Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Wujud Cinta (DCS Part 31)

 Detak Cinta Shafura

 Part 31: Wujud Cinta





"Farah, Kak Zaid?"

Di saat aku mau naik ke motor Kak Sakti, tiba-tiba saja Farah dan Zaid datang.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Farah setelah mendekatiku. 

Aku ingin menolak, tapi tak menemukan alasan yang bisa kuberikan. Kutatap Kak Sakti, wajahnya mengisyaratkan mempersilahkan. 

"Baiklah, kita ke kamar, ya," seruku sambil masuk ke rumah, "tadi aku ke rumahmu, kamu ke mana saja, Farah?"

Farah tak menjawab. Dia menyalami tangan Ibu, Zaid hanya mengatupkan kedua tangannya. 

"Masuklah." Aku menyingkir, membiarkannya masuk. 

Aku pikir Zaid tinggal di luar, ternyata dia mengekor kami. Perasaanku semakin tidak nyaman. Terlebih lagi ketika Farah menutup pintu kamar. Teringat Farah pernah mendorongku ke kolam, membuat hatiku semakin ciut. Apa lagi yang ingin ia lakukan?

"Apa yang terjadi, Silmi?"

Kata-kata Farah bukanlah sebuah pertanyaan, tetapi sebuah tuduhan. Aku menyadari, aku dan Zaid terperangkap dalam situasi yang tidak nyaman. 

"Tante cerita apa?" tanyaku sambil meletakkan pantat di atas ranjang. Sedangkan Zaid berdiri di dekat pintu.

"Bukan Mama yang cerita, tapi Kak Zaid. Aku tak tahu bagaimana kalian bisa menghadapi situasi seperti ini? Kalian tak bisa hidup bersama, tapi  tidak juga saling menjauh, bahkan semakin dekat. Bagaimana kalian bisa saling melupakan, atau setidaknya bisa meredam rasa, sedangkan hubungan kalian semakin dekat?"

"Selama kami tidak saling membuka rahasia, dan tetap bersikap biasa, sesuai dengan aturan agama, insya Allah, semuanya akan baik-baik saja. Dalam agama, ipar bukan berarti sudah bebas tanpa ada batas. Sesama ipar, tetaplah harus menjaga diri," kataku sambil memandang  Zaid. Kemudian pandanganku terpaku menatap lantai, menahan air mata agar tidak menetes di hadapan mereka.

"Kamu tak apa-apa, Silmi? Menikah dengan laki-laki yang tidak kamu cinta? bahkan hidup dengannya tidak bisa menjamin dapat melupakan orang yang kamu cintai?" tanya Farah.

"Selama laki-laki itu bisa menyayangiku, insya Allah, aku pun berbuat hal yang sama. Mengenai cinta.” Aku menarik napas sejenak, "aku telah berjanji menyalurkan rasa itu kepada laki-laki yang Allah anugerahkan kepadaku."

"Bagaimana mungkin menyalurkan rasa kepada orang yang bukan kita cintai?" Bantah Farah, ia mengentakan kaki ke lantai dan tangannya mengepal menahan kesal.

"Cinta memang tak bisa aku hindari, tapi bukanlah pula segala-galanya. Keberkahan Allah adalah yang terpenting dalam hidup ini. Apalah artinya cinta jika kita telah menyakiti banyak orang? Allah akan ridha, jika kita berusaha menyenangkan banyak orang, terlebih menyenangkan orang yang Allah anugerahkan kepada kita."

Aku sendiri tidak mengerti dengan ucapanku.

"Kamu tak pernah berubah, Silmi."  Zaid mendekatiku. "Aku bangga padamu.“Karena inilah, dulu aku jatuh cinta padamu, dan aku sekarang semakin mencintaimu."

Sudah berapa kali aku mendengar ucapan Zaid seperti ini. Aku tak menyangka, membuatnya semakin mencintaiku. Apakah itu berarti juga aku semakin menyakitinya?

"Kita serahkan semua keputusan ini sama Allah." Tangan Zaid lagi-lagi memegang pundak dan segera kutepis.

“Ada beberapa hal, yang harus kita syukuri dalam persahabatan kita."

Aku mendongakkan kepala, menatapnya, menunggu kelanjutan bicaranya.

"Allah telah memberikan rasa kasih sayang kepada kita sejak kecil. Memberi kesempatan pada kita, mereguk indahnya sebuah persahabatan. Sehingga apa yang kita rasakan, bukanlah perkara sekadar cinta dua sahabat, tetapi sebuah rasa ingin selalu bersama. Di sisi lain Allah, juga membekali kita ilmu agama dan akal, sehingga kita sama-sama berusaha membatasi diri, walaupun ada kalanya kita khilaf, seperti apa yang kulakukan tadi.

Aku tak bisa membayangkan jika persahabatan, rasa cinta dan sayang kita tanpa diimbangi dengan ilmu agama. Entah ke mana setan akan menyeret kita dengan mengatasnamakan persahabatan."

Seketika bulu romaku bergidik. Aku membayangkan, aku berlari ala artis India yang mendekati dan masuk dalam pelukan kekasihnya, atau Zaid dengan tangannya yang lembut memelukku, guna menghilangkan semua beban kesedihan yang kurasakan. Astaghfirullah, Zaid benar. 

"Sekarang kita sudah sama-sama dewasa, di antara kita sudah harus ada batas. Tetapi tidak serta merta Allah menjauhkan kita, bahkan Allah tetap mengumpulkan kita, dalam satu keluarga. Tak ada yang lebih penting, selain kita. sama-sama saling menyayangi dengan saling menjaga diri, demi ridha Allah."

Aku tepekur mencerna kata-kata Zaid. ‘selain kita sama-sama saling menyayangi dengan saling menjaga diri, akalku membetulkan kata-kata Zaid, tapi perasaanku masih berkecamuk, antara membenarkan dan menolak. 

“Percayalah semuanya akan baik-baik saja. Aku senang kamu mendapatkan cinta Kak Fahri. Aku bahagia sebagaimana kamu bahagia, aku menerima lamaran Aisyah. Aku merasa inilah persahabatan yang sesungguhnya. Cinta mengajarkan kita keikhlasan, tidak menuntut kebersamaan dan saling menjaga diri demi keridhaan Allah."

Seketika udara kelegaan menyusup ke urat nadiku, keluar dalam desahan napas, dan melahirkan senyuman di bibirku. 

"Terima kasih, selamanya kamu tetap Kak Zaid-ku," kataku haru, air mataku merembes begitu saja tak dapat lagi kutahan. 

Air yang mengumpul karena ada ganjalan rasa keterpaksaan akan takdir, kini keluar dengan bentuk rasa syukur dan kebahagiaan. Farah sejak tadi tak bergeming. Mungkin dia masih bingung dengan cara cinta kami. 

"Ayolah, Silmi, hapus air matamu. Jangan sampai aku melakukan kemaksiatan dengan menyentuh pipimu untuk menghapus air matamu.” 

Zaid membuatku tertawa. Zaid hanya mengulum senyum, matanya berbinar indah sekali. Keikhlasanlah yang menjadikan semuanya indah. Malangnya air mataku bukannya berhenti, malah merembes semakin deras. Zaid memasukkan tangannya ke saku celananya, dan tak lama menyodorkan sebuah sapu tangan. 

"Hapus air matamu.”

Aku menyambutnya, namun tak menyapukan ke wajahku. Aku hanya memadangi saputangan itu. Air mata telah terlupakan. Aku ingat betul sapu tangan ini. Sapu tangan ini adalah pemberianku. Aku ingat betul, saat itu ibu guru keterampilan di sekolah mengajari kami menyulam. Aku senang sekali bisa menyulam. Pertama yang ada di benakku saat itu adalah menyulam sesuatu untuk Zaid. 

Saat itu, aku hanya memiliki saputangan. Bingung mau menyulam apa. Akhirnya kuputuskan saja menyulam nama Shaf dan Zaid. Kata Zaid di atas dan Shaf di bawah. Tanpa sadar aku tersenyum melihat sapu tangan di tanganku. Aku tak menyangka Zaid masih menyimpannya. Aku tersenyum geli, ketika menyadari ternyata sulamanku buruk sekali. 

"Kamu masih menyimpannya?"

Zaid mengangguk, "aku selalu membawanya ke mana saja."

Kembali aku memandangi sapu tangan itu. Aku tersadar, ada yang berubah dengan sapu tangan itu. Dua ekor burung terbang. Tidak bergandengan, namun tidak juga terlalu berjauh, uniknya posisi mereka membentuk hati. Siapa yang menyulamnya? Aku ingat betul. Di antara dua nama itu kosong mempolompong. Saat itu aku ingin menyulam, berbentuk hati. Aku hanya ingin mengatakan, kami akan selalu bersama dan aku tak ingin berpisah. Tapi aku terlalu malu untuk mengungkapkannya.

"Kakak yang menyulam ini?" tanyaku lirih sambil menyentuh dua burung itu.

"Iya. Kamu paham maksudnya?"

Aku menggeleng. 

"Dua burung terbang itu simbol kita sama-sama pergi menggapai mimpi. Namun jarak posisi terbang mereka  membentuk sebuah hati. Artinya, kita memang saling berjauhan, tapi hati kita selalu dekat. Hati kita saling terpaut satu sama lain."

Aku tersenyum mendengar penuturannya. Serasa ada angin segar masuk dalam relung jiwa. Benar selama ini aku selalu mengingatnya, ternyata dia pun selalu mengingatku. Kami memang berjauhan, tapi hati kami selalu dekat.  

“Baiklah. Kalau sudah kita pulang sekarang, ya Kak, kasihan Sakti menunggu Silmi," sela Farah tiba-tiba. 

"Benar juga. Aku minta maaf, Silmi,” seru  Zaid. 

"Maaf atas apa?" tanyaku heran.

"Segalanya. Termasuk sekarang ini. Ini tak pantas kita lakukan. Berkumpul di tempat seperti ini. Aku hanya ingin menyelesaikan masalah ini. Agar di antara kita tak ada rasa sakit hati, keterpaksaan atau pun merasa bersalah.”

Aku mengangguk. 

"Usap wajahmu. Nanti ketahuan Ibu,"  kata Zaid lembut.  

"Oh, mana arlojinya, biar nanti aku bawa ke tukang arloji, jika sudah selesai nanti kutitipkan."

Tanpa sadar, aku memasukkan sapu tangan itu ke dalam kantong gamisku. 

Walaupun ada rasa tidak setuju, aku tak ingin memakainya, tapi kakiku menurut saja mendekati laci di lemari, dan menyerahkannya ke tangan Zaid. Dengan hati-hati Zaid membuka kotak dan mengeluarkan arloji itu dari tempatnya.

"Tangannya."

Aku menurut saja, untungnya tanganku pakai handsock melindungi pergelanganku, selain memakai gamis lengan panjang. Pada detik ini, aku sangat berterima kasih pada handsock-ku, padahal aku sering malas memakainya, dengan alasan toh aku memakai gamis lengan panjang. Walau begitu, tetap saja mendadak tubuhku menjadi kaku. Napasku terhenti. Perutku terasa kram. Mataku terpaku pada tangan Zaid yang bergetar, dan di pori-pori kulit keluar keringat-keringat halus. Apa yang terjadi denganku?  

"Sudah. Cuma dipotong dengan dua potongan, kiri dan kanan," lirih Zaid. 

Aku melihat mukanya berbeda lagi. Namun dia berusaha menutupinya dengan memalingkan muka. 

Kami begitu terkejut, di luar pintu kamar, Ibu berdiri membisu. Farah diliputi rasa panik, begitu pula Zaid, hanya saja laki-laki itu, cepat menguasai diri. Sedangkan aku? Aku hanya berlalu dengan wajah tertunduk tak berani menatap Ibu. Terserah bagaimana pendapat Ibu, lagi pula belum tentu Ibu mengetahui semuanya apa yang telah kami bicarakan. Jadi selama Ibu tidak angkat suara, maka aku memutuskan diam. 

        ***


Tidak ada komentar