Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Pengakuan Fahri

 Detak Cinta Shafura

 Part 25: Pengakuan Fahri




"Ngga mandi, Silmi?"

Drett… .

Mengapa Fahri selalu membuat naluri perempuanku jadi selalu siaga?

 Fahri mendekatiku di kolam besar yang suhunya dingin. Farah sudah mandi dengan girangnya. 

Aku hanya bisa menggeleng pasrah. Sebenarnya aku sangat ingin merasakan kesegaran airnya. Sayangnya, aku tak mungkin mandi. Pakaian yang dikenakan Farah basah menempel di tubuhnya, sehingga membentuk lekukan tubuh. Penampakan yang terjadi pada Farah sudah cukup sebagai peringatan bagiku.

Fahri mendekat dan duduk di sampingku. Reflek membuat badanku bergeser. 

Fahri hanya mengenakan celana setengah lutut, menampakkan kulit putihnya. Ternyata dia pun memiliki badan yang … .

Astaghfirullah. Ya, Allah jagakan pandanganku. 

Tak lama Zaid bergabung, melepaskan kaos oblongnya, dan langsung menceburkan dirinya. Sesaat pun mataku sempat menangkap kulit putihnya, dan badan yang ceking. Zaid sangat kurus, sangat berbeda dengan Fahri yang memiliki badan gagah. 

Astaghfirullah. 

Ya Allah, dalam beberapa detik, sudah berapa maksiat kulakukan? Ampuni aku ya, Allah. Seharusnya dari semula aku sudah menolak ajakan ini. 

Aku harus meninggalkan tempat ini. 

Kemana? 

Tante dan Om Herman sudah berendam di kolam yang airnya panas, sebaiknya aku tidak mengganggu mereka

Aku memutuskan jalan-jalan saja, walaupun harus meninggalkan kesejukkan air ini. Kemana? Sendiri? Ah, sangat tidak menyenangkan. 

Setidaknya aku bisa menjauh dari Zaid dan Fahri, kakak beradik itu. Berlama-lama di dekat mereka, bisa copot imanku. 

Kakiku terus saja melangkah menyusuri taman ini, hingga sampai di deretan pondok penginapan. Desainnya cantik yang menarik. Dengan arsitektur yang entahlah, aku buta tentang bentuk bangunan. Yang pasti, daya tariknya terletak di bubungan tinggi dan perpaduan warna yang menarik, krem dengan atap merah. Kakiku terus saja melangkah memasuki wilayah ini. Dan langsung tergoda dengan pancuran air. Segarnya.

Kaget bukan kepalang, ketika membalikkan badan, di belakangku ada Fahri.

"Kak Fahri, jangan diam-diam begitu, bikin kaget saja!"  Sungutku kesal.

Fahri hanya tertawa. 

"Siapa yang diam-diam! Dari tadi aku di belakangmu, kamunya saja yang terlalu khusyu menikmati kesegaran airnya." 

Aku tak mendengarkan jawabannya, aku terlanjur kesal. Tanpa menghiraukannya, aku berjalan mendekati sebuah pondok penginapan. Tanpa merasa bersalah kakiku terus melangkah menaiki tangga yang ada di luar. Mumpung tidak ada penghuninya. Fahri pun mengikutiku. 

“Masya Allah, indah sekali,” seruku setengah histeris. 

Betapa tidak. Dilihat dari atas, pemandangan sangat indah. Bahkan deretan pondok penginapan ini terlihat bagai pasukan gagah yang berbaris rapi. Hamparan gunung-gunung menghijau, belum lagi daun-daun yang bergesekan, bagai tarian bidadari yang membuat penontonnya sangat terpesona. Tak puas aku memandang, kuedarkan mata ke seluruh arah. Tak ingin satupun luput dari penglihatan.

Jantungku rasanya copot, ketika pandanganku terus berputar, tiba-tiba mataku bertemu dengan mata Fahri. Tatapan matanya yang lekat, membuat jantungku berdetak cepat. 

"Ehm.. Sepertinya kamu sangat menyukai tempat ini?" kata Fahri, sambil mengalihkan pandangannya.

Butuh beberapa detik untuk menenangkan diri dan menanggapi perkataannya. Beruntung udara sejuk membuatku cepat menguasai diri. Aku tak bisa membayangkan jika hal tadi terjadi  di ruangan sempit. Mungkin inilah salah satu hikmah, larangan berduaan. 

"Sangat suka. Seakan-akan aku merasa bebas," sahutku tanpa memandangnya. "Bagaimana ya, jika di lihat di malam hari ya? Hmm... mungkin gelap. Tapi, kita bisa memandang bintang, ditemani embusan angin pegunungan. Pasti menyenangkan sekali." 

Aku tahu Fahri terus menatapku. Aku tak ingin lagi memutar pandangan, aku tak boleh bertatapan dengannya. 

"Aku bisa memenuhi keinginanmu."

Refleks aku menoleh. Menatapnya dengan kerutan kening. 

Ia menjawab dengan mengangkat alisnya. 

"Menikahlah denganku."

Mataku membelalak. Barusan tadi apa yang kudengar?

Fahri berdehem sekali. 

"Maaf jika mengagetkanmu."

Permohonan maaf Fahri terdengar tanpa diimbangi dengan rasa bersalah. "Begini. Kalau kita ingin melihatnya dari malam, maka kita harus menginap di sini dan … ."

"Dan?” keningku mengkerut.

“Dan aku tahu, hanya bisa dilakukan oleh sepasang kekasih halal."

Wajahnya terlihat serius. Dadaku kembali bergemuruh. Laki-laki, dua beradik ini, hari ini bisa membuatku kehilangan nyawa.

“Jadi Kakak ingin menikahiku, hanya karena ingin mengajakku menginap di sini?" Seketika aku tak bisa menahan tawa. 

"Ya, di antaranya. Selain itu, karena memang aku menyukaimu sedari dulu. Sayangnya, aku tak punya kesempatan dekat denganmu."

Kalimat terakhirnya membuat jantung terasa lepas. Kakiku terasa lemas. Darahku terasa terhenti, keringat tubuh mulai membanjiri. Padahal di sini udaranya sejuk sekali.

"Aku serius."

Kedua tangan Fahri terangkat untuk memegang pundakku. 

Spontan aku terkejut dan mundur beberapa langkah. Tubuhku jadi menegang. 

Fahri mengembuskan napasnya dengan keras. 

"Aku serius dengan perasaan dan lamaranku. Jika kamu menerimanya, maka akan kuteruskan lagi ke orang tuaku. Mereka akan senang sekali mendengar ini. Mereka juga sangat menyayangimu."

Aku tak tahu harus berkata apa. Secepat inikah dia menyukai dan melamarku. Bagaimana dengan perasaanku?

Baiklah, aku tahu kamu masih terkejut akan hal ini, dan masih bimbang. Aku beri kamu waktu untuk memikirkan segalanya."

"Berapa lama?" gumamku. 

"Berapa maumu? Tapi jangan terlalu lama. Biar ada kepastian saja. Aku juga tak suka menunggu terlalu lama."

"Jika jawabannya tidak sesuai dengan harapan Kakak, apa Kak Fahri akan membenciku?"

Sebenarnya tak ada alasan untuk tidak menyukai laki-laki ini, hanya saja, Zaid. Fahri kakaknya Zaid.

"Aku hargai keputusanmu. Mungkin aku masih belum beruntung. Hanya saja, aku minta kamu mempertimbangkan cintaku.”

***

Aku memilih duduk di atas hamparan tikar yang di bawa Tante Kurnia dan Om Herman. Mereka masih duduk di sisi kolam dengan kaki terendam. Sesekali mereka tertawa. Aku merasa iri. Mungkinkah aku bisa seperti mereka, jika aku menikah nanti?

Astaghfriullah, lagi-lagi aku berandai-andai. Farah dan Fahri duduk santai di gazebo. Entah apa yang bicarakan, terlihat mereka senang sekali. 

Setelah minum segelas sirup aku kembali berdiri mendekati kolam yang paling besar. 

Aku berjongkok, lalu menceduk air dengan lalu melempar kembali ke tanah. Kesejukan airnya benar-benar menggoda. Aku sangat ingin menceburkan diri ke dalamnya. Andai tidak ingat sebuah hadits yang menjelaskan perempuan mukmin dilarang mandi di pemandian umum. 

Mataku teralih kepada sepasang  kekasih dewasa yang mabuk asmara sedang menyeberangi jembatan. Meninggalkan tempat ini. Mereka berjalan dengan posisi berangkulan. 

Aku bertanya-tanya apakah mereka suami istri. Dilihat dari usia, mereka memang suami istri. Tapi jika memang suami istri, tidak cukupkah mereka menuai asmara di rumah saja?

Aku kembali berdiri, dengan niat hati mendatangi lapangan basket yang tidak terlalu jauh dari area pemandian. 

Namun, di saat aku memutar badan tiba-tiba….

"Duaar," teriak Farah membuatku kehilangan keseimbangan. 

Farah mengulurkan tangannya, tetapi ada yang aneh dalam uluran itu. Kurasakan ia malah mendorongku hingga tubuhku oleng dan tercebur ke kolam. 

Langsung saja badanku tenggelam. Aku semaput. Panik. Aku berusaha untuk muncul ke permukaan, tetapi kepanikan membuatku semakin kehilangan tenaga. Air terus saja masuk ke mulut, membuatku semakin kesulitan bernapas.

Tidak ada komentar