Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Melihat Hari-harimu (DCS Part 29)

 Detak Cinta Shafura

 Part 29: Melihat Hari-harimu 



Sejenak aku terdiam. Bukan aku tak ingin membantu, tapi aku tak ingin terus-terusan membayangi Zaid. Kasihan Zaid. Tapi bagaimana aku menolaknya?


"Silmi," tegur Ibu. 

"I… iya, Silmi bersedia, Bu," sahutku terbata-bata.

Zaid  sepertinya tidak sependapat dengan kesediaanku. 

Tante Kurnia tersenyum puas. Dan sepertinya ibuku juga. Aku tak tahu apa yang dipikirkan oleh ibuku. 

"Oh, iya. Kapan acaranya?" tanya Ibu.

"Bulan depan. Ramlah bantu-bantu kami, ya!"”

"Insya Allah, Nia."

"Nikahnya tanggal 29 Juni tapi di Banjarmasin, di kediamannya Kyai Ibrahim. di sana mereka mengadakan resepsinya, minggu depannya barulah kita adakan resepsinya di sini, sedangkan acara hantarannya, tanggal 15, tidak sampai setengah bulan dari sekarang," kata Tante Kurnia penuh kebahagiaan. 

Serasa ada sembilu melintas di dadaku. Wajah Zaid terlihat tak perdaya. Aku telah membuatnya menderita. Bukan. Tetapi, kami menderita. Tak mudah melabuhkan cinta dan rindu, kepada orang yang bukan kita cinta. Tak mudah melepaskan adanya rasa ingin kebersamaan dengan orang yang kita cintai.  

Kukira kelebihan yang dimiliki Aisyah, sudah cukup buat Zaid untuk bisa mencintai Aisyah. Anjurannya mempertimbangkan Hans, semakin kumemahami arti cinta. Cinta tidak butuh kesempurnaan. Tapi kebersamaan dengan saling memahami dan memberi.

Ya Allah, bimbinglah hati-hati kami. 

Atas petunjuk Tante Kurnia, Zaid menepikan mobilnya, kami memasuki halaman sebuah butik. Pantulan cahaya matahari sore melintasi halaman yang luas, menembus pintu kacaa. 

Di kiri kanan pintu dipajang gaun yang dipasang di manekin. Tanpa sadar aku tanpa sadar menelan ludah. Pasti baju-baju di dalam butik ini mahal-mahal. 

"Kurnia," panggil seseorang begitu Tante Kurnia keluar dari mobil. Tante Kurnia langsung mencari asal suara. Membuatku tertahan di dalam mobil. 

"Hei, Salimah. Apa kabar?" jerit Tante kurnia, sambil mendekati perempuan paruh baya itu. Sepertinya mereka teman yang lama tak bertemu. Terlihat mereka sangat akrab.

"Silmi!”

Aku menoleh ke arah belakang setir mobil. Zaid memanggilku.

"Iya?" 

Zaid membalikkan badannya, "Maafkan aku. Aku sudah menjelaskan, seharusnya Aisyah langsung yang memilihnya, dan membujuk Mama agar tidak melibatkan kamu. Tapi gagal. Maafkan aku.”

Hatiku perih menyaksikan wajah penuh penyesalannya.  Wajahnya pucat dan tirus.

"Tak apa-apa. Aku malah senang ikut dilibatkan dalam urusanmu dengan Aisyah. Aku senang sekali. Dengan senang hati,  aku akan memilihkan barang-barang yang disukai Aisyah, dan aku yakinkan, Aisyah akan tampil cantik di depanmu. Aku janji. Tenanglah. ”

Kata-kataku lancar, semulus jalan tol lagi lenggang. Begitulah aku, jika keinginan untuk membahagiakan orang lain terbit, apapun bisa kulakukan, walaupun menyakiti diri sendiri. 

"Kamu tak pernah berubah, ya," sahut Kak Zaid lembut.

“Sifat inilah yang membuatku jatuh cinta padamu." 

Keadaan berubah menjadi hening. 

Tante Kurnia kembali membuka pintu mobil. 

"Ayo keluar, kenapa kalian masih di dalam mobil?"

Aku menurut, begitu juga Zaid. Kami melangkah ke dalam butik.

“Tersenyumlah, Kak. Kebahagiaan akan menghiasi hari-harimu," seruku, sambil memandangi Tante Kurnia yang memasuki pintu butik.

“Bagaimana denganmu? Bisakah kau tersenyum melihat hari-hariku?"

Langkahku terhenti karena Zaid tiba-tiba berhenti di depanku. Tangan Zaid memegang pundakku. Aku langsung menepisnya.

"Maaf, aku lupa. Kamu bukan Silmi kecil lagi. Situasi ini, membuatku ingin kembali ke masa kecil, kembali bersamamu."

Sekuat tenaga aku menyembunyikan gugup.

Kami tak mungkin lagi bisa seperti dulu. Kami sudah dewasa. Kami harus menjaga diri. Ya, mungkin saja persahabatan kami baik-baik saja, andai virus itu, tidak menyusup dalam setiap napas kami. Entah kapan virus itu menyusup, setidaknya perasaan kami tak mungkin seperti dulu lagi.

"Silmi, bagaimana dengan model yang ini?"

Tante Kurnia memperlihatkan gamis merah menyala, dengan renda warna biru, ditambah manik-manik warna warni. Kupandangi  Zaid, dapat kutafsirkan dia tak suka dengan gamis warna mencolok itu.

"Tante, baju yang kita beli, apa untuk keluar rumah atau untuk…?" 

Aku kesulitan menjelaskan pada Tante. Apalagi begitu menyadari, ternyata Tante memakai warna menyala. Kulirik Zaid, wajahnya memelas memohon bantuanku. 

Pandanganku kembali ke arah Tante Kurnia, alis beliau hampir bersambung, pertanda banyak yang tidak dimengerti beliau. 

Ya Allah, lapangkan dadaku, mudahkan urusanku, dan lancarkan lisanku. 

"Begini, Tante," aku mendehem sekali. Aku tak pernah berhadapan dengan seorang ibu yang sebaya dengan Tante Kurnia, selama ini yang kuhadapi hanyalah santri. 

"Kalau untuk keluar rumah, perempuan sunnahnya dengan pakaian berwarna gelap dan harus longgar. Dan Aisyah seringnya memakai pakaian berwarna hitam. Nah, kalau pakaian cantik seperti ini, cocoknya khusus untuk Kak Zaid, dan tak bisa dibawa keluar rumah. Bahkan akan mendapatkan pahala karena telah bercantik diri, demi menyenangkan suami.”

Kesan sangat lembut langsung terasa di kulit begitu aku menyentuh kain gamis ini. Eksprisi wajah Tante Kurnia, masih dilumuri keheranan. Sebaliknya wajah Zaid memerah semu. 

Sesaat Tante Kurnia memandangiku dari kepala sampai ujung kaki. 

"Ada apa Tante? Ada apa dengan Silmi?" tanyaku sambil memperhatikan penampilanku, takut-takut ada yang salah. 

"Beruntung sekali suamimu nanti. Walaupun belum menikah, sepertinya kamu sudah memahami apa-apa seharusnya yang dilakukan seorang istri. Bahkan sudah mengerti bagaimana menyenangkan suami."

Aku benar-benar terkejut dengan kalimat terakhir Tante Kurnia. ‘menyenangkan suami?’ Belum tahu sejauh itu. Pengetahuanku hanya segitu, perempuan hanya boleh bercantik diri untuk suaminya. Untuk menyenangkan suaminya lebih dalam, ya, aku belum tahu. 

"Tapi kenapa pakaianmu tidak hitam?" 

Aku benar-benar tak menyangka dengan pertanyaan Tante Kurnia. 

Kupandang gamis polos yang berwarna abu-abu tua. Aku menyukai warnanya, gamis ini terlihat sederhana bagiku, karena tidak ada tambahan hiasan apapun. Aku sendiri tak pernah terpikir, apakah ini juga termasuk cantik bagi laki-laki.

"Tante, Silmi belum sekuat Aisyah. Pakaian hitam memang sunnah bagi perempuan, tapi tidak ada larangan dengan pakaian warna gelap lainnya, misalnya seperti ini." jawabku menahan rasa malu, Tante Kurnia telah mengingatkanku. 

"Tante,"  aku bergelayut di lengan Tante Kurnia sambil melirik Zaid.

"Bukankah dengan keadaan Silmi begini, telah menyatakan bahwa Kak Zaid sangat beruntung mendapatkan calon istri yang sangat taat dan cerdas. Tentu dia lebih paham bagaimana cara menyenangkan suaminya.” Tante Kurnia mengangguk dan ikut melirik ke arah Zaid. Menbuat anak laki-laki itu kikuk.

"Kamu, Silmi. Sebenarnya kita sudah sangat dekat, keluarga kita pun sudah saling kenal, Oom dan Tante suka dengan sikap kamu dari dulu. Andai disuruh memilih, tentu Tante akan memilih kamu."

Tante Kurnia meletakan gamis sambil mengucapkan kata-kata yang ringan baginya, tetapi tidak bagiku. Napasku tertahan. Mendadak butik ini terasa pengap. Zaid pun tak kalah kaget."

Oh, iya, Tante, kita ke sini, untuk mencarikan gamis buat Aisyah, bukan?"  seruku sambil berlalu. Tanganku menyentuh satu persatu baju yang terpampang, namun otakku masih belum bisa bekarja, apalagi memilih satu di antara sekian banyak gamis-gamis cantik. 

"Oh, iya, aku kan masih punya anak laki-laki satu lagi."

Suara Tante Kurnia membuat tubuhku kaku seketika. Begitu pula Zaid yang ada di depanku, ia langsung terdiam. Wajahnya pucat. 

***




Tidak ada komentar