Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Dendam Terpendam (DCS Part 41)

 

Detak Cinta Shafura

 Part 41: Dendam Terpendam





“Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri menuduh ana mengkhianati Aisyah."



“Ana tidak, Silmi. Ana tahu semuanya, dan ana percaya sama anti. Dan Nadhirah pun insya Allah, tidak.” 

Syifa beralih pandangannya ke arah Nadhirah. Dan menceritakan semua yang terjadi. Tentang persahabatanku dengan Kak Zaid, tentang permintaanku, kepada Zaid agar menerima lamaran Kyai Ibrahim, dan menceritakan pertemuan yang tidak direncanakan kemarin.

“Sabar, ya, Ustadzah. Semoga Allah, akan memudahkan jalannya.”

“Terima kasih Nadhirah. Untuk sementara, jika ada yang bertanya kepadamu tentang kejadian ini, cukup katakan pada mereka, ini hanya kesalahpahaman. Ana tak pernah mengkhianati Aisyah. Apa pun demi kebahagiaan Aisyah, akan ana lakukan, jadi tidak mungkin ana mengkhianati Aisyah.”

“Iya, Ustadzah. Insya Allah,” balas Nadhirah.

“Terima kasih, ya,” 

Nadhirah hanya mengangguk.

“Sabarlah, kita serahkan semuanya pada Allah. Nanti kita temui Aisyah, kita bicarakan secara baik-baik.”

“Anti mau menemani ana?” tanyaku penuh harap.

“Ana akan menemani anti, kalau perlu ana juga ikut menjelaskan semua yang ana ketahui.”

“Terima kasih Syifa. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan dan pengertianmu selama ini. Jazakillah khairan katsiran.”

“Wa iyyaki,” balas Syifa dengan senyum mengambang. Memberi secercah cahaya di pikiranku yang sedang berkabut.

“Assalamu ‘alaikum.” Cahya di depan pintu. 

“Wa ‘alaikum salam,” sahut kami serentak. Aku hanya bisa menjawab dengan suara lirih. Melihatnya sontak tanganku mengusap wajah. 

“Ustadzah, apa yang terjadi?” Cahya mendekatiku dengan wajah cemas. 

“Maksud anti?” Pertanyaan yang tidak  faedah. 

Memang Cahya terbiasa memojok, tetapi jika ia ke sini, berarti ia telah mendengar kabar itu. Hanya saja aku tidak tahu apa yang ia dengar. 

“Ana dengar… .” 

Aku tersenyum. “Ana tidak tahu apa yang dengar. Kalau anti dengar keributan yang barusan terjadi, iya. Tapi percayalah, ini hanya kesalahpahaman. Jangan khawatir, jika marah Ustadzah Aisyah sudah reda, ana akan menjelaskannya,” ucapku ragu-ragu. 

Aku tak yakin kemarahan Aisyah reda secepat itu. Terlebih lagi ini menyangkut masalah pernikahannya. Aisyah pasti sangat kecewa padaku, yang berstatus sahabatnya. Hanya saja, aku tidak ingin konsentrasi Cahya terganggu. 

Cahya masih menatapku cemas. “Bagaimana kalau ana jelaskan kepada Ustadzah Aisyah?”

“Maksud anti?”

“Ana percaya dengan Ustadzah. Ustadzah tidak mungkin mengkhianati Ustadzah Aisyah. Seharusnya Ustadzah Aisyah tahu ini bentuk pengorbanan Ustadzah kepadanya.”

Aku menatap Cahya lekat. Bagaimana ia begitu mempercayaiku? Apa ia tahu hubunganku dengan Zaid?

“Ana tahu siapa Ustadzah. Dan tunangan Ustadzah Aisyah itu laki-laki yang memberi Ustadzah buku tafsir itu kan? Namanya yang Ustadzah hapus di sampul tafsir itu.” 

Cahya memegang tanganku. “Ustadzah memang tidak pernah cerita itu, tapi Ustadzah adalah panutan ana. Setiap gerak-gerik Ustadzah selalu jadi perhatian ana. Bahkan tatapan Ustadzah saat ini pun ana tahu.”

Keningku mengerut. 

“Saat ini Ustadzah memikirkan tes ana kan?”

Aku tercengang.

“Ana akan jelaskan semua ini kepada Ustadzah Aisyah,” ucapnya seraya bergerak hendak berdiri. Tetapi, aku segera menarik tangannya. 

“Cahya, terima kasih atas  perhatiannya. Ana bangga pada anti. Tapi, masalah ana dengan Ustadzah Aisyah, ana akan tangani sendiri. Anti fokuslah pada persiapan tes anti. Ya."

“Tapi ... .”

“Cahya,” potongku. 

Cahya menunduk. “Baiklah,” ucapnya pasrah. “Kalau begitu ana pamit dulu.”

Aku mengangguk. “Konsentrasilah! Masalah ana, serahkan semuanya pada Allah.”

Cahya mengangguk. 


        ***

Sudah tiga kali, aku berusaha menemui Aisyah. Dia tak juga berkenan menemuiku. Mungkin ia terlalu marah. Sementara desas-desus berita tak nyaman mulai berkeliaran di daerah pondok. 

Banyak santri yang memandangku penuh kebencian, ada yang bersikap dingin, bahkan ada bersikap lancang, mencibir, bahkan tak segan-segan mencercaku. Sekarang aku lebih sering berdiam di kantor, karena jarak ruangan tes lebih dekat. Setidaknya, mengurangi tangkapan indra penglihatan, dari mata-mata kebencian. 

Hanya kepada Allah kusandarkan hati.

“Silmi, Silmi.” kata Syifa dengan terengah-engah.

“Ada apa, Syifa? Kenapa panik begitu?” tanyaku tak kalah panik.

Akhir-akhir jiwaku cenderung sensitif. Setiap orang yang berbicara di dekatku, seakan-akan akan menghinaku. 

Jika mereka memandang, bagiku seakan mau menerkamku. 

Jika ada teriakan, seakan sebuah ketuk palu hakim yang akan menyiapkan hukuman mati buatku. Dunia menjadi mengerikan. 

“Ada kabar. Pernikahan Aisyah dibatalkan.” 

“Apa? Ini tidak mungkin! Pernikahannya tinggal berapa hari lagi? Ya, Allah ini tidak boleh terjadi.” Aku tak yakin tinggal berapa hari lagi pernikahan Aisyah. Semuanya jadi jadi kacau, bahkan hari ini hari apa aku pun tidak tahu. 

“Bagaimana kita temui lagi Ustadzah Aisyah. Apa dia mau menerimaku?” tanyaku ragu.

“Entahlah. Tapi, tidak salah jika kita mencoba.”

Aku mengangguk, “temani aku, Syifa.”

        

***


“Apa Aisyah mengizinkan kami, untuk menemuinya?” tanyaku kepada Dewi dan Eka dengan tidar sabar---santriwati yang sedang piket. 

Eka menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?” Pertanyaan yang bodoh.

“Katanya masih sibuk,” jawab Dewi dengan nada sinis. 

Dewi tetangganya Zaid, itu artinya aku dengan Dewi juga sekampung. Tapi sepertinya itu tak berlaku lagi. Mungkin di matanya aku sudah benar-benar jahat. 

Jangankan sekampung, kesalahan bahkan tidak memandang hubungan. 

“Begitu, ya? Terima kasih, ya, kami ke sebelah dulu,” kataku lemah sambil menarik pergelangan Syifa. Putus asa sudah menjalar ke seluruh urat nadiku. 

“Wi, ada kabar, katanya pernikahan Ukhti Aisyah dibatalkan, apa benar?” tanyaku hati-hati. Aku bertanya lagi padanya sambil berharap ia memandangku sebagai teman sekampung. 

“Tidak. Tidak benar. Kenapa anti bertanya begitu?” tanya Dewi, penuh selidik. Matanya menusuk ke arahku. 

“Tidak apa-apa, Ukhti. Syukurlah jika begitu, kami pergi dulu. Assalamu ‘alaikum.”

“Tunggu dulu. Jangan katakan, anti berharap pernikahan ini batal?!”

Tuduhannya benar-benar menyengatku. Mataku mulai berkaca-kaca. “Kenapa anti berkata begitu?”

“Iya, bisa saja. Bukankah anti juga mengharapkan Abdurrahman?! Oh bukan Zaid ya? Zaid juga memanggilmu Shafura kan?!” Dewi memandang pergelanganku. “Mana arlojinya. Jangan-jangan dia sudah gantikan yang baru?!”

Aku terperangah. 

“Heh? Asal kalian tau, dia seorang hafizhah munafik. Mondok, berhijab, padahal diam-diam hatinya berkhalwat. Busuk.”

Aku tidak berniat untuk membantah ucapan, bahkan membiarkannya melepaskan semua kalimat yang terpendam di benaknya. Barangkali itu akan membuatnya puas. 

Dari dulu, aku sudah mengira yang menyebarkan desas desus fitnah padaku itu  Dewi. Aku berusaha diam, karena aku mengerti kebenciannya padaku. 

Dari dulu ia sangat ingin berteman dengan Farah, karena dengan begitu ia juga akan dekat dengan Zaid. Tapi, aku tak mengerti mengapa Farah sangat tidak menyukainya. 

Dia ke pondok ini pun demi mendekati Zaid. Ia ingin Zaid memandangnya. Hanya saja di mata Zaid hanya ada dua gadis. Aku dan Farah. 

Usahanya sudah sejauh ini, maka wajarlah jika ia sangat membenciku. 

“Dewi!” sergah Syifa. “Istighfar, Wi. Tak baik menuduh saudara sendiri, itu keterlaluan.”

“Keterlaluan? Akhirnya terbongkar juga kan kebusukan dia selama ini. Selama ini Aisyah menyangkal tentang kelakuannya. Tapi temanmu ini yang keterlaluan, menikam teman sendiri dari belakang, berkali-kali pula.  Itu yang namanya keterlaluan!”

Syifa melotot, tubuhnya seketika menegang, gerahamnya merapat. Aku menarik tubuhnya ketika mulutnya terbuka untuk membalas Dewi.

“Sudahlah, Syifa! Dewi tak tahu duduk perkaranya. Cukuplah Allah sebagai penolongku. Yuk kita pergi, jangan buat kekacauan di sini.” seruku seraya menarik lengan Syifa. 

“Heh, masih saja bersikap alim.”

Aku menarik lengan Syifa meninggalkan tempat itu. Umpatan Dewi dan tatapan kebencian mengiri langkah kami hingga keluar dari gerbang pondok lama. 

    ***


Tidak ada komentar