Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Indahnya Persahabatan (DCS Part 34)

 Detak Cinta Shafura

 Part 34: Indahnya Persahabatan 




"Silmi," pekik Fitri ketika melihat kedatanganku. Sesaat Fitri mengumpat, dia kecolongan, Hilma lebih dulu memelukku. Mata fitri memelotot, Hilma menjulurkan lidahnya. Tingkah mereka menciptakan tawa. 

"Antunna ini terlalu lebay, kaya berpisah sekian tahun saja,"  kataku sambil tertawa.

"Bukan sekian tahun, Ukhti, seperti puluhan tahun malah,"  balas Fitri. 

"Oya, berarti ana sangat dirindukan dong?!" godaku.

"Sangat,"  sahut Fitri mantap.

"Alah, Fitri. Palingan rindu oleh-olehnya,"  celetuk Hilma. 

"Ana memang rindu, kok. Anti jahat, Hil, bikin malu saja. Walaupun beneran ya jangan dibilang-bilang!” Fitri cemberut, pipinya semakin bulat. Spontan kami tergelak. 

"Ga apa-apa, Fit, sekali-sekali jujur untuk masalah itu. Kalau seandainya ana ga paham, terus semua oleh-oleh ana kasih ke anak santri bimbingan ana semuanya, gimana? Hayoo… ."

"Ah, Silmi. itu ga mungkin. Ana tahu, Silmi itu teman ana yang paling baik."

Aku mencibir, sambil menyerahkan kantong plastik berisi oleh-oleh padanya. Sudah kusiapkan untuk mereka. Setelah meletakkan tas di dekat lemariku, aku mendekati Syifa dan mengulurkan tangan. 

"Apa kabar, Syifa?"

Rinduku menyerbu hingga tak kuasa untuk tidak memeluk. Syifa sudah seperti kakakku sendiri. Umur kami memang selisih tiga tahun. Dia tiga tahun lebih duluan dariku di pondok ini. Hanya saja setelah khataman, dia keluar dari pondok ini.

Pondok ini adalah pesantren non formal, sehingga lulusan pondok ini tak bisa melanjutkan ke sekolah formal atau kuliah misalnya. Selain ikut menempuh pendidikan di pondok ini, Syifa tetap menjalankan pendidikan formal, bahkan ia sempat kuliah di universitas umum. Tetapi ternyata Syifa tak cocok dengan dunia luar yang menurutnya terlalu bebas. Ia risih saat mengetahui ada di antara siswa yang pacaran sambil menunggu kedatangan dosen. Akhirnya Syifa memutuskan kembali lagi ke pondok.  Mengambil program alim, satu kelas denganku.

"Alhamdulillah, baik. Anti?" Aku senang sekali melihat binaran kebahagiaannya. 

"Alhamdulillah, sudah baikan," sahutku dengan memberikan senyum yang tak kalah indahnya. 

"Aku memang bahagia sekali hari ini. Bertemu teman-teman seperjuangan, bukankah sangat membahagiakan? Persahabatan itu menjadikan semuanya menjadi indah. Begitu juga persahabatanku dengan Aisyaj. Walaupun ada cinta membentang merah dalam persahabatan kami, aku yakin persahabatan itu akan tetap indah. 

Aisyah, sudah pagi tadi aku menjenguknya, sekalian mengantar oleh-oleh, dodol asli dari Kandangan. Wajah semringah menularkan senyum di bibirku. Tak lupa dia mengabariku, hari hantarannya, pernikahan, resepsi di sini dan di rumah Zaid. 

Aku manggut-manggut saja, pura-pura serius mendengar. Sebenarnya hatiku menerawang entah kemana, lagi pula Tante Kurnia sudah memberitahukan itu. Aisyah memintaku menemani di hari hantaran nanti, tapi aku tak bisa menjanjikan dengan alasan sibuk sekali. Sebenarnya jika mengingat dia sahabat karibku, sudah semestinya aku akan berusaha meluangkan waktuku. Hanya saja..., aku ingin menghindar. 

Kini sudah tertumpuk di depanku kertas-kertas jawaban santri dan catatan perkembangan tahfiz santri asuhanku. Ada rasa jengah ketika menghadapinya, di sisi lain, ini cukup buatku untuk menyibukkan diri. Melupakan sesaat apa yang telah terjadi. 

Lega, senang, inilah yang kurasakan, hasil nilai jawaban anak-anak pelajaran yang diamanahkan kepadaku. Semuanya membuatku puas dan bersyukur. Rata-rata di atas tujuh, kalau ada di bawah dari nilai itu, hanyalah beberapa orang saja. Artinya mereka memahami apa yang kusampaikan. 

"Syifa, kapan tes 30 juz, apa sudah ditentukan harinya?"

Aku mengalihkan pandangan kepada Syifa. Kelihatan dia sudah santai. Mungkin pekerjaannya sudah selesai. 

"Senin ini."

Syifa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari menelaah buku. 

"Senin ini? Dimajukan, ya?"

“Iya. Soalnya, khatamannya mau dibarengkan dengan hari pernikahannya Aisyah. Pada hari khataman kan banyak wali santri, bahkan ibu-ibu pengajian yang datang, jadi sekalian saja. Setelah tes waktunya cuma dua minggu buat persiapan acaranya, juga para santri menyiapkan segalanya."

Kepalaku mengangguk. Teringat bagaimana  khataman dulu. Lulus tes 30 juz suatu hal yang sangat menggembirakan. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama, karena aku harus berhadapan dengan pembiayaan khataman. Bukan biaya sedikit buatku, aku ke sini pun karena kebaikan Om Herman dan Zaid. Untunglah, Kak Saada menyanggupi semuanya. 

Syifa terlonjak akibat pekikanku yang tiba-tiba. Aku panik ketika diingatkan akan tiga anak didikku. Apakah mereka sudah siap?

"Anti kenapa, Silmi? Koq panik begitu?"

"Aku teringat Fadia, Nadhirah, dan Habibah. Apa mereka sudah siap? Aku mencari mereka dulu," seruku sambil berlalu, tanpa memperhatikan responnya. 

"Fadia, Nadhirah dan Habibah mana?"

Aku memanggil Fadia saati ia berjalan di lorong kelas. Ia tak langsung menjawab, mengedarkan pandangannya ke sekitar. 

"Itu mereka, Ukht!"” tunjuk Fadia ke pintu kelasnya. Terlihat Nadhira dan Habibah, berjalan ke arah kami. 

“Ukhti mencari kami?" tanya Nadhira, setelah dia dan Habibah, mencium tanganku. Aku benar-benar tak suka hal ini. Aku sama halnya seperti mereka, namun aku harus menghargai posisiku, sebagai pembimbing mereka. 

"Katanya Senin depan, jadwal tes. Apa antunna sudah siap?"

"Wajah Nadhirah dan Habibah berubah mendung.

"Ada apa, Nadhirah, Habibah?" Aku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku. 

"Kami tak menyangka, jadwalnya dipercepat, Ustadzah. Kami tidak punya keberanian untuk maju," jawab Habibah dengan wajah memprihatinkan.

"Belum lancar betul, Ustadzah. Belum lagi, pada ayat-ayat mutasyabbihat. Jika bertemu ayat-ayat itu kadang malah membuat bacaan semakin kacau. Ana tak yakin, apakah bisa lancar dalam seminggu ini. Jadi ana pikir, ikut tahun depan aja, Ustadzah. Daripada dipaksakan, takutnya tidak lancar, malah membuat kami harus menanggung malu," kata Nadhirah.

"Kenapa berpikiran begitu? Gagal dalam berusaha, adalah hal yang biasa. kenapa harus malu? Lagi pula, kalau tahun depan, takutnya karena waktu semakin longgar, dan antunna berleha-leha, maka hafalan antunna… ."

Aku tak bisa meneruskan ucapanku, begitu melihat wajah bergidik mereka. Aku sendiri tak bisa membayangkan, hafalan yang ditanam, dipupuk dan dirawat sekian tahun, tercerai berai gara-gara kesalahan sendiri. Kesalahan yang dibuat-buat. Berleha-leha. 

"Tapi,"  lirih Nadhirah.

"Bagaimana, kalau antunna simaan dulu sama ana? Nanti ana catatkan apa-apa kesalahannya, dan juga kesulitan-kesulitan lainnya. Setelah itu antunna coba memberbaiki kesalahan yang ana catatkan dan menaruh perhatian pada kesulitan antunna yang ana catatkan.


Gimana?  Masing-masing mendapat waktu dua hari buat bergiliran. Kita berempat, sama-sama saling menjaga. Bisakan? Mau kan Fadia membantu kami?" Tanyaku sambil memalingkan pandangan ke arah Fadia. Fadia mengangguk pasti. 

“Nah, sekarang bagaimana dengan antunna? Mau kan mencobanya? Ada waktu tiga hari untuk memperbaiki kesalahan dan mengatasi, mencermati ayat-ayat mutasyabbihat. Mau kan? Ayolah, ini kesempatan! Tak apa kita berlelah-lelah seminggu ini, ya."

Nadhirah dan Habibah saling berpandangan, tatapan-tatapan mereka seakan-akan pinta pendapat satu sama lain. Beruntungnya mereka memang sangat akrab, setidaknya mereka bisa saling menguatkan.

"Baiklah Ustadzah, akan kami coba," balas Nadhirah dan Habibah berbarengan, spontan juga melahirkan tawa yang menggelitik. 

"Oke, hari ini boleh istirahat. Besok kita mulai, siapa yang duluan?" tanyaku penuh semangat. 

"Nadhirah."

"Habibah."

Dua sahabat ini saling menodong satu sama lain membuat kami tertawa.

"Baiklah, kalau begitu nanti kita undi, ya? setuju?”

"Setuju." Koor tiga sahabat itu. Lagi-lagi kami tertawa. Ah, rasanya, aku ingin selamanya mengabdi di pondok ini. 

***



Tidak ada komentar