Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Doa Yang Tak Terungkap (DCS Part 26)

 Detak Cinta Shafura

 Part 26: Doa yang Tak Terungkap 




POV Zaid. 


Silmi Nazwa Shafura nama lengkapnya. Orang-orang memanggilnya Silmi. Suatu hari aku mendengar ayahnya memanggilnya Shafura. Aku mengeja nama itu. Menurutku nama itu sangat cantik. Aku mencoba memanggil dengan nama itu, tetapi akhirnya ditegur ayahnya. 

Kata ayahnya, panggil saja Silmi. Karena khawatir orang lain juga ikut-ikutan memanggil Shafura, sedangkan lidah orang Banjar sangatlah beda. 

Shafura dengan huruf shad juga Fu dengan huruf f. Tetapi lidah Banjar akan memanggilnya Sapura. Aku tertawa geli mengeja nama Sapura. Sejak itu aku tidak mengungkit nama itu lagi.

 Ayahnya meninggal di saat usianya baru sembilan tahun. Mulai saat itulah aku mulai memanggilnya Shafura. Aku ingin menghiburnya. Meski tidak mungkin menjadi ayah baginya, setidaknya aku ingin menjadi laki-laki seperti keluarga bagi dirinya.

 Ia teman adikku. Saat itu aku ditugaskan mama menjaga Farah, adikku yang sangat aktif. Maka secara tidak langsung aku juga menjaga Silmi. 

Awalnya aku tidak mengerti mengapa Farah lebih  suka berteman dengan Silmi, yang rumahnya lumayan jauh dari rumah kami, ketimbang berteman dengan Dewi, anak tetangga. 

Setelah sekian lama membersamai mereka, akhirnya aku tahu mengapa Farah sangat menyukai Silmi. Karena hanya Silmi yang mampu mengimbanginya.

Farah tipe cerewet, aktif dan sedikit lebih egois. Silmi tipe mengalah, tidak mau ambil pusing, dan menghindari masalah.

Farah banyak maunya, Silmi selalu menuruti kemauan Farah. Kulihat kadang ia pun kesal, tetapi dibanding bertengkar, Silmi lebih suka mengalah. Ia benar-benar tidak suka dengan keributan. 

Yang membuatku sangat menyukainya, ia tidak pernah menolak dalam kebaikan. Ia tidak ragu mengorbankan apa saja dalam memberi atau membantu orang lain. Di sisi lain, sifatnya ini membuatku khawatir. Siapa sangka membuatku semakin terikat dengannya.

Aku khawatir ia jadi babunya Farah. Aku khawatir ia dimanfaatkan orang lain. 

Setelah lulus sekolah dasar, aku menolak mondok karena kedua gadis kecil itu. Aku tak bisa membiarkan mereka lepas dari pandangan mataku. Setelah mereka tamat sekolah dasar dan memastikan mereka masuk pondok, barulah akhirnya aku masuk pondok.

Aku pikir setelah kedua gadis itu masuk aku akan tenang. Memang benar. Aku tidak perlu khawatir lagi, tetapi bukan berarti hatiku menjadi tenang. Karena ternyata aku merindukan mereka. 

Aku rindu saat-saat kebersamaan kami. Rindu melihat mereka bermain, kepolosan, gelak tawa, binaran mata bahkan rindu mengusili mereka.

Terlebih lagi pada Silmi. Perlahan ia berubah menjadi seorang gadis, sejak itulah sudah ada batasan-batasan pada kami. Begitulah ajaran pondok yang bersumber dari Islam. Kami jadi harus menahan diri. Jangankan bersentuhan, bahkan kami harus menjaga jarak. 

Ini sangat menyiksaku. Aku merindukannya. Kami bertemu hanya beberapa kali dalam setahun. Saat liburan semester atau hari raya. Saat bertemu aku ingin memeluknya sebagaimana memeluk adikku sendiri, tapi aku tidak boleh melakukannya. 

Kerinduanku semakin menumpuk saat sekolah ke Yaman. Jangankan melihat komunikasi pun tidak. Email yang kubikinkan tidak pernah dibukanya. 

Meski aku sangsi ia akan membalas pesanku, tetapi aku tetap mengirimkan pesan padanya. Karena di sanalah aku mencurahkan segala perasaanku kepadanya. Susah senang, sehat dan sakit, bahagia dan kesedihan, bahkan rindu dan cemas. Semua ada di sana. Email satu-satunya penghubungku dengannya. Hubungan sepihak. Kenyataannya jangankan membalas, dibuka pun tidak. 

Kerinduan semakin memuncak saat aku kembali ke tanah air. Di saat aku dapat memeluk kedua orang tuaku. Di saat Farah menghambur ke dalam pelukanku. Tetapi ia tidak ada di sana. Aku tidak melihat binar rindunya.

Bahagianya saat bertemu keluarga tercinta, bukan berarti aku bisa melupakan sosoknya. 

Namanya tidak hanya muncul dalam kesendirianku, tetapi juga muncul di gelak tawa dan binaran bahagia keluargaku. Namanya selalu muncul bersamaan dengan Farah yang ada di sisiku. 

Rindu itu menyesakkan dada. Penderitaan yang kualami di negeri orang tidak apa-apanya dibanding rindu yang telah menguasai jiwa ragaku. 

Sekarat di musim dingin masih bisa kutahan dibanding satu-satunya balasan email darinya. Satu balasan emailnya dari tiga ratus lima benar-benar membuatku hancur. 

Jawabannya telah menghancurkan asa yang telah kusulam sekian tahun. Satu persatu simpul terlepas, tinggal benang yang tercerai. Anehnya, aku ingin menggenggam benang itu dan kusulam kembali dalam bentuk lain.

 Pemikiran itu muncul setelah kusadari siapa dirinya. Di balik balasan tersimpan cintanya untukku. 


Kubaca ulang potongan pesan darinya.


Kak, terimalah Aisyah demi Allah, demi ummat, dan demi cinta Kakak padaku.


Kakak dan Aisyah adalah orang yang paling kusayangi di dunia ini, sesudah orang tuaku. Kebahagiaan Kakak dan Aisyah adalah kebahagiaanku juga. 


Aku akan sangat berbahagia jika Kakak berjodoh dengan Aisyah, sahabatku. 


Iya, kebahagiaannya adalah bisa berkorban untuk agama. Sifat inilah yang membuatku menyukainya. Namun, siapa sangka diriku pun dikorbankannya. 


Aku tersenyum getir. 


Kau menyukaiku, Silmi. Kau tidak mungkin mengorbankan sesuatu yang tidak penting dalam hidupmu. Tidak mungkin tiba-tiba kau mengorbankan milik temanmu meski untuk hal darurat. Jika dalam situasi memaksa, kau pasti berpikir, apa saja milikmu yang dapat dikorbankan. 

Dari hati yang paling dalam aku bahagia. Kau menganggapku milikmu. Itu lebih dari cukup. 

Meski benang-benang cintaku terurai, aku akan menyulam kembali dalam bentuk yang berbeda. Akan kusulam dalam bentuk penghormatan, kekaguman dan sumber inspirasi. 

Aku mengagumimu dan berharap suatu aku pun bisa sepertimu. Melakukan sesuatu atas dasar agama. Begitu juga dalam rumah tangga. Sekarang, cinta tak lagi utama. Aku akan berusaha mencintai dan menghormati siapapun nanti istriku. Bersamanya, aku akan membangun rumah tangga atas dasar agama. Bukankah Al-Qur'an juga menganjurkan begitu?


وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ


Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (Qs.  At-Taubah : 71)

Rumah tangga dibina bukan hanya saling membantu dalam urusan dapur, sumur atau kasur. Melainkan rumah tangga yang dibina atas saling ingat mengingatkan dan tolong menolong untuk taat kepada Allah, juga menghidupkan syair-syair Islam di atas muka bumi ini. 

Lalu bagaimana dengan perasaanku padanya? Bisa hilang begitu saja setelah mendapat pemikiran ini? Tidak. Mungkin tidak akan pernah.

"Baiklah, kalau begitu." Hanya kalimat pendek ini yang bisa terkirim. Ingin rasanya menulis banyak kalimat, mencurahkan segala sesak. Tetapi rasanya percuma. Untuk apa ia tahu kedalaman perasaanku? Kenyataannya ia bukan calon jodohku. Bisa-bisa malah menjadi fitnah di antara kami. Tidak perlu Silmi tahu.

Biarlah perasaanku bersemayam di sana. Di ruang hatiku yang paling dalam. Bahkan mulut, telinga, atau mata ini pun tak perlu mengeja.

 Cukup hanya paru-paruku yang tahu, karena dia yang paling dekat dengan jantungku. Karena dialah, yang paling merasakan irama detak jantungku. Jika paru-paru mengenali getaran itu, cukup kurapalkan doa lewat embusan napasku. Doa pun tak perlu terucap. 


🌹🌹🌹


Sore itu, sewaktu aku pulang dari rumah nenekku. Dari teras sudah terdengar ramainya di ruang tamu. Aku bertanya-tanya keluargaku sedang membicarakan apa? Sakit?

"Siapa yang sakit?" Aku bergegas masuk. Aku tak menyangka pandanganku langsung memaku sosoknya yang juga membeku. 

Perasaan yang kusimpan rapat merengsek keluar begitu saja. Beruntungnya ada keluargaku ada di sana. Rasa malu lumayan cukup sebagai pertahanan dan kesadaran diri. Andai tidak ada mereka, entah apa yang terjadi. Sektika aku teringat, dua orang bersendirian, maka ketiganya setan. 

Ujian tidak hanya di sini. Ayah ibu menahannya, mengajaknya makan bersama. Kupahami, karena mereka juga menyukai Silmi. Ironisnya, mereka meninggalkan kami berdua. Farah yang biasanya nempel padaku, mendadak ada keperluan. Dari sini aku tahu, ini olah Farah. Tidak mungkin, Silmi tiba-tiba ke sini tanpa olahnya. 

Beberapa saat aku sempat menatapnya. Ia menjelma menjadi gadis yang cantik. Kesederhanaan masih saja membalut badannya. Wajah malu membuat dia semakin memesona di mataku. Ya, bukankah perempuan itu harus memiliki sifat malu ketika berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahram? Seperti Shafura yang malu ketika harus berhadapan dengan Musa, demi menyampaikan pesan ayahnya. 

Shafura? 

'Kau memang pantas mengemban nama itu.'

Sifat malu dan pengorbanan yang kau miliki. Kau pantas menjadi istri seorang da'i. Aku bertanya-tanya, siapakah da'i itu yang akan memilikimu?

Seketika gusar menambah oktaf gemuruh di dada. Aku terpaksa bersikap cuek untuk membendungnya. Aku tahu ia kecewa, tapi apa boleh buat. Mungkin kami harus seperti ini. 


***


Sesuai permintaan Farah, akhirnya hari yang ditentukan datang. Kami sekeluarga bersama Silmi pergi ke tempat wisata di Tanuhi. Lagi gemuruh bertalu-talu di dada. Aku jadi ragu, bisakah aku menganggapnya hanya sebagai teman. Aku sangsi. Terlebih lagi melihat sikap Fahri yang juga menyukainya. Naluriku semakin memberontak. 

Berkali-kali kuucapkan doa agar Allah menenangkan hatiku dan melindungi kami dari fitnah. 

Namun, seberapa pun kuatnya menahan diri, ada kalanya aku lengah. Diam-diam aku mengamatinya. Bagai oase di tengah sahara. Rinduku sedikit terobati. 

Aku lihat ia tergoda dengan dengan kejernihan airnya. Tetapi ia menahan diri agar tidak menceburkan diri ke kolam. Aku yakin, ia tahu bahwa perempuan mukmin dilarang mandi di pemandian umum, terlebih lagi di tempat terbuka seperti ini. Aku lega, dengan pengetahuan agama, ia bisa melindungi dirinya sendiri.

Aku tak bisa menahan cemburu ketika Fahri diam-diam mengikutinya. Apa yang mereka lakukan di atas paviliun sana? Hatiku sedikit lega, melihat mereka turun dan sepertinya Silmi berusaha menghindar. 

Aku tak bisa menahan senyum ketika melihatnya memainkan air. Lalu diam-diam Farah mendekatinya dari belakang. Ternyata mereka masih saja kekanak-kanakan. Iya, mereka sama-sama perempuan. Persahabatan mereka tidak ada batas dan lekang oleh waktu, sangat berbeda denganku. 

Aku terlambat menyadarinya kalau ternyata itu berbahaya buat Silmi posisinya di bibir kolam. 

"Duaarrr."

Benar saja. Keterkejutan membuatnya hilang keseimbangan dan terjatuh. Sesaat aku tertawa oleh tingkah mereka. 

Tidak. Ada yang aneh dengan Farah, tapi bukan waktu yang tepat memikirkannya. Aku panik saat menyadari ia tidak bisa berenang.  Panik bercampur takut ketika melihatnya berjuang muncul ke permukaan untuk meminta pertolongan.

Aku berlari ke arah kolam dan langsung menceburkan diri. 

Aku langsung meraih tubuhnya, mengangkatnya  dan menaruhnya ke bibir kolam. Ia terbatuk-batuk. Mungkin karena sudah banyak tertelan air. Napasnya juga tidak teratur. 

Aku naik dan berjongkok di sampingnya.

"Kau tidak apa-apa," tanyaku dengan napas tersengal-sengal. 

Tidak ada komentar