Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

Hubungan Perasaan (DCS Part 43)

 

Detak Cinta Shafura

 Part 43: Hubungan Perasaan 




Aku langsung menghempaskan diri di atas kasur ketika sampai di kamar di atas loteng yang telah disiapkan Kak Saada. Tas dan kotak yang kubawa tergeletak sembarang tempat. Sedang, Kak Saada membuka pintu balkon




"Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin membersihkan ruangan ini. Ternyata firasat kamu akan pulang," ucap Kak Saada sambil membuka gorden, lalu membuka pintu jendela. 


Aku memejamkan mata. Bersyukur dalam hati. Aku pun tidak bisa membayangkan jika masih numpang di kamarnya anak-anak Kak Saada dalam kondisi remuk redam begini. Aku tidak mungkin menangis di depan mereka.


"Terima kasih, Kak."


Kak Saada tak menyahut. Ia telah menuruni tangga. 


Kubuka mata, menatap langit-langit yang beralaskan triplek warna coklat penuh dengan noda di mana-mana. 


Menatap langit-langit menyadarkan bahwa aku benar-benar sendirian. Di pondok sangat jarang menatap langit-langit kamar. Saat berbaring, jika tidak ngobrol dengan teman sebelah, aku langsung memejamkan mata. 


Perasaanku benar-benar kosong dan hampa. Ternyata di mana posisi teman-teman tidaklah masalah. Jarak bukanlah jadi alasan untuk menjadi terpisah. Di mana pun, selalu ada doa dan perhatian mereka untuk kita. 


Tapi kini aku benar-benar merasa terputus. Aku yakin Cahya dan Syifa akan selalu mendoakan kebaikan untukku, hanya saja putus asaku telah menutupi segalanya. 


Dulu aku selalu bersemangat jika mengingat Zaid, meskipun jaraknya jauh puluhan juta kilometer. Kini masih satu provinsi, aku yakin ia juga selalu mendoakanku, tapi perasaan hampa yang membuat semuanya jadi menguap. 


Tatapan hina dan cerca kembali memenuhi ruang sadarku. Pengabdianku jadi hancur lebur oleh sebuah kesalahan. Mungkinkah aku bisa menginjakkan kaki ke situ lagi? Atas alasan apa?


"Rabbanaa taqabbal minna watub 'alaina,*" 

Perlahan cairan hangat mengalir dari kedua belah mataku. Mengalir tanpa suara. Dari sini aku mengerti, mengapa aku menangis nyaring seketika di dekat Zaid ketika di Tanuhi, atau ketika di dekat Syifa. Itu karena kepercayaanku pada mereka. 

Aku bisa meluapkan perasaanku pada mereka. 

Aku percaya mereka bisa memahamiku. 

Kini tangisanku tanpa bunyi, karena memang siapa yang akan mendengarkan tangisanku. 


Hasbiyallahu tawakkaltu 'ala llaah'


***


Setelah shalat Isya aku mulai mengeluarkan barang-barangku. Pertama kali yang kubuka adalah kotak. Karena di dalam kotak aku menyimpan kitab-kitab. Sampul kitab tafsir pemberian Zaid langsung menyembul ketika aku membuka kotak itu. 


Seiris silet kembali menyapa. Kuangkat kitab itu, lalu kueja dengan jari namanya yang telah dicoret dengan Tipe-X. Aku sengaja mencoret supaya tidak jadi fitnah atau pertanyaan dari teman-teman. Siapa sangka setelah sekian tahun, ternyata ada yang bisa menebaknya, yaitu Cahya. 

Santriwati yang tidak bisa mengingat nama dan wajah orang, tetapi paling pandai jika ia mau membaca wajah orang. Beruntungnya, ia bukan tipe orang peduli dengan urusan orang lain. 


Aku meletakkan kitab tafsir itu ke atas lemari ketika terdengar bunyi kaki di anak tangga. Tak lama muncul Kak Saada sambil membawa gawainya. 


"Paman Salahuddin vc-an." Kak Saada menyerahkan gawainya padaku. 

Aku menyambutnya dengan wajah heran. 


"Assalamualaikuuum. Silmi ya." 

"Wa alaikum salam."

Aku bergegas meletakkan gawai itu ke telinga. 


Kak Saada tersenyum geli. Ia mengambil gawai itu, lalu memperlihatkan wajah paman yang di muncul di layar. 


"Paman?" tanyaku, dengan perasaan malu. Pasti paman kaget tadi saat melihat telinga di layar ponselnya. 


"Apa kabar, Silmi?" 

"Alhamdulillah, baik, Paman. Paman juga bagaimana kabarnya?" tanyaku kaku. Aku lupa kapan aku pernah berbincang dengan paman. 


"Alhamdulillah, baik, Silmi. Alhamdulillaah, akhirnya Paman bisa berbicara denganmu. Berapa kali Paman nelpon Saada, tapi katanya kau lagi di pondok." 


Aku tersenyum menanggapi ucapan Paman di layar ponsel. 


"Entah kenapa maka ini tiba-tiba Paman ingin menelpon Saada. Ternyata Paman hendak berjumpa denganmu. Alhamdulillah."


"Alhamdulillah." Hanya kata ini yang bisa kuucapkan. Hanya sekadar menanyakan bagaimana keadaan istri beliau aku tak berani. Sudah lama aku tidak mendengar keadaan Paman. Menyadari hal ini, betapa jahatnya aku. 

“Tunggu sebentar,” ucap Paman, lalu ia memalingkan wajahnya lalu berteriak. “Nyii … Nyii … Sini atuh. Nyii … .”

Aku berjalan, lalu duduk di atas kasur. 

“Tunggu atuh Engkaaang.”

Dari kejauhan terdengar suara seorang perempuan menyahut sambil menggerutu dengan bahasa yang tidak aku mengerti. 

“Sini. Ini Neng Silmi.”     

“Neng Silmi?”

Seorang perempuan paruh baya muncul di layar ponsel. Aku segera meraih ponsel itu. 

“Neng Silmi, keponakan aku. Putri Almarhum Zainuddin,” beritahu Paman semangat.

“Ooo, Silmi. Neng Silmi? Yang di Kalimantan?”

Aku mengangguk. 

“Enggih, Bi.” Kenapa aku jadi mengucap enggih? Memang Bandung juga memakai enggih?

“Aduuh. Senangnya Bibi bisa lihat ketemu Neng Silmi. Sudah lama yak tidak ketemu. Sekarang sudah gadis yak. Cantik sekali.”

"Oh iya, sekarang Neng lagi ngapain? Sedang liburan yak?” ponsel diambil Paman, tetapi keduanya masih bisa kelihatan di layar ponsel. 

Aku mengangguk bimbang. 

“Jalan-jalan ke tempat Paman yuk. Ke Bandung.”

Seketika otakku menggeliat cerah. Jalan-jalan merupakan ide yang bagus untuk kondisiku saat ini. Tapi, kantongku tidak mengizinkan. Tabunganku tinggal sedikit. Sisa membelikan jam tangan Zaid dan gamis untuk Aisyah. Hatiku meringis. Untuk membelikan arloji untuk seorang Zaid saja benar-benar menguras tabunganku.

Bagaimana jika untuk Hans, putra bangsawan? Mungkin aku perlu menabung seumur hidup. Kenapa jadi ingat Hans?

“Pingin. Silmi juga sudah sangat lama tidak ke sana.”

“Iya, terakhir Neng Silmi kecil sekali, yak?” sela Istri Paman.

Aku mengangguk. “Iya, Bi. Waktu ayah masih hidup. Umur Silmi waktu itu sekitar sembilan tahunan.”

“Benar, kamu sudah lama sekali. Ke sini atuh, Neng,” bujuk Istri Paman dengan dialek khasnya.

Aku tertawa kecil. “Mau atuh, Bi.” Lo kenapa aku ikut-ikutan dialek bibi. "Tapi, Silmi tidak pernah pergi sendirian, apalagi sejauh itu.”

“Gampang atuh.” Paman merangsek maju. “Neng cukup diantar Aa Sakti ke bandara, nanti di bandara sini ada yang jemput. Nanti Paman suruh Mumtaz jemput.”

Mumtaz?  Rasanya aku pernah dengar nama itu, tapi siapa?

“Neng lupa kan?! Dia sepupu Neng Silmi. Dia yang dulu temanin Neng bermain. Ingat, gak?”

Aku memicingkan sebelah mata. Berusaha mengingat kenangan kecilku sewaktu silaturahmi ke Bandung. Memang saat itu ada sepupu-sepupu yang menemaniku bermain juga jalan-jalan. Tapi, aku lupa siapa saja namanya.

“Tunggu sebentar, yak.”

Tiba-tiba ada tambahan panggilan di layar. Seketika insting siagaku mulai berdering. Aku meletakkan ponsel, meraih jilbab yang tergeletak di kasur, lalu memasang ke kepala. Aku merapikan jilbabku melalui video yang ada di ponsel. 

“Ya, Paman.” Wajah malas muncul di layar ponsel. 

Seketika aku terkesiap, lalu melepaskan ponsel.

“Paman, vician dengan siapa?” Dari suaranya sepertinya dia baru menyadari. 

“Dengan Silmi, Mumtaz. Sepupumu. Neng … masih sambungkan?”

Aku kembali mengambil ponsel, lalu melihat layar. Terlihat Mumtaz sudah memakai kaos longgar. Posisinya juga sudah berubah. Dari baringan menjadi duduk. 

“Silmi? Benar, ini Silmi. Ya Allah, mimpi apa aku semalam, bisa lihat kamu," teriak seorang laki-laki yang menurut perkiraanku sebayaanku denganku. 

"Assalamualaikum, Aa. Aa Mumtaz gimana kabarnya?" tanyaku kikuk. 



catatan kaki :

*Tuhan kami  terimalah amal ibadah kami dan tobat kami. 



Tidak ada komentar