Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Terusir (DCS Part 42)

 Detak Cinta Shafura Part 42: Terusir




Di ruang kantor  sengaja aku memuaskan diri menangis. Agar semua bebanku bisa hanyut bersama derasnya air mata. 

“Sabar ya, Silmi” lirih Syifa sambil memegang pundakku. 

“Qaala innamaa asykuu batstsii wa huzni ila llah,1” kataku sambil terisak. 

“Hasbunallah wani’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir,” tambah Syifa menyemangatiku. 

Kusandarkan punggung ke dinding, kudongakkan kepala dengan mata terpejam. Perih sekali. Aisyah, sahabatku kini membenciku. Aku harus berbuat sesuatu.

“Sebaiknya ana pulang saja.”

Syifa tersentak. 

“Anti mau pulang?” tanya Syifa dengan ekspresi tak percaya, “meninggalkan semua tuduhan buruk yang ditujukan kepada anti?”

“Apa boleh buat, Ukhti. Biarlah mereka menuduh ana sesuka hati. Bagi ana yang penting adalah pernikahan Aisyah. Ana titip kado ya."

“Apa pun yang anti pinta, akan ana lakukan. Sejujurnya ana tak sependapat dengan keputusan anti. Pergi begitu saja, meninggalkan jejak gelap pada diri anti, terlebih lagi, sebentar lagi khataman, tidakkah anti ingin melihat anak bimbingan anti, khataman tahun ini? Lalu bagaimana dengan Cahya? Ia sangat membutuhkan keberadaan anti.”

Rentetan ucapan Syifa memberikan goresan demi goresan di hati. Siapa yang tak ingin melihat anak bimbingannya khataman? Semua guru pasti bahagia, melihat anak didiknya ikut lulusan. Namun, yang lebih aku cemaskan adalah Cahya. Aku khawatir masalah ini mengganggu konsentrasi Cahya.

“Keadaannya tidak memungkinkan, Syifa,” sahutku.

Langsung saja kutelpon Kak Saada. Awalnya kak Saada kaget mendengar keinginanku. Tapi, kakak pun langsung paham mendengar penjelasanku. 

Sebelum berkemas, aku juga sudah membungkus kado untuk pernikahan Aisyah dan Zaid. Gamis dan arloji. Beberapa saat, aku mengingat-ngingat kalau ada yang tertinggal. Helena. Aku harus menemuinya. 

“Kakak,” seru Helena. Dia sedang latihan untuk menyenandung nasyid.

“Bisa kita bicara sebentar?”

Helena tak langsung menjawab, dia mengitari pandangan ke sekeliling, teman-temannya dan pelatihnya, Fitri. Helena langsung berdiri, begitu mendapat isyarat izin dari Fitri. Sempat aku menangkap kilat jijik dari mata Fitri. 

“Kakak mau pulang, dan tidak akan ke sini lagi. Jaga diri baik-baik, ya,” ucapku datar sambil menyalaminya, begitu kami sampai di kamarnya. 

Kamar sepi, mungkin teman-temannya yang lain lagi sibuk. Aku berusaha keras agar air mataku tidak tumpah. 

Helena langsung menyambutnya dengan pelukan dan tangisan. Sesaat aku bernapas lega, Helena tidak menganggapku buruk. 

“Kakak jangan pergi. Helena tak ada siapa-siapa lagi di sini. Kak Hans juga akan pergi.” 

Perlahan kulepaskan pelukan dan memegang dua pundaknya. 

“Helena, dengarkan Kakak. Hans dan kakak, memang pergi. Jauh dari Helena, tapi hati-hati kami dekat dengan Helena. Kami sangat mencintaimu, dan akan selalu mendoakanmu.”

Kutatap matanya lurus-lurus, aku ingin menguatkan dan menyakinkan, bahwa aku dan Hans akan selalu mencintainya, walaupun kami tak bisa selalu bersamanya.

Helena mengangguk sambil terisak. 

“Nah begitu, jaga diri baik-baik. Tetap semangat belajar, dan … .” Aku melangkah mendekati lemarinya, dan mengambil dua boneka yang terpajang di atas lemarinya. “Dan jika Helena rindu kami, lihatlah dua boneka ini! Ingatlah kami pun akan selalu merindukan Helena.”

Aku memain-mainkan boneka, sehingga Helena tertawa kecil, karena gerakan imut dua boneka beruang itu. Satu pemberianku dan satu lagi dari Hans. 

“Nah begitu, dong. Tabassamii.”

Aku kembali memeluknya, kembali perasaanku diliputi kesedihan. Kurasakan air mataku mulai menggenang di kelopak mata. Aku tak boleh menangis di depan Helena.

“Kakak pergi dulu, ya.”

Helena mengangguk. Kukira dia kembali bergabung dengan team latihannya, ternyata dia mengikutiku. 

“Tidak ikut latihan lagi?” tanyaku sambil berjalan.    

“Nanti saja, Kak. Setelah melepaskan kepergian Kakak.” Saat kami berjalan, lagi-lagi pandangan penuh ejekan dan kebencian menyorotiku. Aku hanya bisa mendesah keras.


    ***

Kutitip surat, kado, dan salam buat Aisyah pada Syifa. Begitu juga dengan Helena. Jika memandangnya, rasa tak tega meninggalkannya.  Apa boleh buat, mobil Kak Saada telah menunggu bersama suaminya, Hilman. 

Kupeluk Syifa, Helena, dan Nadhirah satu persatu. Penuh dengan keharuan dan tangisan. Aku tak kan pernah melupakan mereka. Ke manakah yang lainnya? Ke manakah anak-anak bimbinganku?

Malangnya takdir yang digariskan hari ini. Sembilan tahun aku di sini, belajar dan mengabdi, kini aku keluar dengan penuh hinaan. Entah sebagai terusir atau orang yang melarikan diri, atau kedua-duanya. 

Tak lama Cahya muncul dengan terengah-engah. Wajahnya sembab. “Ana harus bagaimana, Ustadzah? Ustadzah dan Ustadzah Aisyah adalah orang yang paling ana sayangi. Kenapa harus seperti ini? Ana harus berdiri di mana?”

Aku tersenyum kecut. “Berdirilah di kaki sendiri. Hargai keputusan ana dan tetap hormati Ustadzah Aisyah.”

Air mata Cahya semakin merembes. Kutarik Helena, kudekatkan pada Cahya. 

“Kalian bisa saling membantu dan menguatkan satu sama lain. Cahya, ana titip Helena. Bagaimana pun anti kepercayaan kakaknya. Bantu Hans dengan selalu memerhatikan Helena.”

Cahya menatapku lekat. Lalu mengangguk. “In sya Allah, Ustadzah.”

Kubiarkan Cahya memelukku erat. 

Ya Allah, bagaimana ia bisa tes dengan kondisi seperti ini? Ya Allah, mudahkanlah urusannya dan berilah ia jalan yang terbaik. 

Sejenak aku menatap tiga teman setia yang melepaskan kepergianku. Semuanya menangisi kepergianku. Cahya dan Helena paling sesenggukan, ketika mobil melaju, Helena menenggelamkan mukanya ke bahu Cahya. 

Syifa lah yang paling tegar. 

        *** 

catatan kaki

قَالَ إِنَّمَآ أَشۡكُواْ بَثِّي وَحُزۡنِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَأَعۡلَمُ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُون


Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Qs. Yusuf, Ayat 86)

Tidak ada komentar