Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Api Cemburu (DCS Part 38)

Detak Cinta Shafura

 Part 38: Api Cemburu




Baru beberapa langkah, tiba-tiba terdengar merdu nasyid Hafizal Qur’an dari Haitsam Al Halby. Sambil berjalan Zaid memasukkan tangannya ke kantong celana, mengeluarkan ponsel dan menjawabnya setelah memperhatikan layarnya.

“Assalamu ‘alaikum. Ya? ... aku di Duta Mall, bersama … ” Sejenak Zaid menatap kami, “Silmi dan temannya. Kamu di mana? ... apa?  Oh, baiklah begitu, kami tunggu di sana, Ya … wa’alaikum salam warahmatullah.”

“Fahri mau ke sini. Jadi kita harus menunggunya dulu. Ikuti aku,” kata Zaid sambil berjalan menuju deretan tempat-tempat makan. 

“Fahri?”

“Iya? Katanya sekarang dia sudah ada di Banjar dan sedang menyusul ke sini.” Zaid tersenyum tipis, “pagi tadi dia ingin sekali ikut, tapi ayah melarangnya karena pekerjaan di pasar masih banyak. Mungkin, dia sudah merindukanmu, sehingga dia memaksakan diri ke sini.”

Aku hanya terdiam mengikuti langkahnya. Terlihat sekali dia cemburu, dari nada bicaranya. Entah kenapa. Yang pasti, aku suka. Tiba-tiba saja aku ingin menggoda.

Sesaat suasana menjadi senyap. Sampai akhirnya kesenyapan itu dipecahkan oleh suara pelayan yang menanyakan pesanan kami. 

Zaid dan Syifa langsung menyebutkan pesanan mereka. Sedangkan aku masih bingung harus pilih apa.

“Kamu pesan apa, Silmi?” tanya Zaid.

“Entahlah! Aku bingung,” sahutku sambil memandangi nama-nama di daftar menu. “Kamu saja yang pilihkan, ya.”

"Aku?” sahut Zaid setengah terkejut. 

“Iya. Sepertinya kamu kenal sekali tempat ini. Jadi aku yakin kamu pasti tahu makanan apa yang paling enak di sini," seruku sambil menatapnya. 

“Bagaimana kalau tidak cocok di lidahmu?” 

“Apapun yang kamu pilihkan untukku, akan kunikmati sepenuh hati,” sahutku dengan sungguh-sungguh. Lelah karena berkeliling membuatku enggan memilih menu.

Sesaat Zaid hanya terdiam sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. “Baiklah kalau begitu. Mbak, satu porsi rawon, minumannya jus buah naga,” katanya santai kepada pelayan itu. 

Aku dan Syifa membelalak mendengar pesanannya. Aku lebih kaget lagi. Bagaimana mungkin dia memesankan makanan yang tidak kusuka. Syifa saja tahu aku tidak suka makanan yang bercampur daging. 

“Silmi, Zaid, kalian di sini?”

Sontak kami menoleh ke arah suara. Tante Kurnia, Bibi Sarah dan Aisyah menuju ke arah kami. 

Perasaanku tiba-tiba tak karuan. Gugup, takut dan cemas. Seakan-akan aku telah kedapatan mencuri sesuatu. 

“Mama!” seru Zaid sambil berdiri menyambut kedatangan mereka. “Kami menunggu Fahri, Ma.”

“Fahri?” Kening Tante Kurnia mengkerut.

“Iya, katanya sedang menuju ke arah sini. Jadi kami menunggunya di sini. Mama, Tante, Aisyah mau makan-makan dulu? Sambil menunggu Kak Fahri, biar kita pesan lagi.”

“Fahri ke sini? Mau apa?” tanya Tante Kurnia, tanpa perduli dengan pertanyaan Zaid.

“Ah, Mama. Kaya ngga paham saja. Sepertinya, mereka harus cepat-cepat dinikahkan,” sahut Zaid sambil mengerling ke arahku. 

Kepalaku jadi tertunduk.

“Oh, gitu, baiklah kalau begitu. Iya, nanti kita bicarakan itu. Sebaiknya Mama dengan Sarah, jalan-jalan dulu, ya. Siapa tahu ada yang menarik, bagaimana, Sarah?” Tanya Tante Kurnia sambil memandang Bibi Sarah.

“Betul juga, Nia,” sahut Bibi Sarah, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Aisyah, “Aisyah, kamu mau tinggal di sini atau ikut kami?”

“Mmm … .” Aisyah memandangi kami bergantian. 

“Maaf, telah menunggu!” Fahri datang dengan napas terengah-engah.

“Bibi, Tante! Boleh saya ikut?” sela Syifa, sambil berdiri. 

“Syifa!” sergahku. Aku memegang pergelangannya.

“Tante, ya?” Syifa memelas. Peganganku terlepas.

“Boleh.” Sahut Tante Kurnia.

 Aku mendelik, Syifa tak peduli. 

Sekarang hanya tinggal kami berempat. Aku hanya bisa pasrah memandangi punggung Syifa. Aku mengerti perasaannya. Andai aku bisa, aku pun tak ingin seperti ini. 

Pelayan mendekati kami mengantar makanan. Langsung saja Fahri menyebutkan pesanannya. Lalu dia duduk dengan bersandar sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali dia sangat lelah. 

“Kamu pesan apa, Aisyah?” tanya Zaid. 

“Hmm ... tidak usah, Kak. Aku makan pesanan Syifa saja. Sayang, mubazir jika tidak dimakan.” 

Zaid mengangguk dengan senyuman khasnya. Walaupun wajahnya tertutup, aku yakin Aisyah membalas dengan senyuman terbaiknya. 

Tiba-tiba ada setitik lahar menerpa hati. Cemburu?  Mungkinkah?

Ya Allah, mengapa aku harus cemburu pada mereka? Bagaimanapun mereka akan menjadi pasangan halal. 

Tiba-tiba saja semangatku melorot. Terlebih lagi ketika makanan yang dihidangkan untukku. Kenapa Zaid memesankan ini? Apakah dia sudah lupa, kalau aku tak bisa menyantap makanan bercampur dengan daging? Ya, tentu saja Zaid sudah lupa. 

Kulirik minumanku. Dalam benakku, buah naga adalah buah untuk pengobatan. Aku sering membikinkan jus buah naga untuk Ummi, waktu beliau sakit-sakitan. Kenapa Zaid memesankan minuman ini? Memangnya aku pesakitan? Zaid tak peduli padaku. Lengkaplah penderitaanku.

“Kamu kenapa, Silmi?” tanya Fahri sambil memperhatikan gayaku mengaduk rawon.

“Tidak apa-apa, Kak,” sahut lemas. 

“Tidak apa, apanya? Tampangmu jelek begitu.”

Tawa Zaid pecah. Aku semakin jengkel. Fahri mencelaku, Zaid menertawakanku di depan pelayan. Emosiku melesat. 

“Tertawalah terus atau aku akan pergi,” ancamku ketika pelayan sudah menjauh. 

Spontan Zaid menghentikan tawanya. Badannya masih bergerak-gerak. Sedangkan Fahri bertambah bingung. 

“Ada apa sih dengan kalian?” tanya Fahri. Aku tak menyahut. Mataku masih memelototi Zaid. Mukanya memerah menahan tawa.

“Tidak apa, Fahri. Silmi cuma tidak bisa menyantap makanan yang bercampur daging,” kata Zaid sambil tertawa-tawa kecil.

“Lantas kenapa kamu pesan itu, Sil?”

Aku tak menjawab, aku masih jengkel pada Zaid. 

“Sudah, jangan marah begitu,” bujuk Zaid sambil menatapku. “Maafkan aku. Aku memang  keterlaluan. Aku ingat kok, kamu tak suka daging. Sini kita tukar?” Zaid langsung menukar piringnya dengan piringku. 

“Tapi … ." cegahku.

“Sudah. Aku memang sengaja. Ini  soto banjar kesukaanmu. Sekalian nih, jus alpukat milonya.”

 Dari dulu aku selalu gila dengan coklat. Biscuit, wafer, cake, minuman, apapun asal bernuansa cokelat. Aku terpana dengan kenyataan ini. Zaid masih ingat makanan dan minuman kesukaanku dan yang tidak aku sukai. Mataku tak bisa berpindah dari menatapnya. Zaid juga masih menatapku dengan tersenyum. 

“Ehmm!” Fahri berdeham. 

Spontan aku dan Zaid tersadar. Kami telah melupakan di sekeliling kami. Fahri mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, membuat hatiku rasa bersalah. Tak seharusnya aku dan Zaid begini di depan Fahri. 

Hatiku semakin tak karuan, ketika menyadari keberadaan Aisyah di sisiku. Ini gawat. 

“Ehm ... Aisyah kita ganti tempat duduk, ya,” kataku sambil berdiri.  Aku gagal menekan perasaan ketika mengucapkan di ujung kalimat. 

“Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik

Tidak ada komentar