Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Pilihan Takdir (DCS Part 30)

Detak Cinta Shafura

 Part 30: Pilihan Takdir 




 Dengan langkah gontai aku masuk ke halaman rumah Zaid. Pohon mahoni yang besar masih setia, menampakkan keperkasaan dan janji keteduhan.


 Di bawah pohon inilah kami sering duduk di atas ayunan. Dulu. Sekarang ayunannya tak ada lagi. Di mataku, pohon ini tetap menunjukkan kharismanya. Pohon ini banyak mencetak keceriaan persahabatan kami. Potongan kenangan indah membuat tanganku secara tidak sadar membelai lembut pohon ini, menyampaikan terima kasih, sekaligus berkata aku akan merindukannya. Karena aku akan pergi jauh. 

Aku sudah memutuskan menerima lamaran Hans dan ikut ke Mesir bersamanya. Sejak malam itu, Ibu tak lagi mengungkit topik ini, jadi aku semakin mantap menerima Hans. Nanti aku akan minta bantuan Kak Sa'ada untuk meluluhkan hati Ibu.

Aku sudah menyiapkan segalanya. Meninggalkan semuanya. Arloji pemberian Zaid sengaja kutinggal, aku tak ingin menyimpan apa-apa darinya. Dan hari ini, kuputuskan berbicara dengan Fahri. 

"Silmi?"

Aku menoleh ke arah suara. Tante Kurnia muncul di pintu. 

"Kenapa berdiri di situ? Ayo masuk." Perintah Tante Kurnia. 

Aku tersenyum pahit. Melihat sosok beliau, membuat hatiku semakin perih. Aku tak ingin berpisah dengan keluarga ini. Apa boleh buat, aku telah terlibat perasaan dengan dua anak laki-laki di keluarga ini.

"Assalamu ‘alaikum."

"Wa ‘alaikumsalam." Tante Kurnia menyingkir, membiarkan aku masuk. Tak lama muncul Fahri dengan wajah semringah. Melihatnya membuatku merasa bersalah. Keputusanku  akan segera melenyapkan senyumnya. 

Tiba-tiba aku merasa sebagai seorang narapidana di ruang sidang. Rupa-rupa mereka tidaklah menakutkan, tapi keputusanku lah yang membuatku takut, takut akan kehilangan keindahan dan kebahagiaan yang selama ini mereka berikan. 

"Pagi-pagi sekali, Silmi. Ada apa?" tanya Tante Kurnia. 

Fahri mendekati kami. Aku berdoa semoga Tante Kurnia, meninggalkan kami sesaat, entah akan menyuguhkan minuman, atau apa pun caranya. 

"Silmi, mau pamitan, Tante.”

Zaid yang tadinya ingin masuk kekamar terhenti di pintu, berdiri dengan tetap membelakangi. 

"Mau ke pondok? Bukankah dua hari lagi?" Sergah Tante Kurnia. 

"Iya, Tante. Tapi Silmi ingin menginap dulu di rumah Kak Sa'ada," kataku menunduk. Aku tidak kuasa menatap ketidaksetujuan mata Fahri. Kulirik Zaid, sedikit pun tak bergerak.

"Oh, begitu. Tadinya Tante mau berencana ke rumahmu."

"Mau apa, Tante?" tanyaku cepat. Benar-benar tidak sopan, memotong pembicaraan orang tua. 

"Maaf, Tante. Maksud Silmi, kalau ada yang perlu Silmi bantu, panggil Silmi saja,”  kata-kata bergelombang, aku mulai merasakan firasat aneh.

"Cuma ingin membicarakan proses perkawinan kalian."

"Perkawinan? Perkawinan siapa maksud, Tante?"

Aku masih tidak bisa memahami arah pembicaraan Tante Kurnia. Kalian itu siapa? Di sini hanya ada aku dan Fahri. Aku-Fahri? Serasa ada benda besar mencegat jalan masuknya oksigen ke paru-paruku, terlebih lagi melihat wajah Fahri. Apakah Fahri telah bertindak jauh di belakangku? 

"Lho, kamu ini gimana, Silmi?” tanya Tante Kurnia dengan wajah diliputi keheranan.

"Silmi benar-benar tidak mengerti, Tante," tukasku bergetar. Entah mengapa aku merasa di ujung tanduk. Setiap saat aku bisa jatuh dan pecah. Hancur.

"Kamu ni, Silmi. Fahri juga, benar-benar tidak tahu, atau mau bikin kejutan?"

Aku memandang Fahri, meminta penjelasannya. Laki-laki di hadapanku cuma tersenyum. Senyumnya benar-benar membuatku takut. 

"Tante kemarin bertemu ibumu," Tiba-tiba Tante Kurnia menjelma bagai sesosok monster yang akan menerkamku.

"Di acara selamatannya Bu Zaliha kemarin, lalu Tante coba-coba menyinggung tentang kamu. Tante hanya ingin tahu, apa kamu sudah punya calon. Eh, tak tahunya ibumu bilang, tidak ada. Maka Tante  menyampaikan keinginan tante menjodohkan Fahri denganmu. Ternyata ibumu mengatakan, sebenarnya Fahri diam-diam telah melamar kamu. Wah, senang sekali hati Tante, dan ibumu juga merasakan hal sama. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari orang tua sekampung, selain anak-anak mereka berjodoh, karena itu artinya akan menambah kekeluargaan. Kenapa tidak kalian katakan dari dulu-dulu?"

Takdir lagi-lagi telah memberi kejutan padaku. Aku tatap Tante Kurnia yang menatapku penuh senyuman, senyumannya itu tak lagi terasa menyejukkan. Kebahagiaan itu hanya sepihak. Aku beralih memandang Fahri. Wajah semringahnya, seakan-akan sebuah sangkar yang akan mengikat. Entah bagaimana keadaan Zaid yang terpaku di depan pintu kamarnya. 

Ibu. Kenapa Ibu melakukan ini? 

Menerima lamaran tanpa sepengetahuanku. 

Ingin rasanya air mataku tumpah. 

Ingin rasanya aku menghambur ke pelukan Zaid. 

Zaid? Astaghfirullah. Napas beratku teriring dengan zikir. Aku butuh ketenangan. 

"Silmi, kamu tidak apa-apakan?"  Tante Kurnia cemas.

“Oh..., tidak apa-apa, Tante. Silmi cuma..., cuma kaget ketika Tante membicarakan perkawinan. Silmi belum berpikir sejauh itu," aku menelan ludah. Tenggorokan terasa mengecil.  Sakit sekali. 

Tante Kurnia tertawa ringan. "Baiklah kalau begitu, kita bicarakan nanti saja, setelah selesai perkawinan Zaid. Tapi, kamu sudah siap kan menikah dengan Fahri?”

Begitu sampai di rumah, ingin sekali kutumpahkan amarah pada Ibu. Namun, aku urungkan. Kulihat gangan karuh masuk ke dalam wadah dengan tangan rentanya. Aku dan Kak Sa'ada mempunyai selera yang sama. Bila mendapat kiriman makanan favorit ini, Kak Sa’ada akan ngotot mencari ikan bakar. Menurut Kak Sa’ada ini akan menjadi sempurna dengan ikan gabus bakar disertai sambal terasi. 

"Kamu pasti sudah mendengar cerita Tante Kurnia mengenai lamaran Fahri," kata Ibu tanpa di sela kesibukannya. Aku mengangguk, lalu duduk di samping Ibu,  meminum segelas air. Berharap sakit hati ini lenyap bersama kesejukan air yang kuminum. 

"Ibu minta maaf." Ibu duduk di hadapanku.

"Entah kenapa, Ibu sangat bahagia mendengar lamaran Kurnia kemarin, langsung saja Ibu menceritakan lamaran Fahri itu. Ibu terlalu bahagia, sehingga mengiyakan tanpa meminta persetujuanmu lebih dulu. Maafkan Ibu," kata Ibu dengan penuh rasa penyesalan. 

Aku tidak bisa berkata-kata apa. Melihat rasa bersalah terbit melihat mimik wajah Ibu. Tak seharusnya Ibu seperti itu. Aku adalah anaknya, dalam diriku ada darah dan susunya, seharusnya aku selalu bisa membahagiakan Ibu. 

Setelah Ayah meninggal, Ibu telah berjuang keras membesarkan kami. Bahkan aku tak pernah ingat bagaimana wajah ayah. Ayah meninggal saat aku masih  berumur 9 tahun, Kak Sakti 12 tahun, sedangkan Kak Sa'ada sudah 15 tahun. Kak Sa'ada dan Sakti, lebih merasakan getar getirnya kehidupan, saat itu aku masih belum tahu apa-apa.

Sejak kecil Kak Sa'ada dan Kak Sakti gigih mencari uang. Menjajakan kue Acil Ijah, es, memarut kelapa, memecah biji kemiri. Apa yang mereka lakukan asal dapat uang halal. Ibu pernah memukul Kak Sakti karena kedapatan mengemis. 

Dibanding dengan kedua kakakku, aku lebih beruntung. Aku tidak terlalu bekerja keras. Aku menjajakan kue acil Ijah hanya sesekali, itu pun dengan sembunyi-sembunyi. Kedua kakakku akan marah jika mereka tahu. Mereka ingin aku bisa belajar dan terus sekolah. 

Aku masih ingat raut sedih mereka, ketika uang tabungan mereka tidak mencukupi untuk semua keperluanku masuk SMP. Impian terakhir mereka adalah aku. Kak Sakti hanya bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar, sedang Kak Sa'ada hanya sampai SMP. Mereka harus bekerja, untuk membantu Ibu. Ibu saat itu tak bisa bekerja penuh, karena harus memelihara nenek yang sudah lanjut usia dan pikun.

Tanggung jawab tertumpu kepada dua kakakku, dan juga Ibu yang selalu mengambil upah kodian menjahit, jika ada kesempatan.

Lalu datanglah keluarga Om Herman. Om Herman, menawariku sekolah di pondoknya Zaid, dengan biaya ditanggung beliau. Aku hampir tak percaya. Begitu juga dengan kedua kakakku. 

Saat itu sempat kulihat wajah  Zaid. Dari wajahnya itulah, aku mengambil kesimpulan, semua ini karena Zaid. Zaid yang meminta ayahnya menyekolahkanku. 

"Om, Bukannya Silmi, tidak mau sekolah, bahkan sangat ingin sekolah. Hanya saja, Silmi tak ingin menjadi beban orang lain. Terima kasih, Om, Kak. Maafkan Silmi. Silmi tak bisa menerimanya," kataku halus dengan wajah tertunduk. 

"Benar, Om, Terima kasih atas kebaikan Om kepada kami, kami tak bisa menerimanya, kami tak ingin merepotkan Om. Kami akan tetap berusaha."

Sela Kak Sa'ada yang saat itu sudah berusia 18 tahun.  

"Merepotkan gimana, Om melakukannya dengan senang hati," sahut Om Herman dengan mengamati wajah-wajah ketidaknyamanan kami. Bukannya kami sombong,  kami tak ingin terlibat hutang budi. Apalagi biaya sekolah tidaklah sedikit, belum bayar bulanannya selama beberapa tahun. 

"Begini saja, bagaimana kalau Om yang bayarkan semua biaya di awal masuknya Silmi, setelah itu kalian yang bayar bulanannya, dengan begitu tanggung jawab itu kembali lagi pada kalian, bagaimana?"

Usul Om Herman sambil memandang kedua kakakku. Ibu sejak tadi diam membisu. Mungkin terlalu banyak pertarungan dalam batin beliau.

Kedua kakakku saling berpandangan. Mereka berkomunikasi hanya lewat pandangan, sampai akhirnya Kak Sa'ada berkata. 

"Baiklah, Om, kami setuju. Terima kasih banyak, Om.”

Kedua kakakku menyalami Om Herman dan Zaid bergantian. Tinggal aku yang diam mematung. 

"Silmi." tegur Ibu.

Aku mengerti maksud ibu. Aku mendekati Om dan Zaid dengan bimbang. Om Herman memahami perasaanku. Tanpa menunggu uluran terima kasih dari tanganku, beliau langsung memelukku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, hanyalah air mata yang mewakilinya. 

Om Herman melepaskan pelukan beliau, tangan beliau memegangku pundakku dan memandangku penuh kasih. 

"Silmi, anggap saja om ini ayahmu, Fahri, Zaid dan Farah saudaramu. Jangan sungkan-sungkan lagi, ya.”

Aku hanya menjawab dengan anggukan, dan wajah penuh terima kasih. Aku pun mendekati Zaid. Tangannya menghapus air mataku. Mata kami bertemu, mata dan senyumnya memberikan kehangatan dan mimpi yang indah, aku membalas tatapannya dengan sebuah janji. Aku akan belajar sungguh-sungguh. 

"Ibu, seberapa besar jika Silmi menikah dengan Kak Fahri?" tanyaku lirih sambil menatap mata tua beliau. Mata yang menyiratkan kelelahan yang mendalam. 

"Silmi, ibu sangat bahagia, kamu juga pasti tidak lupa kan jasa Om Herman padamu?”

"Iya, Bu, Silmi masih ingat. Bahkan saat itu, Silmi akan berjanji membalas kebaikan keluarga mereka."

"Inilah yang tepat untuk membalas kebaikan mereka. Lagi pula Fahri mencintaimu kan?"

"Iya, Bu. Silmi akan menikah dengan Kak Fahri, untuk membalas kebaikan Om Herman dan juga untuk membahagiakan Ibu," jawabku datar sambil tersenyum, senyuman yang tak lebih dari ukiran yang patah. 

"Kita berangkat Silmi. Nanti kesiangan."

Kak Sakti muncul dengan uapan yang lebar. 

Tampang Kak Sakti membuatku tersenyum geli. Kak Sakti pasti masih kecapean, hampir jam 10, Kak Sakti baru sampai ke rumah, dan pagi-pagi begini  harus balik lagi ke Banjarmasin mengantarku. 

Kak Sakti selalu berusaha memenuhi semua permintaanku. Apa pun, kecuali biaya sekolah setelah dia menikah. Biaya sekolahku yang ditanggungnya beralih ke Kak Sa'ada. Namun, urusan antar jemput, Kak Sakti selalu siap walaupun mencuri-curi waktu di sela-sela kesibukannya.

“Iya, Kak.”

        ***


Tidak ada komentar