Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Bisik-bisik Kecemburuan (DCS Part 36)

Detak Cinta Shafura

 Part 36: Bisik-bisik Kecemburuan 



 Hari ini, hari hantaran Aisyah. Sejak kemarin di rumah Aisyah sudah mulai sibuk. Dan hari ini juga jadwal tes hafalan 30 juz. Ada 30 santri putri, yang terdaftar. Di bentuk 6 team penjaga. Tiap team  terdiri dari 4 orang. Dua orang ustadzah dan dua santri. 


Tak lupa juga, disiapkan orang cadangan, jika yang bertugas ada keperluan mendadak atau sakit. Setiap dua team bergantian shift. Waktu estimasi sepuluh hari akan selesai. In sya Allah. Aku kebetulan kena tugas dengan Ustazah Wahidah. Dua santri bimbinganku kena jadwal pada hari 7, sedang Cahya meminta hari ke sepuluh. 

Jauh hari Aisyah sudah memintaku agar menemaninya pada hari ini. Aku mengelak dengan alasan bertepatan jadwal tes santri. Walaupun dengan berat hati, Aisyah tak memaksaku. Aku bersyukur akan hal ini. Sehingga aku bisa fokus pada tugasku. 

Sesekali kudengar juga, bisik-bisik santri ketika menunggu antrian di kamar kecil.

Aisyah tampil sangat cantik. Ada rasa lega, menyusup dalam rongga dada. Zaid, laki-laki yang kucintai akan mendapatkan istri yang cantik dan salehah.

Mereka sangat cocok. Cantik dan tampan. Ada rasa yang tak bisa kubohongi. Aku iri. Ya, Allah ampuni aku. 

Syukurnya, semua rasa tak mampu lama bergejolak, lebih baik aku fokus mendengarkan bacaan santri. 

Silmi, sebuah panggilan diikuti kemunculan Aisyah di pintu. Aisyah memberi isyarat, menyuruhku mendekatinya. Langsung saja aku memberi isyarat kepada teman untuk menggantikanku. 

"Maaf, Silmi, ana mengganggu anti. Tapi ana perlu dengan anti. Malam ini, Ibunya Abdurrahman mengajak ke mall,  mencari gaun sudah jadi. Mumpung ada Abdurrahmannya di sini, sekalian mencocokkan gaun dengan pakaian laki-lakinya  Dan ibunya Abdurrahman tadi minta untuk mengajak anti."

Alisku mengerut. "Tante Kurnia mengajakku, untuk apa?"

"Ah, Silmi. Sok tidak mengerti segala. Kenapa anti tidak cerita ke ana, kalau anti sudah bertunangan dengan kakaknya Abdurrahman? Fahri. Anti, Sil, masa kebahagiaan ini tidak berbagi dengan ana.  Ana senang sekali, kalau akhirnya kita jadi keluarga," oceh Aisyah.

"Akhir-akhir ini, kita sama-sama sibuk. Tak ada waktu lagi buat kita untuk saling bercerita,"  sahutku asal. 

"Iya, benar juga. Sayang sekali, waktu khataman bertepatan dengan pernikahan ana. Padahal saat-saat seperti ini, ana semakin ingin dekat dengan anti. Berbagi cerita, ingin mengenal Abdurrahman lebih jauh, ah … sudahlah ... Anti siapkan ikut?!"

Otakku berputar keras, mencari alasan untuk menolak. Sibuk? Shift tugasku akan selesai, diganti shift tugas malam."

“Fahri ikut?" tanyaku.

"Yey, sudah rindu ya?"  goda Aisyah.

"Huss hati-hati ngomong. Kedengaran anak santri."

Aisyah hanya cekikikan.

"Bukan begitu, kalau ga ada Fahri atau Farah, maka ana akan mengajak Syifa."

"Hmm … kenapa begitu?" alis Aisyah mengkerut.

"Ana cuma tak mau dikacangin," tukasku asal.

"Yey … memangnya kita pacaran. Sudah ah. Anti siapkan? Habis Isya langsung kesebelah ya, jadi ana ga perlu manggil-manggil anti," seru Aisyah, sambil berlalu tanpa menunggu jawabanku. 

"Sepeninggalannya, mendadak napasku terasa berat. 

Hari yang berat. 

    ***    


Sekitar jam 8 kami berangkat, dengan mobil Om Herman. Zaid yang mengemudi. Fahri ternyata tidak ikut. Tante Kurnia, Aisyah dan Bibi Sarahadik Tante Kurniaduduk di jok tengah, aku dan Syifa di jok paling belakang. Dengan posisi seperti ini, lumayan membuatku sedikit nyaman.

Sepanjang jalan, hanya Tante Kurnia dan Bibi Sarah yang berceloteh. Mereka saling bercerita banyak hal. Tentang anak-anak mereka, makanan khas masing-masing daerah, dan juga sempat-sempatnya diselipi fasyion. Ah, perempuan, memang gila fashion. 

Tante Kurnia menyampaikan salam titipan Fahri untukku. Katanya Fahri sangat sibuk di pasar, sehingga tak bisa ikut. Padahal dia sangat ingin.     

Begitu sampai, memasuki Mall, Tante langsung mendekatiku. Memang begitulah sikap beliau padaku. Penuh kasih sayang. Bahkan sekarang volume bertambah semenjak aku bertunangan dengan Fahri. 

"Silmi, kenapa kamu kelihatan pucat? Kamu tidak apa-apa kan? Tadi waktu acara hantaran kamu ke mana?" Tante memberondongku dengan banyak pertanyaan.

"Ah, tidak apa-apa, Tante. Kemungkinan karena Silmi cuma terlalu cape. Kebetulan lagi sangat sibuk. Kaena itulah, Silmi tak bisa membantu di acara hantaran Aisyah tadi."

Aku jadi kikuk. Aku benar-benar tak nyaman, dengan sikap Tante, terlebih lagi di dekat Aisyah.

"Oh, begitu. Paling tidak, tetap jaga makan, dan luangkan waktu istirahat! Lihat mukamu pucat sekali, dan kelihatan agak kurusan dari kemarin," kata Tante Kurnia sambil mengangkat pergelangan tanganku.

"Insya Allah, Tante," sahutku sambil mengerling ke arah Aisyah. Sepertinya dia tak apa-apa. Ah, ternyata aku saja yang berlebihan.

"Nah, ini dia butiknya," seru Bibi Sarah sambil menunjuk, ke arah sebuah butik,  dari luar sudah terlihat beberapa gaun pengantin muslimah terpajang. 

"Tante, Silmi mau ke sana dulu, ya. Ada yang mau Silmi cari," kataku sambil menunjuk ke arah aksesoris. Tante Kurnia mengizinkan dengan anggukan. 

    ***


"Banyak sekali, Silmi?”

Syifa keheranan, karena aku membeli bros dan gantungan kunci yang cukup banyak. 

"Ana mau ngasih hadiah ke anak-anak, Syifa, dan kalau yang ini, untuk anti." 

Aku memasukkan sebuah gelang ke pergelangannya. 

Dari tadi aku perhatikan Syifa melirik-lirik gelang ini. Aku tak mengerti, kenapa ia tidak membelinya.

"Ini untuk ana, Silmi?"

Syifa mengguncang tangannya dengan binaran surprise.

"Terima kasih banget."

"Iya. Ana beli dua, satu untukku, satu untukmu. Kita memakai gelang yang sama, ini akan menjadi kenangan dalam persahabatan kita. Terima kasih ya, Syifa atas kebaikannya selama ini," mataku rasanya berkaca-kaca, menahan rasa keterharuan.

"Sudah ah, kita jangan melowan di sini. Malu kelihatan orang. Yuk kita ke mana lagi?" seru Syifa sambil mengalihkan pandangannya.

Aku tahu dia hanya ingin menyembunyikan matanya. 

"Beberapa langkah, dari toko kami membeli aksesoris tadi. Tiba-tiba ada yang menarik perhatianku. Boneka. Langsung saja, aku masuk toko boneka itu. Setelah melihat-lihat, akhirnya kuputuskan membeli boneka beruang pink. Sepertinya cocok untuk Helena. Mudahan dia suka. 

"Anti perhatian sekali sama anak-anak anti, terlebih lagi pada Helena. Boneka itu untuk  Helena kan? Ana tahu, anti bukan pencinta boneka."

Aku tersenyum tipis, "ana cuma mau ngasih kenang-kenangan pada mereka. Seperti yang ana katakan pada anti, ana sudah bertunangan. Jadi tak kan lama lagi di sini."

Syifa mengangguk. "Kita kemana lagi?"

"Kita ke toko jam tangan, ya."

"Baiklah, tak masalah."

"Jazakumullah khair."

Kami memasuki sebuah toko jam tangan, deretan jam tangan tersusun rapi dalam etalase. 

"Anti yakin, beli jam di sini? Di sini kan jamnya mahal-mahal."

Aku hanya menepis kekhawatirannya dengan senyuman tipis. 

"Aku bingung, Syifa, mau pilih yang mana. Semuanya bagus-bagus.

Mataku tak bisa lepas dari melihat arloji-arloji  yang berjejer. 

"Kamu beli untuk siapa, Silmi? Ini kan jam tangan laki-laki!"

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba ada yang memanggil namaku.

"Shafura."

Sontak kami menoleh ke arah suara. 

"Kak Zaid?"


Tidak ada komentar