilihat dari kejauhan seakan-akan kami berjalan menuju lurus ke arah gunung. 

Kiri kanan terlihat hamparan gunung, sesekali terlihat jurang dan lereng gunung. Berpadu dengan cuaca hari ini yang cerah. Warna kehijauan semakin mengkilau.

 Subhanallah.

Betapa besar keagungan Allah. Sungguh, Allah Maha Pencipta yang karya-Nya tiada tandingannya. Yang bikin selalu hati berdecak kagum dan selalu memuji-Nya.

Masya Allah, sangat fantastik. Aku pun mendengar Zaid sering bertasbih, bertahmid dan bertakbir. 

Farah dan Tante Kurnia terdengar sesekali menjerit, kadang mereka saling berpelukan. Aku jadi tersenyum geli melihat mereka. Andai ada Ibu di sampingku, atau orang yang menyayangiku, mungkin aku juga begitu. 

"Kak Fahri, masih jauhkah?"

”Dalam 10 menit sudah berapa kali Farah menanyakan hal sama. 

“Sudahlah Farah. Diam saja. Jangan ganggu konsentrasi Kak Fahri yang sedang mengemudi,” tegur Zaid.

“Iya, nih anak. Dari tadi bawel aja bawaannya. Sudah segede itu, masih aja manjanya ga ilang-ilang,” gerutu Fahri sambil menggantung senyum. 

Sesaat Fahri melirik kaca spion, menatapku. Aku tidak bisa mengartikannya, namun membuat perasaanku tidak nyaman. 

"Biarin, mumpung Kakak-kakakku belum pada nikah, inilah kesempatanku bermanja-manja,” sungut Farah kesal.

 "Alhamdulillah, sudah sampai," seru Fahri, sambil memasukkan mobil ke dalam area parkiran. 

"Alhamdulillah," sahut kami bersamaan. Farah lebih senang, bagai merpati yang lepas dari kandangnya.

Area taman wisatanya terlihat sepi. Mungkin karena hari ini bukan hari libur. Jadi pengunjungnya sangat sepi. Hanya terlihat sepasang suami istri. Tapi ini malah membuat semakin nyaman.

Begitu menginjakkan kaki, terdengar suasana pegunungan, udaranya sejuk, bunyi-bunyi alam yang bersahutan lembut nan merdu, dan anginnya bersahutan dengan gemericik dedaunan.

Kami harus melewati jembatan, untuk memasuki area taman wisata. Di bawah jembatan, sungai yang jernih mengalir tenang, bunyi aliran sungai dan nyanyian makhluk-makhluk alam bagai instrumen yang membentuk nyanyian indah.

Tante Kurnia dan Om Herman memilih istirahat di atas tikar yang sudah dihampar. Tante Kurnia telah menyiapkan segalanya, ada makanan, kue-kue, minuman, dan sirup sudah tersusun di atas hamparan tikar. 

Sedangkan kami berempat langsung mendekati sebuah kolam air. Ada beberapa kolam di dalam area. Dengan berbeda-beda ukuran. Dua kolam yang cukup besar dan dalam, dua lagi ukuran kecil dan sangat surut.

Farah sedikit menjerit ketika tangan menjulur ke kolam air panas. Aku pun rasa tak sabar, ingin merasakan sensasi air panas. Perlahan kuulurkan tangan ke dalam air panas dan langsung mendapatkan rasa  nyaman. 

Zaid merendam kakinya, sedangkan Fahri sudah berendam, tinggal kepalanya yang saja muncul.

"Kita harus memulai mengadaptasikan tubuh kita dengan perlahan. Sedikit demi sedikit," kata Zaid. 

Aku sensasi hangat menyelimuti tangan dengan napas tertahan. Hanya beberapa saat, aku menarik tanganku. Ternyata ketahanan kulitku di air hangat hanya sebentar. Aku kembali merendam tanganku setelah dirasa mulai dingin.

"Air hangat ini cocok untuk pengobatan berbagai penyakit. Setidaknya untuk merelaksasi kan seluruh otot tubuh. Jadi walau hanya dengan merendam kaki, insya Allah sudah mencukupi. Karena pada telapak kaki kita, terdapat banyak titik syaraf yang menghubungkan ke seluruh bagian tubuh manusia.”

 Aku hanya mengangguk. Mukaku menunduk kebawah, memandangi kakiku yang pakai kaos.

Sayang sekali, aku tak bisa merendam kaki. Tak mungkin kulepas kaos kaki ini, karena Zaid dan Fahri bukan mahramku. Aku tak boleh menampakkan aurat di depan mereka, walaupun mereka sahabatku sejak kecil.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh area. Di sini ada tiga kolam untuk orang dewasa, dan satu kolam untuk anak-anak. Menurut Zaid kolam yang kami datangi inilah yang paling panas. Di sebelahnya ada kolam yang sangat besar, dengan suhunya yang cukup dingin. Jadi cocok untuk berenang. 

Ada lapangan basket, beberapa gazebo, dan paling sisi di area taman ini ada beberapa pondok penginapan yang bernuansa budaya Banjarmasin. Bubungan tinggi. 

"Sepertinya, Kakak pernah ke sini?” tanyaku tanpa berani menatapnya.

"Iya, pernah ke sini sekali, sebelum aku ke Yaman, sayangnya waktu itu kamu tidak ada, padahal aku... ."

Reflek wajahku menoleh karena kalimatnya yang terpotong. Sesaat kami saling bersitatap. Hanya beberapa detik. Namun, tatapannya benar-benar membuat hatiku luruh.

Tatapannya membuat alarm imanku menjerit. Memerintahkanku agar segera menjauh.

"Mau kemana?"

Aku tak mengacuhkannya. Sebenarnya aku pun ingin berlama-lama bersamanya, tetapi kondisi tidaknya memungkinkan. Andai hati-hati kami tidak terkontaminasi, maka kami tetap bisa menikmati persahabatan ini. Bersamanya adalah hal yang menyenangkan dan kurindukan. Itu dulu. Sekarang, hati kami telah tercemar, dan ada sosok Aisyah di antara kami.

"Ngga mandi, Silmi?"

Deg. 

Mengapa Fahri selalu membuat naluri perempuanku jadi selalu siaga?


Tidak ada komentar