Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Berteman Malam (DCS Part 39)

Detak Cinta Shafura

 Part 39: Berteman Malam



  “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Banjarku sambil menoleh Zaid. Aku tak mengerti kenapa dia terlihat begitu santai.


“Bukan teman lagi, bahkan lebih dari sahabat. Bahkan dulu aku mengira mereka itu berjodoh. Ternyata aku salah, Zaid berjodoh denganmu, dan Silmi untukku,” sahut Fahri sambil tertawa kecil dan sedikit terkesan sinis. 

Kening Aisyah mengerut tajam. Aku semakin tidak nyaman. 

“Silmi, anti bilang dulu, tidak begitu mengenal Zaid.” lirih Aisyah seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Mungkin dia berusaha mengingat-ngingat.

“Ana pernah bilang begitu?” Aku benar-benar lupa kapan mengucapkan itu. 

“Iya, ana yakin itu,” tukas Aisyah. 

“Mungkin anti nanya ke ana, saat itu ana lagi sedang sibuk. Anti kan tahu, kalau ana lagi sibuk, andai ada yang minta izin menceburkan diri ke laut pun mungkin akan ana izinkan,” kilahku gugup. 

Kulirik Zaid, laki-laki itu acuh tak acuh, dia asik menyedut minumannya.

“Mungkin juga.” gumam Aisyah.  “Oia, sejak kapan kalian berteman?" kali ini pertanyaan kepada Zaid. Laki-laki itu jadi kikuk. 

“Sejak kecil. Tepatnya kapan, aku tidak menyadari hal itu. Silmi teman adikku --- Farah.”

“Oh, ya. Kakak apa kabar?” tanyaku tiba-tiba sambil menatap Fahri. Kening Fahri mengkerut, tatapan matanya membuatku jadi serba salah. 

“Maaf, baru bertanya sekarang. Setidaknya  aku sudah berusaha menunjukkan perhatian pada Kak Fahri, walau terlambat," ujarku dengan wajah manyun. 

Kenyataannya aku memang hanya ingin mengalihkan pembicaraan.

Fahri tertawa kecil, “Alhamdulillah, aku baik. Kamu sendiri gimana?”

Aku merentangkan kedua tangan, “Seperti yang kakak lihat. Bagaimana pekerjaan Kakak? Kakak sepertinya tipe pekerja keras?” 

Akhirnya terjadi pembicaraan yang mengasyikkan antara aku dan Fahri. Karena memang sudah saling mengenal sejak lama. Fahri orang terbuka, mudah akrab. Bahkan sesekali dia melucu, yang membuatku tak tahan menahan tawa. Sepertinya kami sangat menikmati kebersamaan ini. 

Beda dengan Zaid dan Aisyah. Mereka diam saja. Sesekali Zaid mengerling ke arah kami.  Entah apa yang dipikirkan Zaid, pastinya mereka memang belum pernah saling kenal, walaupun sama-sama lulusan Yaman. 

Sedangkan Aisyah, aku tahu dia tak mungkin  yang memulai pembicaraan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. 

“Waktu kuliah, aku sering sekali ke sini. Bahkan kadang cuma minum segelas Cappucino,” kata Fahri.

“Oya?” tanyaku perhatian.

“Aku sangat menyukai tempat ini. Menurutku … entahlah, apalagi jika pengunjungnya sunyi. Ah nyaman sekali. Nanti aku ajak lagi ke sini, kalau kita sudah menikah. Aku tahu kapan tempat ini sepi.”

Tiba-tiba Zaid berdiri. Kami terkejut akibat tingkahnya. Ada apa dengannya? Laki-laki itu sepertinya sedang marah. Terlihat dari mata dan dagunya yang merapat.

 Ia pun terkesiap. Seperti baru menyadari dari perbuatannya. 

“Sebaiknya kita pulang sekarang!” ucapnya melembut. 

"Kenapa? Lagi pula ini tidak terlalu malam," kening Fahri berkerut, matanya menatap Zaid dengan emosi dan penuh selidik. Perasaanku semakin tak nyaman. Aku tahu, pasti kejadian tadi sedikit banyak mempengaruhi perasaan Fahri. 

Zaid menolehku. Aku menekuk wajah karena ketakutan. 

“Maaf, mengejutkan kalian. Mungkin aku terlalu cape. Aku pikir Mama, Bibi dan Syifa sudah lama menunggu.”

“Baiklah kalau begitu, sebaiknya kita pulang sekarang,” tukas Fahri pasrah tetapi tetap menatap tajam ke arah Zaid. Ketegangan di antara mereka dapat kurasakan. Entah dengan Aisyah. 

            ***

Cinta Dalam Diam. 

Berapa kali aku membaca judul buku yang diberikan Zaid. Apa maksudnya memberiku seperti ini? Ingin menyampaikan perasaannya? Meski tak terucap, aku rasa kami sudah memahami perasaan kami masing-masing. Kami sudah berjanji menyalurkan rasa kepada pasangan-pasangan kami nantinya.

Cinta dalam Diam. 

Aku tersenyum-senyum sendiri di tempat biasa. Di tempat sunyi ditemani bintang-bintang. 

“Ga istirahat dulu, Silmi? Besok siang kita ada tugas lagi, nanti kamu sakit lagi,” celoteh Syifa sambil duduk bersandar di sampingku. “Sepertinya menyendiri di sini, di malam hari, semacam ritual penting saja bagimu.”

Aku tersenyum datar mendengar celoteh Syifa. Dia tak tahu betapa malam  mempunyai arti dalam kehidupanku. 

Dalam sendiri, di malam hari, aku sering merenung. Memikirkan semua lika-liku kehidupan yang kujalani. Hingga aku banyak mendapatkan hikmah di balik semua kejadian. Dan satu titik yang paling mendasar dari semua kejadian adalah semua ini karena Allah sayang padaku. Maka aku pun berjanji untuk selalu mentaati-Nya. 

Sendiri, di malam hari, sering aku mengobati kerinduan dengan mengenang kenangan-kenangan indah kulalui dengan Zaid. Malam harilah aku dan Zaid berdoa, memanjatkan mimpi-mimpi yang indah. Satu doa kami, sama-sama telah terkabul. Mimpi Zaid terkabul, belajar keluar negeri. Dan mimpiku pun terpenuhi, bisa melanjutkan sekolah.

Sedangkan doa rahasia kami? Zaid tidak tahu doa rahasiaku. Aku ingin selalu bersamanya. Itulah doaku di malam itu. Sepertinya doaku yang satu ini tidak terkabul. Hanyalah Allah yang tahu apa hikmahnya. 

Sedangkan doa Zaid, sampai sekarang aku tidak tahu apa doanya. Mudahan Allah juga mengabulkan doanya.  

“Ini buku dari Zaid tadi ya?” Syifa mengambil buku yang ada di tanganku.

“Cinta Dalam Diam. Mm ..., apa ini mewakili perasaannya?”

“Entahlah?” 

“Oh, ya, bagaimana pertemuan kalian tadi? Pasti seru.”

Aku tak langsung menjawab. Pandanganku jatuh ke arah dinding yang bisu. 

“Lumayan, tapi ada sedikit kejadian kurang menyenangkan.”

“Maksudnya?”

“Awalnya karena aku dan Zaid tidak dapat menjaga sikap. Tingkah sempat mengundang perhatian Aisyah dan Fahri. Selanjutnya aku mengobrol dengan Fahri. Saat aku dan Fahri asik ngobrol, tiba-tiba Zaid berdiri dan mengajak pulang dengan nada emosi.”

Mata Syifa membulat.

“Aku sempat takut, terlebih lagi saat Fahri menatap Zaid penuh dengan selidik. Sepertinya Fahri juga terbawa emosi. Beruntungnya Zaid cepat reda emosinya, karena memang tak ada alasan untuknya. Jadi, kami pulang dengan kebisuan.”

Syifa mendesah keras. 

“Mungkin Zaid cemburu dengan keakraban kalian. Bagaimana nanti jika kalian sama-sama menikah dan saling berhadapan. Terlebih lagi jika kalian sama-sama masih memendam cinta. Kalian akan cemburu dengan keromantisan satu sama lain.”

“Jika sudah sama-sama menikah, masihkah memendam rasa cinta dan cemburu? Sedangkan kami sudah sama-sama memiliki, dan punya orang yang kami salurkan rasa cinta dan rindu?”

“Masalahnya tidak semudah itu. Apalagi cinta kalian, anti dan Zaid sepertinya cinta sudah mengakar kuat. Itu terlihat dalam bahasa tubuh dan cara berbicara kalian. Saling perhatian, saling menggoda. Padahal kalian sama-sama tahu, bahwa itu tidak dibolehkan dalam Islam.”

Aku menatap kosong dinding yang kokoh di depanku. Namun pikiranku menerawang, menembus, membentuk kepingan-kepingan bayangan masa silam. 

“Kak, ini untukmu,” kataku sambil menyerahkan sebungkus keripik kentang kepada Zaid. 

“Untukku?” 

Aku mengangguk. “Kakak, suka kan?”

Zaid mengangguk sambil mengambil keripik kentang yang kusodorkan padanya, “Terima kasih, ya, Silmi. Kamu baik sekali.”

“Zaid…”

Bersamaan kami menoleh arah suara. Tante Kurnia.

“Ibu Kakak memanggil. Sana!”

“Iya, sebentar, ya. Mau kan, pegangkan keripikku dulu?”

“Iya, Kak. Sini.”

“Terima kasih.”

Zaid berlari mendekati ibunya.

“Silmi!”

“Eh… Farah. Mau kemana?” tanyaku sambil mendudukkan pantat di ayunan papan di bawah pohon, di halaman rumah Zaid.

“Mau ke rumah sepupuku, disuruh mama mengantar ini.” sahut Farah sambil menunjukkan benda yang dipegangnnya, “mau ikut?”

Aku menggeleng. Farah memerhatikan keripik kentang yang kupegang dua sekaligus. 

“Kamu mau?” 

“Beneran nih, Silmi?” tanya Farah sumringah. 

“Eee....” sebenarnya aku bingung, apa mau kuberikan atau tidak. Jika diberikan, maka aku tak punya keripik lagi. Yang satu ini, sudah kuberikan kepada Zaid. Tapi, sepertinya Farah sangat menginginkannya. “Iya, ini.” seruku sambil menyerahkan keripik kentang punyaku.

“Terima kasih ya, Silmi.” 

Farah mengambil keripik kentangku. “Aku pergi dulu, ya.” Aku mengangguk, sambil menelan ludah. Aku belum memakannya. Aku mulai merutuki perbuatanku.

“Silmi.”

“Eh, Kak Zaid. Ini.”

Zaid mengambil keripik kentang yang kuserahkan, sambil duduk di sampingku.

“Punyamu mana?”

Aku tak menjawab. Mataku memandang ke arah Farah berjalan. Ternyata Farah tak terlalu jauh, masih terlihat sosoknya sambil bungkusan keripik kentang.

“Kamu berikan pada Farah?” tanya Zaid.

Aku mengangguk sambil menunduk. 

“Silmi, Silmi ..., ya sudah. Sekarang keripik ini kita makan bersama ya,” kata Zaid.

“Tapi, Kak … .” Zaid membuka bungkusan keripik kentang itu dan meletakkannya di tengah-tengah kami duduk. 

“Ayo,” Zaid mengambil satu potong dan langsung memasukkan ke mulutnya. Aku hanya memperhatikan bungkusan itu. “Kenapa? Kok masih diam? Kalau tidak mau, sini aku suapi.”

“Kakak, jangan bikin Silmi malu.”

"Kamu sih, dari tadi hanya liatin bungkusannya!”

Akhirnya dengan ragu-ragu kumasukkan tangan ke bungkusan keripik kentang itu. Setelah itu kami sama-sama diam. Sibuk dalam pikiran kami masing-masing. 

Sesekali kulirik Zaid. Mulutnya mengunyah keripik  sedangkan matanya tertuju ke depan. Entah apa yang dipikirkannya. Aku menyukai moment itu. 

Tidak ada komentar