Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Realita (DCS Part 34)


Detak Cinta Shafura

 Part 34: Realita 



 Setelah menemui Fadia, Nadhirah, dan Habibah tadi, langsung  teringat pekerjaanku yang belum selesai. Hari ini harus selesai. Menyalin nilai santri ke buku raport, memeriksa catatan laporan tahfiz, memberi jawaban kepada Hans. Ah,  pekerjaan ini rasanya berat sekali. Betapa aku masih ingin ikut bersamanya. Walaupun hatiku telah terpaut kepada Zaid, tapi aku merasa pergi bersama Hans adalah jalan yang terbaik. 

Astaghfirullah, bukankah Allah lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya? 

Setelah selesai menyalin nilai ke raport santri, terbersit mendahulukan menulis surat dulu kepada Hans, tapi di sisi lain, aku khawatir akan melibatkan emosi lagi, alih-alih nanti malah menelantarkan pekerjaan lainnya. Maka kuputuskan memeriksa catatan tahfiz santri dulu. 

Ada kebahagiaan lagi yang menyusup ruang hati, ketika menatap satu persatu catatan-catan tahfiz santri. Ada yang baru 3 juz, 6, bervariasi, bahkan yang sudah 15, 20, bahkan 21 juz. Anugerah yang sangat indah buatku. Betapa aku bahagia melihat hasil ini, dan aku tak ingin kebahagiaan hilang karena kelalaianku.

Langsung saja aku catat nama-nama santri disertai dengan berapa hafalan mereka. Mereka akan kuberi tugas, menguatkan hafalan dulu, setelah itu mereka akan ikut tes hafalan halaqah 3, juz, 6, juz, 9, 12, 15, 21, 24, dan 27 juz. 

Sebenarnya sistem di sini menggunakan sistem kelas perlima juz. Kelas satu mereka yang hafalannya di lima juzz pertama. Begitu seterusnya perlima lima juzz, puncaknya di kelas enam. 

Tapi berbeda denganku. Aku dikhususkan memegang santri yang mempunyai banyak masalah dalam proses menghafalnya, atau dengan kata lain, mereka paling terlambat dalam menghafal. 

Dengan fokus memerhatikan mereka maka akan menemukan kelemahan mereka. Seperti Helena, ia kesusahan beradaptasi dengan lingkungannya sehingga perasaannya selalu buruk hingga akhirnya juga berpengaruh pada kesehatannya. Kesehatan buruk juga akan berdampak pada kinerja fisik dan otak. 

Beda lagi dengan Cahya. Cahya ternyata memang daya ingatannya sangat lemah, tapi ia antusias dalam ilmu. Karena itulah, aku pinjamkan buku tafsir yang telah diberikan Zaid padaku. Alhasil, ternyata hasil luar biasanya. Ia menghafal dengan pemahaman. Tahun pertama dia sangat kesulitan, ia sempat menyerah. Alhamdulillah, setelah dengan memakai metode ini, dua tahun ia bisa ikut tes untuk tahun ini. 

Alhamdulillah. Semoga Allah mudahkan. 

Mereka tak kuizinkan menambah  hafalan, sebelum mereka lulus dalam halaqah-halaqah tes tersebut, sesuai hafalan yang mereka miliki. Aku tak ingin apa yang menimpa padaku, terjadi pada santri-santri bimbinganku juga. Cukup satu kali kehilangan tongkat. 

Dulu aku terlalu bernafsu menyelesaikan hafalan. 3 tahun sudah kuselesaikan setoran 30 juz, tapi giliran persiapan tes, ternyata hafalanku berantakan. Fokusku, saat itu hanyalah menambah dan menambah, sehingga aku keteteran dalam menjaganya. Alhasil, hampir dua tahun kemudian, baru aku bisa menyempurnakan 30 juz. Satu tahun mengabdi, tahun berikutnya baru aku mengikuti program alim. Program menelaah kitab-kitab. 

Aku sangat menyesali kerakusan dalam menghafal, kini kurasakan hikmahnya. Setidaknya tidak akan terjadi pada anak bimbinganku, selama mereka mau patuh dengan petunjuk yang kuatur. In sya Allah.

Lima orang 3 juz, dua orang 9 juz, dua orang 12 juz, tiga orang 15 juz, sisanya lima orang, belum mencapai 3 juzz.

Dibanding Ustadzah yang lain, aku yang paling sedikit memiliki murid. Tapi, Alhamdulillah. 

Terima kasih, Ya Allah, semoga semua pahala ini mengalir kepada semua orang yang telah ikut membantuku berada di sini.

Sekarang tinggal menulis surat untuk Hans. Aku tersanjung dengan perhatian Hans padaku. Gadis mana yang tidak tersanjung dengan perhatian seorang Hans? Hans, yang sempat menjadi tempat harapanku. Membawaku pergi ke Mesir. Namun, Allah berkehendak lain. Semoga Hans memahami dan tidak terluka dengan jawaban yang akan kukirim padanya. 

"Assalamu ‘alaikum warahmatullah. 

Kaifa hailuk, ya Akhi? Semoga Allah selalu menjaga dan merahmatimu selalu. aamiin. 

Pertama, ana ucapkan Terima kasih atas segala kebaikan dan perhatian yang antum berikan padaku. Ana sangat tersanjung. Ana tersanjung dengan lamaranmu,  tersanjung dengan ajakanmu ke Mesir. Sungguh, ana sangat tersanjung sekali. semoga Allah juga menyenangkan hati antum.

Sebelumnya ana minta maaf, karena tidak bisa menerima lamaran antum. Bukan ana tak menaruh perhatian pada antum, hanya saja ibu ana telah menerima laki-laki lain untuk ana. Maka tiada jalan lain, selain mentaatinya. maafkan atas kelemahan ana. Semoga antum tidak terluka dan dapat memahaminya.

Semoga antum menemukan gadis shalehah yang cocok untukmu, yang bisa menemanimu belajar ke mana pun. Gadis yang taat pada Allah, Rasul-Nya, dan padamu.

Baarakallahu fikum. Jazakallah khairan katsira.  

Wassalam. 

Silmi.

Tanpa sadar, air mataku menetes. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaan ini, ketika menulis surat, dan aku sendiri bingung kenapa begitu. Ada rasa haru, tapi ada juga rasa sedih. Sedih kenapa? Bukankah aku tak mencintai Hans? Bahkan, niatanku menerima hanyalah aku ingin Hans membawaku sejauh mungkin. Lantas kenapa aku sedih atas apa yang terjadi? Apakah aku mulai menyukai Hans? Entahlah. Kurasa aku normal, bila aku mulai menyukai laki-laki seperti Hans. 

***

"Belum tidur, Silmi?"

Aku mengangkat kepalaku, memandang ke arah suara. Syifa. 

"Belum ngantuk. Anti sendiri?"

"Tadinyaa sudah tidur. Barusan terjaga, dan kulihat anti tidak ada di kamar. Jadi ana ke sini. Ana yakin betul, anti ada di sini."

Syifa ikut bersandar di dinding, tempat yang biasa aku kunjungi untuk berbagi kisah. 

Tanpa sadar aku melirik pergelangan. Aku lupa. Arlojiku sudah tidak bersamaku lagi.

"Sudah jam berapa?"  tanyaku lirih. 

Syifa memandangku sesaat, beralih ke pergelangan, lalu berucap, "Hampir jam 12. Arlojinya mana? Sudah dimuseumkan?"

Nada mengejeknya membuatku tersenyum.

Syifa bersandar di dinding dengan mata terpejam. "Kenapa belum tidur? Masih belum move on?"

"Tidak. Ana cuma ingin merenung, setidaknya untuk malam ini, ana ingin menatap langit. Besok-besok, ana akan sibuk. Persiapan tes untuk Fadia, Habibah dan Nadhirah. Dan ana sudah meminta anak-anak ana tes halaqah per lima juz. ”

Syifa membuka matanya, lalu menghadapi. 

"Silmi, bukankah setelah tes selesai, kita menyiapkan persiapan acara khataman? Dan itu bisa juga melibatkan santri, tak terkecuali anak-anak yang ada di bawah pengawasanmu?"

"Iya, ana sadar itu. Semuanya sudah ana catat, rencananya sesudah selesai mendengarkan hafalan Fadia, Nadhirah dan Habibah. Ana sudah mengkonfirmasi, siapa-siapa yang siap menjadi penjaganya." 

"Kenapa, anti begitu berambisi mengatur semua ini? Bukankah anak-anak bisa tes halaqah, setelah mereka istirahat liburan dan masuk kelas lagi?"

“"Ana tak yakin, apakah ana masih di sini setelah itu," sahutku berusaha menahan gelombang di hati.

"Apaa?" Syifa mengangkat alis, “"apa, anti mau keluar dari sini, setelah pernikahan Ustadzah bAisyah?"

"Mungkin begitu. Bukan karena pernikahan Aisyah dengan Zaid."

"Lantas?"

"Karena ana sudah ditunangkan."

"Masya Allah… ."

Mata Syifa berbinar. Mendadak binaran matanya pun turun seketika, karena melihat sikap sayupku, "dengan siapa?"

“Fahri, Kakaknya Zaid."

"Apa???" Syifa menjerit tak percaya, "Fahri, kakaknya Zaid? Apalagi ini, Silmi?"

Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya. 

“Ini kenyataan, Syifa,"  tegasku.

"Bagaimana dengan anti? Maksudku..., ana sendiri tidak tahu harus ngomong apa. Anti mencintai Zaid, tapi anti menikah dengan kakaknya. Ini, sulit dimengerti."

"Beginilah yang realitanya, Syifa," sahutku. Pandanganku kosong, menerawang entah kemana. Seakan-akan menembus angkuhnya dinding yang ada di depanku. 

"Andai..., andai ana bisa. Ana pun tak ingin seperti ini. Bahkan sebelumnya, ana ingin pergi dari sini, ikut Hans. Tapi, tanpa ana ketahui, Ibu telah menerima lamaran Fahri.”

“Hans?"  Syifa memiringkan kepalanya.

"Iya, Hans sempat melamar ana, dan dia mengajak ke Mesir karena dia ingin kuliah di sana. Kupikir inilah jalan yang ditawarkan Allah untukku, agar bisa jauh dari Zaid. Ternyata tidak, malah semakin dekat."

"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"

Tidak ada komentar