Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Laki-laki Pilihan Ibu (DCS Part 28)

 Detak Cinta Shafura

 Part 28: Laki-laki Pilihan Ibu 



"Kamu sakit, Silmi?"


Ibu memperhatikan cara makanku yang lamban malam ini.

Aku menggeleng. 

"Mungkin karena kelelahan, Bu. Habis piknik tadi."

Kelelahan lahir batin. Terlalu banyak beban dalam pikiranku. Zaid benar-benar meremukkan perasaanku, kakaknya yang membuatku selalu siaga, sedang Farah hampir saja membinasakanku. Kenapa aku terjebak dalam tiga bersaudara itu?

Ibu mendesah. 

"Sayang sekali. Padahal ibu sudah masakkan sayur kesukaanmu."

Ibu sambil memberikan sebuah mangkok yang berisi gangan karuh. Sayur yang kuahnya keruh, karena diolah dari pisang mentah, jantung pisang, kangkung, singkong, dan ikan segar. Kekeruhan kuah ini, bukan karena bahan-bahannya yang mengandung getah. Keruhnya kuah ini dikarenakan ikan segar. Makin banyak ikannya, makin keruh dan kental kuahnya, membuat rasanya semakin enak. Ini adalah sayur favoritku. Sayang sekali, selera makanku lagi memburuk, bahkan lidahku tidak merasakan apa-apa. 

Zaid, Fahri dan Hans.

Andai saja, andai.., andai dan andai, kata andai adalah perangkap setan. Sekarang dengan kehadiran Fahri, ketampanan dan kemapaman hidupnya, tentu saja masuk dalam list pertimbanganku, andai saja dia bukan Kakaknya Zaid. Andai lagi.

Hans. Tanpa disuruh Zaid pun aku tetap mempertimbangkan Hans. Namun, mengingat suruhan Zaid, mengapa mempertimbangkan Hans jadi terasa menyakitkan?

"Apa yang kamu pikirkan, Silmi?" 

Kata-kata lembut Ibu menembus alam pikiranku. 

"Tidak apa-apa, Bu. Silmi hanya cape," kilahku. 

Aku tak mungkin bisa menceritakannya pada Ibu. Beruntung ibu, tak terlalu memaksa.

"Oh, iya, temanmu si Minah, kemarin baru melahirkan."

"Minah?"

"Iya, Minah. Kamu sudah lupa?"

Susah payah aku berusaha mengingat. Yang teringat hanyalah teman-teman pondokku. Tak ada yang namanya Minah. Lagi pula mana mungkin ibu tahu temanku di pondok. Minah? 

"Teman SD kamu."

"Oh, Iya, Minah. Hah, sudah punya anak?” tanyaku. 

“Iya. Bukan cuma Minah yang punya anak, teman-temanmu yang lain juga ada yang punya anak. Masitah, Nursinah."

Aku sudah mulai paham arah pembicaraan Ibu. Apakah aku salah jika belum menikah? Lagi pula umurku baru 23 tahun, di perkotaan gadis seusiaku masih belum dinyatakan perawan tua. Namun, bagi Ibu yang tinggal di pedesaan, mungkin dengan usiaku begini, sudah membuat ibu malu. Aku menelan ludah. 

“Galuh, apa tidak ada laki-laki yang menyukaimu?" 

Ibu memanggilku ‘galuh. Panggilan sayang buat anak perempuan di sini. Tetapi bagiku panggilan itu penekanan eratnya hubungan. Semakin erat sebuah hubungan, semakin dalam harapan tersimpan. Wajar saja jika ibu berharap karena aku anaknya. 

Aku hanya menunduk lemas. Aku tak berani menatap mata Ibu yang penuh harap. Kumasukkan suapan terakhir ke mulut. Lidahku serasa beku, yang terasa hanyalah hambar. Haruskah kuceritakan pada ibu, tentang Fahri dan Hans.

"Mmm, ada, Bu, tapi Silmi belum bisa mengambil satu keputusan, karena Silmi harus mempertimbangkan matang-matang."

"Siapa? Ceritakanlah. Siapa tahu Ibu bisa memberi masukan."

"Kak Fahri dan seorang santri putra di pondok, namanya Hans."

“Fahri? Putranya Bu Kurnia?” tanya Ibu dengan berbinar. Firasatku mulai tidak nyaman. 

Kepalaku mengangguk lemah. 

"Keduanya ingin melamarmu?"

Lagi-lagi hanya anggukan sebagai jawaban.

"Lalu kamu pilih siapa?”

“Hans," jawabku, sambil menatap wajah Ibu. Aku ingin melihat bagaimana ekspresi Ibu, ketika disebut pilihanku. Benar saja, Ibu sedikit terkejut mendengar pilihanku. 

"Kenapa kamu memilih Hans?"

"Karena....”

Kutatap ibu sejenak. Beliau masih sabar menunggu jawabanku.

"Karena Hans akan membawaku ke Mesir. Dia akan kuliah di san. Ini kesempatanku untuk belajar di sana."

Wajah Ibu langsung pias mendengar penjelasanku. 

“Bu,” aku meraih tangannya. Aku ingin menjelaskan, semuanya akan baik-baik saja. 

"Kamu mencintainya?" tanya ibu pelan.

Cinta? Kata itu hanyalah menggambarkan wajah Zaid. Mengingat Hans, yang terngiang hanyalah anjuran Zaid. Anjuran Zaid bagai sembilu yang selalu mengiris jika mengingatnya. 

Tapi aku tak bisa menepisnya. Hans, tidak rugi jika aku menerima cinta Hans. Paham agama, tampan, dan akan membawaku ke Mesir. Aku bisa belajar di sana. Walau Ibu takkan setuju dengan hal ini.

"Kamu mencintainya?" Ibu mengulangi pertanyaannya.

Kepalaku mengangguk lemah. 

"Kamu berbohong, Silmi. Bohong pada Ibu dan dirimu sendiri."

Mataku membulat. Apakah ibu bisa menebak pikiranku. 

"Kamu gadis polos, Silmi. Kamu tak bisa berbohong. Matamu yang menjelaskannya.

Aku tertunduk malu. Mengapa tak bisa membohongi Ibu? Pandangan Ibu terlalu tajam dalam hal ini. 

"Tapi, pilihan Silmi tidak salahkan, Bu."

Ucapku lesu tak berani menatap mata Ibu. 

"Jika kamu tidak begitu mencintainya, Ibu minta, menikahlah dengan Fahri.”

"Ibu… ," suaraku tercekat, mataku nanar dan mulai berair. 

"Apa yang kurang dengan Fahri?"

Kekurangan Fahri? Tak ada. Kecuali dia adalah kakaknya Zaid.

"Kepahaman agamanya." 

"Kepahaman agama?” Ulang Ibu tidak mengerti.

Aku tak mengerti kenapa aku bilang begitu. Aku masih tidak suka dia mengikutiku sewaktu di pondok penginapan tadi. Andai dia paham agama, tak mungkin mengikutiku, memegang pundakku tanpa rasa bersalah, di tempat sunyi lagi. Tapi ini, bukan alasan yang tepat disampaikan kepada Ibu. Bagi Ibu, shalat lima waktu, puasa, menunaikan zakat, berkelakuan baik, itu sudah dibilang tahu agama. 

"Kepahaman agama seperti apa maksudmu? Fahri pemuda yang baik dan dari keluarga baik-baik. Ibu rasa kamu lebih mengenal dari Ibu, karena kamu sangat akrab dengan mereka. Mereka juga menyayangimu. Lantas kenapa kamu tidak menerima lamaran Fahri?” 

Aku ingin bicara panjang lebar. Aku ingin menjelaskan situasinya. Namun percuma. Bagi Ibu kekerabatan adalah segala-galanya. 

"Silmi lelah, Bu. Mungkin lain kali saja kita bicarakan," kataku sambil beranjak pergi. Aku menyesali tidak membantu Ibu, membereskan bekas kami makan, tapi apa boleh buat. Aku ingin cepat-cepat merebahkan diri.

"Silmi,"  panggil Ibu. 

"Iya, Bu." Aku sudah ada di pintu kamar.

"Ibu minta, pertimbangkan lamaran Fahri. Sa'ada dan Sakti, sudah tidak tinggal di sini lagi. Dan kamu, bolehkan Ibu berharap padamu? Tinggal berdekatan dengan Ibu?" Kata-kata lembut Ibu membuat dadaku sesak. 

Aku terenyuh mendengar penuturan Ibu. Aku pun ingin tinggal dekat dengan Ibu. Andai bukan Fahri, andai bukan kakaknya Zaid, mungkin aku bisa mempertimbangkannya. 


***


"Kak Zaid, Tante?" seruku heran, sambil duduk di kursi ruang tamu. Tante Kurnia dan Kak Zaid kerumahku. Ada apa? 

"Kamu sakit, Silmi? Wajahmu pucat sekali?" tanya  Zaid.

Malam tadi aku memang tak bisa tidur. Padahal tubuhku lelah sekali, sayangnya pikiranku terlalu sibuk. Sampai akhirnya jam menunjukkan jam 3 lebih. Maka aku memutuskan bangun untuk shalat dan tilawah sampai azan subuh. Setelah shalat subuh barulah aku terlelap.

"Tidak. Eh, Tante dan Kak Zaid menunggu lama, ya? Maaf, Silmi tadi ketiduran." Aku menoleh ke arah Tante Kurnia. 

Wajah Zaid masih terlihat cemas. Aku merasa senang menyadari hal ini, tapi ini tidak berlangsung lama. Sosok Aisyah hadir lagi, menoreh perih di hati. 

"Tidak juga. Silmi, Sepertinya kamu tidak sehat, ya?"” tanya Tante Kurnia lembut.

“Ah, tidak Tante, mungkin hanya cape sedikit. Oh, iya Silmi buatkan minuman dulu," seruku sambil berdiri. Aku tak tahan lagi dengan perhatian mereka.

"Jangan, Silmi!" cegat Tante Kurnia. 

"Kami ke sini, untuk memintamu menemani kami, membeli barang-barang untuk keperluan Aisyah. Kamu teman  dekatnya, jadi kamu sedikit banyak tahu seleranya, bahkan mungkin kamu juga tahu ukuran yang pas untuknya."

Aku menelan ludah. Aku memilihkan barang-barang untuk Aisyah? Calon istri  Zaid? Kenapa harus aku? Kupandang wajah Zaid. Wajahnya dilumuri perasaan tidak nyaman.

"Aisyah? Aisyah siapa ya, Nia?" Tanya Ibu. Sesaat Ibu telah menyelamatkanku. Tante Kurnia tidak menyadari kekakuanku. 

"Oh, iya, Ramlah. Aku lupa cerita dulu. Ini si Zaid sudah bertunangan, dengan anaknya Kyai Ibrahim pemilik pondok tempat Silmi menghafal. Aisyah nama panggilannya. Dan kebetulan Aisyah ini katanya sangat akrab dengan Silmi. Jadi mumpung Silmi ada di sini, kami minta temani oleh Silmi untuk membeli keperluan barang-barang untuk Aisyah. Kamu bersedia kan, Silmi?" kata Tante Kurnia memohon. 

Sejenak aku terdiam. Bukan aku tak ingin membantu, tapi aku tak ingin terus-terusan membayangi Zaid. Kasihan Zaid. Tapi bagaimana aku menolaknya?

"Silmi," tegur Ibu. 

"I… iya, Silmi bersedia, Bu,” sahutku terbata-bata.


Tidak ada komentar