Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Diterpa Badai (DCS Part 40)


Detak Cinta Shafura

 Part 40: Diterpa Badai 


Gamis Remaja Kekinian 



 Alhamdulillah beberapa hari program tes berjalan lancar. Tes Fadia dan Habibah juga lancar, in sya Allah mereka akan lulus. Nadhirah melakukan beberapa kali kesalahan. 


Beruntungnya kesalahannya tidak melampaui batas maksimal yang ditentukan. Aku berharap ia juga lulus, kecuali memang ada yang luput dari perhitunganku. Tinggal menunggu giliran Cahya. Semoga Allah memudahkannya. 

Tim persiapan khataman sudah mulai sibuk. Keluarga Aisyah juga mulai sibuk mempersiapkan pernikahan. Meski demikian, kami tim penyimak hafalan santri tetap fokus pekerjaan kami. Yang kena shift berusaha melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. sedang yang tidak giliran berusaha memaksimalkan istirahat sebaik mungkin. Seperti yang kulakukan saat ini. Aku hanya duduk santai sambil membaca buku, meski di sekitarku sibuk berlalu lalang.

 Aku tak peduli. 

 Rencananya, rangkaian acara khataman di mulai jam sembilan pagi dan akad nikah setelah shalat Zuhur. Resepsi berakhir sampai malam. Semoga semuanya berjalan lancar.

Semua orang, sepertinya tak sabar menunggu detik-detik penantian. Aisyah deg-degan dengan pernikahannya, santri tak sabar menunggu detik-detik yang sangat penting bagi mereka, yaitu khataman. 

Khataman memang hanya diikuti oleh beberapa santri, namun semua santri merasakan senangnya. Bagi yang khataman, saat itu sangat penting. Sekian tahun mereka berkutat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, akhirnya mereka dinyatakan lulus, dan dapat memberikan persembahan pada orang tua. 

Acara sambutan, nasehat, dan khataman bilghaib, lantunan nasyid, adalah rangkaian –rangkaian acara yang menggetarkan jiwa.

 Nasehat yang menyentuh kalbu, bagai air hujan turun di tanah gersang. 

Khataman bilghaib dilantunkan dengan merdu, menerbitkan rasa keterharuan, sekaligus juga rindu, kapan diri-diri mereka bisa juga melantunkan surah-surah khataman?

Nasyid-nasyid memotivasi sering melahirkan semangat-semangat baru, kepada santri yang belum khatam. Melahirkan sebuah janji. 

Sedang aku, yang kutunggu bukanlah detik-detik khataman, atau Aisyah menunggu sebuah janji sang pangeran. Tapi aku menunggu, hari kebahagiaan Zaid. 

Dari hati yang paling dalam, aku bahagia Zaid mendapatkan jodoh seperti Aisyah. Bersamaan itu pula ada rasa ketakutan, seakan-akan aku akan berhadapan dengan sebuah badai besar yang akan menelanku. 

Aku akan berhadapan di antara dua kejadian penting, kebahagiaan keluarga karena pertunanganku dengan Fahri satunya lagi aku akan kehilangan Zaid. 

“Silmi, temani ana ke kantor, ya. Ana mau ngirim email ke teman-teman ana, mau ngasih undangan.”

Aisyah dengan kebahagiaannya yang luar biasa, membuatnya semakin memesona. Badan kini tak lagi terlihat subur. Puasa Nabi Daud yang dijalani menambah pesona dirinya. 

“Ana lagi … .”

“Ayolah, Silmi. Sebentar saja.”

Akhirnya aku menuruti kemauannya

“Muka anti, Silmi, lucu sekali,” Aisyah terkekeh melihat muka manyunku. 

“Setidaknya aku dapat pahala karena berhasil membuatmu tertawa,” sahutku asal. Bahu Aisyah semakin bergoncang. 

Sementara Aisyah sibuk di depan komputer, aku menyibukkan diri dengan membaca buku yang diberikan Zaid.

Aku tersenyum geli melihat Aisyah senyum-senyum sendiri di depan komputer. Selalu ada desir haru bila melihatnya tersenyum. Kuharap Zaid memahami keputusanku, mengapa aku memilih Aisyah.

“Assalamu ‘alaikum.” Kepala Fitri muncul dipintu. "Afwan, mengganggu. Silmi, kami ada perlu sebentar sama anti sebentar, bisa?”

Aisyah pun mengizinkan, setelah aku meminta izin lewat isyarat. 

“Terima kasih, Ustadzah,” seru Fitri. 

“Ada sih, Fit? Kok kaya penting banget sampai ke aku yang bukan tim kalian?” tanyaku ketika kami sudah di luar ruangan kantor. Fitri hanya cengengesan. 

“Engga begitu penting, cuma ga salahnya nanya ke anti. Kita kekurangan dua orang, untuk senandung nasyid.”

“Anti, nih, ada-ada aja. Masalah nasyid kan anti jagonya, jadi anti kan lebih bisa memilih personilnya, soal begituan ana agak blank.”

“Iya, ana paham. Ada beberapa santri yang menurut ana bagus, tapi mereka ga mau. Katanya mereka tak siap tampil di depan orang banyak. Kalau belajar sih mereka mau aja.”

“Santri yang lain?”

“Yah, anti Silmi. Anti kan tahu untuk menampilkan nasyid, paling tidak kita memilih beberapa kriteria. Suara bagus, bisa bersenandung, dan kalau bisa sih wajahnya juga nyenengin. Nah kalau itu kan susah dicari. Ayolah, Silmi siapa tahu, anti ada bayangan, kira-kira siapa yang cocok menurut anti?”

“Aku mengingat-ngingat anak didikku, siapa yang dikira bisa dan cocok untuk hal ini, “Helena, Rahma. Hmm, ana rekomendasikan Helena aja deh, satunya cari sendiri.”

“Yah, anti,” protes Fitri, “tapi, ga papa. Helena, bagus juga, terima kasih ya.”

“Ya, sudah. Kalau begitu, ana ke kantor dulu, ya!”

“Eh, eh, tunggu, Silmi! Sebaiknya anti yang meminta kepada Helena, kalau ana khawatirnya dia ga mau. Kalau anti, ana yakin Helena akan siap.”

Tampang Fitri memelas membuatku ingin tertawa, tapi keburu aku tahan, takut dia tersinggung.

“Iya, deh. Ayo.”

Awalnya Helena tidak bersedia. Siapa pun paham tampil bersenandung di depan orang banyak, bukanlah hal yang gampang. Namun, dengan terus kubujuk, akhirnya dia bersedia juga memenuhi permintaan kami. 

Setelah selesai urusan dengan Helena, aku tak perduli, bagaimana Fitri mencari seorang lagi. 

Lalu aku pun segera kembali menemui Aisyah di kantor. Betapa aku terkejut ketika masuk ke ruang kantor, kudapati Aisyah berdiri tegang, wajahnya memerah.  Pandanganku tertuju pada buku yang dia pegang. 

Kecerobohan sendiri membuat nyaliku ciut sampai titik nadir. 

“Katakan, apa ini, Silmi?”

Aisyah menunjukan sapu tangan yang bertuliskan Silmi dan Zaid. Sapu tangan itu memang aku gunakan sebagai pembatas bacaanku.

 Aku sadar Zaid bukan jodohku, tapi aku tak bisa begitu saja melepaskan keterikatan perasaanku begitu saja. Seperti akhir-akhr ini, kesibukan benar-benar membuatku sangat kelelahan. 

Karena itu, aku pegang saja sapu tangan Zaid, berharap muncul sedikit kekuatan. Nahas, Aisyah menemukannya. 

Tiba-tiba emosiku pun mencuat. Aisyah lancang, telah memakai barangku tanpa seizinku.

“Kenapa anti memakai barang ana tanpa seizin ana? Bukankah anti tahu, itu tidak dibolehkan dalam agama?” kataku dengan sedikit ketus. 

Sesaat Aisyah terdiam. Dari wajahnya tersirat ada rasa bersalah, tetapi itu hanya sesaat. Amarahnya kembali muncul.

“Naam, ana salah. Ana akui itu. Sekarang katakan apa ini?”

Mulutku tiba-tiba terkunci. Aku ingin menjelaskan kami hanya sebagai sahabat, tapi sulaman dua nama dan dua ekor burung terbang? Apa yang harus aku jelaskan?

“Katakan, Silmi! Anti dan Zaid, saling mencintai kan? Bisakah anti jelaskan semua ini?” Mata Aisyah berkaca-kaca, terlihat sekali dia menahan emosinya. 

“Tidak, Ukhti. Aku dan Kak Zaid tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya sahabat,” Sikapku benar-benar tidak mendukung, suaraku terdengar gugup sekali. Aku ketakutan. 

“Kakak? Anti memanggilnya Kakak. Dan, anti bilang hanya teman. Sapu tangan ini membantahnya.”

“Tolong dengarkan penjelasan ana, Ukhti!” 

Aisyah memberikan sapu tangan dan juga buku bersamaan.

“Jangan-jangan buku ini juga darinya? Kalian saling mencintai dari dulu. Lalu pertemuan kalian kemarin apa maksudnya? Kalian masih mencintai. Bisa ana lihat dari bahasa cara bicara kalian. Jelas sekali!” 

Aisyah hampir saja berteriak. Berisik-berisik santri sudah mulai terdengar di luar. 

“Ana … ." 

Kemana suaraku? Semuanya seakan-akan terkunci. Otakku mendadak lumpuh. Begitulah jika dia marah-marah padaku. Aku selalu ketakutan. Terlebih lagi saat ini aku memang bersalah. 

“Apa kalian berencana poligami?” tuduh Aisyah.

“Apa?” Aku tak hampir tak percaya dengan tuduhannya, namun tatapan matanya meyakinkan itu. “Tidak. Kami tak pernah berencana seperti itu. Dan pertemuan kami kemarin tidak disengaja, sungguh.”

“Lalu, kenapa memberimu buku? Memesankan makanan untukmu? Dan anti menyimpan semua pemberiannya kan? Kenapa? Anti masih berharap padanya!” teriak Aisyah, diikuti dengan kemunculan Syifa, Fitri, Hilma dan entah siapa lagi.

“Ana… .”

“Anti mengkhianati ana. Ana benci anti, Silmi.” Aisyah keluar menerobos kumpulan yang sejak tadi menyaksikan pemandangan seru. 

“Syifa, Syifa, kumohon jelaskan sama Aisyah, Syifa, Syifa, aku tidak berkhianat, aku … .” kepanikan hanyalah membuat kata-kataku semakin tidak jelas. Syifa memandang ke arah luar, Aisyah telah hilang. 

Syifa merangkul pundakku, “Sabar, ya. Saat ini Aisyah sedang dibakar amarah, nanti kita bicarakan kalau semuanya agak reda.”

Aku hanya mengangguk, tubuhku terasa lemah, tungkai-tungkai kakiku terasa lepas semua. Air mata semakin menguras tenagaku. Syifa dan Nadhirah menuntunku. 

“Sudah, semuanya bubar!” perintah Syifa. 

Santri-santri bubar sambil berbisik-bisik. Sementara teman-teman sekamar masih bengong. Mungkin tak percaya apa yang mereka lihat. Aku dan Aisyah yang sangat akrab seperti saudara, kini bertengkar karena laki-laki. 

Tidak ada komentar