Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Fitnah Laki-laki (DCS Part 37)

 

Detak Cinta Shafura

 Part 37: Fitnah Laki-laki 



"Shafura."


Refleks kami berpaling, ke arah sumber suara. 


“Kak Zaid?”

“Shafura?” Syifa menatapku heran. 

Astaghfirullah. 

Mengapa Zaid memanggil nama itu di depan umum? Syifa belum tahu, kalau ada nama panggilanku selain Silmi. 

 “Kak Zaid, kenapa kamu di sini? Bukankah harus memilih gaun pengantin?" tanyaku panik. Aku benar-benar tak mengerti, kenapa dia sampai ada di sini. Seharusnya bersama Aisyah dan Tante Kurnia. Bukankah tadi katanya ingin mencari gaun pengantin?

“Oh, itu sudah, dan kebetulan aku juga ada yang mau dicari dan kebetulan, aku lihat kalian di sini," sahut Zaid datar. 

Sepertinya dia biasa-biasa saja, aku saja yang terlalu panik. Syifa mengangkat kedua alisnya, aku balas mendelik. 

"Oh, Syifa, ini Abdurrahman Zaid, tunangannya Ustadzah Aisyah dan …  Kak, ini Syifa sahabat baikku."

Mereka mengangguk sambil menangkup kedua tangan.

"Kamu mau beli jam tangan untuk siapa?"

"Jam tangan untuk hadiah. Tapi, aku bingung mau memilih yang mana, aku juga tak tahu seleranya," seruku polos. Aku mulai merutuki sikap mulai tak terkontrol. 

"Boleh aku bantu?" tanya Zaid.

"Boleh juga."

Aku tak tahu siapa yang lebih terkejut atas kalimat yang meluncur dari mulutku. Aku atau Syifa? 

Zaid mendekati mengamati jam-jam yang terpampang. Astaga, aku dan Zaid berjarak kurang dari lima centimeter. 

Hatiku bagai diamuk badai. Jantung rasanya berdetak kencang sekali. Aku menjauh sedikit, sambil berusaha menahan napas, khawatir kedengaran Zaid. 

"Kamu mau merk apa, Shaf?" tanya Zaid, tanpa mengalihkan pandangannya. Sedangkan Syifa, aku benci melihat sikapnya. Pandangannya penuh arti. 

"Silmi?"

Panggilan Zaid menembus kekalutanku.

"Eh, iya, Kak. Aku juga bingung. Terserah kamu saja. Anggaplah kamu yang beli," sahutku asal.

Zaid mengalihkan pandangannya, keningnya berkerut, matanya menatapku dalam. Hatiku semakin tak karuan. 

"Shaf, kan selera orang berbeda-beda. Bagaimana kalau tidak cocok dengan orangnya?"

'Kalau manggil yang konsisten dong!' gerutuku dalam hati.

"Harus gimana lagi? Setidaknya ada kesamaan. Sama-sama laki-laki,"  sanggahku.

"Baiklah." Zaid kembali memperhatikan pada jam tangan tangan yang berjejer di etalase.

"Pak, coba yang ini, ya." Zaid sambil menunjuk sebuah jam tangan. 

Tak lama jam tangan itu sudah ada di tangannya. Zaid menggulung lengan baju dan memasang jam itu di pergelangan. Jam tangan silver itu terlihat sangat keren di tangannya yang putih, berpadu dengan kaos longgar cokelat muda yang dia kenakan. 

Ia memang selalu terlihat menawan dari kecil.  

"Gimana, bagus ga?"

"Bagus. Sangat bagus," seruku tanpa bisa menyembunyikan kekaguman.

"Kalau begitu, yang ini saja?”

"Iya, ini saja."

Zaid batal melepaskan jam tangan dari pergelangannya, ketika tanpa sadar aku berseru.

"E,e, tungu, tunggu.  Kita paskan dulu ukurannya."

Aku ingin menyesuaikan ukurannya di tangan Zaid. Namun yang terjadi, mendadak aku seperti orang kesetrum. Kehangatan kulitnya menjalari seluruh tubuhku. Astaghfirullah.

Aku terkesiap. Zaid pun seperti tak kalah kagetnya. Entah bagaimana dengan Syifa. Aku tak mau peduli, aku sudah kepalang malu karena kecerobohanku. Tak seharusnya aku menyentuh pergelangannya. 

"Maaf, aku cuma mau mempaskan ukurannya, sekalian kita potong di sini, kataku menunduk. Bisa kan, Pak?" tanyaku kepada penjual. 

"Bisa, Ding. Kalau memang untuk dia, sekalian aja dipaskan ukurannya. Coba sini.”

Walaupun dengan raut kebingungan, Zaid mau saja menuruti perkataan penjual itu. Aku bersyukur, Zaid tak banyak tanya. 

 

        ***

"Setelah ini kita mau kemana lagi?" tanya Zaid, setelah aku menerima bungkusan arloji.

"Kita?" ulangku.

"Oh, iya, aku lupa. Setelah ini kalian mau ke mana?" tanya Zaid sambil mengedarkan pandangannya.

Aku menoleh ke arah Syifa, bertanya lewat isyarat. Ia hanya mengangkat bahu.

"Kalau begitu temani aku ke toko buku," pinta Zaid tanpa menghiraukan majunya kami.

"Hei, kamu seenaknya begitu, main perintah."

Zaid sudah menaiki eskalator tak peduli ucapanku. Anehnya aku mengikuti saja. Syifa tak banyak komentar. 

"Sepertinya kamu sudah sangat mengenali tempat ini ya, Kak?" Toko buku sudah di hadapan kami, kami masuk sambil melihat-lihat. 

"Aku dulu pernah main ke sini bersama Farah,"  sahut Zaid membalikkan tubuh.

Zaid terus berjalan menyusuri rak-rak buku sejarah.     

"Kamu sepertinya tak berubah, menyukai sejarah." Aku memandangi judul-judul buku yang berjejer.

Aku merasa Zaid tercenung menatapku. Ketika aku memalingkan muka, dia sudah terlihat sibuk mencari-cari buku. Baru saja, aku sadar, Syifa tidak bersama lagi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling toko buku itu. Dari kejauhan mataku menangkap Syifa di rak buku-buku Agama. 

Tadinya aku ingin menyusul Syifa, tiba-tiba saja mataku tertuju pada deretan rak buku novel. Warna warni sampul dan judul-judul yang terpampang, membuatku menelan ludah. Uangku lagi menipis. 

"Cuma memandangi, Silmi?" Syifa sudah ada di sampingku.

"Kali ini cuma bisa begitu," sahutku tanpa mau mengalihkan pandangan dari keterpanaan terhadap deretan novel-novel itu. 

"Kenapa? Habis?"

"Ga, habis. Cuma menipis, dan ana ga mau benar-benar habis persediaan, gara-gara menurunkan Jawa nafsu.

Syifa tertawa kecil.

"Kenapa anti tertawa?”

“Tidak apa-apa. Ana cuma heran, siapa sih orang istimewa itu, sampai anti harus rela mengorbankan segitu banyaknya. Berapa bulan anti mengumpulkan uang itu, demi sebuah arloji?”

Aku tak langsung menjawab pertanyaan Syifa. Aku mulai menyisihkan sedikit uang dari honor pertama yang kudapatkan. Karena memang dari jauh-jauh hari, aku sudah berjanji akan memberi hal sama, sebagaimana yang diberikan Zaid padaku. Sebuah arloji.

“Tak peduli berapa bulan ana mengumpulkannya Syifa. Yang terpenting bagi, ana dapat berbuat untuk dia. Dan apa yang ana berikan, masih tak berbanding dengan kebaikan yang dia berikan pada ana.”

“Apa ana tahu orang itu?”

Kepalaku mengangguk. “Iya, anti tahu, dan anti pasti juga sependapat dengan apa yang ana lakukan.”

“Siapa dia, Silmi?” Suara bariton telah membuat kami kaget luar biasa.  

Sempat beberapa detik aku diserang kepanikan. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi? Entahlah. Tak ada cara lain selain berusaha menenangkan diri. 

“Kak Zaid, kenapa datangnya diam-diam? Mengagetkan kami saja,” bentakku untuk menutupi salah tingkah. 

“Aku tidak diam-diam. Kamu saja yang asik ngobrol dengan Syifa sehingga tidak menyadari kehadiranku.” Zaid membela diri. 

“Jadi kamu mendengar, pembicaraan kami tadi?” tanyaku hati-hati, aku khawatir dia malah bertanya.

“Sempat sedikit,” Zaid mengangkat muka, keningnya bertautan, “hmm.. orang yang istimewa. Siapa dia? Boleh aku tahu? Apa dia … Ha… ."

“Ahh, kamu! Tak usah ikut campur, ini urusan gadis,” seruku seraya mendorongnya, dan menyeretnya ke deretan buku-buku sejarah, “Tadikan kamu mau cari buku di sini.”

Kutinggalkan dia dalam keadaan bingung. Aku tak peduli, aku hanya berharap, dia tidak terlalu banyak mendengar pembicaraan kami tadi, dan tidak juga menebak-nebak sendiri. 

“Silmi, istighfar!”

“Istighfar? Apa maksud, Syifa.” Aku tak mengerti.  Sebelum bertanya, Syifa sudah memberikan jawabannya.    

“Apa yang anti lakukan tadi pada Zaid? Zaid dan anti bukan mahram!”

Tubuhku mengejang. Bayangan-bayangan apa yang terjadi tadi bagaikan slider berjalan di otakku. Aku memegang, menarik tangan dan juga mendorongnya.. 

“Astaghfirullah. Ana khilaf Syifa, gumamku pelan. hampir saja, air mataku menitis.”

 Aku telah melakukan kecerobohan lagi. 

“Sudahlah, ke depannya hati-hati, jika berhadapan dengan Zaid. Sepertinya Zaid dan anti, sama saja. Bisa lepas kendali, bila bertemu.”

“Doakan ana, Syifa.” Kataku gemetar. 

“Nih, hadiah untukmu?”

“Untukku, Syifa?” ulangku, aku tak bisa menyembunyikan rasa keterharuan.

Syifa mengangguk, “Sejak tadi ana ingin memberi anti hadiah buku, dan kebetulan ana lihat ini. sepertinya cocok untukmu, dan sebenarnya cocok juga untukku.”

 Syifa tertawa-tawa kecil.

Aku mengambil buku yang disodorkan Syifa. Kueja judul yang terpampang di sampul, dengan hati menghangat. Cinta Dalam Islam.

Dahiku mengerut. Penasaran dengan isinya. 

Aku mengangguk dengan tersenyum tipis. “Jazakillah khairan katsira.”

“Wa iyyaki.”

“Kalian sudah menemukan buku yang kalian cari?”

“Kak Zaid, sukanya mengejutkan orang saja.”

Zaid malah tertawa mendengar hardikkanku. “Kamu, Silmi, kenapa jadi gampang kagetan?” 

Syifa pun cekikikan. 

“Kamu sudah menemukan buku yang dicari?” tanyaku merengut. 

“Sudah, nih, sahut Zaid, sambil menunjukkan buku yang dia pegang. Dan ini untukmu.”

Aku menyambutnya ragu-ragu, tapi tak tahu harus bagaimana menolaknya. Terlebih lagi judulnya, sepertinya… .

“Yuk, kita pulang sekarang.” Kata Syifa. 

Dengan cepat kumasukkan buku itu dalam kantong plastik. Terima kasih, Kak.

Zaid menganggukkan kepala dengan menampilkan wajah puas. Aku mengerjap dan sambil menelan ludah. 

Mengapa lelaki ini sangat menawan? Atau imanku yang terlalu rapuh? Bagaimana nanti jika kami jadi iparan? 

Allahumma inni a'udzu bika min fitnatir rijaal. 

Ya Allah, lindungilah aku dari fitnah laki-laki.

        ***

Tidak ada komentar