Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Tanggung Jawab Mahram (DCS Part 32)

 

Detak Cinta Shafura

 Part 32: Tanggung Jawab Mahram 



“Terima kasih, Kak.” 

Kak Sakti hanya mengangguk, sambil menurunkan tas pakaianku dari motornya. Laki-laki pendiam ini wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Mungkin karena sejak kecil ia sudah bekerja keras dan selalu serius. 

Kutarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan secara perlahan. Lega sekali. Perjalanan selama 6 jam, memerlukan perjuangan bagiku. Beruntungnya selama itu aku bisa bersenandung sambil tilawah menghilangkan kejenuhan. Aku merasa terkesan ketika menyadari, ternyata aku bisa tilawah sebanyak 6 juz. Hmm.. 1 juz, satu jam, bukan hal yang baik. Terlalu lambat. Namun patut disyukuri.

"Hei, kenapa melamun di situ?" Kak Sakti menyadarkanku. Tasku sudah ada di teras rumah Kak Saada, dan Kak Sakti duduk mendekati motornya. Sepertinya Kak Sakti masih sibuk, sehinga tak menyempatkan mampir ke rumah Kak Saada. Tiba-tiba ada pertanyaan yang menggelitik hatiku. 

"Kak.”

"Hmm…." Kak Sakti mematikan motornya.

"Kakak tahu ga, kalau perempuan itu dilarang bepergian jauh kecuali dengan mahram?"

Tanyaku hati-hati. Aku tak mengatakan dia buta agama, tetapi kakakku yang satu ini memang bukan laki-laki yang sangat paham agama. Kak Sakti sebagaimana orang-orang pada umumnya. Islam itu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Hanya itu. Tak tahu tentang hukum hijab, tentang hukum pergaulan, dan lain sebagainya dalam agama Islam.

Kak Sakti menggelengkan kepalanya sambil menautkan dua keningnya, sebelum meluncurkan kata. 

"Tidak tahu. Kenapa?"

Ia turun dari motornya.

"Tidak apa-apa, Silmi cuma heran kenapa Kakak berusaha menyempatkan mengantar dan menjemput Silmi? Padahal Kakak tidak tahu, bahwa itu kewajiban Kakak."

"Hmm.."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa Kakak mau-maunya menyempatkan diri meluangkan waktu untuk Silmi, padahal kan Kakak sendiri sibuk, dan Kakak kan bisa menyuruh Silmi pulang sendiri naik taksi?"

"Oh.. itu," kembali alisnya bertautan, seakan-akan dia sendiri baru menyadari apa yang telah dilakukannya padaku. 

"Mungkin, karena kakak menyayangimu. Di mata Kakak, kamu seperti bunga yang cantik dan polos yang harus dilindungi. Kamu terlalu lemah, untuk menghadapi ganasnya embusan angin luar atau tangan-tangan jahil."

Seketika air mataku merembes keluar tanpa bisa kucegah lagi. Betapa beruntungnya aku memiliki kakak laki-laki seperti Kak Sakti. Meski ia belum memahami hukum perempuan bepergian, setidaknya rasa tanggungjawabnya begitu besar dan cermat.

"Lho, kenapa menangis? Apa Kakak salah bicara?"

"Tidak, Kak. Silmi cuma terharu. Semoga suatu saat Silmi bisa membalas kebaikan Kakak."

Kata-kataku terasa bergelombang. Aku benar-benar tak tahan menahan rasa haru. Sejak kecil aku selalu dikelilingi orang-orang istimewa.

"Sudahlah. Melihatmu seperti ini, Kakak sudah senang. Berapa banyak santri yang kamu ajarkan, sebanyak itu mengalirkan kebahagiaan di hati Kakak," Mata Kak Sakti mulai berkaca, namun dengan cepat dia menutupi dengan gurauan. 

“Hei sudahlah. Hapus air matamu, kamu tahu tidak? Air matamu itu bisa melumpuhkan laki-laki sekuat Mike Tyson."

Aku langsung tergelak. Tiba-tiba aku pun teringat perkataan Zaid pagi tadi.

Ayolah, Silmi, hapus air matamu. Jangan sampai aku melakukan kemaksiatan dengan menyentuh pipimu untuk menghapus air mata.”  

“Bahkan bisa menghanguskan iman laki-laki yang kuat agamanya,” batinku.

Aku merengsekkan badan ke tubuh Kak Sakti. Seketika tangan Kak Sakti langsung merengkuhku. 

"Kakak harus melindungiku sampai aku menikah."

"Pasti. Dan walaupun sudah menikah, aku pastikan melihatmu bahagia. Akan aku hajar Fahri kalau dia berani menyakitimu."

Aku tertawa. Pada saat bersamaan air mataku merembes. Aku bertanya-tanya mengapa aku tidak melakukan ini pada ibu dan Kak Saada? Apakah karena Kak Sakti seorang laki-laki sehingga aku merasa aman?

"Aku tak sadar, ternyata kau sudah sebesar ini dan tak lama akan menikah."

Aku mengeratkan pelukanku. 

"Maafkan Kakak. Kakak dulu terlalu sibuk bekerja, jadi tidak banyak menemani dan menjagamu."

Aku melepaskan pelukanku. Lalu menggelengkan kepala. 

"Kakak sudah banyak berbuat untukku. Silmi bangga punya saudara seperti Kakak."

Kak Sakti tersenyum.  Tangan kasarnya terangkat, mengusap wajahku. 

"Masuklah."

Aku mengangguk.“"Kakak tidak masuk dulu?"

"Nanti saja, Kakak masih banyak pekerjaan. Kakak pergi dulu, ya," seru Kak Sakti sambil menghidupkan kendaraannya.

Aku mengangguk,“"hati-hati di jalan."

Kak Sakti mengangguk, "Titip salam buat Kak Saada, sampaikan maafku karena tidak mampir dulu, Assalamu alaikum."

“"Wa alaikum salam warahmatullah."

***

Benar seperti dugaanku, begitu melihat gangan yang kubawa, Kak Saada langsung meluncur keluar rumah mencari ikan gabus bakar, bahkan kalau bisa ikan kerapu bakar, celotehnya sambil mengeluyur pergi. 

"Lama sekali belinya? Jauh, ya?" tanyaku sambil memperhatikan cara makannya yang seperti orang kelaparan.

"Iya jauh sekali. Sebenarnya kalau ikan gabus, di sekitar sini ada yang jualan, tapi aku ingin makan ikan kerapu, dan aku ingat di Komplek Handayani ada jual ikan kerapu bakar. Untungnya mereka jual hari ini, jadi pengorbananku tidak sia-sia," sahutnya sambil mengunyah. Aku tersenyum geli. Sepertinya nikmat sekali di lidahnya. 

Senyumku lenyap begitu saja, ketika dia bertanya, sambil menatap piringku.

"Silmi, makananmu masih banyak?"

Aku menatap pasrah piringku, yang hanya berlubang sedikit. Selera makanku benar-benar buruk.

"Bukankah ini juga sayur kesukaanmu, tapi, kenapa? Ada masalah?" tanya Kak Saada perhatian. "Sudahlah, makan dulu! Nanti kalau ada yang diceritakan, aku siap mendengarkan."

Aku menurut saja perintahnya, walaupun aku benar-benar tak merasakan kenikmatan gangan karuh  ini. Apa indera rasaku bermasalah? 

"Nah gitu dong, kalau sudah selesai makannya, kita bisa membicarakannya," seru Kak Sa’ada begitu melihat piringku sudah licin. Kak Saada memajukan tubuhnya.

"Ada masalah apa? Sampai-sampai makanan favoritmu sendiri, tidak kamu nikmati?"

Aku tak langsung menanggapi, aku berdiri untuk membereskan bekas kami makan.

"Tak usah, nanti saja. Mumpung Aina dan Aiman belum pulang. Kalau ada mereka kita tidak bisa bebas bicara. Katakan. Ada apa?

"Aku bertunangan dengan Kak Fahri," lirihku berusaha datar.

"Apa? Fahri, kakaknya Zaid?" tanya Kak Sa’ada dengan mimik tak percaya. "Kok bisa? Gimana ceritanya?"

Kepala Kak Saada manggut-manggut menerima ceritaku, sesekali senyum mengembang, senyum jahil menyela di wajah. 

"Sekarang, bagaimana denganmu?"

"Aku?"

"Iya, apa kamu sudah siap menikah dengan Fahri?" Kak Saada tekanan di ujung kalimatnya.

"A-a-ku...." 

Sewaktu Zaid mengatakan semuanya akan-akan baik saja, aku percaya saja. Aku siap menjalani takdir yang akan jalani, menikah dengan Kakaknya Zaid. Tapi setelah melihat getaran dan keringat lembut di tangannya, hatiku mulai bimbang. Terlebih lagi setelah dia hilang dari pandanganku, rasa kehilangan menerpaku.  Kepercayaan itu hilang.

"Kenapa?" tanya Kak Saada penuh perhatian. 

"Entahlah, Kak.” Ingin rasanya aku menangis."

Tangan Kak Sa’ada meraih tanganku dengan lembut, “katakan. Siapa tahu, kita bisa mencari penyelesaiannya, atau setidaknya perasaanmu sedikit nyaman.” 

Kak Sa’ada mengangguk, setelah melihat keraguanku.

"Tadi sewaktu Zaid bilang semua akan baik-baik saja. Aku percaya, tapi setelah kami berpisah, keyakinan itu luntur, bahkan hilang. Aku tak yakin, apakah kami bisa, baik-baik saja, sebagai iparan."

 Setelah kerinduan kami begitu memuncak. Aku tak yakin bisa sebagai iparan. Beberapa kali bertemu saja, hatiku bergetar hebat. Aku yakin Zaid juga merasakan hal yang sama. 

Air mataku meluncur begitu deras, terlebih lagi jika ingat berkali-kali ia memegang pundakku. Sepertinya itu sudah refleks saja yang sudah terbiasa dari dulu.

 Pada titik ini, aku merasa tidak adil pada takdir. Bagaimana pun mungkin takdir tidak menyatukan kami yang saling menyayangi, tapi tidak juga memisahkan jauh, bahkan mengikatnya dalam ikatan kekeluargaan. 

Bagaimana kami bisa menguasai perasaan kami? Ironisnya, kesempatan bisa saja terjadi. Lengah sedikit, setan akan menjebak kami. Bayangan ketika Zaid membopongku, menyentuh pundak, memasang arloji ke pergelangan berkelabat di benakku. Astaghfirullah, tak seharusnya kami melakukan ini. Seharusnya aku bisa menolaknya. 

Ampuni kami, Ya Allah. 

"Serahkan semuanya pada Allah," lirih Kak Saada dengan pandangan lembut. Aku merasa menjadi manusia yang paling malang saat ini. 

"Dan kita berlindung kepada Allah, dari godaan setan yang menyesatkan. Istighfar sebanyak-banyaknya. Kakak mengerti, betapa dalamnya kasih sayang yang tertanam sejak kecil, tapi sadarilah, kalian tidak halal untuk memendam rasa itu."

Kalimat terakhir Kak Saada begitu menusukku. Kami memang tak pantas mempunyai rasa sejauh ini. Kasih sayang sayang kami seharusnya sudah berakhir, sejak haid pertama, begitu juga Zaid semenjak dia mengalami masa baligh. 

Sesal, saat ini sesuatu yang percuma. Yang dipikirkan bagaimana menghilang rasa kerinduan kami?

"Apa, Kakak perlu ngomong sama Ibu?" Gumam Kak Saada mengejutkanku.

"Jangan. Ibu sepertinya sudah curiga, sejak kami ada di kamar tadi. Dibicarakan sama ibu pun, mau gimana. Kita tidak mungkin memutuskan pertunangan ini tanpa alasan. Tante Kurnia akan bertanya lebih dalam, karena beliau sudah menganggapku seperti anak beliau sendiri."

"Ya, sudah. Sekarang, tinggal kamu yang mau bagaimana menyikapi kenyataan ini. Sudahlah. Kalau memang kita tak dapat berbuat apa-apa, jadi sebaiknya kita jalani saja. Jangan bebani dengan pikiran yang macam-macam. Padahal semua itu juga belum tentu terjadi. Ayolah, tetap semangat.”

Kalimat terakhir Kak Saada, membuatku langsung tertawa. Walaupun hatiku mengatakan tak semudah itu. Namun, untuk saat ini, tak ada jalan lain selain ‘menikmati jalan yang ditentukan


***

Tidak ada komentar