Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Maaf Yang Tak Terucap (DCS Part 27)

 Detak Cinta Shafura

 Part 27: Maaf Yang Tak Terucap



POV 3


"Kau tidak apa-apa?" 

Silmi semakin kesal dengan pertanyaan itu. 

Bagaimana tidak apa-apa? Kalau ia baru saja selamat dari kematian.   Jantungnya saja masih berdetak cepat tak beraturan. Napasnya masih memburu. Bahkan tubuhnya masih gemetaran. Bagaimana mungkin ia baik-baik saja?

Kenyataannya kepalanya hanya bisa menggeleng. Ia tidak ingin membuat orang lain khawatir. 

Perlahan ia mulai mengatur irama napasnya. Badannya sedikit mulai tenang. Namun bersamaan dengan itu, memorinya mengulang kejadian yang baru saja menimpanya. Ia yakin ada unsur kesengajaan. Tapi mengapa Farah ingin mencelakainya? Emosinya mencuat.

"Ceroboh. Bagaimana bisa terjatuh?" gerutu Zaid. 

Silmi tidak menjawab. Ia masih sibuk meredam emosi yang meledak-ledak kepada Farah. 

Zaid masih duduk di sampingnya, dengan wajah dilumuri kekhawatiran. Seketika Silmi menyadari posisi kedua bersaudara itu terlalu dekat. Ia berpikir sebaiknya menjauh dari mereka.

Pada saat berdiri sempurna, Silmi kembali duduk, bahkan kini meringkuk, lalu menyembunyikan wajah di antara dua lutut. 

Jika di drama adegan cewek ditolong pria sangatlah romantis. Seorang pria menyelamatkan cewek dari isapan kematian. Lalu dengan visual slow membuat hati penonton klepek-klepek. Seorang laki-laki dengan gagahnya membopong gadisnya, lalu sang gadis pun tak bisa mengalihkan pandangannya dari sang pahlawan. 

Sayangnya tidak bagi Silmi. Ini musibah yang terlambat disadarinya. Bagaimana bisa dirinya disentuh dan dibopong laki-laki yang bukan mahram? 

Mungkin itu dapat dikatakan darurat. Tapi bagaimana sekarang ia membiarkan dua pria berada itu ada di sampingnya, sedang pakaian menempel di kulit sehingga lekukan tubuh terlihat sangat jelas?

"Kau tidak apa-apa?" Pertanyaan Zaid kentara dengan kekhawatiran sekaligus kebingungan. 

Silmi menggeleng. "Kalian menjauhlah!" pintanya. Berharap kedua saudara itu memahami situasinya. Tiba-tiba air matanya merembes. Di saat seperti ini ia benar-benar merasa lemah. Ia butuh orang yang memahaminya. Pada titik ini ia benci Farah 

"Silmi, ada yang sakit?" Ironisnya Fahri bertanya sambil menyentuh bahu Silmi. 

Silmi sontak menepis. Seketika ia terisak. 

Kedua bersaudara semakin kebingungan.  Sesaat Fahri dan Zaid saling bersitatap. Farah menggigit jarinya. Sontak ia memasang wajah tak berdosa ketika ditatap.

"Astaghfirullah. Maaf," ucap Zaid.

Silmi masih terisak. Ia tak mengerti dengan permintaan Zaid. Dan ia pun tak mengerti, mengapa dirinya mendadak cengeng.

"Kakak menjauhlah!"

Zaid berbicara pada Fahri. 

"Tapi?!"

"Ayolah, Kak. Kita menjauh dari sini," ajak Farah. 

"Tapi?!"

Farah berhasil menyeret Fahri.  

"Kau bawa pakaian ganti?" tanya Zaid. 

Silmi menggeleng.

"Tunggu sebentar."

Bunyi langkah yang menjauh membuat Silmi mengangkat kepala. Ia mencoba berdiri lagi, sayangnya Zaid sudah muncul dengan membawa selembar handuk cukup besar. Kembali ia meringkuk, guna menutupi aurat depannya.

Silmi tersentak ketika menyadari selembar  handuk tersampir ke bahunya.

"Aku akan berpaling. Kau berdirilah. Duduklah di samping beringin itu," tunjuk Zaid pada sebuah tanaman bonsai tak jauh dari gazebo.

"Di sana kau bisa berlindung sekaligus berjemur."

Silmi mengangguk. "Kakak, menjauhlah!"

"Tidak. Aku tetap di sini. Tempat ini memang sepi, tetapi bukan berarti aman untuk seorang gadis. Bagaimana pun kita tidak terlalu mengenal tempat ini." 

Silmi mengangkat wajah, dan mengitari ke sekeliling. Sepi. Bahkan Tante Kurnia dan Om Herman ke mana?

"Berbaliklah."

Zaid langsung berbalik. Silmi berdiri melangkah, mendekati tanaman bonsai yang tingginya hanya sepinggangnya. Ia bersembunyi di situ.

Zaid mengambil jalan memutar mendekati bonsai itu. Zaid duduk di sisi lain bonsai itu.  

"Lepaslah kerudung lalu tutup rambut dengan handuk itu." 

Silmi menarik handuk ke kepalanya,  lalu melepaskan kerudung.

"Sini. Aku jemurkan."

Refleks Silmi menyerahkan pada Zaid tanpa menoleh.

Dejavu. 

Silmi yakin pernah mengalami hal ini. Tapi tidak tahu kapan dan di mana. Ia memaklumi, karena memang dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama. 

Silmi meringis mengingat hal itu. Menyadari kecerobohannya. Merutuki diri mengapa selalu terhipnotis oleh ucapan Zaid. 

Ia semakin meringis ketika mendengar bunyi rintikan air dari kerudungnya. Ya, Zaid memeras kerudungnya.

Tubuhnya semakin menciut. Bagaimana bisa ia menyerahkan kerudung pada laki-laki yang bukan mahram? Bulu kuduknya seketika merinding. 

Sembilan tahun di sekitarnya hanya ada perempuan dan perempuan, kecuali Sakti dan suami Sa'ada. Mengapa sekarang Zaid bisa menyentuh kerudungnya? 

Tak lama terdengar kibasan dari kain kerudungnya. Kini Silmi merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. 

'Ya Allah. Astaghfirullah. Mengapa aku begitu ceroboh?'

"Maafkan aku," lirih Zaid di balik bonsai.  Mereka hanya terhalang tanaman bonsai. Menyadari hal itu, muncul dua sensasi yang tak selaras. Senang, tapi perih.

"Hah?"

"Semuanya."

Silmi terdiam. Tidak tahu harus berucap apa. Minta maaf atas apa? Sesaat hening. 

"Aku juga minta maaf atas tindakan Farah."

'Jadi ia juga menyadarinya?'

"Dari kemarin ia marah-marah dengan keputusan kita."

'Kita? Maksudnya menerima lamaran Aisyah. Tak salah lagi. Rupanya semua ini skenario Farah. Ke mana ia menyeret Fahri? Jangan-jangan Om dan Tante menghilang juga hasil siasat Farah?!'

Silmi hanya menghela napas atas perbuatan sahabat care-nya itu. Kebenciannya menguap. Sambil berharap, suatu saat Farah memahami situasinya.

"Menikahlah."

"Hah?" Silmi tidak percaya dengan pendengarannya.

"Kejadian tadi membuatku khawatir. Kau selalu ceroboh. Sewaktu di Banjar kudengar Hans kena sanksi dan santriwati itu kamu."

"Itu… ." 

Silmi tidak tahu harus mengatakan apa. Ingin membela diri, kenyataannya berita itu memang benar.

"Aku percaya kamu. Itu juga pasti karena kecerobohanmu."

Silmi hanya menjawab dengan helaan napas. 

"Jadi menikahlah, supaya ada yang melindungimu." 

Entah kenapa Silmi mendengar ada sesuatu yang mencekal di tenggorokan Zaid.

Silmi tersenyum kecut. "Bagaimana mungkin aku menikah hanya karena mencari perlindungan?!" 

"Juga ntuk melindungimu dari Fitnah dan  menyempurnakan agamamu.

Deg. Kembali ia merasakan sembilu mengiris hati. 

Kini ia mulai memahami perasaan Zaid, bagaimana sakitnya saat menerima permintaannya.

Perih sekali. Antara kecewa, keinginan untuk mengabulkan, hancurnya harapan, putus asa. Bagai sembilu satu persatu menyayat relung hati. 

Matanya kembali mengembun. Ia tidak tahu kalau akan menyakiti Zaid sejauh itu. Tangannya terangkat ke dada, berharap sedikit saja dapat menekan rasa sakit. 

Ternyata menyakiti orang yang disayangi sangat menyedihkan. Rasa bersalah mungkin akan menghantui seumur hidup. 

'Maafkan aku.'

Kenyataannya ia tidak mungkin mengucapkan kalimat itu. Zaid tidak tahu perasaan cintanya. Saat itu ia berharap, alangkah baiknya jika Zaid membencinya. Mungkin dengan itu, dosanya sedikit terbalaskan.

"Perempuan tak semudah laki-laki. Bisa memilih lalu melamar," sahutnya, setelah berhasil menguasai diri. 

"Bagaimana dengan Hans?"

Deg. 'Apakah Zaid mengetahui lamaran Hans? Tidak mungkin.'

"Menurutmu?" pancing Silmi.

"Dia pasti menyukaimu. Aku dengar Hans tidak pernah membawa gadis manapun ke mobilnya. Meski aku hanya melihatnya beberapa hari, tapi aku yakin Hans laki-laki yang layak kau pertimbangkan."

Air matanya berhasil keluar. Ia menggigit jari agar suara tangisnya dapat ditahan.

'Mengapa situasinya jadi berbalik? Apakah ini karma?Anita mengerang. "Bayu, please. Beri aku jeda. Aku tidak ingin memikirkan hubungan. Bahkan aku berpikir tidak ingin menjalin hubungan. Cukup anak-anak Rumah Bahagia mengisi hari-hariku."

Bayu tercenung. Ia tahu Anita. Semakin didesak semakin keras kepala. Semakin didekati, semakin menjauh.


"Kudengar hasil tesnya mumtaz. Dia juga mau melanjutkan studinya ke Mesir. Kau bisa ke Mesir jika menikah dengannya." 

Kini Silmi menutup mulutnya dengan telapak tangan. Semakin Zaid memuji Hans, semakin banyak tenaga yang dibutuhkannya untuk menahan suara dari mulutnya.

Tanpa disuruh pun ia sudah mempertimbangkan Hans. Hanya saja dengan suruhan Zaid membuatnya perasaannya hancur lebur. 

'Ya Allah, begini kah dulu perasaan Zaid?'

"Ini kesempatan emasmu untuk belajar ke sana." 

'cukup,' teriak Silmi dalam batin.

"Tak ada cela pada dirinya. Meski manusia tidak ada sempurna, tapi menurutku dia sempurna untuk menjadi pendampingmu."

"Cukup. Hentikan." Silmi tak kuasa lagi menahan isakannya. "Aku tau, aku salah. ... Jangan menyiksaku seperti ini. … Maafkan aku."

Silmi kembali menenggelamkan wajahnya di antara dua lutut. Sambil berharap Zaid tidak mendengar tangisannya. Meski mustahil. 

Tangisannya semakin nyaring. 

"Maafkan aku." Terdengar suara di sela isakan.

Zaid merengsek keluar ketika mendengar isakan gadis yang sangat dihormatinya itu. Tangannya tergenggam erat. Betapa ia ingin memeluk gadis itu guna meredakan tangisnya. 

"Maaf, jika aku menyakitimu. Aku tak bermaksud itu. Menurutku Hans memang…." 

"Kumohon hentikan!" 

Isakannya makin kentara.

Zaid tak berani lagi bersuara. Ia menarik handuk lalu menutupi kepala Silmi dengan sempurna. Agar Silmi bisa menangis lepas. Meluruhkan semua sesak di dada. 
Hanya ini yang bisa dilakukannya.

"Bagaimana aku bisa bahagia menikah Aisyah, sedang di sisimu tak ada orang yang melindungimu, menghapus air matamu, memelukmu." 

Dari kejauhan Farah menatap mereka. Air matanya mengalir deras. Ia menjadi saksi kasih sayang keduanya sejak kecil. Dan sekarang menjadi saksi kepiluan mereka. 

Usahanya sudah sejauh ini untuk menyatukan keduanya. Kenyataannya, ia telah menyakiti keduanya. 


Tidak ada komentar