Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Tidak Lebih Dari Tiga Hari (DCS Part 44)

 

Detak Cinta Shafura

 Part 44: Tidak Lebih Dari Tiga Hari 



Aku mengisi waktu senggangku dengan mencari berbagai informasi tentang Bandung Di ponsel Kak Saada. Budaya, kuliner, wisata, dan hal lainnya, bahkan mencari informasi pondok pesantren di seputar daerah tempat tinggal Paman. Aku sudah berencana ke sana bukan sekadar liburan, melainkan ingin memulai kehidupan baru. Di tempat tidak ada yang mengenalku, kecuali keluarga saudara ayahku. 


Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. 

“Ya?”

“Ada tamu. Mau bertemu denganmu.” ucap Kak Saada di luar.

Seketika jantungku berdebar kencang. Orang yang kukenal hanyalah Ustadzah Aisyah, Zaid, Fahri, dan Farah. Jika salah satu dari mereka, sungguh aku tak tahu harus bagaimana. Meski yang datang itu Farah, pasti ada sangkut pautnya dengan Zaid. Namun aku berharap, yang datang itu adalah Syifa, meski kemungkinannya sangat kecil karena seharusnya sekarang ini dia sibuk di pondok. 

“Siapa?” 

“Lihat saja. Cepatlah keluar.” Setelah itu tidak lagi suara Kak Saada. 

Setelah merasa cukup rapi, aku keluar kamar. Dari tangga aku sudah bisa melihat siapa yang datang. Aku berjalan perlahan, dengan jantung berdegup kencang. 

“Ustadzah!” 

Kak Saada menolehku, lalu berdiri. “Kalian ngobrollah. Aku mau siapkan minuman dulu.”

“Jangan repot-repot, Kak,” seru Aisyah. Dia membuka wajahnya. Raut mukanya terlihat sedih. Tiba-tiba rasa bersalah menerpaku. 

“Tidak repot, kok. Tinggal dulu, ya.”

Aku duduk di sofa menghadap Aisyah dengan wajah tertunduk. Banyak kalimat yang ingin kuucapkan, tetapi mulutku terkunci. Aku merasakan suasana gerah, meski ac di rumah ini telah menyala. Kami terus saja diam sampai Kak Saada datang membawa nampan berisi secangkir teh dan dua buah tooples kaca berisi cemilan.

“Silakan, Ustadzah. Jangan sungkan!” Kak Saada meletakkan teh yang masih mengepulkan asap itu di depan Aisyah, lalu membuka penutup toples. 

“Ana ke sini karena sebuah hadits.” Ustadzah Aisyah membuka suara. Dari suara terdengar kegetiran yang dalam. Dari nadanya, dia masih belum bisa memaafkanku. 

Aku diam saja, tanpa berani mengangkat kepala. 

“Sebuah hadits menjelaskan, ‘tidak dihalalkan bagi seorang mukmin mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari.”

Aku masih tidak berkata apa-apa. 

“Ana minta maaf, mendiamkanmu lebih tiga hari dan baru hari ini mempunyai kemampuan untuk menemuimu. Dan sejujurnya, sekarang pun melihatmu membuat hati semakin terluka.”

“Ana minta maaf, Ustadzah. Sungguh, ana tidak bermaksud … .”

“Ana mengerti,” potong Ustadzah Aisyah. “Ana memahaminya. Cahya sudah menceritakan semuanya.”

Aku terperangah. Kenapa Cahya berani melanggar perintahku. 

“Yang ana sesalkan, kenapa anti tidak jujur dari awal? Kenapa ana baru mengetahui setelah persiapan sejauh ini? Setelah ana terlanjur berharap banyak padanya? Dan kenapa perempuan dicintainya itu anti? Sahabat yang sudah ana anggap seperti saudari sendiri.” 

“Maafkan ana, Ustadzah.” Lagi-lagi hanya kalimat maaf yang bisa kuucapkan. 

Aisyah mulai terisak. “Ana harus bagaimana, Silmi?” 

 “In sya Allah, pernikahan kalian akan tetap terjadi.”

“Dengan bayang-bayang adanya wanita lain di hati suamiku?”

“Astagfirullah.. Ustadzah! Kenapa Ustadzah sudah curiga pada calon suami sendiri?” ucapku setengah lancang. Lalu aku menarik napas guna mengendalikan emosi. 

Tiba-tiba saja aku tersulut emosi, dengan tuduhan yang ditujukan kepada Zaid. Aku yakin Zaid tidak akan melakukan itu. Aku tahu tidak semudah itu melupakan orang yang dicintai, tapi dia akan berusaha mencintai istrinya dan melupakanku.

“Ini bukan lagi prasangka, Silmi. Dengan mata ana sendiri, bagaimana cara dia bersikap padamu. Dari tatapannya saja dapat diketahui … .”

“Ustadzah!” potongku. “Ana mengenal Zaid dari kecil. Ana akui dia menjagaku dari kecil, tapi ana yakin Zaid tak sepecundang itu. Ana yakin, Zaid bisa menerima keadaan ini. Dan yakin, dia akan berusaha menjadi imam yang baik. Asal anti mau memberinya kesempatan.”

Tangisan Ustadzah Aisyah makin menjadi. “Tapi bagaimana dengan anti? Bisakah anti melupakannya?”

Aku berdiri, lalu duduk bersimpuh di depannya. Kugenggam tangannya. “Ma ashaaba min mushibatin fil ardhi wal fii anfusikum illa fii kitabin min qobli annabraaha.” 

Aku diam sejenak. Menatap matanya. “Apa yang menimpa kita, ini sudah ketentuan Allah. Bahagia ataupun sedih, itu hanyalah warna warni dari kehidupan kita. Ustadzah pasti tahu itu, hanya saja kita perlu waktu untuk menerimanya.

Namun, jika kita ikhlas menjalaninya, pasti akan menuai banyak hikmah. Perasaan kita pada hakikatnya milik Allah, tapi ana yakin, jika Ustadzah melayaninya dengan ikhlas, Allah akan memberikan perasaan cinta di hatinya.”

Ustadzah Aisyah menatapku. Binar matanya masih mengambang. 

“Tidak akan pernah sia-sia semua kebaikan yang dilakukan karena Allah.”

“Tapi apa ana bisa?”

“In sya Allah, Ustadzah bisa. Laa yukalifullahu illa wus ‘aha.

Aisyah mengambil alih genggamanku. “Mengapa anti setegar dan sebaik ini? Alangkah baiknya, jika anti marah, kecewa, lalu merebut Zaid. Ana tidak merasa bersalah sebesar ini.”

Aku menggeleng. “Merebut? Ana tegaskan lagi, kami tidak pernah memiliki hubungan apapun, selain persahabatan. Adapun perasaan itu tidak membuat adanya sebuah ikatan.”

Aisyah membuka mulutnya, tetapi segera aku potong. “Ana sangat mengenal kalian dan menurut ana kalian sangat cocok. Ana yakin, pernikahan kalian akan memberikan banyak keberkahan.”

Aisyah terdiam. Ia menatapku beberapa saat. Kami saling meyakinkan hanya melalui mata.

“Anti datang 'kan ke pernikahan ana?”

Giliranku yang terdiam. Memikirkan andai aku menghadiri pernikahan Aisyah, apakah aku akan mendapatkan tatapan negatif lagi? Tetapi tidak mungkin aku menolak, lagi pula mungkin hari-hari terakhirku di sini. Kedatangan Aisyah membuat keputusanku ke Bandung semakin kuat. 

* Hr. Muslim

 **Tidaklah tiap musibah yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, kecuali semuanya telah tertulis dalam kitab (Luh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. (Qs. Al-Hadiid : 22)

 ***Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.s. Al-Baqarah : 286)



Tidak ada komentar